Jumlah pe-longok :

Senin, 30 April 2012

Sejarah Bahan Bakar Nabati (BBN):


Disusun oleh Ir. Syahyuti, MSi. (Peneliti Sosiologi Pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor).
Materi ini sangat ringkas, masih dangkal, dan belum lengkap. Jika Bapa, Ibu, dan Rekan mau membantu untuk melengkapinya, silahkan isi pada ruang comment di bawah.

Ide dan program BBN di Indonesia masih sangat baru. Meskipun ada semangat besar di awalnya, namun ga lama kemudian melempem, sehingga sementara ini jadi ga jelas lagi mau bagaimana. Banyak kepentingan di dalamnya, banyak agenda tersembunyi pula.

1956. Konsep Peak Oil Theory (POT) digagas oleh MK Hubert. Dengan kurvanya, Hubert mengatakan bahwa sesudah produksi minyak bumi dunia melewati titik kulminasi pada tahun 2005, maka produksi minyak bumi dunia akan mengikuti jalan menurun secara terus-menerus. Selain volume cadangan yang terus berkurang dan harganya meroket, trio sumber energi (minyak bumi, gas alam, dan batu bara) memiliki banyak eksternalitas negatif. Pencemaran lingkungan terjadi hampir di semua kegiatan eksplorasi, eksploitasi, distribusi, pengolahan, dan pemanfaatan. Fenomena perubahan iklim dan pemanasan global yang menjadi isu dunia menuding trio minyak bumi, gas alam, dan batu bara sebagai kambing hitam.

1973. Pemakaian biofuel di Brasil dimulai pada 1973, saat terjadi krisis bahan bakar. Saat itu, 80 persen kebutuhan BBM diimpor. Pemerintah Brasil pun menetapkan Program Nasional Alkohol dan memberlakukan pemakaian bahan bakar alternatif. Pemerintah memberikan potongan pajak kepada produsen dan pengguna mobil etanol. Brasil memilih biofuel dari singkong, jarak pagar, dan tebu. Dari ketiganya, yang paling maju adalah alkohol yang disuling dari tebu. Dengan luas 5,44 juta hektare (2004), lahan tebu Brasil terluas di dunia. Separuh dari produksi lahan itu (344 juta metrik ton) disulap jadi etanol. Setiap tahun luas lahan tebu tumbuh 6 persen, didorong oleh peningkatan permintaan dari industri pengolahan gula dan alkohol. Produksi etanol tumbuh 8,9 persen per tahun. Permintaan etanol terus meningkat karena harganya dipatok lebih rendah ketimbang harga bahan bakar fosil yang masih diimpor.

Brasil menjadi produsen etanol paling efisien dan termurah di dunia. Biaya produksinya (sebelum pajak) US$ 17,5 per barel atau sekitar Rp 1.080 per liter. Sedangkan etanol dari jagung di Amerika US$ 44,1 per barel atau sekitar Rp 2.718 per liter. Biodiesel (dari singkong dan jarak pagar) juga berkembang pesat di Brasil. Presiden Brasil Liuz Inacio Lula da Silva menjadikan biodiesel sebagai prioritas utama, dengan meluncurkan A Biodiesel Programme.

2005-2010. Austria dan Australia mengeluarkan kebijakan kemudahan untuk membangun pabrik biofuel sehingga pengusaha pun tertarik untuk membangun industri bahan bakar alternatif. Bahkan, di Swedia, harga bioetanol BE-85 (85 persen etanol dan 15 persen bensin) dipatok lebih murah 25 persen dari bahan bakar konvensional (fosil).

2006-2007. Departemen Koperasi dan UKM memberi bantuan bibit jarak pagar dan alat pengepres biji jarak yang digerakkan dengan tangan. Seluruh bantuan diserahkan ke petani melalui koperasi. Ada 6 koperasi yang telah dapat dibantu yang berada di Kabupaten Sumedang (Jabar), Klaten (Jateng), Wajo (sulsel), Gorontalo, Kediri (Jatim), dan NTB. Bantuan ini belum optimal dimanfaatkan petani. Permasalahannya adalah karena petani mengelola usahatani jarak pagar dalam skala kecil dan harga jual hasil yang sangat rendah. Petani tidak tertarik memanen dan menjual hasilnya jika harga jual hanya berkisar Rp. 1000 per kg.

-Bersama-sama dengan Depperin dan Deptan, Depkop dan UKM pernah memberikan bantuan mesin pengolah jarak yang berukuran cukup besar yakni dengan kapaitas 2 ton per jam di Propinsi Gorontalo.

2006-2009. Tiga komoditas utama yang menjadi fokus pengembangan BBN oleh Deptan adalah jarak pagar, kelapa, dan ubi kayu. Ketiga komoditas ini dipilih untuk dikembangkan karena berkaitan dengan usaha ekonomi rakyat, sedangkan untuk komoditas kelapa sawit dan tebu tidak dijadikan fokus karena terkait dengan usaha perkebunan skala besar dan swasta.

-Khusus untuk tanaman jarak pagar, selain pengembangan bibit dan benih, Deptan juga menyebarkan beberapa mesin pengolah. Bantuan diberikan di lokasi dimana tanaman jarak pagar telah banyak ditanam dan diproduksi misalnya Propinsi NTT dan DIY

-Pemerintah menyediakan dana sekitar Rp 5 triliun untuk pengembangan industri gula dan bioetanal.Wilayah pengembangan akan dilakukan di Banyuwangi (Jawa Timur), Garut (Jawa Barat), Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan. Dari dana Rp 5 triliun tersebut sebesar Rp 1,7 triliun digunakan untuk pembangunan pabrik tebu di Nusa Tenggara Timur yang dikelola oleh PTPN 11, PTPN 10 dan swasta

-Digelar ekspedisi biofuel berupa road show kendaraan berbahan bakar nabati dengan rute Manado, Gorontalo, Palu, Makassar, Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung.

-Pada tahap awal, penggunaan CPO untuk biofuel diarahkan pada lokasi kebun-kebun kelapa sawit di daerah remote dengan pembangunan biodiesel plant skala kecil (kapasitas 20 ton/hari biaya investasi sekitar Rp. 15 milyar) yasng digunakan untuk kebutuhan energi pabrik kelapa sawit (PKS) dan perkebunan kelapa sawit serta kebuthan masyarakat sekitar. Untuk dedicated area ataupun daerah sentra penghasil CPO besar, dapat dikembangkan biodiesel plant skala besar

2006. Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2006 pada 24 Juli 2006.

-Dalam Inpres No. 1 tahun 2006, Menteri Pertanian diperintahkan untuk: (a) mendorong penyediaan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) termasuk benih dan bibitnya; (b) melakukan penyuluhan, (c) memfasilitasi penyediaan benih dan bibit; (d) serta mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca panen tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel). Tanggung jawab utama Deptan dalam hal ini pada sektor hulu terutama penyediaan benih dan bibit serta fasilitasi budidaya.

-Kegiatan yang telah dijalankan oleh Deptan adalah berupa pengembangan bibit unggul di Badan Litbang Pertanian, penyebaran bibit unggul, penyusunan pedoman, penyuluhan dan pendampingan budidaya, serta bantuan berbagai alat pengolahan terutama untuk tanaman jarak pagar. Tanaman sumber bahan bakar nabati yang dikembangkan tergolong sebagai tanaman perkebunan, yaitu jarak pagar, kelapa, dan kelapa sawit, serta tanaman pangan berupa ubi kayu. Selain itu, beberapa tanaman yang dinilai potensial juga mulai diperhatikan meskipun masih pada tahap penelitian misalnya sagu, aren, tebu, jagung, kemiri sunan, dan nyamplung. Deptan juga telah memetakan potensi bahan baku BBN dari berbagai tanaman perkebunan dan pangan Potensi tersebut menyebar dengan karaketristik beragam antar wilayah

-Dengan menggunakan anggaran pemerintah, semenjak tahun 2006 Deperin telah membangun delapan pabrik di sejumlah daerah. Delapan pabrik biodiesel tersebut terdiri dari empat pabrik berskala 6.000 ton per tahun dan empat pabrik berkapasitas 300 ribu ton per tahun. Empat pabrik yang berkapasitas besar diserahkan pengelolaanya kepada BUMD, sedangkan empat pabrik yang lebih kecil diserahkan kepada koperasi untuk memenuhi kebutuhan energi di desa tersebut sehingga menjadi desa mandiri. Empat pabrik dengan skala 300 ton/tahun dibangun di provinsi Banten, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sedangkan empat lainnya yang lebih besar diposisikan di Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat.

-Menurut catatan Departemen Perindustrian (Direktorat Hulu industri Perkebunan), telah ada 15 perusahaan yang tertarik untuk berinvestasi. Total kapasitas produksi diperkirakan akan mencapai 990.420 ton/tahun. Bentuk produksi adalah biodiesel atau biosolar terutama berbasiskan tanaman jarak dan CPO (minyak sawit mentah).

-Pemerintah telah menyediakan skim kredit khusus untuk pengembangan BBN yang disatukan dengan program revitalisasi perkebunan, yakni peraturan menteri Keuangan No. 117/PMK-06/2006 tahun 2006. Skim ini dapat digunakan untuk komoditas sawit, karet dan kakao. Faktanya, fasilitas ini tidak banyak digunakan.

- Peraturan Presiden RI tentang Kebijakan Energi Nasional No. 5 Tahun 2006. Dalam Perpres tersebut antara lain disebutkan bahma penyediaan biofuel pada tahun 2025 minimal 5% dari kebutuhan energi nasional.

- Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006, dimana Menetri Pertanian ditugasi untuk: (1) mendorong penyediaan tanaman bahan bakar nabati (biofuel), (2) melakukan penyuluhan pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel), (3) memfasilitisasi penyediaan benih dan bibit tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel), dan (4) mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca panen tanaman bahan baku bahan bakar nabati.

-Untuk jarak pagar pengembangannya tahun 2006 masih terbatas dengan bahan tanaman yang digunakan berasal dari bahan tanaman yang belum teruji.
Saat ini telah dilepas klon unggul jarak pagar meskipun dalam jumlah terbatas. Untuk tanaman penghasil bioethanol (tebu, ubi kayu dan sorgum), penyiapan bahan bakunya relatif telah siap.

-Penyediaan Bahan Tanaman unggul, yang telah teruji, terdukung dengan rakitan teknologinya serta tingkat adaptabilitasnya. Untuk kelapa sawit telah tersedia 7 sumber benih dengan kemampuan produksi benih sekitar 147 juta benih. Untuk jarak pagar sampai saat ini telah dilepas 3 jenis unggul jarak pagar (untuk tipre iklim basah, sedang dan kering) dan telah didistribusikan ke 14 propinsi untuk dikembangkan sebagai kebun induk jarak pagar sebagai sumber benih unggul.

-Melalui dana Dekonsentrasi tahun 2006, telah dialokasikan dana melalui program Pengembangan Agribisnis Ditjen Perkebunan, untuk pembinaan dan pengembangan perbenihan jarak pagar masing-masing sebesar Rp. 7,8 Milyar. Disamping itu melalui anggaran Badan Litbang Pertanian, juga dialokasikan dana Rp 5 milyar untuk mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan agribisnis jarak pagar

-Deptan melakukan pembuatan demplot  jarak pagar di lima provinsi yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta dan Sulawesi Selatan.

-Telah disusun peta kesesuaian lahan untuk jarak pagar, dimana terdapat sekitar 20 juta ha lahan yang sesuai untuk pengembangan jarak pagar yang tersebar di seluruh Indonesia.

25 Januari 2006.  Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan penting bagi pengembangan bioenergi, yaitu Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati atau Biofuel sebagai Bahan Bakar Lain.

Untuk menjalankan dua keputusan penting tersebut, Presiden SBY kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 10 tahun 2006 tertanggal 24 Juli 2006 tentang pembentukan Tim Nasional (Timnas) Pengembangan BBN untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran.

Juli 2006. Timnas telah merampungkan Blue Print Pengembangan BBN untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran periode 2006 - 2025. Dalam blue print yang disusun, termuat empat hal pokok, yaitu penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi dan infrastruktur di lapangan, tata niaga dan pendanaan. Pengembangan biofuel diarahkan pada tiga produk, yaitu biodiesel, bioetanol dan biooil (Biokerosene atau Pure Plant Oil/PPO untuk pembangkit listrik). Bahan baku yang digunakan akan difokuskan pada jarak pagar (29%), singkong (29%), kelapa sawit (28%) dan tebu (14%).

-Targetnya, pada tahun 2010 dan 2025, pemanfaatan biofuel masing-masing mencapai 2% dan 5% energi mix nasional. Untuk mewujudkan target tersebut, sampai tahun 2010 pemerintah akan mendirikan 11 pabrik biofuel di lahan seluas 6 juta hektar dengan kapasitas produksi 200 ribu barel per hari. Namun, pencapaian target ini sangat rendah.

-Sempat dibangun 6 pabrik biodiesel dan 5 pabrik bioetanol dengan kapasitas total 200 ribu ton per tahun. Akan tetapi, tahun 2008, hanya tinggal 3 yang beroperasi. Bahan baku yang terbatas menjadi alasan utama tutupnya pabrik-pabrik tersebut. Selain itu, insentif berupa subsidi harga yang diharapkan dari pemerintah, tidak pernah keluar. Apalagi, kondisi infrastruktur yang parah seperti listrik dan air, semakin menghancurkan pabrik-pabrik tersebut.

-Telah dilepas 3 komposit benih unggul jarak pagar yang berasal dari kebun perercobaan Pakuwon (untuk wilayah Basah), Asem Bagus (untuk wilayah Kering) dan Mukti Harjo (untuk wilayah Sedang). Benih tersebut telah didistribusikan kepada 14 propinsi untuk dikembangkan sebagai kebun induk masing-masing 10 ha. Kebutuhan benih jarak pagar selain dipenuhi oleh Puslitbangbun, juga diupayakan dengan optimalisasi institusi/lembaga lain yang telah menyiapkan bibit unggul dalam bentuk biji, stek maupun kultur jaringan seperti LRPI, ITB, IPB, BPPT, BATAN dan sebagainya


29 Desember 2006. Laporan Timnas Pengembangan BBN kepada Presiden, menyatakan bahwa investasi dalam dan luar negeri untuk pengembangan bahan bakar nabati (BBN) mencapai 9-10 miliar dolar AS yang akan ditandatangani pada 9 Januari 2007. Disebutkan pula bahwa akan ada tambahan dana perbankan sebesar Rp 34 triliun.

2007-2009. Direktorat Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Depdagri, menjalankan program Desa Mandiri Energi (DME). Sebelum kegiatan DME tahun-tahun sebelumnya pernah dijalankan pengembangan penggunaan energi matahari, namun dalam skala yang sangat terbatas dan dalam format sebagai pilot project. Selama 3 tahun ini, telah diimplementasikan pelaksanaan DME sejumlah 14 lokasi. Pemilihan lokasi DME dengan mempertimbangkan bahwa di wilayah tersebut banyak  terdapat lahan kritis, dan merupakan wilayah yang jauh dari pusat ekonomi (remote area). Sesuai dengan kesepakatan, lokasi DME tidak boleh satu tempat dengan lokasi DME yang dikelola oleh departemen lain, namun hanya dimungkinkan maksimal bersebelahan desa. Dari sisi organisasi dan manajemen untuk mengimplementasikan DME, telah dibentuk Tim pengembangan DME di tingkat propinsi sampai kabupaten. Sedangkan di tingkat desa, kepala desa merupakan orang yang diserahi tanggung jawab dalam pelaksanaannya.

-Tanaman jarak pagar dipilih sebagai bahan baku BBN dengan pertimbangan karena mudah dibudidayakan, dapat utmbuh di lahan-lahan kritis, dan masyarakat sudah mengenal cukup lama. Pengembangan  ditekankan tidak untuk profit oriented, namun lebih pada upaya untuk membantu masyarakat dalam pemenuhan bahan bakar di rumah tangga dan pelestarian lingkungan. Untuk setiap lokasi DME, paket bantuan yang diberikan sama untuk setiap unit lokasi yang terdiri dari 8 item yaitu: Mesin press biji jarak, mesin pengaduk sabun colek, mesin penyaring minyak, mesin processing briket, pengemas kompos, kompor minyak jarak pagar, kompor briket jarak pagar, dan generator set.

2007. Deperin menjalankan kegiatan berupa: (1) studi kajian pengembangan BBN; (2) Pembangunan pabrik biodiesel dengan kapasitas 1 ton per hari atau 300 ton per tahun di empat lokasi yaitu di Sumbar, Banten, Jateng dan NTT; dan (3) pengadaan peralatan pres biji jarak dan penyaringan serta mesin pemurnian minyak jarak kasar (CJO) menjadi minyak jarak murni (PPO). Pengadaan alat pres biji jarak sebanyak 47 unit dengan kapasitas 100 kg per jam, sedangkan mesin pemurnian berkapasitas 250 liter per jam PPO.

-Pemerintah memberi bantuan pabrik cocobiodiesel sebanyak 7 unit yang disebar pada 7 lokasi, yaitu di propinsi Riau, Banten, Kalbar, Jatim, Sulbar, Sulut, dan Malut.

Januari 2007. Bertempat di kantor Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral telah dilakukan 60 kesepakatan bersama antar berbagai pihak. Kesepakatan itu antara lain 27 kerjasama antar Pemda Kabupaten dengan sejumlah LSM seperti di Kabupaten Pacitan, Merauke dan Lampung Selatan. Kemudian 25 kesepakatan dengan BUMN yang bertugas mendukung BBN, 6 kesepakatan dengan lembaga peneletian dan Perguruan Tinggi, seperti IPB dan ITB. Serta 14 kesepakatan penanaman modal asing dan 26 kesepakatan penanaman modal dalam negeri. Hasilnya?

9 Januari 2007. Penandatanganan MoU  untuk pengembangan BBN oleh berbagai stakeholder, dengan nilai investasi mendekati Rp 200 triliun. Akan tetapi, realisasinya ga sukses. Beberapa perusahaan sudah merealisasikannya dengan membangun pabrik biofuel seperti PT Eterindo dan PT Lapinum dengan total kapasitas 160 ribu ton bioodiesel per tahun,  begitu juga dengan PT Molindo Raya dengan kapasitas 10 ribu ton bioetanol per tahun. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, ternyata beberapa pabrik yang direncanakan tidak bisa beroperasi dengan optimal karena berbagai alasan.

-Presiden SBY menegaskan bahwa program pengembangan bahan bakar nabati (BBN) merupakan program nasional yang sudah dirancang dengan matang dan memperhitungkan kemampuan yang dimiliki negara. "Saya tidaklah bermimpi dengan program BBN dan ini bukan wacana saja. Program ini bersifat realistik dengan memperhitungkan segala kemampuan dan potensi yang kita miliki," kata presiden dalam pidatonya kepada sejumlah pemangku kepentingan pengembangan BBN di Istana Negara Jakarta.

Februari 2007. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan pencanangan Desa Mandiri Energi (DME) di Desa Tanjung Harjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Ia menyatakan bahwa pemerintah menjamin produksi jarak pagar hasil budidaya masyarakat dan kelompok tani akan diserap industri. "Berapapun hasil produksi biji jarak dan minyak jarak akan terserap, sudah ada pasarnya," kata Presiden.

-Presiden SBY memimpin rapat terbatas yang dihadiri menteri-menteri terkait mengenai pengembangan Desa Mandiri Energi. Di Indonesia, terdapat sekitar 70 ribu desa, dimana 45 persen diantaranya adalah desa tertinggal. Desa Mandiri Energi adalah desa yang dapat menyediakan energi dari desa itu sendiri, dapat membuka lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan serta memberikan kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif. Ada dua tipe Desa Mandiri Energi, pertama adalah Desa Mandiri Energi yang dikembangkan dengan non BBM seperti desa yang menggunakan mikrohidro, tenaga surya, dan biogas. Yang kedua adalah Desa Mandiri Energi yang menggunakan bahan bakar nabati atau bioufuel.

-Total Desa Mandiri Energi yang terletak di 81 kabupaten berjumlah sekitar 100 desa yang menggunakan bio-fuel, dan 40 desa menggunakan non BBM. Presiden meminta untuk meningkatkan jumlah dari 150 Desa Mandiri Energi ditingkatkan menjadi 200 Desa Mandiri Energi. Bahkan pada akhir kabinet Presiden ingin meningkatkan lagi menjadi 2000 Desa Mandiri Energi, masing-masing 1000 desa yang menggunakan bio-fuel dan non BBM.

Maret 2007. Dilakukan seminar oleh FACT (Fuels from Agriculture in Communal Technology) di Universitas Wageningen (Belanda). FACT kemudian mengeluarkan Position Paper on Jatropha Curcas: State of the Art, Small and Large Scale Project Development, dimana disebutkan bahwa belum ada data tentang yield jarakpagar yang terdokumentasi dengan jelas. Data dari Nikaragua, pada lahan yang bagus, dihasilkan 4,5 ton pada tahun ke 4. Sementara, di Indonesia katanya dapat dihasilkan hingga 5 ton/ha/th setelah tahun pertama penanaman. Intinya, yield hingga saat ini belum dapat diprediksi dengan akurasi yang tinggi.

-Timbul masalah, dimana mulai muncul keprihatinan bahwa sebenarnya secara keseluruhan proses produksi biofuel tidak selalu ramah lingkungan. PBB telah meminta agar dilakukan moratorium selama 5 tahun untuk program biodiesel, untuk memantau dampak buruk produksi bahan bakar nabati ini.

Mei 2007. Pertamina mengancam akan hentikan Program Bahan Bakar Nabati, jika hingga akhir 2007 belum ada kepastian subsidinya. Pertamina mengaku merugi Rp 71 per liter untuk penjualan biosolar dan Rp 65 per liter untuk biopremium. Sejak Mei 2006 saat program biofuel diluncurkan sampai Maret 2007, Pertamina harus menanggung kerugian Rp16,9 miliar. Sebagai upaya mengurangi kerugian, Pertamina telah menurunkan kandungan BBN di biodiesel dari lima persen menjadi 2,5 persen sejak Februari 2007 dan bioetanol dari lima persen ke tiga persen mulai 1 April 2007 karena mengalami kerugian.
-Pemerintah juga telah membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen atas kandungan nabati dalam biofuel.


2008. Deptan menyebarkan sebanyak 8 unit lagi cocobiodiesel yang berlokasi di propinsi NAD, Bengkulu, Kepri, Lampung, Kaltim, Sulut, Malut, dan Papua Barat. Pabrik BBN berbahan baku kelapa atau cocodiesel ini masing-masing senilai Rp3 miliar per unit dengan kapasitas olah 500-1000 butir per hari. Pabrik ditempatkan di daerah yang produksi kelapanya lebih besar, serta diprioritaskan untuk daerah-daerah terpencil yang harga bahan bakar minyak (BBM) sangat tinggi.

-Namun, efektivitas bantuan ini rendah, karena tidak ada mesin bantuan yang dioperasionalkan secara optimal, misalnya di Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau. Mesin bantuan tidak dimanfaatkan sama sekali, dan sebagian besar komponen mesin telah hilang dicuri. Lokasi pabrik yang agak di tengah hutan, jauh dari pemukiman, mengundang pencurian.

-Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 sebagai payung hukum mandatory pemanfaatan BBN yang meliputi biodiesel, bioethanol dan biokerosene. Dalam aturan ini, para pengguna langsung dan pemegang ijin Usaha Niaga BBM wajib memanfaatkan Bahan Bakar Nabati (BBN). Permen ini mengatur kewajiban (mandatory) pemanfaatan BBN di sektor trasnportasi, industri dan pembangkit listrik secara bertahap sejak 1 Januari

2009. Perincian mandatory adalah sebagai berikut, pemanfaatan biodiesel minimal sebesar 20% pada tahun 2025, bioethanol minimal 15% pada tahun 2025 dan minyak nabati murni minimal sebesar 10% pada tahun 2025.

-Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang energi baru dan terbarukan, yang ditargetkan tuntas Agustus 2008. Berbeda dengan rancangan permen, mandatori BBN yang akan diterapkan dalam PP itu sekurang-kurangnya 5%, lebih besar dari ketentuan permen.

-Harga CPO jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga minyak mentah. Akibatnya, BBN berbahan dasar CPO tidak kompetitif. -Sebenarnya, harga keekonomian bioetanol sudah setara dengan harga premium bersubsidi.

-Dalam pertemuan D-8 di Kuala Lumpur, Malaysia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan fenomena peralihan penggunaan lahan subur untuk bahan makanan menjadi bahan baku BBN, seperti yang terjadi di negara maju, bukan ide yang baik. “Ini akan memperparah krisis pangan dunia”. Pemerintah semestinya memberikan perhatian lebih pada pengembangan BBN dari komoditas nonpangan, misalnya jarak pagar.

Januari 2008. Industri Bahan Bakar Nabati (BBN) terancam kritis karena kebijakan yang tidak jelas. Ketua Asosiasi Produsen BBN, menilai pemerintah kurang serius mengembangkan pemanfaatan BBN. "Kondisi terkini sangat buruk", karena kebijakan dan regulasi di Indonesia belum mendukung pelaksanaan pengembangan dan pemanfaatan BBN. Di Brazil dan Filipina ada regulasi dan kebijakan politik pemerintah yang mewajibkan industri menggunakan BBN, sehingga BBN berkembang pesat baik di hulu dan hilir.

-Kapasitas produksi BBN hanya 1,5 juta ton setahun.

21 Juli 2008. Nasib Timnas BBN. Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati sudah menyelesaikan masa tugasnya setelah dua tahun terakhir. Pemerintah menilai kinerja tim sudah cukup memuaskan terutama membentuk blue print, roadmap pengembangan BBN di Indonesia. Pemerintah masih mempertimbangkan kelanjutan badan khusus sebagai kelanjutan dari tim BBN.

Agustus 2008. Dilaporkan bahwa sebuah Kelompok Tani di Kecamatan Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat, telah mengirim 318,3 ton jarak yang dikirim ke: Solo: 74 ton, Banyuwangi: 51 ton, Pati: 57,5 ton, Sumbawa Besar: 17,8 ton dan dari Jereweh dan Brang Rea dikirim ke  Semarang 118 ton.

September 2008. Mulai dari bulan ini, industri wajib memaki BBN sebesar 2,5%. mulai September. Pedoman yang digunakan pemerintah mengacu kepada MOPS (Mid Oil Platts of Singapore).

2009. Deperin memberi bantuan peralatan bioethanol di empat lokasi yaitu Jateng, Jabar, NAD, dan Papua. Dari pemantauan sepintas di lapangan dieroleh informasi bahwa salah satu permsalahan mendasar pengembangan BBN selama ini, terutama pengembangan jarak pagar, adalah kekurangtepatan pemilihan lokasi. Harga minyak BBN yang dihasilkan tidak kompetitif dengan BBM fosil. Untuk itu, ke depan Deperin akan lebih selektif memilih lokasi, dengan mengutamakan pada wilayah yang tergolong remote area. Beberapa kabupaten sedang dijajaki untuk berkerjasama, misalnya beberapa wilayah kabupaten yang banyak pegunungan dan daerah terpencil di Papua.



Awal 2009. Pertemuan evaluasi nasional BBN di Bandung. Terungkap beberapa keberhasilan pengembangan jarak pagar, salah satunya adalah pengembangan oleh seorang pengusaha di Bekasi. Secara umum juga diakui bahwa Pemda belum memberi respon yang memadai dalam kegiatan BBN maupun DME. Pemda masih memiliki persepsi bahwa kegiatan ini masih merupakan program pusat, dan masyarakat juga belum pada tahap membutuhkan kegiatan ini secara riel.




2010-2011. Pada periode ini, semestinya sesuai dengan target Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati telah diproduksi bioethanol menjadi 2,5 juta kilo liter. Faktanya?



2010. Program BBN di Indonesia koordinasi tidak jalan. Meskipun sudah ada otoritas tertinggi, implementasi di lapangan mandek. Tak ada yang meragukan bahwa Indonesia punya potensi energi terbarukan yang luar biasa: panas bumi, energi laut, matahari, biomassa, dan lain-lain. Peranan Menko Perekonomian terkait pengembangan BBN, dalam konteks sebagai koordinasi belaka. Di bagian ini ada sub bagian terkait program pengembangan BBN nasional, yaitu tim yang menangani program pengembangan BBN dan satu lagi Tim Koordinasi pelaksanaan DME.

 -Ada beberapa kekeliruan lokasi dalam pengembangan BBN selama ini, dimana harga minyak yang dihasilkan tidak kompetetif dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Semestinya pengembangan baru memilih lokasi-lokasi yang tergolong remote area dimana harga solar dan bensin di wilayah tersebut di atas Rp. 20.000. Wilayah-wialyah seperti ini mudah ditemukan misalnya di pulau-pulau terpencil dan di pegunungan yang terisolir.

2020. Adalah tahun target dimana Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, khususnya CO, sebanyak 26 persen.

********





Selasa, 17 April 2012

Sejarah Hama dan Pestisida Indonesia

 
Disusun oleh Ir. Syahyuti, MSi. (Peneliti Sosiologi Pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor).
Materi ini sangat ringkas, masih dangkal, dan belum lengkap. Jika Bapa, Ibu, dan Rekan mau membantu untuk melengkapinya, silahkan isi pada ruang comment di bawah.

Sampai 1900: Umumnya kegiatan pertanian masih bersifat alami, hanya diusahakan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri serta belum tersentuh ilmu pengetahuan dan teknologi. Petani menggunakan caranya sendiri yang diperoleh secara turun temurun, termasuk dalam pengendalian hama. Di sebagian wilayah, ada yang menggunakan metode ritual tertentu untuk mengusir hama, misalnya tikus.

1830-1870: Kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel). Kegiatan perlindungan tanaman di Indonesia telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda.

1905: Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan Hindia Belanda dibentuk pada 1 Januari 1905 dengan Direktur pertamanya Dr. M. Treub. Tugas Departemen Pertanian adalah memperbaiki keadaan pertanian, peternakan dan perikanan tradisional yang kemudian dikenal sebagai pertanian rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jaringan irigasi dan infrastruktur lainnya guna meningkatkan produksi padi, palawija, dan sayuran. Adanya kebijakan Departemen Pertanian menyebabkan produksi tanaman pangan meningkat.

1946-1947. Terjadi kekeringan panjang yang menurunkan produksi beras sehingga Indonesia harus melakukan impor beras.

1950-1960. Penggunaan pestisida sintetik di seluruh dunia termasuk di Indonesia semakin meningkat dan dominan pada era ini.

1960-1970. Merupakan era keemasan pestisida kimia. Permintaan dan penggunaan pestisida pertanian meningkat sangat cepat sehingga menumbuhkan industri-industri raksasa multinasional yang menguasai pasar pestisida dunia.

1962. Konsep Panca Usaha Tani lahir pada tahun 1962. Program ini dinilai cukup sukses, terbukti hasil padi dapat ditingkatkan dua kali lipat. Kesuksesan program Panca Usaha Tani disebarluaskan dalam program Demonstrasi Massal pada MT 1964/1967. Program-program intensifikasi seperti Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus) melibatkan jutaan petani dan jutaan hektar sawah.

1973. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973. Untuk melindungi keselamatan manusia dan sumber-sumber kekayaan alam khususnya kekayaan alam hayati, dan supaya pestisida dapat digunakan efektif, maka peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973. Dalam peraturan ini antara lain ditentukan bahwa: tiap pestisida harus didaftarkan kepada Menteri Pertanian melalui Komisi Pestisida untuk dimintakan izin penggunaannya. Hanya pestisida yang penggunaannya terdaftar dan atau diizinkan oleh Menteri Pertanian boleh disimpan, diedarkan dan digunakan. Lalu, pestisida yang penggunaannya terdaftar dan atau diizinkan oleh Menteri Pertanian hanya boleh disimpan, diedarkan dan digunakan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin pestisida itu, serta tiap pestisida harus diberi label dalam bahasa Indonesia yang berisi keterangan-keterangan yang dimaksud dalam surat Keputusan Menteri Pertanian No. 429/ Kpts/Mm/1/1973 dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam pendaftaran dan izin masing-masing pestisida.

-Keluarnya surat Keputusan Menteri Pertanian No. 429/ Kpts/Mm/1/1973

1977. Sejak tahun 1977, kelompok pakar perlindungan tanaman mengusulkan agar Pemerintah menerapkan PHT untuk mengendalikan hama-hama tanaman pangan.

1978-1979. Terjadi letusan hama wereng coklat padi pada ratusan ribu hektar sawah.

1978. Keluarnya satu buku penting tentang pestisida yang berjudul “The Pesticide Conspiracy” yang ditulis oleh Dr. Robert van den Bosch.

1980-1983. Proyek Perintis PHT Nasional dilaksanakan di Jawa, Sumatera dan Sulawesi Selatan. Antara tahun 1980 dan 1983, Program Nasional PHT menerima bantuan teknis dari kelompok khusus IRRI dan proyek penelitian dari Jepang. ICP mulai memperkuat Program Nasional PHT Indonesia pada tahun 1980 dengan mengingkatkan paket pelatihan dan teknologi dengan pengalaman yang diperoleh dari proyeksi Program Nasional Filipina. Direktorat Perlidungan Tanaman mengatur pelaksanaan demonstrasi PHT dengan pendekatan yang sama dengan pendekatan pada program Bimas (LAKU).

1980. Pemerintah mulai melaksanakan Proyek Rintisan Penerapan PHT pada tanaman padi di 6 propinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara.

-Dilakukan upaya untuk mengatasi masalah hama dan gulma yang dilematis. Betapa tidak, pestisida yang dianggap menyelesaikan masalah pertanian khususnya dalam pembasmian hama, ternyata menimbulkan dampak. Senyawa-senyawa kimia yang tertinggal, senyawa sisa yang dimanfaatkan tanaman, namun tertinggal dalam tanah. Senyawa yang tertinggal inilah yang mengganggu dan merusak aktifitas tanah. Tanah akan mengalami defisiensi unsur hara alami karena adanya reaksi antar senyawa sisa pestisida dengan hara alami. Selain mempengaruhi keadaan tanah, ternyata pestisida sendiri secara tidak langsung memberikan peluang terputusnya sistem ekologis areal persawahan dan perkebunan tanaman, yang akhirnya membuat sistem ekologis baru, dimana hewan predator menghilang, hama menjadi kebal setelah beberapa generasi beradaptasi dengan pestisida, dan kekalahan terbesar bagi petani adalah ketika tanah menjadi ketergantungan terhadap pestisida.
1984. ICP dan Direktorat Perlindungan Tanaman melakukan survei pada lahan-lahan demonstrasi PHT dan melihat bahwa populasi hama di beberapa wilayah meningkat pesat.

-Indonesia berhasil mencapai sasaran swasembada beras naional.

1985-1986. Kembali  terjadi letusan lokal wereng coklat padi di pulau Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian insektisida padi yang direkomendasi mendorong terjadinya resurjensi wereng coklat. Kembali terjadi ledakan populasi wereng coklat dan merusak lahan padi seluas kira-kira 275.000 hektar. Ledakan serupa ini terjadi pula di Malaysia dan Thailand antara tahun 1977 dan 1990. Hama wereng coklat merupakan hama padi “baru”. Sebelum tahun 1970 hama ini belum pernah tercatat sebagai hama padi penting Indonesia. Akibat letusan wereng coklat tersebut pencapaian sasaran produksi beras nasional terhambat. Namun, ironisnya, sampai tahun 1979, banyak pakar belum menyadari bahwa kemunculan dan letusan wereng coklat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari penggunaan pestisida kimia.

1986. Pemerintah mengumumkan Kebijakan PHT Nasional Indonesia pada tanggal 5 November 1986, dengan munculnya Instruksi Presiden no. 3 tahun 1986 (INPRES 3/86) tentang Pengendalian Hama Wereng Cokelat Padi. Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan untuk melakukan paling sedikit 4 butir kebijakan, yaitu: (1) Menerapkan PHT untuk pengendalian hama wereng batang cokelat dan hama-hama padi lainnya, (2) Melarang penggunaan 57 nama dagang formulasi (merek) insektisida pada padi, (3)  Melaksanakan koordinasi untuk peningkatan pengendalian wereng cokelat, dan (4) Melakukan pelatihan petani dan petugas tentang PHT.

- Serangan hama wereng besar terjadi tahun 1986, lalu terjadi lagi tahun 1998 dan tahun 2010.

1989. Keluarnya kebijakan pemerintah tentang pencabutan subsidi pestisida pada tahun 1989. Langkah-langkah kebijakan tersebut memperoleh penghargaan dari banyak negara dan lembaga internasional. Sebagai tindaklanjut dari INPRES 3/86, dibentuklah kelompok kerja menteri antarsektor untuk menerapkan kebijakan PHT. Tanggungjawab penerapan PHT dipindahkan dari Departemen Pertanian ke BAPPENAS. Prioritas yang diutamakan adalah mengubah perilaku petani, administrator dan petugas pertanian dengan meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan mereka. Kegiatan awal yang dilakukan adalah menyelenggarakan rekrutmen dan kursus kilat PHT untuk memilih dan melatih para calon pemandu, pengamat hama, petugas penyuluh lapangan (PPL) dan petani.

-Bank Dunia menyetujui pinjaman untuk proyek Penyuluhan Nasional (USD 4,2 juta untuk Proyek Penyuluhan Nasional tahap II) untuk pelatihan PHT. Integrated Crop Protection (ICP) FAO membantu Direktorat Perlindungan Tanaman Departemen Pertanian untuk memperoleh data lapangan PHT dan memperluas kisaran latihan kepada para spesialis. Varietas tahan wereng (VUTW, misalnya IR36 dan IR64) dipromosikan dengan lebih gencar, dan jaringan Pengamatan, Peramalan dan Peringatan Dini diperluas agar dapat dengan segera mengatasi permasalahan hama (wereng) di lapangan.

1990. Sejak awal tahun 90-an, pemerintah melalui undang-undang meminta kepada para petani untuk tidak lagi mengunakan pestisida kimia. Karena dirasa kontaminasinya berpengaruh besar bagi ekosistem alam. Hingga saat ini petani diharapkan untuk tidak menggunakan pestisida atau bahan kimiawi baik untuk memberantas hama, atau meningkatkan produktivitas tanaman. Sebagai alternatif pemerintah telah mengeluarkan pestisida organik, dan cara-cara pemberantasan dengan lebih memperhatikan ekosistem lingkungan.

1992. Dalam pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) berdasarkan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) UU No. 12 Th. 1992. Konsep ini mengandung lima yaitu: (1) Membudidayakan tanaman sehat, (2) memanfaatkan sebesar-besarnya musuh alami, (3) menggunakan varietas tahan, (4) menggunakan pengendalian fisik/mekanik dan (5) dan penggunaan pestisida bilamana perlu.

-Keluarnya UU. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU tersebut menyatakan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu.

1995. Keluarnya PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu yang pelaksanaannya menjadi tanggungjawab petani dengan bimbingan Pemerintah. Dalam upaya mendukung penyelenggaraan PHT tersebut, pemerintah menyelenggarakan pelatihan Sekolah Lapang PHT (SL-PHT) bagi Petugas dan Petani.
-Di dalam PP No. 6/1995 Pasal 10 dan 11: Tindakan pengendalian dilakukan baik dalam rangka pencegahan maupun penanggulangan OPT yang dilakukan dengan cara fisik, mekanik, budidaya, biologi, genetik, kimiawi, dan cara lain sesuai perkembangan teknologi. Pengendalian OPT dilakukan oleh: Perorangan atau badan hukum yang memiliki dan/atau menguasai tanaman,  Kelompok dalam masyarakat yang dibentuk untuk mengendalikan OPT

-Berdasarkan UU 12 tahun 1992, tahun 1995 Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No.6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Dengan dua peraturan perundang-undangan tersebut, kedudukan PHT sebagai kebijakan nasional perlindungan tanaman menjadi sangat kuat

-Keluarnya PP No 6 tahun 1995 Tentang Perlindungan Tanaman

1996.  Komisi Pestisida menyatakan bahwa mereka kekurangan dana dan tenaga ahli. Komisi Pestisida masih kesulitan dana dan tenaga ahli dalam menyiapkan perangkat laboratorium penguji sebagai realisas keputusan BMR Menkes dan Mentan.   
-Keluar SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No. 881/Menkes/SKB/VIII/1996 dan No.711/Kpts/Tp.270/8/96 tentang Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida hasil pertanian, tertanggal 22 Agustus 1996.   Keputusan tersebut dikeluarkan dengan maksud membatasi perdagangan buah tertentu, baik produksi lokal maupun impor, menurut kandungan residu pestisidanya.

1997. Pada Kepmentan No. 887/Kts/OT.210/9/97, Pengendalian OPT harus memenuhi aspek ekologi, aspek ekonomis, aspek sosial dan aspek teknis serta pengendalian pencegahan dan penanggulangan OPT pra tanam, pertumbuhan pasca panen.

2000. UU No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
-Sesuai dengan peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 menjelaskan bahwa pemerintah pusat mempunyai kewenangan dalam melaksanakan pengaturan dan pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pemusnahan pestisida.

2004. UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan
2007. Terkait dengan PP No. 38 tahun 2007, tentang Pembagian urusan pemerintah antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, bahwa pemerintah (pusat) bertanggung jawab dalam hal penetapan kebijakan perlindungan tanaman, pengaturan dan penetapan norma, standar teknis pengendalian OPT dan mitigasi dampak fenomena iklim, penetapan dan penanggulangan wabah OPT skala nasional dan penanganan gangguan usaha perkebunan nasional. Sedangkan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan perlindungan di wilayahnya dalam hal pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim.

-Produsen obat-obatan pembasmi hama dan penyakit tanaman yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat Pestisida Nasional (HMPN), menyatakan akan menaikkan harga pestisida pada 2008 menyusul kenaikan harga minyak mentah dunia.

- Indonesia masih mengimpor 90 persen bahan aktif pestisida yang merupakan produk derifativ minyak bumi.

2008. Hingga kwartal I tahun 2008, tercatat 1702 formulasi yang telah terdaftar dan diizinkan penggunaannya. Sedangkan bahan aktif yang terdaftar telah mencapai 353 jenis.
2012. Himpunan Masyarakat Pestisida Nasiona (HMPN) mengklaim menguasai pasar pestisida di tanah air 40% atau Rp 2,24 triliun dari total pangsa pasar Rp5,6 triliun. HMPN mengatakan pihaknya menargetkan dapat menggeser pasar pestisida multinasional atau merek asing yang selama ini masih mendominasi pasar lokal

- Penggunaan pestisida di Indonesia semestinya memenuhi standar mutu yang ditetapkan Undang-Undang Tentang Sistem Budidaya Tanaman No. 12 Tahun 1992. Namun, di lapangan, marak beredar pestisida-pestisida yang kurang aman bagi kesehatan ketika diaplikasikan. Pada pasal 38 ayat 1 disebutkan bahwa, “Pestisida yang akan diedarkan di dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup, serta diberi label.” Untuk menjamin kualitas dan mutu pestisida, pestisida tersebut harus terdaftar di Komisi Pestisida dan dilakukan pengujian mutu pestisida agar aman digunakan oleh masyarakat Indonesia khususnya petani.

-Sesuai pasal 38 ayat 2 disebutkan bahwa,” Pemerintah menetapkan standar mutu pestisida sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan jenis pestisida yang boleh diimpor.” Dalam hal ini, pestisida-pestisida yang ingin diimpor harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Sebab, kandungan pestisida yang ingin dimpor kemungkinan besar dapat membahayakan lingkungan, manusia, dan tanaman yang dibudidayakan di Indonesia. Untuk itu, pemerintah berupaya menetapkan pestisida-pestisida yang ingin diimpor konsumen di Indonesia. Hal ini terkait dengan keamanan penggunaan pestisida bagi lingkungan.

-Menurut data Departemen Perindustrian dan Perdagangan diketahui bahwa setiap tahunnya jumlah perusahaan pemegang pendaftaran pestisida terus bertambah. Saat ini, tak kurang dari 511 formulasi pestisida yang telah terdaftar dan diizinkan beredar untuk pertanian dan kehutanan. Umumnya berbahan bahan aktif senyawa kimia sintetik. Dari angka tadi, lima puluh persennya dipakai untuk mengendalikan serangga dan 24 persen membunuh jamur. Sisanya sebagai pengendali gulma.
******