Jumlah pe-longok :

Senin, 22 September 2014

Kedaulatan pangan NEGARA apa kedaulatan PETANI?

Konsep “KEDAULATAN PANGAN” sekarang lagi trend, sejak Tim Jokowi-JK mengusungnya sebagai sebuah semangat. Bisa juga sebagai strategi ya, atau menjadi tujuan? Konsep kedaulatan pangan muncul pertama kali tahun 1996, atau lebih dari 20 tahun setelah konsep katahanan pangan digulirkan. Kedaulatan pangan semula merupakan kerangka kebijakan dan wacana untuk mengangkat kesejahteraan petani kecil. Konsep ini lalu berkembang cepat dan telah diadopsi ribuan organisasi petani, masyarakat lokal, LSM, lembaga kemasyarakatan, bahkan mulai diadopsi lembaga-lembaga di bawah PBB, termasuk oleh FAO. Namun demikian, di Indonesia khususnya, konsep ini tidak mudah diterima terutama dari kalangan pemerintahan.

Alasan dari mereka yang anti terhadap konsep ini adalah karena kedaulatan pangan merupakan konsep politik. Hal ini tampaknya mengambil pendapat Windfuhr dan Jonsen (2005) yang menyatakan ”food sovereignty is essentially a political concept”. Demikian pula dengan Lee (2007) yang menyebutkan bahwa kedaulatan pangan sebenarnya agak terkait dengan politik formal.
Konsep kedaulatan pangan bersumber dari gerakan petani Via Campesina. Pemicunya adalah sering terjadinya konflik dalam penggunaan sumberdaya genetik tanaman, sehingga menimbulkan ketegangan antara pendekatan ketahanan pangan dengan kedaulatan pangan. Gagasan kedaulatan pangan yang muncul tahun 1996 merupakan respon terhadap sikap yang inklusif pada pertanian dalam sistem perdagangan dunia melalui AoA.
Konsep kedaulatan pangan merupakan hasil dari gerakan melalui pertemuan petani yang dibentuk tahun 1992 pada Kongres The National Union of Farmers and Livestock Owners (UNAG). Kegiatan ini dikoordinasikan oleh anggota yang tersebar dari Afrika, Amerika Utara, Tengah dan Selatan; Asia, Karibia dan Eropa. Anggota kelompok Via Campesina mencakup Family Farmers’ Association (UK), Confederation Paysanne (France), Bharatiya Kisan Union (India), Landless Workers' Movement (Brazil), National Family Farm Coalition (USA) dan para petani tak bertanah Landless Peoples' Movement (South Africa). Pada April 1996, berlangsung pertemuan kedua yang dilaksanakan di Tlaxcala, Mexico. Dari pertemuan ini berhasil dirumuskan visi yakni ‘Food Sovereignty: A Future without Hunger’, serta batasan, yaitu “Food sovereignty is the right of each nation to maintain and develop its own capacity to produce its basic foods respecting cultural and productive diversity. We have the right to produce our own food in our own territory. Food sovereignty is a precondition to genuine food security.” (Via Campesina, 2006).
Semenjak kegitan ini, berbagai publikasi, pernyataan dan deklarasi telah disampaikan dalam konteks kerangka kerja kedaulatan pangan. Pada tahun 2002 berhasil dibentuk sebuah komite yaitu International Planning Committee (IPC) untuk kedaulatan pangan.
IPC merumuskan bahwa kedaulatan pangan memiliki empat area prioritas atau pilar, yaitu: (1) hak terhadap pangan; (2) akses terhadap sumber-sumber daya produktif; (3) Pengarusutamaan produksi yang ramah lingkungan (agroecological production); serta (4) perdagangan dan pasar lokal (IPC, 2006). Hak terhadap pangan berkaitan dengan pengembangan pendekatan hak asasi manusia pada individu, serta pangan dan gizi yang diterima secara kultural. Sedangkan akses kepada sumber daya produktif berkaitan dengan akses kepada lahan, air, dan sumber genetik.
Jadi, Bapa Ibu, sepintas jelas bahwa kedaulatan pangan aslinya adalah pada level RUMAH TANGGA PETANI, bukan pada level NEGARA. Kalo yang berkembang saat ini, sebagaimana Tim Jokowi-JK memahaminya adalah pada level negara.

Oke, ini tampaknya memang baik-baik saja, padahal tidak. Jika kedaulatan pangan dipahami sebagai “kedaulatan negara” terhadap pangan, ini more or less sama maknanya dengan ketahanan pangan yang ideal, yaitu SWASEMBADA. Satu masalah kecil adalah: jika ini yang dipakai, artinya kedaulatan petani atas sumber-sumber daya pertanian tetap TIDAK DIJAMIN. Artinya, petani tidak berdaulat atas benih, tidak punya lahan sendiri, tidak akses pupuk, tidak bisa bikin pupuk sendiri, masih bergantung tukang pestisida, ga berhak kepada hasil panen karena kudu dibagi sama si pemilik tanah, dst.


UU No 18 - 2012 tentang PANGAN Pasal 1 menyebutkan “Kedaulatan Pangan” adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Disini, kedaulatan berlaku di dua level sekaligus: level negara dan level rumah tangga petani. Jadi Bro, jangan suka direduksi melulu ya. Udah bagus tu UU nya, jangan dikorting wae. Sip. ******

Jumat, 19 September 2014

Sisi-Sisi Keunggulan PENYULUH SWADAYA

(dimuat dalam Tabloid SINAR TANI, Kamis  25 Juni 2015)

Pelibatan petani sebagai subjek dalam kegiatan penyuluhan telah berlangsung cukup lama dengan berbagai pendekatan. Di Indonesia, hal ini dimulai dari pelibatan kontak tani pada era Bimas sampai Supra Insus, lalu pendekatan farmer to farmer extension melalui P4S, pengangkatan penyuluh swakarsa tahun 2004, dan terakhir adalah pengangkatan penyuluh pertanian swadaya secara besar-besaran mulai tahun 2008. Keberadaan penyuluh swadaya diakui secara resmi semenjak diundangkannya UU No. 16 tahun 2006.

Penelitian yang saya jalankan dengan Tim tahun 2013 mendapatkan informasi betapa dukungan yang tepat harus diberikan kepada penyuluh swadaya sehingga bisa berperan lebih optimal. Ia tidak cukup hanya diposisikan sebagai “pembantu” penyuluh pemerintah. Ia justeru adalah sosok penyuluh pertanian yang lebih strategis di masa mendatang.

Sesuai dengan Permentan No. 72 tahun 2011 tentang Pedoman Formasi Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian, kebutuhan penyuluh pertanian seluruh Indonesia adalah 71.479 orang. Dari jumlah tersebut, yang baru tersedia adalah 27.961 orang atau hanya 39,4 persen. Kondisi inilah yang membuat pemerintah mengangkat  para penyuluh PPL- THL semenjak tahun 2007. Keberadaan penyuluh swadaya akan sangat membantu kelangkaan penyuluh ini.

Penyuluh swadaya lahir sebagai amanat UU N0. 16 tahun 2006, bertolak dari bab Asas, Tujuan, dan Fungsi (Pasal 2) terutama pada azas demokrasi, partisipatif, dan kemitraan. Ini juga dikuatkan oleh point b pasal 6 yaitu: “Penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra Pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkat administrasi pemerintahan.

Peran Strategis Penyuluh Swadaya

Beberapa sisi keunggulan penyuluh swadaya dibanding dengan penyuluh pemerintah dan penyuluh swasta adalah: pertama, lebih mampu menciptakan penyuluhan yang partisipatif.  Ini karena penyuluh swadaya hidup di antara petani,  mengalami secara langsung perasaan dan masalah petani, menjadi bagian dari semangat petani, serta terlibat secara partisipatif dalam kegiatan pertanian di komunitasnya. Ia adalah “orang dalam” yang tidak perlu lagi belajar psikologi petani dan sosiologi masyarakat desa.

Sebagai anggota komunitasnya sendiri, penyuluh swadaya lebih mampu memainkan peranan secara aktif, memiliki kontrol terhadap kehidupan komunitasnya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi lebih terlibat dalam proses pembangunan sehari-hari. Secara teoritis, keberadaan tokoh lokal akan lebih mampu menghasilkan partisipasi interaktif. Keberadaan penyuluh swadaya akan mampu menciptakan partisipasi mandiri (self mobilization) dimana masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara lebih bebas untuk menghasilkan collective action.

Kedua, penyuluh swadaya lebih mampu mengorganisasikan masyarakat, karena umumnya mereka terlibat langsung sebagai pengurus dalam banyak organisasi petani, baik kelompok tani, Gapoktan, koperasi, maupun P3A dan UPJA. Ia menjadi simpul pengorganisasian komunitasnya sendiri. Penyuluh swadaya tidak hanya mendorong untuk memperkuat proses pengorganisasian mereka sendiri, namun menjadi aktor aktif yang memperkuat organisasi petani.

Menurut Chamala and Shingi (2007: bab “Establishing And Strengthening Farmer Organizations), ada empat peran penyuluh yang penting, yaitu peran sebagai tenaga pemberdayaan (Empowerment Role), peran mengorganisasikan komunitas (Community-Organizing Role), peran dalam pengembangan sumberdaya manusia (Human Resource Development Role), dan peran dalam pemecahan masalah dan pendidikan (Problem-Solving and Education Role).

Ketiga, menjadi penghubung (change agent) yang lebih powerfull. Keberadaan sosok “Kontak Tani” yang efektif di era Bimas, menjadi lebih kuat pada diri penyuluh swadaya saat ini. Relasi yang intim dan akrab dengan staf pemerintah (penyuluh PNS) merupakan modal sosialnya yang kuat. Penyuluh swadaya berdiri di dua kaki, di pemerintahan dan sekaligus di petani. Ia menjadi tokoh penghubung yang kokoh.

Keempat, agen bisnis yang potensial. Sebagian besar penyuluh swadaya saat ini memiliki usaha yang aktif. Jadi, selain sebagai pelaku utama, ia juga pelaku usaha pertanian. Selain mengajarkan petani bagaimana berusahatani lebih baik, ia menampung hasil panen petani untuk dipasarkan. Dengan kata lain, selain mempraktekkan Farmer Field Schhol (FFS), ia juga menjalankan Farmer Bussiness School (FBS)

Kelima, mampu mengajarkan teknologi dan ketrampilan bertani lebih tepat karena ia memiliki pengetahuan teknis dari pengalaman langsung sebagai petani di lapangan. Dan, keenam, penyuluh swadaya juga punya nilai lebih pada kepemilikan modal sosial. Posisi penyuluh swadaya sebagai bagian dari komunitasnya merupakan posisi yang sangat penting. Karena itu, adalah keliru jika penyuluh swadaya hanya ditempatkan sebagai elemen SDM dalam pembangunan, dan hanya “membantu” penyuluh pemerintah. Memandang penyuluh swadaya hanya sebagai sumberdaya manusia (human capital), merupakan pandangan yang sempit. Ada kapasitas penyuluh swadaya yang sesungguhnya jauh lebih esensial yakni sebagai elemen yang mampu menumbuhkan dan menjaga modal sosial dalam komunitasnya.

Jika masyarakat divisualisasikan dengan seperangkat titik-titik dan garis-garis, maka “titik adalah simbol manusia dan garis simbol relasi antar manusia. Konsep human capital hanya bicara “titik” sedangkan social capital bicara “garis”. Konsep social capital dapat diterapkan untuk upaya pemberdayaan masyarakat  karena  social capital menjadi semacam perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat (World Bank, 2005). Penyuluh swadaya adalah agen penting yang menjadi simpul pembentukan modal sosial di komunitasnya.

Dengan konsep human capital, maka penyuluh swadaya hanya dilihat sebagai komponen organisasi, sedangkan dengan konsep social capital ia dipandang sebagai penggerak komunitas. Jika kita memandang penyuluh swadaya dalam konteks human capital maka yang diberikan adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Sebaliknya, jika menggunakan pendekatan social capital, penyuluh swadaya diposisikan untuk memperkuat relasi apa yang berlangsung ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Dengan kata lain, penyuluh swadaya tidak semata “employment”, namun sebagai makhluk sosial (social beings) sebagai energi di komunitasnya yang dicirikan oleh daya kreatifitas dan pelibatan langsungnya.  Artinya, ia juga memiliki intellectual capital.  

Kebutuhan Dukungan untuk Penyuluh Swadaya

Penelitian Indraningsih et al. (2013: “Peran Penyuluh Swadaya Dalam Implementasi Undang–Undang Sistem Penyuluhan Pertanian”) di tiga propinsi, dimana penulis juga terlibat di dalamnya, mendapatkan bahwa bahwa kemampuan Penyuluh Swadaya relatif beragam, namun penguasaan dari aspek teknis sudah memadai.  Sebagian memperolehnya karena mengikuti pelatihan dari pemerintah, dan sebagian lagi karena belajar secara mandiri dari pengalaman yang sudah puluhan tahun di sawah dan ladang. Selain menyuluh kepada petani di dalam kelompok tani se-desa, sebagian penyuluh swadaya sudah ada yang memberikan penyuluhan sampai ke luar desa bahkan luar kabupaten.

Dari 32 orang responden penyuluh swadaya, tipologinya dapat dibedakan atas empat tipe peran yang dijalankannya, yaitu: (1) penyuluh sebagai pendamping teknis, (2) sebagai  penggerak komunitas khususnya dalam pengembangan organisasi petani, (3) sebagai pembaharu dengan memperkenalkan berbagai komoditas dan bidang usaha yang baru ke petani sekitarnya, dan (4) penyuluh swadaya sebagai pelaku bisnis.

Penyuluh swadaya memiliki berbagai sisi keunggulan dibandingkan penyuluh  pemerintah dan swasta, dan ke depan ia memiliki peran yang lebih strategis. Dalam prakteknya, ketiga jenis penyuluh (penyuluh pemerintah, swadaya dan swasta) saling konvergen satu sama lain dalam diri seorang “penyuluh swadaya”. Ia melayani, mengajari, sekaligus mengembangkan bisnis petani secara proaktif. Tipe penyuluh swadaya seperti ini diyakini akan lebih bertahan, karena memiliki motivasi ganda yang saling menguatkan. ******

Seperti Apa mestinya LAKU (Latihan dan Kunjungan) di Era ini ?


Kita-kita orang penyuluhan hafal bener LAKU, kependekan dari Latihan dan Kunjungan. Habis dilatih ya berkunjung! Sekarang mau dilengkapi dengan supervisi, sehingga menjadi LAKUSUSI. Cakep.

Namun, maaf, pendekatan ini agak konvensional, terutama dalam memaknai ”kunjungan”. Sesungguhnya yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan relasi yang efektif antara penyuluh dengan petani, caranya kan tidak mesti melalui kunjungan. Bisa berupa hubungan telepon, bisa juga petani yang mendatangi BPP/BP3K, atau ketemu di Poluhdes. Bukankah petani mau kita dorong AKTIF?

Ada beberapa alasan yang mengharuskan kita mikir ulang lagi pendekatan ini, yaitu: Satu, kita pernah – mudah-mudahan ga lupa - mentargetkan satu Posluhdes  di tiap desa, dan saat ini sudah banyak yang berdiri. Ada yang punya tempat sendiri, ada pula yang pinjam ruangan di kantor desa. Secara teori, penyuluh disarankan untuk menunggu petani saja disitu, ga usah muter-muter ngabisin bensin. Teorinya begitu. Artinya: apakah kita mundur lagi, ga usah ngomong-ngomong Posluhdes lagi?

Dua, Selama ini kunjungan penyuluh, kalau di Jawa misalnya, disesuaikan dengan pertemuan selapanan petani, biasanya malam hari di rumah ketua. Nah, artinya PPL harus datang malam. Apa yang harus dilakukan PPL siang hari pada hari itu? Kalau target kunjungan 2 kelompok sehari, nah apa bisa malam-malam mendatangi 2 tempat berbeda?

Tiga, kunjungan selalu disebut hanya untuk KELOMPOK. Bagaimana dengan petani yang karena berbagai sebab TIDAK menjadi ANGGOTA Poktan? Jumlahnya saat ini lebih dari 60 persen. Bagaimana dengan buruh tani? Mungkin perlu FORUM KHUSUS untuk petani yang bukan anggota kelompok ya. Tempat ketemunya dimana? Nah, mungkin di Posluhdes bagus juga. Petani tanpa kelompok tetap perlu diberi PENGETAHUAN, meskipun mereka ga akan menerima BANTUAN langsung dari pemerintah. Mereka juga warga negara yang syah lho.

Empat, kita lupa pada penyuluh swadaya dan swasta. Baca lagi UU 16 tahun 2006 tentang SP3. LAKU yang tersusun masih terbatas kepada PPL PNS dan THL, baru untuk penyuluh pemerintah. Belum mengakomodasi sama sekali penyuluh swadaya dan swasta. Contoh: jika target kunjungan 2 kelompok sehari, apakah yang satu dikerjakan PPL PNS dan satunya lagi oleh PPL swadaya?

Lima, bukankah sasaran penyuluh mencakup penlaku utama dan pelaku usaha? Bagaimana dan kapan kunjungan ke pelaku usaha (ke pedagang, ke penjual pupuk, ke pengolah hasil pertanian?). Kapan mau berkunjung dan apa yang mau dibicarakan jelas sangat berbeda dengan berkunjung ke petani.

Enam, ini yang terpenting, bukankah petani sekarang ga kaya petani zaman Bimas lagi, yang terlonjak kaget dikasih tahu ini lho Pa pupuk Urea, ini TSP! Petani sekarang sudah memiliki pengetahuan dasar yang cukup, sangat cukup. Kalau penyuluh datang bawa CERITA doang, knowledge saja, ..... untuk apa. Yang lebih perlu diperbaiki adalah sistem logistik. Artinya, bagaimana pupuk ada di desa, benih ayak di kios, dst. Lha, artinya, kan penyuluh ga harus berkunjung-kunjung melulu. Penyuluh harus melakukan problem solving. Apakah dengan berkunjung ke petani urusan selesai? Penyuluh perlu berkunjung ke kios, ke lini II penyalur pupuk bersubsidi jika pupuk ga datang-datang, dan seterusnya. Nah, kapan penyuluh ada waktu ke situ? Harus di fikir juga dong.

Begitu lah Bapak dan Ibu kira-kira, mungkin ada benarnya, jelas ga benar semua. Demi kerja penyuluhan yang lebih efektif, efisien, dan realistis; kita perlu agak KRITIS. *****

Penyuluh Belum Mengembangkan SDM Petani, Masih terperangkap pada urusan KOMODITAS


Dalam penelitian saya dengan Tim tahun 2014, terungkap satu fakta menarik yang sesungguhnya sudah Saya duga sejak lama, yaitu: penyuluh tidak mengerti, tidak memiliki target, tidak diperintahkan, dan tidak melakukan pengembangan ORGANISASI PETANI. Ya, tentu ini bagi kita-kita “orang penyuluhan” cukup mengagetkan, ……mestinya mengagetkan!

Dalam wawancara, Saya ngobrol dengan seorang PPL: “Bapak, dari seluruh kelompok tani yang berada di wilayah kerja Bapak, bagaimana kelas kemampuan nya saat ini?”

PPL: “Ya, ….yang delapan kelas pemula, yang dua lanjut Pa”.

Saya: “Oke, begitu ya. Padahal kulihat ke-10 kelompok ini sudah lama berdiri ya, ada yang sudah 20 tahun. Lha, apa Bapak punya target, kapan kelompok-kelompok ini akan naik kelas?”

PPL: “MMhhh…. Ya ga tahu Pa”

Saya: “Lha, apa Bapak ditargetkan atasan, Kepala BPP, untuk meningkatkan kelas-kelas kelompok ini? Sebutlah tahun ini ditargetkan naik jadi kelas lanjut 4 kelompok misalnya?”

PPL: “Ga Pa”

Saya: “ O gitu ya. Waduh, ….Oke, apa bapak tahu bagaimana strateginya, sebutlah tips-tips nya meningkatkan kelompok pemula jadi lanjut? Atau kelompok lanjut jadi Madya?”

PPL: “Ga pa, ga pernah belajar Pa, ……”

Saya: “Oke saya sudah bisa duga, Bapa pasti belum pernah dapat pelatihan tentang bagaimana meningkatkan kelas kelompok ya, dll. Juga ga pernah dikasih buku panduan tentang itu ya?”

Hehe, saya jadi nafsu. Bukan apa-apa kita pan alumni S1 penyuluhan juga. Benar Bro, akhirnya terbukti, bahwa penyuluh selama ini terperangkap hanya kepada KOMODITAS, produksi, produktivitas, hama tikus, harga yang anjlok, dll. Dan, jelas-jelas sangat tidak perhatian kepada MANUSIA petaninya. Tidak tahu bagaimana meningkatkan kapasitas kelompok tani, tidak menganggap penting, dan tidak perduli. O o o, sungguh ironis.

Bukankah azas pokok penyuluh “memandirikan petani”. Artinya, mandiri organisasi nya juga. Jika organisasi petani kuat, mandiri, bisa berjalan sendiri, pandai mencari solusinya sendiri: bukankah penyuluh lalu bisa mulai mundur? Sehingga mimpi “satu penyuluh satu desa” ga usah repot-repot dikejar. Jika organisasi-organisasi petani bagus, kelompok tani kuat, Gapoktan keren, koperasi petani mandiri, SATU PENYULUH untuk 3 - 5 DESA pun cukup.

*****

Gapoktannya JUARA, Lha KOK kelompok taninya kelas PEMULA semua


Dalam satu riset tentang organisasi petani dengan Tim, saya menemukan kasus menarik, yang mungkin bagi kebanyakan kita seolah ga ada masalah: Ada satu Gapoktan juara nasional, tapi anehnya 8 kelompok tani di dalamnya kelas rendah semua, yakni kelas PEMULA. Teori dasar berbunyi bahwa Gapbungan Kelompok Tani atau Gapoktan adalah Secondary Level Organization, yang tentu saja  bagus atau jeleknya sangat-sangat bergantung kepada isinya yaitu kelompok tani (Individual Organization). Apa mungkin Gapoktan juara sedangkan semua kelompoktani nya hancur-hancuran?

Masalahnya memang simpel, kita tidak mampu membedakan antara organisasi petani yang tergolong sebagai individual organization dengan yang termasuk secondary level organization. Dalam Permentan 273 tahun 2007 Gapoktan dipahami sebagai ”kelompok tani yang besar”, walau dalam Permentan 82 tahun 2013 yang lebih baru sudah ada sedikit perbaikan. AD/ART kelompok tani bahwkan copy paste persis sama dengan AD?ART Gapoktan.

Kelompok tani adalah individual organization, yaitu organisasi yang anggotanya orang. Sedangkan Gapoktan adalah secondary level organization yang anggotanya individual organization, yaitu kelompok tani, kelompok wanita tani, atau kelompok peternak, dan sejenisnya.

Secondary level organization ada yang menyebut inter-group associations, Small Farmer Gorup Associaton (SFGA), atau adakalanya di literatur lain disebut dengan representatives of groups.  Ia merupakan bagian lanjut dalam kegiatan pengorganisasian petani (a late development in the projects). Ia dikembangkan belakangan setelah individual organization berdiri dan membutuhkan organisasi yang lebih tinggi untuk mengkoordinasinya. Dalam FAO (2002), SFGA didefinisikan sebagai: ” … is a local-level, informal, voluntary and self-governing association of small farmer groups (SFGs). It is created and financed by the individual members of its affiliated groups to provide them with services and benefits that help improve their economic and social conditions. This means that an SFGA is a secondary level organization of small farmer groups.”

Maksudnya adalah ini sebuah organisasi yang posisinya berada di atas individual organization, yang berperan sebagai koordinator, menyatukan kegiatan dan sumberdaya, melayani kebutuhan organisasi, dan mewakili segala kebutuhan organisasi ke luar. Gapoktan merupakan intergroup associaton untuk kelompok tani dan KWT di satu desa, sedangkan koperasi sekunder merupakan intergroup associaton untuk koperasi-koperasi primer di satu wilayah.

Jadi Bro, hanya kelompok tani yang mampu menunjukkan kematangan (sebutlah sudah kelas MADYA atau UTAMA) yang siap untuk membentuk atau bergabung dengan SFGA (= Gapoktan). Kelompok tani yang semuanya masih kelas pemula bahkan tidak “berhak” membentuk Gapoktan. Nah, apalagi lalu Gapoktannya juara pula. Jelas, indikator penilaian Gapoktan ini perlu dipelajari lagi. ******