Jumlah pe-longok :

Sabtu, 26 September 2015

Kebutuhan Grand Design Penyuluhan Pertanian Nasional


Sistem Penyuluhan Indonesia sesungguhnya membutuhkan suatu GRAND DESIGN penyuluhan yang berjangka panjang, yang penyusunan dan pelaksanaannya nanti membutuhkan keterlibatan dan keikutsertaan aktif semua pihak, terutama di kalangan internal Kementerian Pertanian. MASTERPLAN PENYULUHAN pertanian tersebut harus mampu mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan faktor-faktor berkenaan dengan figur dan profil dan kompetensi petani masa depan, profil usahatani dan pengusahaan pertanian, figur dan profil penyuluh pertanian masa depan, dinamika dan profil sumberdaya lahan pertanian, serta kebutuhan Diklat Pertanian untuk meningkatkan kompetensi penyuluh pertanian  masa depan.
Secara jujur harus diakui, apresiasi dan persepsi pihak terkait terhadap penyuluhan pertanian belum optimal, bahkan termasuk pada kalangan Direktorat Jenderal teknis di lingkup Kementan. Sampai saat ini, urusan penyuluhan seolah ekslusif hanya menjadi tanggung jawab BPPSDMP.
Satu hal mendasar yang membutuhkan perjuangan berkenaan dengan redefinisi KONSEP DAN CAKUPAN PENYULUHAN PERTANIAN. Kegiatan penyuluhan pada hakekatnya berupaya meningkatkan kecerdasan bangsa, khususnya petani dan keluarganya. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan nasional, sebagaimana amanat pada pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, semestinya penyuluhan pertanian tidak akan kekurangan perhatian dari pemerintah.
Selain itu, secara konseptual, penyuluhan pertanian adalah kegiatan PENDIDIKAN NONFORMAL terhadap sasaran penyuluhan yakni petani dan keluarganya. Dengan dasar ini, maka semestinya penyuluhan pertanian bisa memperoleh alokasi dari porsi anggaran Kemendiknas yang besarnya sangat memadai yakni 20 persen dari total APBN.

*****

ANGGARAN dan PEMBIAYAAN PENYULUHAN

Garis Kebijakan:
UU 16 tahun 2006 secara khusus membahas aspek pembiayaan pada Bab IX. Dalam Pasal 32 terbaca bahwa untuk penyelenggaraan penyuluhan yang efektif dan efisien diperlukan pembiayaan yang memadai, dimana sumber pembiayaan disediakan melalui APBN dan APBD, juga bahkan secara sektoral maupun lintas sektoral, maupun sumbersumber lain yang sah dan tidak mengikat.
APBN menanggung pembiayaan penyuluhan yang berkaitan dengan tunjangan jabatan fungsional dan profesi, biaya operasional penyuluh PNS serta sarana dan prasarana. Sedangkan APBD bertanggung jawab untuk PENYELENGGARAAN PENYULUHAN di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Pemerintah juga harus membantu penyuluhan yang diselenggarakan oleh penyuluh swasta dan penyuluh swadaya.
Lebih detail hal ini diatur dalam Permentan No 43 tahun 2009 tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan. Permentan ini sebagai amanat dari pasal 33 dan 34 UU SP3. Pada Pasal 3 Permentan ini terbaca bahwa Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota mengalokasikan anggaran pembiayaan penyuluhan berdasarkan tugas dan kewenangannya sesuai kemampuan keuangan masing-masing.
Pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan meliputi: biaya operasional kelembagaan penyuluhan, biaya operasional penyuluh PNS, biaya pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana; dan biaya tunjangan profesi penyuluh. Biaya operasional mesti mencakup biaya operasional (Pasal 5) untuk kelembagaan penyuluhan dari pusat sampai desa yang meliputi badan penyuluhan, badan koordinasi penyuluhan, badan pelaksana penyuluhan, balai penyuluhan, dan pos penyuluhan.
Permasalahan yang Dihadapi
Secara umum, biaya yang disediakan untuk penyuluhan kecil dan tidak memadai. Secara tidak langsung hal ini mengakibatkan melemahnya semangat kerja penyuluh pertanian, dan efektivitas penyuluhan. BOP penyuluhan yang kurang disebabkan karena keterbatasan besaran dana terutama di daerah yang relatif terpencil dan kerumitan birokrasi pemerintah daerah. Minimnya alokasi anggaran sangat terasa pada masa menunggu lahirnya Perpres Kelembagaan yakni Perpres No 154 tahun 2014.
KOMITMEN PIMPINAN DAERAH terhadap pengembangan kualitas dan kuantitas penyuluh kurang. Penyebab secara tidak langsung misalnya adalah karena kelembagaan penyuluh yang di beberapa wilayah belum terpisah dan sendiri dalam Bapeluh. Selain itu, adalah karena kekeliruan memaknai kegiatan pertanian sebagai “urusan pilihan” yang boleh dinomorduakan.
Demikian pula untuk penyuluh THL TBPP, dimana ada daerah yang bahkan tidak menyediakan tambahan honor 2 bulan, karena yang disediakan pusat hanya 10 bulan. Besar BOP untuk penyuluh juga sangat variatif, demikian pula pembiayaan untuk pembangunan dan operasional kantor Balai Penyuluhan. Lemahnya anggaran penyuluhan secara nasional disebabkan belum adanya penyamaan persepsi tentang pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga penyuluh di tingkat BPPSDMP dan lingkup Kementerian.
Upaya Perbaikan Ke Depan
Karena kecilnya alokasi anggaran, maka diingatkan tentang keseriusan  komitmen dalam politik anggaran di APBD. Untuk itu, perlu dilakukan pendekatan khusus kepada direktorat penyusunan PBD di Kemendagri, sehingga alokasi anggaran untuk penyuluhan dapat lebih terjamin.
Kesulitan pembiayaan yang disebabkan oleh birokrasi perlu diatasi dengan kejelasan kelembagaan penyuluhan sebagai bagian yang harus dibiayai dari APBD daerah, sebagaimana tercantum jelas dalam Perpres No 154 tahun 2014 tentang Kelembagaan.
Kebijakan anggaran penyuluhan ke depan dapat mempertimbangkan insentif dan disinsentif dalam kinerja dan prestasi kelembagaan penyuluhan. Hal ini tentu perlu diawali oleh sikap Pemda untuk memprioritaskan sektor pertanian dan pangan. Prioritas pembiayaan yang pokok adalah untuk keberfungsian sarana prasarana dan pelayanan penyuluhan. Karena dana dari pihak luar dimungkinkan, maka KPPN menyarankan agar didorong pula peningkatan kemampuan untuk memanfaatkan (networking) sumber daya lain yang tersedia misalnya dari program CSR dari perusahaan-perusahaan di wilayah masing-masing.  
Selain ini semua, perlu digarisbawahi bahwa secara konseptual penyuluhan pertanian adalah kegiatan PENDIDIKAN NONFORMAL terhadap sasaran penyuluhan yakni petani dan keluarganya. Dengan dasar ini, maka menjadi relevan memaknai kegiatan penyuluhan sebagai bagian dari tanggung jawab sektor pendidikan nasional. Jika hal ini disepakati, maka kegiatan penyuluhan akan mendapat dukungan pendanaan yang sangat kuat, karena sektor pendidikan nasional mendapat minimal jatah anggaran yang sangat besar yakni 20 persen dari APBN.
Kebijakan anggaran penyuluhan perlu mempertimbangkan hal-hal berikut, yakni berupa skema insentif dan disinsentif sesuai prestasi dan pelayanan penyuluhan, serta memprioritaskan  pada pertanian, pangan, dan keberfungsian sarana prasarana dan pelayanan penyuluhan.

*****

PENYELENGGARAAN PENYULUHAN

Programa, Metode, dan Evaluasi

Penyelenggaraan penyuluhan yang dimaksud dalam bab ini mencakup mulai dari penyusunan programa, pelaksanaan penyuluhan, dan evaluasi kinerjanya.
Garis Kebijakan
Dalam Permentan No 52 tahun 2009 tentang Metode Penyuluhan Pertanian, Metode Penyuluhan pertanian adalah “cara atau teknik penyampaian materi penyuluhan agar petani tahun, mau, dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya sebagai usaha untuk meingkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan dan kesejahteraannya, serta kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup”.
Metode dalam hal teknik komunikasi dapat berupa pertemuan langsung dan tidak langsung, sementara dalam hal sasaran dapat berupa perorangan, kelompok dan juga massal. Dalam pelaksanaannya penyuluh juga dapat memilih metode temu wicara, temu karya, temu lapang dan temu usaha; serta juga kaji terap, karya wisata, kunjungan (rumah dan usaha), kursus tani, magang, mimbar sarasehan, pemutaran film, borsur, leaflet, dan lain-lain. Intinya, metode yang tersedia sangat terbuka dan variatif.
Bagaimana memilih metode yang sesuai? Dasar pertimbangan yang perlu diperhatikan terutama berkaitan dengan tahapan dan kemampuan adopsi inovasi sasaran. Tahapan adopsi inovasi terdiri atas tahap penumbuhan perhatian, penumbuhan minat, tahap menilai, tahap mencoba, dan tahap menetapkan. Pasal 26 UU SP3 telah mengingatkan agar penyuluhan dilakukan dengan menggunakan PENDEKATAN PARTISIPATIF melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha.
Lebih jauh berkenaan dengan programa, Permentan No 25 tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian, disebutkan agar programa penyuluhan dapat merespon secara lebih baik ASPIRASI PELAKU UTAMA DAN PELAKU USAHA di perdesaan. Programa disusun dengan memperhatikan keterpaduan dan kesinergian programa penyuluhan pada setiap tingkatan. Keterpaduan mengandung maksud bahwa programa penyuluhan pertanian disusun dengan memperhatikan programa pertanian penyuluhan tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan tingkat nasional. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kesinergian yaitu bahwa programa penyuluhan pertanian pada tiap tingkatan mempunyai hubungan yang bersifat saling mendukung. Penyusunan programa penyuluhan dimulai dari tahapan perumusan keadaan, lalu penetapan tujuan, penetapan masalah, penetapan rencana kegiatan, rencana monev, dan berakhir dengan revisi programa penyuluhan.
UU 16 tahun 2006, yakni Bab VII tentang PENYELENGGARAAN, pada Pasal 23 berkenaan dengan Programa penyuluhan disebutkan bahwa Programa penyuluhan dimaksudkan untuk memberikan arah, pedoman, dan alat pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan penyuluhan. Programa penyuluhan terdiri atas programa penyuluhan desa/kelurahan atau unit kerja lapangan, programa penyuluhan kecamatan, programa penyuluhan kabupaten/kota, programa penyuluhan provinsi, dan programa penyuluhan nasional. Programa penyuluhan disusun dengan memperhatikan keterpaduan dan kesinergian programa penyuluhan pada setiap tingkatan. Pasal 24 telah mengingatkan agar Programa penyuluhan JANGAN NORMATIF dan ABSTRAK, namun harus terukur, realistis, bermanfaat, dan dapat dilaksanakan serta dilakukan secara partisipatif, terpadu, transparan, demokratis, dan bertanggung gugat.
Pada hakekatnya, UUU No 16 tahun 2006 telah memuat berbagai pemikiran dan relatif sejalan dengan paradigma baru penyuluhan pertanian. Hal ini terlihat dari: Pertama, pada Bab Asas, Tujuan, Dan Fungsi, yakni Pasal 2 disebutkan bahwa “Penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat”. Dapat dikatakan, hampir seluruh ide dan sikap positif pembangunan telah diadopsi dalam kalimat ini, utamanya pada asas demokrasi dan partisipasi.
Kedua, penyuluhan tidak lagi pada sekedar peningkatan produksi pertanian, namun pada manusianya. Pasal 3 menyebut bahwa tujuan penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial. Dicakupnya objek “modal sosial” disini bermakna bahwa penyuluh pertanian Indonesia harus mempunyai fokus lebih luas dari sekedar individu petani (pengetahuan-sikap-ketrampilan), namun juga ORGANISASI PETANI dan berbagai jaringan sosial yang terbentuk di masyarakat.
Tujuan mulia ini dicapai dengan memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi (point b).
Ketiga, menerapkan manajemen yang TERINTEGRATIF, tidak lagi terpasung ego sektoral. Pada Pasal 6 terbaca bahwa penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan. Lalu pada Pasal 7 disebutkan “Dalam menyusun strategi penyuluhan, pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan kebijakan penyuluhan dengan melibatkan pemangku kepentingan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan”.
Keempat, pelibatan masyarakat petani, dan menjadikan petani sebagai subjek penyuluhan. Pada point b pasal 6 disebutkan: “penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkat administrasi pemerintahan”. Semangat ini dikuatkan oleh Pasal 29, dimana pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong peran serta pelaku utama dan pelaku usaha dalam pelaksanaan penyuluhan.
Kelima, penyuluhan tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah, dengan diakuinya keberadaan penyuluh swadaya yang  berasal dari petani dan penyuluh swasta. Dengan UU ini dilahirkan pula Komisi Penyuluhan Pertanian sebagai organisasi independen yang dibentuk pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang terdiri atas para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan perdesaan. Selain ini, juga dibentuk wadah koordinasi penyuluhan nasional yang bersifat nonstruktural.
Selanjutnya, Permentan No 91 tahun 2013 Tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyuluh Pertanian, menyebutkan bahwa EVALUASI KINERJA Penyuluh Pertanian adalah “suatu kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan untuk mengukur tingkat keberhasilan berdasarkan parameter kinerja Penyuluh Pertanian dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya”. Indikator penilaian kinerja mencakup mulai dari persiapan sampai pelaksanaan, serta evaluasi dan pelaporan. Pada aspek Persiapan Penyuluhan Pertanian adalah: (1) Membuat data potensi wilayah dan agro ekosistem, (2) Memandu (pengawalan dan pendampingan) penyusunan RDKK, (3) Penyusunan programa penyuluhan pertanian desa dan kecamatan, dan (4) Membuat Rencana Kerja Tahunan Penyuluh Pertanian (RKTPP).
Sedangkan pada pelaksanaan penyuluhan mencakup bagaimana pelaksanaan penyebaran materi penyuluhan,  penerapan metoda penyuluhan, peningkatan kapasitas petani, menumbuhkan dan mengembangkan kelembagaan petani secara kuantitas dan kualitas, serta bagaimana keberhasilan peningkatan produktivitas usaha tani petani.  
Evaluasi  kinerja  dilakukan  mulai bulan Oktober sampai dengan Desember tahun berjalan, dimana metodenya dilakukan secara  Mandiri  oleh  Penyuluh Pertanian dengan menggunakan instrumen penilaian  Formulir 1.A dan 1.B. Hasil Evaluasi Kinerja secara Mandiri akan diverifikasi oleh Tim Evaluasi Kinerja secara berjenjang di wilayahnya.
Dalam Permentan No 45 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluh Pertanian telah ditetapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang penyuluhan pertanian dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 43 Tahun 2013. SKKNI tersebut merupakan acuan sertifikasi profesi Penyuluh Pertanian. Melalui sertifikasi profesi diharapkan terwujud Penyuluh Pertanian yang profesional sehingga penyelenggaraan penyuluhan dapat terjamin mutunya dan mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai penerima manfaat.  Uji kompetensi direncanakan dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat menjamin bahwa semua persyaratan dilakukan secara objektif dan sistematis dengan bukti-bukti yang terdokumentasi.
Sertifikasi profesi Penyuluh Pertanian memiliki banyak manfaat yaitu: (1) melindungi profesi Penyuluh Pertanian dari praktik yang tidak kompeten yang dapat merusak citra profesi Penyuluh Pertanian, (2) melindungi masyarakat dari praktik penyuluhan pertanian yang tidak bertanggung jawab, dan sekaligus (3) menjamin mutu penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
Pada Bab II Prosedur Sertifikasi Profesi, disebutkan bahwa Lembaga Pelaksana  adalah Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian selaku LSPP- 1 PP PNS. LSP yang mendapatkan lisensi dari BNSP berhak melaksanakan sertifikasi profesi bagi Penyuluh Pertanian Swasta dan Penyuluh Pertanian Swadaya. LSP dimaksud dibentuk atas dasar komitmen bersama antara pihak Pemerintah (Kementerian Pertanian), Asosiasi Profesi Penyuluh Pertanian, dan pemangku kepentingan lainnya.
Ruang lingkup dan Metode Uji Kompetensi mencakup unit kompetensi sesuai dengan kerangka kualifikasi profesi Penyuluh Pertanian seperti yang telah ditetapkan dalam SKKNI bidang penyuluhan pertanian. Metode uji kompetensi dilaksanakan melalui tes tertulis, wawancara, portofolio dan unjuk kerja. Uji ini berlaku untuk PPL PNS, swadaya dan swasta dengan prosedurnya masing-masing.
Permasalahan yang Dihadapi
Berbagai permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan programa penyuluhan pertanian antara lain adalah:
(1) Belum tertibnya penyusunan programa penyuluhan pertanian di semua tingkatan;
(2) Naskah programa penyuluhan pertanian belum sepenuhnya dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian;
(3) Keberadaaan penyuluh pertanian tersebar pada beberapa dinas/instansi, baik di provinsi maupun kabupaten/kota;
(4) Programa penyuluhan pertanian kurang mendapat dukungan dari dinas/instansi terkait; dan
(5) Penyusunan programa penyuluhan pertanian masih didominasi oleh petugas (kurang partisipatif).
Programa yang disusun masih sebatas kewajiban administratif yang belum sungguh-sungguh dijadikan acuan dalam operasional penyuluhan sehari-hari. Materi di dalamnya juga cenderung NORMATIF, ABSTRAK, dan KUALITATIF.
Upaya Perbaikan Ke Depan
Penyelenggaraan penyuluhan merupakan elemen yang keberhasilannya bergantung kepada banyak elemen lain dari sistem penyuluhan. Untuk itu, sesuai prinsip partisipatif, maka kegiatan penyuluhan mesti bersifat INKLUSIF dimana setiap orang dapat berperan dalam penyuluhan, misalnya dengan mengoperasikan Sistem Pertanian Terpadu (SITANDU)  yang didukung Cyber Extension.
Efektivitas penyuluhan bisa ditingkatkan bila apresiasi terhadap kelembagaan penyuluhan pertanian sebagai ujung tombak pembangunan pertanian ditingkatkan. Indikatornya adalah adanya dukungan dinas dan instansi terkait layaknya program BIMAS dahulu. Implementasi tata kerja antara kelembagaan pembangunan pertanian harus didasari pemahaman peran badan pelaksana penyuluhan sebagai lembaga koordinasi yang berpotensi mampu mengurangi egosektoral dalam upaya penguatan keterpaduan pembangunan pertanian. Validasi data pertanian di lapangan dapat dilakukan melalui pemanfaatan Cyber Extension oleh penyuluh dalam menginput perkembangan data pertanian (waktu tanam, waktu panen, penggunaan benih, hasil, luas lahan, luas tanam, potensi wilayah, alih fungsi lahan, dll).
Keragaman nama, fungsi, dan struktur organisasi, serta pengorganisasian penyuluhan meningkatkan kompleksitas dan kendala dalam penyelenggaraan penyuluhan. Karena itu, rapat koordinasi antar kelembagaan merupakan celah masuk yang penting bagi kelancaran dan optimalisasi penyelenggaraan penyuluhan.
Kesenjangan informasi dan inovasi teknologi bagi para penyuluh terjadi karena kelemahan akses terhadap teknologi informasi, dan kekurangan inovasi teknologi. Lebih jauh lagi, insentif materi yang disediakan tidak merata akibat keterbatasan dukungan pendanaan ditingkat kecamatan dan desa. Terobosan-terobosan inovasi teknologi dimungkinkan sejalan dengan pendekatan penyuluhan partisipatif dan terintegrasi, untuk mengangkat temuan terobosan teknologi di tingkat petani maupun yang bersumber dari instansi terkait.
Pihak BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) di bawah Badan Litbang Pertanian melaporkan bahwa kedepan para peneliti dan penyuluh di BPTP diwajibkan lebih intensif berinteraksi dengan Balai Penyuuhan, dan akan menjadikan pelatihan disana sebagai tugas mereka. Peningkatan sinergitas materi, metode, dan penyuluhan, melalui cyber extension dan harmoni partisipasi peneliti, penyuluh, dan sasaran penyuluhan.
Pembangunan pertanian tidak bisa diseragamkan di seluruh wilayah pembangunan, dengan demikian perlu ada tipologi guna membedakan penanganan dalam pembinaannya, termasuk dalam kelembagaan dan penyelengaraan penyuluhan. Sistem penyuluhan perlu mendorong pengembangan sistem perkreditan,  pembiayaan, dan asuransi pertanian, serta memperjuangkan kemitraan sinergis antara petani lahan sempit dengan pelaku pertanian korporat dan pelaku yang lebih profesional, maupun koperasi pertanian. Guna meningkatkan kegiatan penyuluhan, diperlukan komitmen pimpinan dalam hal-hal mengatasi kendala biaya penyuluhan, dan penguatan insentif berupa penghargaan terhadap kiprah penyuluhan.

*****

PRASARANA dan SARANA PENYULUHAN

Balai Penyuluhan dan POSLUHDES
Aspek parasana dan sarana merupakan faktor penentu keefektifan penyelenggaraan penyuluhan, terutama pada level Balai Penyuluhan (BP) dan Posluhdes. Namun, secara umum dapat dikatakan dukungan terhadap hal ini masih lemah.
Garis Kebijakan
UU No 16 Tahun 2006 Pasal 8 dan Pasal 15 mengamanatkan pembentukan Balai Penyuluhan di tingkat kecamatan. Dasarnya adalah bahwa Balai Penyuluhan merupakan tempat Satuan Administrasi Pangkal (SATMINKAL) bagi Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Peran pokok balai ini adalah mengkoordinasikan, mensinergikan, dan menyelaraskan kegiatan pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan di wilayah kerja Balai. Balai Penyuluhan biasanya diberi nama “Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)” atau “Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Khutanan (BP3K)”.
Lalu, Permentan Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengelolaan Balai Penyuluhan, pada Bab II menyebutkan bahwa tugas BP ada 6 yakni: (1) menyusun programa penyuluhan pada tingkat kecamatan sejalan dengan programa penyuluhan kabupaten/kota; (2) melaksanakan penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan; (3) menyediakan dan menyebarkan informasi teknologi, sarana produksi, pembiayaan dan pasar; (4) memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama; (5) memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan; dan (6) melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usaha bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Sedangkan fungsi BPP adalah sebagai tempat pertemuan untuk MEMFASILITASI pelaksanaan tugas Balai sebagaimana diamanatkan Pasal 15 ayat (2) UU No 16 tahun 2006.
Pada intinya, peran BPTP adalah memfasilitasi mulai dari penyusunan programa, pelaksanaan penyuluhan, penyediaan dan penyebaran informasi, pemberdayaan dan    penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku  usaha, peningkatan kapasitas penyuluh, pelaksanaan proses pembelajaran melalui percontohan, dan model usaha tani.
Untuk menjalankan peran ini, maka telah disusun sarana minimal yang harus tersedia di Balai Penyuluhan. Sarana dimaksud meliputi sarana keinformasian, alat bantu penyuluhan, peralatan administrasi, alat transportasi, perpustakaan, dan perlengkapan ruangan.  Juga telah digariskan standar minimal Prasarana Lingkungan dan Prasarana Penunjang, dimana mesti ada rumah dinas, air baku, listrik PLN mimimal 2.200 watt dan 1 unit genset cadangan, Jalan lingkungan minimal menggunakan pengerasan pasir dan batu, pagar halaman, dan lahan balai minimal 1 ha. Dalam hal lokasi, persyaratan lokasi bangunan BPP mestilah mudah dilihat oleh masyarakat, mempunyai akses jalan, listrik dan telepon, mudah dikunjungi, dan letaknya di sentra produksi pertanian.
Untuk menyiapkan informasi yang diperlukan bagi petani, Balai Penyuluhan melakukan pengumpulan data dan informasi dengan cara mengakses Cyber Extension, pengumpulan data lapangan/survey, melaksanakan kaji terap, kaji tindak, dan konsultasi dengan instansi teknis.
Khusus berkaitan dengan tata hubungan kerja, hubungan kerja BPP dengan UPT/UPTD lingkup teknis dan camat adalah HUBUNGAN KOORDINATIF pelaksanaan penyuluhan dalam rangka pelaksanaan tugas Balai Penyuluhan. Sedangkan, hubungan kerja Balai Penyuluhan di Kecamatan dengan pos penyuluhan desa kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha di desa adalah hubungan yang bersifat PENDAMPINGAN dan KEMITRAAN.
Berikutnya, Permantan No 51 tahun 2009 Tentang Pedoman Standar Minimal Dan Pemanfaatan Sarana Dan Prasarana Penyuluhan Pertanian dikeluarkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal sarana dan prasarana penyuluhan pertanian, dan mengoptimalkan pemanfaatan sarana dan prasarana penyuluhan pertanian.  Pedoman diuraikan untuk kebutuhan mulai dari pusat sampai ke kecamatan. Sebagi contoh, untuk kecamatan sarana yang semestinya tersedia untuk Pusat Informasi mencakup komputer, display, kamera digital, Handycam, serta telepon  dan mesin fax. Lalu alat transportasi setidaknya tersedia kendaraan operasional roda dua.  Sedangkan untuk ruangan mesti tersedia ruang pimpinan, administrasi/TU, Kelompok Jabatan Fungsional, aula atau ruang rapat, perpustakaan, data dan system informasi, juga rumah dinas, sarana prasarana pendukung, sumber air bersih, penerangan PLN dan genset, jalan lingkungan, pagar dan lahan percontohan.
Permasalahan yang Dihadapi
Saat ini, bangunan dan kelengkapan BP belum standar. Kondisi kantor banyak yang tidak memadai, lahan pertanian banyak yang tidak ada, juga tidak ada listrik dan telepon. Kelengkapan BP sangat bergantung kepada komitmen dan dukungan anggaran dari dana APBD. Masih cukup banyak BP yang belum memiliki kantor sendiri.
Berbagai program pengembangan BP yang telah dijalankan tidak berjalan mulus, misalnya pengembangan cyber extension. Penyebabnya banyak, mulai dari kekurangan SDM, peralatan dan anggaran.
Secara umum pengelolaan BP masih kurang optimal, bahkan untuk BPP yang tergolong sebagai “BPP Model”. Dari kunjungan ke BP3K Pakisaji di Kabupaten Malang misalnya, terungkap bahwa biaya operasional BPP sangat minim, hanya ada anggaran untuk ATK sebesar Rp 2,5 juta per tahun. Akibatnya, untuk bayar listrik, air, dan bahkan memasang teralis kantor harus iuran antar kepala BP dan penyuluh.
Selain itu, banyak kepala Balai Penyuluhan merangkap sebagai kepala UPT Dinas Pertanian, sehingga beban pekerjaan menjadi berat. Pekerjaan sebagai kepala UPT jauh lebih menyita waktu, karena berupa pekerjaan-perkerjaan administrasi yang sangat banyak dan beragam.

Upaya Perbaikan
Dari permasalahan yang ditemui, agar standarisasi pelayanan disesuaikan dengan konteksnya melalui pemetaan kelembagaan BP sesuai klasternya. Jangkauan pelayanan penyuluh perlu dikaji yakni berapa rasio penyuluh-hamparan atau jumlah petani yang ideal. Hal ini akan menentukan pola manajemen di BP.
Untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan maupun standar kinerja kelembagaan penyuluhan, maka BP perlu difasilitasi sedemikian rupa sehingga bisa diposisikan sebagai pos simpul koordinasi kegiatan program pembangunan pertanian di kecamatan oleh lintas sektor. Karena itu, standar sarana dan prasarana sebagaimana sudah digariskan agar dipenuhi.
Implementasi Balai Penyuluhan sebagai pos simpul koordinasi kegiatan program pembangunan pertanian dan lintas sektor memerlukan adanya langkah-langkah operasional yang terukur dalam bentuk program dan kegiatan. Untuk itu, Kementerian Pertanian perlu secara periodik mengevaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan di Balai Penyuluhan. Optimalisasi anggaran disarankan dengan menggali sumber dana dari APBN, APBD maupun kemitraan dengan pihak swasta.
Peningkatan kapasitas balai penyuluhan juga disarankan dengan penguatan aktualisasi data dan cyber extension. Pengembangan cyber extension perlu didukung sepenuhnya oleh Kementerian Pertanian karena merupakan upaya yang tepat untuk mendekatkan dan memenuhi kebutuhan inovasi yang layak dikembangkan oleh para penyuluh. Upaya Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian dalam mengembangkan cyber extension perlu didukung dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai dan pelatihan dalam penggunaan akses internet. Perlu segera dikembangkan pada semua Balai Penyuluhan (BPK atau BP3K) kelengkapan perangkat komputer dan jaringan koneksi internet  yang baik. Untuk ini, agar dibangun link atau kerjasama untuk saling melengkapi  dan berbagi informasi dengan berbagai pihak yang menyediakan informasi inovasi pertanian termasuk dengan cyber extension dan Green TV yang dikembangkan oleh IPB misalnya.
Untuk memperkuat BP dalam pembangunan pertanian  disarankan ditempuh pola reward and punishment  untuk pimpinan daerah bersangkutan. Sementara, untuk di level pusat, karena posisi sentral BP mendukung program swasembada padi, jagung dan kedelai; maka perlu dijembatani  koordinasi dan sinergi lintas kementerian  dan lintas eselon I di lingkup Kementan. Revitalisasi BPTP sebagai bagian lembaga penyuluhan (sebagaimana BIP di masa lalu) diperlukan untuk meningkatan efektivitasnya dalam menggali inovasi tepat guna, melakukan uji lokasi terhadap teknologi tepat guna sesuai dengan potensi lokal.
Media komunikasi kebijakan pembangunan pertanian dan pemberdayaan sistem penyuluhan, serta pemberdayaan petani (seperti Majalah Ekstensia dan Cyber Extension), perlu ditingkatkan statusnya dan dikembangkan kualitasnya. Media komunikasi mitra Kementerian Pertanian (seperti Sinar Tani) perlu dipertahankan eksistensinya dengan meningkatkan penyaringan iklan di dalamnya.
Dibutuhkan kelengkapan sarana dan dukungan pengembangan BPP model. Bantuan sarana dan pembiayaan yang didukung pemerintah daerah mampu meningkatkan gairah penyuluh sehingga penyelenggaraan penyuluhan menjadi lebih optimal.
BPP perlu dilengkapi dengan sarana dan prasarana diseminasi inovasi yang kondusif bagi penggerakan Posluhdes, dan didampingi oleh penyuluh, sehingga di masa depan dapat menjadi fokus pengembangan penyuluhan pertanian. Keragaman nama, fungsi, dan struktur organisasi, serta pengorganisasian penyuluhan meningkatkan kompleksitas kendala dalam penyelenggaraan penyuluhan. Rapat koordinasi antar kelembagaan merupakan celah masuk yang penting bagi kelancaran dan optimalisasi penyelenggaraan penyuluhan.

*****

Pendidikan Dan Latihan Untuk Penyuluh Pertanian

Garis Kebijakan
Pasal 21 UU 16 tahun 2006 tentang SP3 menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan kompetensi penyuluh PNS melalui pendidikan dan pelatihan, memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, dan peningkatan kompetensi penyuluh.
Untuk lebih menjamin penyelenggaraan penyuluhan yang lebih efektif, maka kepala Balai Penyuluhan minimal berpendidikan profesi penyuluh (level 7 KKNI), sementara Kepala Bapeluh minimal level 8 pada bidang profesi penyuluhan yang didukung dengan SKB antara Kementerian terkait dengan Kemendagri. Cakupan kompetensi bagi pimpinan kelembagaan penyuluhan di antaranya mencakup fungsi manajemen, manajemen resiko, manajemen resolusi konflik, manajemen kolaboratif, merit system, management by objektive, entrepreneurship, serta kemitraan sinergis sistem agribisnis.
Balai Penyuluhan menjadi tempat pokok bagi pengembangan kapasitas penyuluh, karena disinilah kegiatan pelatihan untuk penyuluh secara rutin dijalankan. Agar efektif, sarana dan prasarana bagi upaya pemberdayaan penyuluh di Balai Penyuluhan mencakup perihal organisasi dan kelembagaan, memenuhi kebutuhan shareholder penyuluhan, dan memenuhi prinsip self control dan efektif. Dalam konteks penyelenggaraan, dibutuhkan koordinasi demi penyelarasan antar kementerian terkait untuk pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga penyuluh.
Permasalahan yang Dihadapi
Untuk pelatihan, semua pihak mengeluhkan rendahnya kesempatan untuk mengikuti pelatihan, Sebagai contoh, di Jawa Timur ada beberapa lembaga pelatihan pertanian yakni BLPP Ketindan dan Songgoriti, serta juga Balai Pengkajian dan Penyuluhan Pertanian (BPTP). Namun, untuk para penyuluh di Malang yang jaraknya dengan tempat pelatihan tersebut sangat dekat, kesempatan untuk berlatih sangat jarang dan terbatas.
Kesempatan penyuluh mengikuti pelatihan alih jenjang dari penyuluh terampil ke penyuluh ahli sangat kurang. Demikian juga dengan latihan dasar penyuluh dan latihan sertifikasi untuk memperoleh profesi penyuluhan masih sangat terbatas.  Hal ini disebabkan masih terbatasnya anggaran yang tersedia untuk kegiatan pelatihan yang memenuhi standar. 
Kesempatan latihan bagi penyuluh THL sangat terbatas, karena posisi kepegawaiannya yang belum kuat. Padahal latar belakang dan kapasitasnya bervariasi dan masih sangat lemah. Sementara, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pertanian bagi penyuluh dan petani belum selektif dalam memilih calon peserta pendidikan dan pelatihan dengan bertumpu pada kebutuhan pengembangan dan perluasan fungsi kompetensi secara berkelanjutan. Pengulangan peserta pada orang yang sama masih terjadi.
Permasalahan lain adalah dimana Widyaiswara dan dosen STPP belum memiliki persepsi yang sama tentang sasaran, target dan paradigma penyuluhan pertanian. Juga tidak ada kejelasan mekanisme  tata kerja dukungan dalam kegiatan pelatihan, yakni antar elemen pelaku penyuluhan.  Khusus berkenaan dengan pelatihan komoditas utama dalam Upsus (padi, jagung, kedelai), belum ada kejalasan pembagian  peran supervisor,  inovator,  pendamping,  dan fasilitator, termasuk training  assesment  sesuai dengan kebutuhan spesifik lokal untuk menjadi  penguat efektivitas pelatihan bagi sumberdaya  manusia pertanian.
Upaya untuk Perbaikan
Penyuluhan pertanian mengandalkan tenaga penyuluh THL TBPP namun dengan kapasitas yang cenderung rendah. Karena itu, penguatan kompetensi dan kapasitas profesional penyuluh perlu disertai pendidikan profesi dan standarisasi profesi yang didukung asosiasi profesi. Perencanaan SDM penyuluhan yang berorientasi profesi, baik jangka pendek maupun jangka panjang yang disusun sesuai tuntutan kebutuhan pembangunan pertanian perlu menjadi acuan dan komitmen pengembangan SDM penyuluhan.
Pelatihan profesi penyuluh pertanian perlu memprioritaskan PNS calon penyuluh dan THL-TB Penyuluh Pertanian yang telah terbukti menunjukkan kinerja, minat, komitmen dan potensi sebagai penyuluh pertanian, dengan rekrutmen yang selektif dan akurat.  Waktu atau jumlah jam latihan bagi penyuluh juga harus memadai.
Materi pelatihan penyuluh pertanian juga harus mencakup sistem agribisnis, internet (Cyber Extension) dan SKKNI Penyuluh. Materi penyuluhan lain yang dibutuhkan antara lain adalah materi yang berkaitan dengan misi dan manajemen pembangunan pertanian dalam arti luas.
Disamping kebutuhan jumlah tenaga penyuluh pertanian yang masih kurang, perlu diupayakan terobosan sehingga penyuluh pertanian ahli dapat menjadi pelatih bagi penyuluh lainnya di Balai Penyuluhan. 
Diingatkan pula bahwa pada hakekatnya metoda pengembangan kompetensi penyuluh dapat ditempuh melalui METODA LAKUSUSI yang berkelanjutan, aktual, kontekstual, dan adaptif. Pelatihan bersifat TOT (Lanjut) di Balai-balai terkait yang diberikan oleh widyaiswara, pakar terkait (peneliti dan dosen), figur pelaku usaha sukses (mitra sinergis), dan figur pelaku utama sukses. Pelatihan dua mingguan mesti dijalankan dengan terstandar, terprogram, sistematis dan masif aktual/kontekstual. Materi mencakup pengetahuan dasar yakni berupa process area (metoda penyuluhan) dan content area (pengembangan inovasi). Pelatihan khusus juga dibutuhkan untuk penguatan profesi penyuluh, sedangkan pendidikan formal penyuluh profesional dapat dilakukan melalui pendidikan profesi.

******

PENYULUH PERTANIAN SWADAYA DAN SWASTA


Pengakuan kepada penyuluh swadaya dan swasta lahir dari semangat partisipatif UU 16 tahun 2006 tentang SP3. Sesungguhnya penyuluh ini lah yang dapat menjadi solusi kelangkaan tenaga penyuluh. Namun, sayangnya perhatian untuk pengangkatan, mobilisasi dan manajemen penyuluh swadaya dan swasta sangat minim.
Garis Kebijakan
Keberadaan penyuluh swadaya dan swasta lahir karena prinsip PENYULUHAN PARTISIPATIF dalam UU No 16 tahun 2006. Sesuai dengan UU 16 tahun 2006 Penyuluh swasta adalah “penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan”, sedangkan Penyuluh Swadaya adalah “pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh”.
Berkaitan dengan ini, secara khusus telah diterbitkan Permentan 61 tahun 2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya Dan Penuyuh Pertanian Swasta. Tujuan Permentan ini adalah meningkatkan fungsi dan  peran Penyuluh Pertanian Swadaya dan Swasta dalam penyelenggaraan penyuluhan, meningkatkan motivasi mereka, menciptakan mekanisme kerja kemitraan dengan penyuluh pemerintah, serta meningkatkan kinerja dan profesionalisme mereka. Kedudukan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Swasta adalah sebagai MITRA Penyuluh Pertanian pemerintah, dimana keberadaan nya bersifat MANDIRI dan INDEPENDEN.
Fungsi yang dijalankan penyuluh swadaya dan swasta mencakup: menyusun rencana kerja, melaksanakan kegiatan penyuluhan, melaksanakan pertemuan koordinasi dengan penyuluh lain, mengikuti kegiatan rembug dan pertemuan-pertemuan lain, serta menyusun laporan kegiatan penyuluhan. Secara substansial, fungsi yang juga harus dijalankannya adalah menumbuhkembangkan kelembagaan petani, menjalin kemitraan usaha dengan pihak terkait, menumbuhkembangkan jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan petani, menyampaikan informasi dan teknologi, melaksanakan proses pembelajaran secara partisipatif.
Dukungan dan keberadaan penyuluh swadaya saat ini cukup besar, meskipun mobilisasinya di lapangan belum optimal. Sebagai contoh, dari sisi jumlah, jumlah penyuluh per Juli 2011 sebanyak 52.428 orang, terdiri dari penyuluh PNS 27.961 orang, penyuluh honorer 1.251 orang, THL-TB 23.216 orang,  Penyuluh Swadaya sebanyak 8.107 orang (Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDMPertanian, 2013). 
Permasalahan:
Permasalahan pokoknya adalah sudah hampir 10 tahun semenjak diundang tahun 2006, mobilisasi penyuluh swadaya dan swasta masih sangat terbatas. Permasalahan yang dihadapi Penyuluh swadaya dan swasta sebagaimana dalam Permentan No. 61 tahun 2008 adalah:
1. pembinaan terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluhan bagi penyuluh pertanian swadaya dan swasta belum memiliki arah yang jelas.
2. belum didayagunakan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha.
3. masih lemahnya fungsi dan peran penyuluh swadaya dalam penyelenggaraan penyuluhan,
4. masih rendahnya motivasi kerja
5. belum terciptanya mekanisme kerja antara ketiga jenis penyuluh, dan
6. belum terciptanya kinerja dan profesionalisme penyuluh swadaya. 
Dari hasil kunjungan kerja ke Jawa Timur tahun 2014 diperoleh informasi bahwa keberadaan penyuluh pertanian swadaya dan swasta sama sekali belum memperoleh perhatian dari jajaran penyuluhan. Program FEATI telah berhasil menseleksi dan mengangkat penyuluh swadaya masing-masing  dua orang per desa dimana program FEATI diimplementasikan. Namun, di luar program ini, pemerintah daerah tidak menargetkan pengangkatan penyuluh swadaya, karena masih ada ketidakjelasan bagaimana prosedur pengangkatan, mekanisme, pembinaan nantinya, termasuk kekuatiran terhadap implikasin pembiayaannya.
Khusus untuk penyuluh swasta, belum ada aktivitas apapun yang sudah dilaksanakan. Meskipun sehari-hari penyuluh dan petani telah berinteraksi dengan para pelaku swasta (suplier benih dan obat-obatan, dll), namun belum ada kerjasama yang konstruktif dan sistematis.
Rekomendasi untuk Mengoptimalkan Penyuluh Swadaya dan Swasta
Dalam hal penyuluh swadaya, pelibatan petani sebagai pendukung dan pelaku langsung dalam kegiatan penyuluhan telah berlangsung cukup lama dengan berbagai pendekatan. Di Indonesia, hal ini dimulai dari pelibatan kontak tani pada era Bimas sampai Supra Insus, lalu pendekatan “penyuluhan dari petani ke petani” (farmer to farmer extension) di P4S, serta pengangkatan penyuluh swakarsa (tahun 2004), dan terakhir penyuluh swadaya (sejak tahun 2008). Jumlah penyuluh swadaya sampai tahun 2014 lebih kurang 8.000 orang.
PENYULUH SWADAYA sangat strategis karena memiliki berbagai keunggulan, di antaranya adalah pengetahuan dan keterampilan teknologi lebih kuat meski spesifik karena mereka adalah pelaku langsung pertanian di lapangan. Karena ia hidup sehari-hari di tengah komunitasnya, maka penyuluh swadaya lebih mampu menciptakan penyuluhan yang partisipatif, lebih mampu mengorganisasikan masyarakat (Community-Organizing Role), mampu menjadi penghubung (change agent) yang lebih powerfull, dan Memiliki nilai lebih pada kepemilikan modal sosial.
Mereka juga menjadi agen bisnis yang potensial karena umumnya berlatar belakang pelaku usaha yang sukses. Penyuluh swadaya dapat disebut sebagai sosok yang lengkap. Jenis penyuluh ini melakukan kegiatan penyuluhan dengan motivasi sosial, pelayanan, namun sekaligus bisnis. Banyak penyuluh swadaya yang memiliki bisnis berupa penyedia sarana produksi, serta menampung dan memasarkan hasil pertanian. Sehingga, penyuluh swadaya sesungguhnya menyuluhkan teknologi baru kepada mitra bisnisnya sendiri. Jadi, dalam prakteknya, sosok penyuluh PNS dan swasta saling konvergen dalam diri penyuluh swadaya.
Berkenaan dengan PENYULUH SWASTA, mereka dapat berasal dari: (1) Perusahaan swasta (Private Bisnis) yakni sebagai penyedia input, perusahaan pengolahan, dan pemasaran; (2) Dari kalangan Non Profit Sector yakni perguruan tinggi, NGO, dan lain-lain; serta (3) Penyuluh berbayar (pay for service) yang dibayar oleh organisasi petani, bisa Gapoktan, atau asosiasi komoditas, atau oleh petani secara individual.
Perguruan tinggi memiliki potensi yang sangat besar dan dapat menjadi solusi dunia penyuuhan yang konstruktif. Selain anggaran yang besar (20 persen dari APBN), perguruan tinggi memiliki SDM yang sangat memadai yang terdiri atas dosen, mahasiswa, maupun staf teknis.   Praktek kerja lapangan (PKL) mahasiswa  atau magang juga dapat menjadi alternatif mengisi kekurangan jumlah penyuluh.
Dalam hal pembagian peran antar ketiga jenis penyuluh, belum ada sistem kerja yang jelas, misalnya pembagian jenis pekerjaan, wilayah kerja, pola kerjasaman, dan tanggung jawab administratif. Penyuluh PNS memiliki basis kerja pelayanan dan administrasi, sedangkan penyuluh swasta pada pelayanan dan mencari keuntungan.
Sesuai kemampuannya, penyuluh swadaya dan swasta akan lebih cenderung monovalent, bahkan spesifik hanya pada 1-2 komoditas bidangnya.  Untuk wilayah kerja, jika penyuluh PNS bertanggung jawab pada 1 sampai 3 desa, penyuluh swadaya lebih fokus di desa tempatnya berdomisili, sedangkan areal kerja penyuluh swasta lebih luas mencakup kawasan satu atau lebih kecamatan.
Karena target “satu penyuluh satu desa” semakin sulit dicapai, sesungguhnya penyuluh swadaya dan swasta dapat menutupi kekurangan ini. Karena itu, pemerintah nasional dan daerah semestinya menjadikan ini sebagai suatu solusi pemenuhan ketenagaan penyuluh yang selalu kurang. Pemanfaatan penyuluh swadaya untuk mengatasi keterbatasan jumlah penyuluh PNS perlu diperkuat dengan pelatihan atau upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi penyuluh.
Dari hasil kajian diperoleh bahwa penyuluh pertanian swadaya apabila dibandingkan dengan penyuluh pertanian PNS maupun THL-TB relatif lebih baik dalam menularkan informasi teknologi untuk berusahatani. Penyuluh pertanian swadaya lebih mampu mengorganisasikan masyarakat karena ketokohannya, lebih mudah dalam menjalankan fungsi penghubung.  UU No. 16 Tahun 2006 tidak hanya mengamanatkan penyuluh PNS saja, namun juga harus mulai dibina penyuluh swasta dan swadaya oleh karena itu perlu dipikirkan sistem pembinaannya.  Pensiunan penyuluh pertanian PNS juga dapat dimobilisasi menjadi penyuluh swadaya.

*******

Ketenagaan PENYULUH Pertanian

Aspek ketenagaan akan berujung pada betapa pentingnya memobilisasi penyuluh  swadaya dan swasta. Permasalahan ketenagaan penyuluhan yang kita hadapi tidak hanya tentang jumlah, namun juga kapabilitas. Kuantitas dan sekaligus kualitas. Penyuluh pertanian PNS pada pertengahan tahun 2015 sekitar 27.000 orang yang akan tinggal setengahnya pada 5 tahun ke depan, sedangkan penyuluh THL TBPP 20.235 orang.
Landasan Kebijakan
Tenaga penyuluh pertanian terus berkurang dengan cepat, sementara kualitasnya secara umum juga semakin menurun. UU 16 tahun 2006 yang mengakui keberadaan penyuluh swadaya dan swasta merupakan LANDASARAN KEBIJAKAN YANG SANGAT TEPAT, KONSTEKTUAL dan SOLUTIF, namun sayangnya kurang diperhatikan.
Kementan tidak tinggal diam menghadapi jumlah penyuluh pemerintah yang semakin menyusut. Melalui Rapat Dengar Pendapat tanggal 19 Juni 2014 dengan Komisi IV DPR-RI misalnya, disepakati upaya pengangkatan 10.000 THL-TB Penyuluh Pertanian (THL-TB PP) menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diselesaikan pada tahun 2014. Adapun 13.771 THL-TB PP dan Tenaga Bantu lingkup Kementerian Pertanian lainnya yang belum masuk formasi tahun 2014 akan diangkat secara bertahap pada tahun berikutnya. Upaya ini berupa pengangkatan sebanyak 10.000 THL-TB Penyuluh Pertanian melalui jalur PPPK.
Sesuai dengan rekomendasi KPPN tanggal 23 Agustus 2014 yang dilabeli sebagai “Langkah-Langkah-Langkah Strategis Memberdayakan Penyuluh”, diingatkan kepada pemerintah arti penting keberadaan penyuluh pertanian. Sosok penyuluhan adalah terwujudnya penyuluh yang mandiri, profesional dan efektif menghasilkan human capital dan social capital sehingga penyuluhan menjadi prime mover (lokomotif) pembangunan pertanian yang bersinergi antar pemangku kepentingan secara berkelanjutan.
Permasalahan saat ini
Secara umum, jumlah dan kualitas penyuluh pertanian kurang memadai. Kekurangan dan penurunan jumlah  penyuluh karena pensiun dan lambatnya pengangkatan penyuluh baru. Akar penyebabnya adalah kurangnya perhatian pemerintah kepada keberadaan dunia penyuluhan, dan lemahnya komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah. Krisis penyuluh juga disebabkan banyaknya tenaga PPL yang beralih bidang ke administrasi. Sementara, para penyuluh kontrak umumnya berumur muda dengan pendidikan beragam, dan juga kurang pengetahuan dan pengalaman.
Akhir Tahun 2010 misalnya, penyuluh Pertanian PNS tinggal sebanyak 27.922 orang, dan tahun 2015 mendekati angka 27.000 orang. Sedangkan Penyuluh Pertanian honorer sebanyak 1.251 orang, Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TB PP) sebanyak 24.551 orang. Penyuluh THL diangkat 3 gelombang tahun 2007, 2008 dan 2009 dengan jumlah awal 25.000 orang.
Sementara, Penyuluh Pertanian Swadaya sebanyak 9.628 orang. Sesungguhnya potensi petani maju dan Kontak Tani yang berpotensi menjadi penyuluh swadaya sangat besar, namun belum ada upaya sistematis untuk pengangkatan dan mobilisasinya.
Rekomendasi ke Depan
Untuk solusi pemenuhan KUANTITAS penyuluh, dibutuhkan regenerasi penyuluh profesional berbasis perencanaan SDM, diperlukan untuk menggantikan tenaga penyuluh yang mendekati masa pensiun, beralih fungsi, dan perluasan wilayah kerja penyuluh serta waktu pelatihan yang memadai. Diperkirakan dibutuhkan sekitar 14.000 penyuluh profesional baru dalam waktu 3 (tiga) tahun kedepan. Hal ini dapat dengan mengembangkan konsep rancangan renstra regenerasi penyuluh secara nasional.
Untuk rekrutmen penyuluh ke depan agar diprioritaskan kepada lulusan sarjana, lulus pendidikan profesi, diutamakan lulusan pendidikan penyuluhan dan pendidikan vokasi (terapan). Sedangkan untuk penyuluh swadaya dan swasta adalah Pelaku Utama dan Pelaku Usaha yang berprestasi dan terlatih. Kementerian terkait pertanian,  perikanan  dan kehutanan  agar memperjuangkan  pengecualian moratorium  rekrutmen  PNS khususnya penyuluh dalam lima tahun  ke depan, mengingat semakin lemahnya rasio penyuluh-petani. 
Sehubungan dengan hal tersebut perlu pemanfaatan penyuluh swadaya dan swasta, antara lain dengan memberdayakan  penyuluh pertanian swadaya kurang lebih 39.180 orang, agar termotivasi dalam mendukung swasembada padi, jagung dan kedelai secara efektif dan produktif. Kekurangan tenaga penyuluh pertanian dapat diatasi antara lain dengan merekrut dan membina serta memantau pengelola Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) dan alumni magang jepang menjadi Penyuluh Pertanian Swadaya.
Secara keseluruhan, pengangkatan penyuluh selama ini berbasiskan kepada target pencapaian, yakni program P2BN. Dengan kata lain, pangangkatan penyuluh belum beradasarkan kepada alasan yang  lebih fundamental yakni luas wilayah, jumlah dan sebaran petani, dan lain-lain.
Pengangkatan Kekurangan jumlah penyuluh perlu diatasi dengan rekrutmen dengan memberikan prioritas kepada THL-TBPP yang telah menunjukkan komitmen dan kinerja yang baik, dalam memberikan pelayanan kepada petani. Sebelum memasuki jabatan fungsional, penyuluh telah mendapatkan pelatihan/ pembekalan yang sesuai dengan tugasnya sebagai penyuluh pertanian.  Rekrutmen calon penyuluh harus didasarkan pada perencanaan formasi kebutuhan penyuluh, dan penyuluh yang diusulkan dalam formasi ditempatkan secara konsisten. Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian Pertanian perlu segera menyusun exit strategy yang komprehensif bagi penanganan THL-TBPP.
Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan tenaga penyuluh pertanian PNS dapat dilakukan melalui pendayagunaan Penyuluh Swadaya, untuk itu diperlukan adanya strategi operasional yang menyangkut pengaturan peran, peningkatan kompetensi dan kegiatan yang dikembangkan untuk mendukung terwujudnya pemberdayaan penyuluh swadaya. Mendorong peningkatan pemanfaatan dan pengembangan penyuluh swadaya dan swasta.
Tterkait sisi KUALITAS tenaga penyuluh, agar selalu ditingkatkan kemampuan penyuluh untuk bersinergi dalam mengembangkan strategi pendekatan pembangunan kewilayahan secara lintas subsektor/komoditas sesuai dengan sumberdaya lokal yang tersedia. Pengembangan dan peningkatan kompetensi penyuluh dilakukan melalui pelatihan, baik Pelatihan Dasar maupun Lanjut (teknis). Penguatan kompetensi dan kapasitas profesional penyuluh dapat melalui pendidikan profesi dan standarisasi profesi yang didukung asosiasi profesi. Perencanaan SDM penyuluhan berorientasi profesi semestinya menjadi acuan dan komitmen pengembangan SDM penyuluhan.
Peningkatan kompetensi penyuluh dipengaruhi oleh aksesibilitas mereka terhadap sumber-sumber inovasi teknologi, untuk itu diperlukan adanya system disemininasi inovasi teknologi yang efektif dapat menjangkau para penyuluh di lapangan. Pengembangan Cyber Extension perlu didukung sepenuhnya oleh Kementerian Pertanian karena merupakan upaya yang tepat untuk mendekatkan dan memenuhi kebutuhan inovasi yang layak dikembangkan oleh para penyuluh.
Disarankan bahwa peningkatan kompetensi penyuluh  dapat melalui pendidikan profesi, Diklat dan sertifikasi profesi. Ini bisa dicapai melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, mengembangkan in house training dan on the job training serta meningkatkan temu profesi dengan peneliti.
Dibutuhkan pergeseran paradigma sistem kerja para penyuluh yang lebih partisipatif, mandiri, dan entrepreneur. Penguatan substansi berkenaan dengan kemampuan dalam menganalisis rantai nilai dalam rangka mengembangkan business plan yang aktual dan implementatif bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh juga harus memiliki kemampuan mengembangkan kolaboratif aktualisasi inovasi dan pengembangan program-program terkait.
Komposisi dan pembagian peran dalam satu unit kelembagaan penyuluhan dapat dikembangkan sesuai kondisi lokal.  Pola yang umum adalah dimana Penyuluh Pemerintah sesuai peran ditambah tugas supervisi, Penyuluh Swasta sesuai bidangnya, dan Penyuluh Swadaya yang berasal dari KTNA dan pengelola P4S dengan mengutamakan pada bidang dan wilayah domisilinya.
Profesi penyuluh pertanian harus memberikan kebanggaan bagi para penyuluh. Untuk itu diperlukan adanya peningkatan kompetensi melalui pendidikan profesi, diklat dan sertifikasi profesi serta rekrutmen penyuluh sampai pada tingkat rasio penyuluh-desa yang tepat, diantaranya untuk menggantikan penyuluh yang pensiun. Untuk itu diperlukan adanya upaya dan terobosan khusus untuk peningkatan kompetensi penyuluh yang dapat dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, mengembangkan in house training/on the job training serta meningkatkan temu profesi dengan peneliti untuk meningkatkan kapasitas penyuluh dalam  penguasaan inovasi teknologi;
Peningkatan kompetensi penyuluh pertanian antara lain melaui: (1) pembinaan pengembangan metoda penyuluhan pertanian; (2) pelatihan manajemen dan teknis bagi penyuluh; (3) sertifikasi profesi penyuluh yang disertai dengan pemberian tunjangan profesi penyuluh; (4) peningkatan kapasitas penyuluh dalam memanfaatkan informasi pertanian yang tersedia dan dapat digunakan untuk mengatasi masalah usahatani yang dialami petani; (5) pembinaan karier penyuluh pertanian untuk mencapai jenjang ahli yang memiliki spesialisasi Penyuluh Pertanian; (6) pengabdian masyarakat dari penyuluh pertanian yang dibangun melalui kesepakatan kerjasama antara Badan PPSDMP dengan Perguruan Tinggi.

*****

Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Pasca UU No 23 tahun 2014

Kelembagaan menjadi faktor penentu dan berimplikasi nyata kepada elemen lain sistem penyuluhan pertanian. Selain itu, aspek kelembagaan juga paling dinamis, terutama dengan keluarnya UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dimana terjadi perubahan besar. Sesuai UU ini, penyuluhan perikanan dikembalikan ke pusat, penyuluhan kehutanan ke provinsi, sedangkan penyuluhan pertanian menjadi tanggung jawab semua level secara konkurensi. UU ini mementahkan Perpres Nomor 154 Tahun 2014 tentang Kelembagaan penyuluhan  pertanian Perikanan  dan Kehutanan, yang belum lama terbit.
Kebijakan:
Perlu disitir secara lengkap kebijakan penyuluhan dan pengembangan SDM pertanian sebagaimana tercantum dalam buku “Rencana Strategis Tahun 2010-2014 Badan Penyuluhan Dan  Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian”. Kebijakan Kementerian Pertanian diarahkan kepada:
1.    Pemantapan sistem penyuluhan pertanian  untuk meningkatkan kompetensi penyuluh  yang bersifat polivalen di tingkat  desa dan spesialis di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.
2.    Penempatan satu penyuluh satu desa  untuk mendukung komoditas unggulan.
3.    Pemantapan sistem pelatihan pertanian  berbasis kompetensi dan mendukung pencapaian target utama pembangunan pertanian.
4.    Penguatan kelembagaan pelatihan pertanian pemerintah dan kelembagaan pelatihan petani sebagai pusat pembelajaran yang andal dan mandiri.
5.    Pengembangan  kualitas  pendidikan tinggi kedinasan pertanian yang mampu  menghasilkan tenaga fungsional RIHP dan tenaga Karantina Pertanian yang profesional dan kompeten.
6.    Meningkatkan kualitas pendidikan menengah pertanian yang mampu menghasilkan tenaga teknis pertanian tingkat menengah dan wirausahawan muda pertanian.
7.    Mengembangkan sistem standardisasi dan sertifikasi  profesi pertanian untuk memenuhi kebutuhan SDM pertanian yang profesional dan kompeten.
8.    Pemantapan sistem administrasi dan manajemen untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih
Struktur kelembagaan penyuluhan nasional secara jelas disampaikan dalam UU 16 tahun 2006, mulai dari pusat sampai daerah.  Kelembagaan penyuluhan pemerintah pada tingkat pusat berbentuk Badan yang menangani penyuluhan, pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan, pada tingkat kabupaten/kota berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan, dan pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan.
Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa Badan penyuluhan pada tingkat pusat mempunyai tugas: (a) Menyusun kebijakan nasional, programa penyuluhan nasional, standardisasi dan akreditasi tenaga penyuluh, sarana dan prasarana, serta pembiayaan penyuluhan; (b) Menyelenggarakan pengembangan penyuluhan, pangkalan data, pelayanan, dan jaringan informasi penyuluhan; (c) Melaksanakan penyuluhan, koordinasi, penyeliaan, pemantauan dan evaluasi, serta alokasi dan distribusi sumber daya penyuluhan; (d) Melaksanakan kerja sama penyuluhan nasional, regional, dan internasional; dan (e) Melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh PNS, swadaya, dan swasta.
Untuk melaksanakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan optimalisasi kinerja penyuluhan pada tingkat pusat, diperlukan wadah koordinasi penyuluhan nasional nonstruktural yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden. Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi, gubernur dibantu oleh Komisi Penyuluhan Provinsi. Komisi ini bertugas memberikan masukan kepada gubernur sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi.
Bakorluh mempunyai tugas: (a) Melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi lintas sektor, optimalisasi partisipasi, advokasi masyarakat dengan melibatkan unsur pakar, dunia usaha, institusi terkait, perguruan tinggi, dan sasaran penyuluhan;  (b) Menyusun kebijakan dan programa penyuluhan provinsi yang sejalan dengan kebijakan dan programa penyuluhan nasional; (c) Memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan forum masyarakat bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya dan memberikan umpan balik kepada pemerintah daerah; dan (d) Melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh PNS, swadaya, dan swasta.
Selanjutnya, Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat kabupaten/kota bertugas: (a) Menyusun kebijakan dan programa penyuluhan kabupaten/kota yang sejalan dengan kebijakan dan programa penyuluhan provinsi dan nasional; (b) Melaksanakan penyuluhan dan mengembangkan mekanisme, tata kerja, dan metode penyuluhan; (c) Melaksanakan pengumpulan, pengolahan, pengemasan, dan penyebaran materi penyuluhan bagi pelaku utama dan pelaku usaha; (d) Melaksanakan pembinaan pengembangan kerja sama, kemitraan, pengelolaan kelembagaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, serta pembiayaan penyuluhan; (e) Menumbuhkembangkan dan memfasilitasi kelembagaan dan forum kegiatan bagi pelaku utama dan pelaku usaha; dan (f) Melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh PNS, swadaya, dan swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan.
Satu produk kebijakan penting berkenaan dengan kelembagaan ini adalah Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Aturan ini yang selalu diacu untuk memutuskan apakah penyuluhan harus bergabung dengan Dinas atau BKP, atau tersendiri dengan membentuk Bapeluh. 
Pasal 19 menyebutkan bahwa besaran organisasi perangkat daerah ditetapkan berdasarkan 3 variabel yakni jumlah penduduk, luas wilayah, dan nilai APBD. Besaran organisasi Perangkat Daerah Provinsi (Pasal 20) dibedakan antara nilai total kurang dari 40, antara 40 sampai 70, dan di atas 70 point. Jika lebih dari 70 misalnya, maka boleh membentuk dinas paling banyak 18 unit, dan lembaga teknis daerah paling banyak 12 unit. Semakin besar nilai yang dimiliki daerah bersangkutan, makin besar pula kesempatan pembentukan Bakorluh secara tersendiri. Demikian pula untuk level kabupaten/kota. Jika mampu mencapai point 70 lebih maka dimungkinkan membentuk dinas paling banyak 18 unit ditambah 12 unit lembaga teknis daerah.
Lebih jauh pada Pasal 22 disebutkan bahwa penyusunan organisasi perangkat daerah berdasarkan pertimbangan adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Penanganan urusan tidak harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Dalam hal beberapa urusan yang ditangani oleh satu perangkat daerah, maka penggabungannya sesuai dengan perumpunan urusan pemerintahan yang dikelompokkan dalam bentuk dinas dan lembaga teknis daerah. Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk Badan salah satunya terdiri dari bidang ketahanan pangan. Inilah dasarnya mengapa Bapeluh sering digabung dengan BKP.
Aturan lain yang sangat penting adalah Peraturan Presiden No 154 tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pada Pasal 2 dijelaskan bahwa kelembagaan penyuluhan mencakup mulai dari pusat sampai kecamatan. Azasnya adalah konkurensi. Lalu, pada Pasal 12 terbaca bahwa di tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan. Aturan ini sesuai dengan posisi struktur kelembagaan penyuluhan pertanian pasca UU 23 tahun 2014.
Permasalahan:
Permasalahan pokok yang ditemui adalah LEMAH DAN TIDAK SERAGAMNYA KELEMBAGAAN PENYULUHAN, terutama di level kabupaten/kota. Sebagian wilayah telah membentuk Bapeluh sendiri atau menggabungkan dengan BKP, namun masih banyak yang menempatkan penyuluh terpisah-pisah di bawah dinas teknis masing-masing. Akibatnya, efektivitas penyuluhan rendah, kurang terkoordinasi, dan jati diri penyuluhan kendor.
Tahun 2013, ketika Perpres Kelembagaan belum terbit, menyebabkan ketidakpastian kelembagaan penyuluhan dan KERANCUAN PENYELENGGARAAN PENYULUHAN DI DAERAH. Kinerja penyuluhan sangat tergantung pada tingkat pemahaman dan komitmen pimpinan daerah. Koordinasi yang baik antar komisi penyuluhan di Pusat berpotensi mengatasi kesulitan komunikasi dan koordinasi akibat keragaman dan kerancuan pemahaman kebijakan dan implementasinya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Sementara, kelembagaan penyuluhan pertanian di pusat masih membutuhkan penguatan dan penyempurnaan manajemen, sehingga pada level ini masih banyak yang harus dilakukan, mulai dari melengkapi berbagai kebijakan, meningkatkan apresiasi pihak non penyuluhan, serta menyusun pedoman umum bagaimana penyuluhan pertanian semestinya.
Perlu dirumuskan pembangunan pertanian yang diarahkan atau berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan petani melalui pengembangan SDM pertanian dan guna merangsang petani memproduksi komoditas pangan strategis sehingga meningkatkan pendapatan petani yang mampu memberikan insentif kepada penyuluh pertanian.
Rekomendasi ke Depan
Sistem penyuluhan pertanian harus mengintegrasikan sistem agribisnis untuk meningkatkan dan mengembangkan motivasi pelaku utama pertanian, serta menghindarkan stagnasi produksi. Hal ini perlu didukung oleh sistem informasi aktual dan dinamis berkelanjutan. Untuk itu, JEJARING SISTEM PENYULUHAN harus mampu mensinergikan sistem informasi agribisnis dan agroindustri melalui integrasi sistem agribisnis antar wilayah.
Dalam proses transformasi sistem pertanian terpadu ke arah pertanian organik diperlukan sistem penyuluhan pertanian yang menekankan peningkatan peran, kualitas, dan kuantitas human capital, dalam pengembangan sub-sub sektor pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Hal ini diperlukan guna mengurangi ketergantungan terhadap faktor produksi (input) eksternal, antara lain dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal secara terintegrasi.
Penyuluhan pertanian perlu menyusun dan mengembangkan prioritas komoditas di setiap wilayah kerjanya, baik komoditas lokal maupun nasional. Hal ini harus didukung pengembangan jejaring sistem pemasaran dan pengolahan hasil yang dapat memberikan nilai tambah bagi pelaku utama dan pelaku usaha di sektor pertanian.
Pihak penyuluhan harus dapat MENGADVOKASI DIREKTORAT JENDERAL teknis lingkup Kementerian Pertanian untuk menempatkan penyuluhan sebagai unsur esensial yang harus dijadikan kunci keberhasilan pencapaian program pembangunan pertanian serta menjadi penggerak dalam meningkatkan integrasi antara penyuluhan dengan potensi perguruan tinggi, baik untuk memberikan masukan untuk kebijakan maupun pada tataran implementasi.
Fungsi Eselon I Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian sangat strategis untuk memperjuangkan efektivitas sistem penyuluhan pertanian. Permasalahan di daerah, diketahui bahwa lemahnya pembentukan kelembagaan penyuluhan di daerah disebabkan KETIDAKKONSISTENAN ANTARA PERATURAN di atas, yakni antara UU 16 tahun 2006 dengan aturan batasan jumlah badan dan dinas di level Pemda tingkat II. Untuk itu disarankan ide penghargaan (award) kepada pengambil kebijakan di daerah bagi Bupati/Walikota atas komitnya terhadap penyuluhan. Penyuluhan perlu menjadi URUSAN WAJIB pada daerah-daerah yang dinilai potensial untuk pengembangan pertanian pangan. Perlu pula diperkuat peran asosiasi penyuluh sebagai pengontrol penguatan sistem penyuluhan.
Rekomendasi berkaitan dengan UU 23 tahun 2014
Merespon kelahiran UU 23 tahun 2014 dimana timbul berbagai isu di daerah, diusulkan penerbitan Kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten /Kota tentang pembenahan fungsi kelembagaan Dinas, Badan Pelaksana Penyuluhan, didukung kejelasan penguatan sinergi pembagian fungsi mendukung peningkatan produktivitas sesuai dengan Permentan Nomor 131 Tahun 2014.
Juga disampaikan tiga alternatif menyikapi UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu berupa: (a) Desentralisasi penuh namun berimplikasi kepada lemahnya aspek-aspek pemberdayaan kelembagaan penyuluh, efektivitas alokasi anggaran, penguatan profesionalitas dan efektivitas fungsi penyuluh dan penyuluhan; (2) Konkurensi secara proporsional dengan pembagian urusan Pusat dan Daerah sesuai kesiapan dan komitmen Pemda, dan (c) Sentralisasi sistem penyuluhan, namun berbenturan dengan komitmen otonomi daerah. KPPN merekomendasikan untuk menerapkan pola konkurensi.
Sebagaimana pasal 15 UU No 23 tahun 2014, secara jelas disebutkan bahwa penyuluhan pertanian merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah, atau dilaksanakan SECARA KONKURENSI. Penyuluhan Pertanian tidak menjadi bagian dalam lampiran UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dengan kata lain, penyuluhan pertanian tetap dijalankan dengan berpedoman kepada UU No 16 tahun 2006 tentang SP3K. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah sehingga tidak ada alasan untuk tidak memperhatikan kelembagaan dan operasionalisasi penyuluhan pertanian.
Pelaksanaan penyuluhan pertanian dengan pola konkurensi membutuhkan dukungan kebijakan yang kuat yakni Perpres. Namun demikian, bagaimana formasi pelaksanaan kongkurensi tersebut membutuhkan berbagai proses sebelumnya, yaitu penyusunan NSPK (norma, standar, prosedur, dan kriteria) yang harus disusun oleh Kementerian Pertanian, lalu diikuti dengan pemetaan dan pembagian urusan pemerintahan bidang pertanian, khususnya sub bidang penyuluh pertanian.
Karena proses ini membutuhkan waktu, dimana diberikan batasan maksimal 2 tahun yaitu semenjak UU No 23 tahun 2014 diundangkan, yakni sampai dengan 2 Oktober 2016, maka keberadaan kelembagaan penyuluhan di daerah tidak dirubah. Hal ini sudah diperjelas dengan Surat Edaran Mendagri tanggal 16 Januari 2015 yang intinya adalah untuk tidak melakukan perubahan dalam kelembagaan Badan Koordinasi dan Badan Pelaksana Penyuluhan di daerah, menunggu revisi Perpres No 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

*****