Jumlah pe-longok :

Selasa, 24 Januari 2017

MEMFUNSGIKAN DINAS PERTANIAN SEBAGAI KANTOR PENYULUHAN

Oleh: Syahyuti
(dimuat dalam koran SINARTANI edisi Senin, 23 Januari 2017)
Bulan-bulan terakhir ini di daerah sedang gaduh pembentukan SOPD (Satuan Organisasi Perangkat Daerah) yang baru sesuai amanat UU No 23 tahun 2104 tentang Pemerintahan Daerah. Di antaranya adalah kegalauan penyuluh pertanian karena harus masuk ke Dinas Pertanian atau ke Badan Ketahanan Pangan. Di banyak daerah, penyuluhan hampir pasti sudah menjadi bagian dalam Dinas Pertanian. Hampir pasti pula bahwa Bakorluh di tingkat propinsi dan Bapeluh di tingkat kabupaten/kota dihapus. Kondisi ini merupakan implikasi dari pemberlakuan UU Pemda tersebut, dimana hanya ada dua urusan pemerintah yang terkait dengan Kementan, yakni urusan Pemerintah Bidang Pertanian (Lampiran AA) dan Urusan Pemerintah Bidang Pangan (Lampiran I).
Perebutan antara Dinas teknis dengan penyuluhan, yakni apakah penyuluhan berkantor sendiri atau masuk dalam dinas, sudah berulang kali berlangsung. Keluarnya UU Penyuluhan tahun 2006 menjadi legislasi kuat pendorong terbentuknya Bakorluh dan Bapeluh. Namun, lalu datang “badai” UU tentang Pemda, dimana Bakorluh dan Bapeluh bertumbangan.
Perebutan dan tarik ulur ini tampaknya bisa terjadi terus menerus entah sampai kapan. Jika tidak ada terosoban pemikiran baru, maka energi kita akan habis bolak-balik mengurusnya.
Untuk itu, kenapa kita tidak terfikir untuk menggabungkan saja kedua kantor ini. Tulisan ini mengajak untuk bicara tentang isi, bukan bungkus. Bungkusnya tetap Dinas Pertanian, tapi isinya penyuluhan. Artinya, ini adalah solusi kultural yang lebih paradigmatis, tidak lagi sekedar pendekatan teknis-struktural. Dan yang penting, landasan teoritis penggabungan ini sangat kuat, dimana kalangan ahli penyuluhan sudah lama membicarakan ini. Mereka menyebutnya sebagai sistem “penyuluhan modern” (modern extension management). Sementara, di berbagai negara sistem ini pun sudah diterapkan dan terbukti sukses.
Peran Penyuluhan Pertanian Modern Lebih Luas
Mulai pertengahan tahun 1980-an sesungguhnya penyuluhan di berbagai negara termasuk di Asia telah mulai mengembangkan sistem penyuluhan modern. Anjloknya nilai bantuan internasional, terutama dari Bank Dunia, membuat pemerintah memikirkan sistem penyuluhan baru yang lebih murah dengan melibatkan berbagai elemen. Apa ciri penyuluhan modern?
Menurut Swanson and Rajalahti (2010), penyuluhan modern tidak lagi sekedar transfer teknologi (Technology Transfer Extension Models) yang cenderung searah dan sempit. Sementara, FAO mengenalkan SARD (Sutainable Agricultural and Rural Development), dimana fungsi penyuluhan lebih luas dari sekedar mentransfer teknologi, namun juga mencakup upaya untuk memobilisasi, mengorganisasikan, dan sekaligus mendidik petani. Pendekatan penyuluhan lebih mengutamakan pada pemecahan masalah langsung petani (Swanson et al. 1997).
Semenjak dahulu sesungguhnya penyuluhan memang tidak hanya sekedar “ngomong” bicara tentang teknologi. Fungsi penyuluh mestinya begitu luas. Di kalangan ahli dikenal tiga kelompok fungsi penyuluhan, yaitu: pertama, fungsi wajib (Must Functions). Ini adalah tugas pokok penyuluhan yang selama ini sudah kita kenal,  yakni membangkitkan kesadaran, pendidikan, dan transmisi informasi.
Kedua, fungsi “dapat” (Can Functions), yakni penyediaan input untuk petani (obtaining production inputs), bantuan pemasaran, supervisi uji lapang teknologi, dan menyediakan prasarana pertanian (providing infrastructure). Intinya adalah pada pemecahan masalah. Ketiga, fungsi "interfering functions" yang mencakup aspek kebijakan (policing duties), membantu pemenuhan permodalan, dan pengumpulan data statistik termasuk melakukan sensus dan analisis pasar.
Ahli lain, misalnya Rivera (1997) menyebut bahwa ciri penyuluhan modern berbasiakan kebutuan (system demand-driven), partisipatif, bottom-up, dan efisien. Chamala and Shingi (2007) menambahkan, fungsi penyuluhan modern lebih luas dari sekedar mentransfer teknologi, namun juga mencakup upaya untuk memobilisasi, mengorganisasikan, dan sekaligus mendidik petani. Dari sisi managemen, Cees Leeuwis (2006) menambahkan bahwa kantor penyuluhan yang baru semestinya berbentuk koheren. Tidak lagi terpisah-pisah, namun menyatu dengan instansi lain.
Paradigma penyuluhan baru ini sejalan belaka dengan UU 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3), di antaranya adalah demokratif dan partisipatif (Pasal 2),  Penyuluhan tidak pada sekedar peningkatan produksi pertanian, namun pada manusianya (Pasal 3), menerapkan manajemen yang terintegratif, tidak lagi terpasung ego sektoral (Pasal 6 dan 7), pelibatan masyarakat petani, dan menjadikan petani sebagai subjek penyuluhan. (Pasal 6 point b, dan pasal 29). Pemerintah dan pemerintah daerah diamanahkan untuk memfasilitasi dan mendorong peran serta pelaku utama dan pelaku usaha dalam pelaksanaan penyuluhan.
Penyuluhan pertanian di Indonesi sudah berjalan hampir 50 tahun. Maka saat ini, pengetahuan petani dalam usahatani pangan sesungguhnya sudah memadai, keterampilan pun sudah cukup.  Masalah yang dihadapi petani kini adalah bagaimana mendapatkan benih berkualitas dengan harga terjangkau, pupuk tersedia tepat waktu, dan akses yang terbuka untuk pasar produk. Ini lah peran penyuluh modern, yakni untuk pemecahan masalah (problem-solving) langsung sehari-hari secara menyeluruh.
Pada intinya penyuluhan melihat pada aspek manusianya (SDM), dan penyuluh bertugas memenuhi seluruh yang dibutuhkannnya, baik yang bersifat abstrak (informasi dan pengetahuan), juga material yang nyata (benih, pupuk, dan lain-lain). Dalam peran penyuluh sebagai role organisasi, di tangan penyuluh lah bagaimana kebutuhan benih, pupuk, air, obat-obatan, serta pemasaran hasil pertanian dipenuhi dan dijalankan.

Dinas Pertanian sebagai Rumahnya, Penyuluhan Pertanian Isinya
Tarik ulur penyuluh antara dinas dan Bakorluh/Bapeluh harus dihentikan. Perebutan ini telah berlangsung berulang kali, bolak balik. Mengintegrasikan kantor penyuluhan dengan kantor dinas sangat sesuai dengan teori penyuluhan modern dan juga UU tentang Pemerintah Daerah yang berbasiskan efisiensi.
Sekarang lah saatnya, menyatukan Dinas Pertanian dengan penyuluhan. Menjalankan Dinas Pertanian dengan “ruh penyuluhan” merupakan sebuah upaya perjuangan kultural yang tentu tidak mudah. Kita selama ini baru pandai melakukan sekedar utak-atik struktural, yakni memecah-mecah kantor menjadi dua, tiga atau empat unit; lalu tidak lama kemudian menyatukannya lagi.
Apa yang berbeda jika penyuluhan menjadi ruh kantor Dinas Pertanian? Secara struktur tidak ada perubahan yang besar. Yang berbeda adalah dalam hal semangat, jiwa dan manajemen kerjanya. Dengan menjadikan penyuluhan sebagai kultur Dinas Pertanian maka artinya semua staf sampai pimpinan bekerja dengan menjadi kan petani sebagai subjek, mendengarkan petani dengan empati mendalam, bertanya apa masalah dan kebutuhan petani sebelum menyusun program, mendiskusikan secara sejajar dengan petani apa solusi yang baik menurut mereka, dan seterusnya. Artinya, kita tidak lagi bekerja dengan target-target sepihak, memberikan benih yang belum tentu mereka sukai, memaksa mereka bertanam padahal sedangkan air belum ada, dan lain-lain.
Dinas Pertanian akan bekerja dengan prinsip demokratis dan partisipatif. Penyuluhan bukan sekedar Bagian atau Bidang saja, namun ruhnya menjalar di seluruh tubuh dinas. Dinas bekerja dengan menjadikan petani dan kesejahteraannya sebagai indikator keberhasilan Dinas, selain pencapaian produksi. Artinya, Dinas memperhatikan tingkat upaha buruh tani yang manusiawi, sistem bagi hasil yang adil, nilai sewa lahan yang tidak merugikan petani penggarap, dan seterusnya.
Kita di Indonesia sudah sangat akrab dengan konsep-konsep pembangunan partisipatif, pembangunan berdimensi kerakyatan, demokratis, memanusiakan petani, farmer fisrt, dan seterusnya. Mestinya, penyuluhan lah yang menjadi payung dari semua ini. Jika kita konsisten dengan ide-ide ini, maka sistem pembangunan dengan “semangat penyuluhan” mampu merangkum semuanya.
Paradigma Penyuluhan Pertanian pada abad ke-21 menjadikan penyuluh tidak hanya sebagai sistem penyampaian (delivery system) bagi informasi dan teknologi pertanian untuk peningkatan produksi,  tapi harus menjadi sistem yang berfungsi menciptakan pertanian sebagai suatu usaha yang menguntungkan bagi petani. Di Thailand ada Department of Agricultural Extension dengan peran meningkatkan kapasitas produksi pertanian, pengolahan, meningkatkan nilai tambah pertanian, melakukan promosi, juga melakukan kontrol kualitas produk.
Sementara di Nepal, penyuluh tidak perlu berkantor sendiri karena perannya adalah “koordinator”. Penyuluh pemerintah pada posisi memfasilitasi pelaku lain terutama penyuluh swasta (private sectors extension). Dalam ranah ilmu pembangunan partisipatif, keberadaan lembaga penyuluhan begitu terang benderang sebagai koordinator pembangunan pedesaan. Tulisan Qamar (tahun 2005) sudah menggariskan agar “Perluas mandat penyuluhan untuk mampu melayani berbagai kebutuhan pembangunan sumberdaya manusia di pedesaan”.
Kantor Dinas Pertanian yang baru nantinya hasil “perkawinan” ini nantinya akan berupa sebuah “learning organization”, yakni suatu kantor yang dinamis, terus mencari bentuknya yang paling pas. Sesuai dengan kondisi sosial petani dan peta ekonomi pertaniannya. Mereka berkesempatan terus menerus untuk melakukan penyesuaian misi, pelayanan, produk, kultur, dan prosedur organisasinya. Inilah semestinya yang diperjuangkan bersama, bukan lagi sekedar kalah menang kantor A atau kantor B. Kita sudah cukup melakukan “perang struktural”, saat ini kita membutuhkan “perkawinan kultural”.
Dalam bentuk baru ini, Dinas Pertanian juga menjadi kantornya para penyuluh swadaya dan swasta. Maka Dinas Pertanian harus mampu memobilisasi kedua jenis penyuluh ini, sebagai mana amanat UU 16 tahun 2006 tentang SP3. Penggabungan ini akan terwujud secara lebih nyata nantinya di level lapang, yakni pada Balai Penyuluhan Pertanian (BPP atau BP3K).
*****