Jumlah pe-longok :

Sabtu, 28 Mei 2022

Penyuluhan Pertanian dalam UU 11-2019 Sisnas Iptek

Pertanyaan yang menarik kita bahas saat ini adalah apakah penyuluhan pertanian masih akan tetap di bawah Kementan? Lalu, bagaimana sosok penyuluh yang dibutuhkan sesuai UU Sisnas Iptek yang baru saja melahirkan BRIN? Dua aspek ini menarik dibahas,  meskipun biasanya kita mengenal 5 aspek dalam dunia penyuluhan (3 sapek yg lain adalah: penyelenggaraan, sarana dan prasarana, dan anggaran). 

Selain UU 11-2019 SISNASIPTEK, Saya kaitkan pula dengan PERPRES 35-2022 tentang  Penguatan Fungsi Penyuluhan Pertanian yang masih hangat baru saja keluar.

Satu, KELEMBAGAAN Penyuluhan:

Sebagaimana kita tahu, UU 11-2019 Sisnas Iptek berbeda pandangan dengan Perpres 78-2021 (yang sedang di uji materikan di MK karena inkonstitusi bersyarat). Kita bahas yang UU saja. Intinya, UU ini berkarakter INKLUSIF, karena memuat sistem inovasi pertanian (Agriculture Innovation System - AIS). Sisnas Iptek  yang terdiri atas 5 aspek (Litbangjirap) sejatinya inklusif, partisipatif dan kolaboratif koordinatif. Sebaliknya, Perpres 78-2021 begitu eklusif-integratif.

Karater inklusif ini datang dari term sistem inovasi (pertanian) yang menjadi ruh nya. Secara teori, “innovation system” sangat inklusif.  Sejak akhir tahun 2000-an orang-orang pakai interactive learning atau “Agricultural Innovation System” (AIS); sebelumnya ada transfer technology dll. Ini bisa ditelurusi dari definisi AIS menurut FAO, OECD dll. Kata “inovasi” diulang  60 kali di UU ini. Invensi dan inovasi dibahas khusus di bagian kelima (pasal 34 - 38).

Pasal 1 menyebut bahwa Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah pola hubungan yang membentuk keterkaitan …. antarunsur kelembagaan dan sumber daya sehingga terbangun jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi  sebagai satu kesatuan yang utuh …. “.  Pasal 13 ayat 2: Penyelenggaraan Iptek dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok, Badan Usaha, lembaga pemerintah atau swasta, dan/atau perguruan tinggi”.

Jadi, semua masuk, semua pihak bisa terlibat. Maka, akan bertebaran lah nanti di kantor-kantor, kampus, bahkan di saung kelompok tani kata-kata kunci “teknologi”, “Iptek”, “inovasi”, “diseminasi”, dll. Ini akan menjadi buah bibir masyarakat sehari-hari. Dengan ini lah inovasi menjadi landasan dan engine ekonomi.

Maka, Kementerian Pertanian sesungguhnya WAJIB menggunakan nya dalam menyusun program berbasis kata-kata kunci tersebut. Jika tidak, artinya tu pembangunan ga berbasis inovasi. Coba bayangkan Kementerian Pertanian tidak menggunakan Iptek dan inovasi dalam kegiatan nya sehari-hari; lalu mereka pakai basis apa? Kan katanya ekonomi berbasis inovasi, pertanian ya berbasis inovasi. Inovasi teknologi dan knowledge tentunya. Hehe.

Siapa yang harus menjalankan SISTEM INOVASI PERTANIAN INDONESIA?  Membangun dan menjalan sistem inovasi pertanian jelas bukan urusan kecil. Ini organisasi besar dengan banyak aktor, berlapis, berjenjang, dan tersebar luas senusantara. Jika ada satu pihak mengklaim bisa mengerjakan sendiri jelas keliru. Sesuai Pasal 14, Penyelenggaraan Iptek dilakukan melalui Pendidikan, Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan. Ini diurai dari pasal 15 sampai 33.

Artinya, semua pihak di luar BRIN sangat bisa bermain, setidaknya  di Pengkajian dan Penerapan (Pasal 23-33) yakni pada kegiatan perekayasaan, kliring teknologi, audit teknologi, pengujian, pengembangan teknologi, rancang bangun, alih teknologi, intermediasi, difusi Iptek dan komersialisasi teknologi. Ini tampaknya akan dijalankan peneliti dan penyuluh.

Khusus untuk penyuluhan adalah bab Penerapan (Pasal 27-33). Ini rumit dan berjenjang.  Ada 4 cabang kegiatan dan belasan ranting. Empat cabang tersebut adalah: transfer teknologi , intermediasi, difusi, dan komersialisasi.

Lalu, jika melihat pada Perpres 35-2022, bab kelembagaan secara khusus ada di Bab III Penguatan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Kecamatan dan Desa. Pasal 10 menyebutkan: “Penguatan kelembagaan Penyuluhan Pertanian kecamatan dan desa dilakukan dengan: (a) pembentukan, penetapan, dan peningkatan kapasitas BPP; dan (b). penumbuhan dan pemberdayaan Posluhdes.

Dua regulasi ini terlihat saling melengkapi. UU 11-2019 di bagian prinsip-prinsip kelembagaan nya saja, sedangkan Perpres 35 hanya membahas kelembagaan di level kecamatan dan desa. UU Sisnas Iptek memberikan peluang kerjasama, dan khusus untuk level kecamatan dan desa diperkuat melalui Perpres no 35.  Aman, tidak masalah.

Dua, aspek KETENAGAAN Penyuluhan:

Sosok penyuluh pertanian yang dibayangkan UU Sisnas Iptek tampaknya cukup berbeda. Akan lebih banyak tantangan, harus lebih kreatif, dan memiliki ilmu yang lebih luas. Ini kita telusuri dari apa yang harus dijalankan dalam tahap “Penerapan”.

Bab Penerapan (Pasal 27-33) memuat 4 cabang kegiatan dan belasan ranting. Empat cabang tersebut adalah: transfer teknologi , intermediasi, difusi, dan komersialisasi.  Naahhh, rasa-rananya penyuluh kita, terutama yang ASN,  belum faham ini apa. Term-term ini tampak begitu pas utk penyuluh swasta.

Penyuluh misalnya dapat terlibat pada kegiatan alih teknologi dan intermediasi. Pasal 30, intermediasi teknologi merupakan upaya untuk menjembatani proses terjadinya Invensi dan Inovasi antara penghasil dan calon pengguna Teknologi. Sosok penyuluh tentu sesuai dengan fungsi yang diharapkan untuk kegiatan penerapan.

Pasal 31 terkait Intermediasi Teknologi berupa inkubasi Teknologi, temu bisnis Teknologi, kemitraan, dan/atau promosi hasil Invensi. Lalu Pasal 33, komersialisasi teknologi berupa: inkubasi Teknologi, kemitraan industri, dan/atau pengembangan kawasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jadi, penyuluh ke depan tidak hanya faham teknologi, namun ilmu bisnis nya harus lebih kental.

Lalu, apakah PPL swasta dan swadaya diterima di Sisnas Iptek? Jawabnya: ya, diterima.  Boleh. Merujuk ke Pasal 13, Penyelenggaraan Iptek dapat dilakukan oleh: perseorangan, kelompok,  Badan Usaha, lembaga pemerintah, swasta, dan/atau perguruan tinggi.

Perpres 35 -2022, pada Bab IV Penyediaan dan Peningkatan Kapasitas Ketenagaan Penyuluh, Pasal 14 menyebutkan: “Penyediaan dan peningkatan kapasitas ketenagaan Penyuluh dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota melalui: a. penyediaan dan peningkatan kapasitas tenaga Penyuluh Pegawai Negeri Sipil dan Penyuluh yang berasal dari PPPK; b. pengembangan dan pembinaan teknis Penyuluh Swadaya; dan c. pembinaan Penyuluh Swasta.

Pasal 12 Perpres 35: “Peningkatan kapasitas BPP dilakukan melalui penyediaan ketenagaan Penyuluh Pegawai Negeri Sipil dan/atau Penyuluh yangberasal dari PPPK ... dst”. Pasal 13 ayat (2): “Penumbuhan dan pemberdayaan Posluhdes dilakukan melaluipengembangan Penyuluh Swadaya .... dst”.

Artinya, sesuai dengan semangat inklusif UU Sisnas Iptek yang inklusif, serta kentalnya ruh bisnis dan sangat wellcome pada pelaku bisnis, lalu disambut dengan semangat demokratif-partisipatif Perpres 35-2022; maka penyuluh SWASTA dan SWADAYA dapat dan bahkan PERLU diberi tempat yang luas ke depan. Dunia penyuluhan pertanian Indonesia hanya akan bertahan jika memberi ruang dan perhatian yang cukup kepada mereka, yang sampai saat ini belum terlalu jelas pola nya mau dibagaimana-in. Mungkin demikian.

*******

Jumat, 12 November 2021

Bagaimana membangun Kelembagaan Agribisnis ?

Sedikit CATATAN KELEMBAGAAN DEMFARM KARAWANG
 
Sengaja saya sampaikan secara ringkas tentang ini, sebagai catatan bersama. Secara ringkas, ini list yang sudah kita lakukan, sepanjang yang keingetan, berkenaan dengan kelembagaan saja:
 
Tahun 2018:
- PRA dan baseline survey oleh Tim PSEKP
- Mengirim puluhan petani dan petugas studi banding ke Taiwan
- Studi banding ke Jateng dan DIY
- Bimtek petani dan petugas untuk berbagai teknologi
- Pelatihan petani di Balai Pelatihan Lembang
- Identifikasi bisnis dan potensi nya, termasuk potensi pasar dan kemitraan yang mungkin
- Dll
 
Tahun 2019:
- Diskusi dan rembug bisnis petani, penandatanganan kesepakatan
- Workhsop dengan Sekjend, Pemda, pihak Taiwan, dll tentang badan hukum koprorasi
- Bimtek petani oleh berbagai UK/UPT Litbang
- Persiapan magang Polbangtan dan magang mahasiswa Polbangtan
- Dll
 
Apa “kelembagaan”?
 
Kelembagaan memiliki banyak makna. Yang paling luas adalah bermakna = social relation. Segala urusan yang memaksa dua orang harus berinteraksi karena sesuatu hal = merupakan urusan kelembagaan. Maka, ada yang menyebut bahwa kelembagaan seluas sosiologi itu sendiri. Bukan lagi sekedar cabangnya sosiologi.
 
Pengertian yang agak sempit, adalah segala sesuatu yang membuat relasi sosial efektif. Kelembagaan disebut efektif bila transaction cost rendah.
Kalau “organisasi” lebih mudah difahami. Social organization = segala sesuatu yang ada pengurusnya, ketua, sekretaris, anggota. Dibentuk kapan, untuk tujuan apa. Itu lah dia kelompok tani, Gapoktan, koperasi, P3A, UPJA, dll.
 
Kekeliruan selama ini, membuat atau membenahi organisasi sering diklaim telah menyelesaikan urusan kelembagaan. Padahal BELUM.
 
Simplenya, kelembagaan = bagaimana menyelesaikan masalah. Ada 3 pertanyaan pokok, jangan dibolak balik ya: apa yang mau dilakukan, bagaimana melakukannya, siapa yang akan melakukan? Ukurannya adalah mana yang paling baik secara teknis, ekonomi, dan manajerial.
 
Ga semua harus dibereskan di koperasi. Ada yang bisa diselesaikan melalui:
 
(1) Sendiri oleh petani sendiri (menabur benih misalnya),
(2) Atau harus berelasi dengan orang lain namun berupa individual relation. Misalnya beli obat tikus dari kios saprodi, menghubungi buruh tani untuk membantu macul mopok galeng, dll
(3) Atau, melalui collective relation. Ya itu dia melalui kelompok tani, koperasi, dll. Disini petani MEWAKILKAN tindakannya ke pihak lain.
 
Ga semua harus melalui nomor 3, walau kita selalu berfikiran (sadar ga sadar) bahwa BERORGANISASI merupakan cara yang paling ideal.
 
Untuk pemaknaan lebih simple, “kelembagaan ...... ” diikuti kata kerja, misal “kelembagaan penyediaan benih”, “kelembegaan penyediaan TK”, “kelembagaan pemasaran”, dll. Maka ada “marketting institution” di google.
 
Kalo “kelembagaan petani” = SALAH. Buktinya, di google ga ada “farmer institution”.
Kalo “organisasi .... “ diikuti kata benda. “Organisasi petani” = OKE.
 
Bagaimana kami (Tim Kelembagaan PSEKP) memaknai “tugas tim kelembagaan” dalam Demfarm ini?
Kami memaknai kelembagaan secara agak luas. Mencakup dua track sekaligus = track BISNIS dan track ORGANISASI.
 
Jadi, kelembagaan bukan kami batasi hanya sekedar organization. Tidak sekedar membenahi kelompok tani, ganti pengurus Gapoktan, benahi P3A, atau bikin 3 atau 5 koperasi. Namun, lebih kepada bagaimana bisnis nya berjalan dulu. Apa bisnis yang akan kita buat, apa itu mungkin sec teknis, apa lebih untung, berapa potensi pendapatan, dan lalu siapa yang akan menjalankan.
 
Setelah kira-kira bisnis jalan, baru organisasi nya akan dibentuk. Begitu niatnya.
Namun apa yang telah disusun, direncanakan, dan disepakati dengan petani ga berjalan mulus. Selain keterlambatan dukungan prasarana dan sarana, juga dari masyarakat.
 
Berkenaan dengan organisasi, ada kesan kok Tim Kelembagaan lama sekali bikinnya. Memang benar. Alasan nya ada dua:
 
1. Kita tidak ingin bikin organisasi sebelum bisnis yang akan diurusnya belum jelas bentuknya. Kita ga mau “koperasi pepesan kosong” misalnya. Bikin koperasi kalo dipaksa 2 minggu juga bisa, tapi kemudian nol ga ada kegiatan. Pastinya akan bubar juga.
 
2. Kita ga ingin buru-buru, kuatir salah orang. Sekali seseorang sudah diangkat, tapi ternyata ga capable ga jujur dll; kan berabe. Jadi sambil mengembangkan bisnis kita lirik-lirik siapa nih yang pas untuk jadi ketua koperasi ntar nya.
 
Berkenaan dengan bentuk badan hukum korporasi
 
Demfarm ini diawali dengan meraba-raba. Meski sudah ada Permentan 18-2018 ttg korporasi, namun bagaimana bentuk yang pas kita belum satu suara. Maka, dengan segala ilmu yang ada, dihadapkan karakter bisnis yang akan kita kembangkan, maka lalu kita sepakat membentuk PERUSAHAAN. Pihak Taiwan seiya dengan ini, juga pihak Bank Mandiri sebagai calon mitra kita di pendanaan dan IT. Bahkan kita sudah mau sewa konsultan untuk membantu urus aspek legalnya.
 
Namun tiba2, tampaknya lebih karena legalitas penyerahan asset Kementan, lalu berkembang ide BUMD dan BLU. Setelah diworkhsopkan (sekitar Ramadhan lalu), berubah lagi.
Berkenaan dengan ini, saran Biro Hukum terakhir, setelah diskusi berkali-kali, adalah: “bantuan pemerintah masih bisa kalau berbentuk koperasi, kalau perusahaan ga”. Maka, jalan tengahnya adalah bisa saja kita bikin dulu koperasi, lalu besok-besok koperasi bikin lagi perusahaan.
 
Apa yang sudah kita kerjakan?
 
Biar enak difahami, saya akan jelaskan dalam bisnis per bisnis. Setiap bisnis sudah dilakukan analisis potensi nya walau kasar, juga telah disepakati dengan petani siapa2 yang akan terlibat, ancar-ancar harga dan biaya, dll. Calon2 pelaku dan pengurusnya juga sudah diancar-ancar siapa orangnya? Belum diformalkan memang.
 
Satu, Bisnis penangkaran dan produksi benih bermutu
Untuk bisnis ini, telah distusi potensi bisnis nya, juga mengidentifikasi petani yang berminat, lalu bersama BB Padi kita telah diadakan Bimtek perbenihan petani penangkar, pendampingan petani 10 ha (BB Padi dan BPSB). Tanam Sept 2019. Potensi pendapatan Rp 130 juta/th. Lumayan. Sementara 10 ha nanti akan berkembang lagi.
 
Panen calon benih 10 ha akan terjadi pada Des 2019. Disepakatai korporasi (jika sudah terbentuk) akan membeli calon benih dari petani penangkar. Butuh modal kerja: 50 ton x Rp 5.500 = Rp 275 juta. Lalu, korporasi akan melakukan prosessing benih, pelabelan, pemasaran benih secara komersial (di lokasi Demfarm dan keluar).
 
PR kita sampai Des ini adalah: sosialisasi dan persiapan pembentukan koperasi, pembentukan koperasi primer (jenis koperasi produksi) benih padi unggul, lalu pendampingan manajemen dan administrasi koperasi.
 
Dua, bisnis produksi beras premium
 
Tadinya ini akan jadi icon Demfarm kita. Kita telah adakan analisis potensi bisnis, sosialisasi, penyusunan bisnis plan, penyiapan petani serta KT dan Gapoktan sebagai suplier, kontrak dengan Food Station Jakarta, dan upaya pengajuan modal kerja ke Bank Mandiri. Potensi pendapatan 10,2 M / tahun
Kebutuhan modal kerja: 30 ton gabah/hari x Rp 5.000 = Rp 150 juta per hari. Sebutlah Rp 3 M. Kita sudah sadar sejal awal, ini akan bisa jadi bottle neck serius, karena kementerian teknis secara teori ga boleh kasih uang cash sebesar itu. Pinjam atau pun cuma-Cuma. Karena itu, tim sudah beberapa kali diksui langsung ke Bank Mandiri, kira2 skim apa yg mungkin apa syaratnya, dll. Salah satunya adalah perusahaan korporasi harus berdiri dulu.
 
Untuk pemasaran sudah beberapa kali ngobrol ke food station Jakarta, dan mereka siap menampung 500 ton/ bulan.
 
PR kita: sosialisasi bersama Dinas Koperasi dll, pembentukan koperasi sekunder (produksi) beras premium, serta pendampingan manajemen dan administrasi koperasi. Mendampingi KT dan Gapoktan membantu suplay gabah (memperoleh fee). Yang utama, bagaimana caranya RMU ada dan beroperasi. Ini juga butuh perbaikan bangunan, pengadaan RMU nya, test, dryer, dll.
 
Tiga, Usaha jasa Alsintan.
 
Sudah dilakukan analisis potensi bisnis, sosialisasi dan rembug petani dan pengelola UPJA, pembentukan penangung jawab, penyepakatan pengelolaan di bawah UPJA. Potensi pendapatan trakktor Rp 400 jt/th, combine Rp 960 jt/th.
Alat yang sudah ada: traktor, transplanter, dan combine harvester; gudang penyimpanan di Desa Jaya Makmur. Organisasi2 petani yang sudah pegang Alsintan bantuan siap bekerjasama dengan koperasi ini.
 
PR kita: pengembangan jaringan pemasaran samlai ke luar kecamatan, sosialisasi dan persiapan pembentukan koperasi, pembentukan koperasi primer usaha (bidang jasa) Alsintan, serta pendampingan manajemen dan administrasi koperasi.
 
Empat, Usaha produksi dan dagang sarana produksi (itik dan padi)
 
Kita sudah studi potensi bisnis, nilainya, dan rembug, serta calon pengelola sementara. Koperasi bermaksud sebagai penyalur pupuk bersubidi, penjualan obat-obatan, produksi pakan itik. Kita telah observasi potensi pakan lokal, diskusi bisnis pakan dengan peternak, kesepakatan harga pakan (maks Rp 5.000 /kg). Penetasan telur (di Jayakerta dan Balitnak), penjualan telur segar, perbaikan manajemen kandang, pemindahan lokasi kandang, pendampingan manajemen usaha, bagi hasil, dll.
 
PR kita: penyediaan dan operasional mixer; pembelian telur petani, penetasan, produksi DOD dan pullet; penjualan telur segar dan olahan; sosialisasi dan persiapan pembentukan koperasi; pembentukan koperasi primer (bidang produksi dan perdagangan) saprodi padi dan itik, serta pendampingan manajemen dan administrasi koperasi.
 
Sedikit catatan, untuk usaha bisnis produk hortikultura, sudah dilakukan pemilihan petani kooperator, pembentukan kelompok petani kooperator, rembug petani, Bimtek oleh Balitsa dan Taiwan, pemilihan lahan, penanaman di lapang. Untuk sementara bidang ini masih di bawah pihak Balitsa dan Taiwan.
Jadi, kita akan bentuk 3 koperasi primer + 1 koperasi sekunder. Satu koperasi satu bidang usaha. Tidak berbasis wilayah desa seperti ide sebelumnya.
 
Apakah ini tepat? Monggo didiskusikan lagi. Dalam urusan sosial ekonomi begini ga ada hitam putih. Ga ada salah total, ga ada benar mutlak.
 
Untuk organisasi lain:
 
Untuk yang tergolong “kelembagaan petani” (istilah yang ga pas) yakni KT, Gapoktan, dst; kita telah lakukan pelatihan dan Bimtek manajemen organisais petani tahun 2018 di BPLPP Lembang, penguatan manajemen pengurus, dan kesepakatan bagaimana mitra dalam bisnis korporasi.
PR kita adalah: membuat kesepakatan lanjutan dan kontrak bisnis dengan korporasi (sebagai suplier), dan pembenahan P3A dan GP3A (penggalian masalah lagi, diskusi, kesepakatan revitaliasi, penguatan manajemen). Khusus P3A dan GP3A perlu mendapatkan dukungan dari pemerintahan desa (posisi sebagai aparat desa), pendampingan operasional micro dam dan OP irigasi, honor dari korporasi.
Demikian, maaf agak panjang, semoga mangfaat. Aamiin

*****

Minggu, 11 Juli 2021

Penyuluh pertanian versus "PETUGAS PERTANIAN"

 

Ini masalah lama, yang sudah berlangsung sejak era Bimas. Penyuluh yang teorinya untuk transfer teknologi, rupanya malah sibuk dengan "urusan rutin sehari-hari", misalnya mengurus RDKK, CPCL, menyusun laporan, proposal, mengurusi pupuk telat, kartu tani macet, dll. Apakah ini salah? Coba kita dudukkan.

Ini adalah indikasi betapa memang penyuluh pertanian selama ini lebih difungsikan sebagai "PETUGAS PERTANIAN", dibanding sbg penyuluh. Terutama semenjak penyuluh masuk di dinas, maka "tugas harian" seperti ini semakin "tidak bisa dielakkan".

Tapi, kondisinya di lapang memang demikian. Yang sangat mendesak dibutuhkan saat ini, adalah adanya petugas/personil yg harus menyelesaikan ini itu. Nah, karena yg ada sehari2 di desa hanya penyuluh, yang hafal tiap petak sawah ya penyuluh, yang tahu nomor HP ketua KT ya penyuluh; ya tentu saja penyuluh akhirnya yg membereskan.

Sebenarnya, jika di level BPP ada petugas lain, misal di propinsi yang masih ada UPT pertanian nya, maka tugas ini masih bisa terbagi. Di Jabar kalo ga salah, utk UPT di level kec minimal ada seorang kep UPT + seorang subbag kepegawaian + seorang petugas pertanian kecamatan (PPK). Namun di daerah lain belum tentu ada. Di Jateng misalnya (?), mohon koreksi, di level BPP/kecamatan benar2 hanya penyuluh saja. Semua hanya fungsional PPL, tanpa ada sebutlah 1-2 orang tukang ketik utk bantu2. Mungkin situasinya demikian.

Secara teori, memang seorang penyuluh tidak hanya sekedar transfer teknologi, tapi juga seorang PROBLEM SOLVER. Namun, apa yg dikerjakan di atas, mengurusi pupuk terlambat, kartu tani macet, dll; tentu juga bukan "problem solver" sbgaimana makna nya dalam ilmu penyuluhan. Dalam konteks manajemen itu mah tugas seorang STAFF mungkin ya.

Dalam referensi, rasanya tidak ada "extension staff", yang ada "extension worker". Kalaupun ada extension staff, ya itu adalah staf adm yang memperlancar kerja penyuluh. Di kita dulu ada, namun sekarang personil di BPP semakin kurang. 

Nah, terkait KOSTRATANI yang keren ini, salah satu critical point dalam menjalankan Kostratani adalah soal PERSONIL. Maka, jika di Kosratani ada 5 "pusat", tampaknya personilnya harus selengkap gambar berikut mungkin ya. Semua pihak kudu bisa dimobilisasi dan dilibatkan dengan optimal. Mungkin begitu. Mohon tanggapan Bapa Ibu penggiat, pengamat dan pelaku penyuluhan nasional.

 

 

 
 
******