1811-1816: Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
1830-1870: era Tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
1870: Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870. Dalam aturan ini dijamin adanya Hak Erfpacht sampai selama 75 tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk menggunakan Hak Eigendom, serta memberi peluang kepada mereka dapat menggunakan tanahnya sebagai agunan kredit. Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas desakan kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel, mereka hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah. Dampak dari hukum kolonial terhadap rakyat tani Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan.
1890: dimulainya “Politik Etnik”, yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa yang lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar