Jumlah pe-longok :

Kamis, 05 Januari 2012

Delandreformisasi

DELANDREFORMISASI SEBAGAI GEJALA ANTI LANDREFORM DI INDONESIA: Karakter, Penyebab Dan Upaya Untuk Pengendaliannya

Oleh: Syahyuti. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. Ahmad Yani 70 Bogor, 16161 (Terbit pada Majalah Forum Agro Ekonomi Vol 29 No.2 tahun 2011)
..... sementara landreform masih jadi mimpi, setiap hari, di setiap wilayah di negara kita, berlangsung DeLandreformisasi. Tak ada yang tahu, tak ada yang mengawasi, dan  tiada yang perduli.....

Abstrak

Semenjak Indonesia merdeka sampai era reformasi, landreform yang telah menjadi perhatian semua pihak, tidak pernah efektif diimplementasikan secara memuaskan. Pada waktu yang bersamaan, berlangsung proses sebaliknya, atau berupa ”delandreformisasi” (istilah dari saya sendiri, bahkan dalam bahasa Inggris pun tidak ditemukan istilah "delandreformization"), yakni suatu kondisi yang bergerak ke arah yang berlawanan dari upaya-upaya landreformisasi, atau secara lebih luas berlawanan dengan tujuan ideal reforma agraria. Hal ini tampak seperti gejala yang alamiah yang didorong oleh lingkungan sosial ekonomi politik maupun dari dalam diri petani sendiri. Proses delandreformisasi selama ini tidak diperhatikan, sehingga belum ada upaya yang serius untuk menanganinya. Beberapa bentuk utama delandreformisasi adalah penjualan lahan oleh petani, fragmentasi lahan sehingga menjadi tidak ekonomis, dan konversi lahan yang sulit dikendalikan. Penyebabnya datang dari berbagai sisi baik karena tekanan ekonomi dan politik, serta sosiokultural masyarakat. Sebagai langkah awal untuk pengendaliannya, dibutuhkan kesadaran bersama bahwa ini suatu proses yang esensial namun selama ini luput  diperhatikan baik dari kalangan pemerintah, masyarakat maupun pengamat.

Kata kunci: delandreformisasi, pernjualan lahan, fragmentasi lahan, konversi lahan

PENDAHULUAN
Meskipun tidak pernah efektif, landreform selalu menjadi wacana di Indonesia dari masa ke masa, mulai dari Orde lama sampai dengan era reformasi. Sementara landreform tidak berjalan, ironisnya, saat ini terus berlangsung proses ”delandreformisasi” (istilah dari saya sendiri, bahkan dalam bahasa Inggris pun tidak ditemukan istilah "delandreformization") setiap hari. Petani secara berangsur-angsur terus menjual lahannya secara sadar dan legal. Jika tidak dijual, juga berlangsung fragmentasi lahan karena proses pewarisan sehingga menjadi tidak lagi layak secara ekonomis untuk digarap. Dalam bentuk lain, konversi lahan yang tidak terkendali, sehingga tata guna lahan untuk pertanian menjadi tidak memadai juga merupakan salah satu bentuk proses yang melawan ide landreform. Semua fenomena ini merupakan sebuah proses ”delandreformisasi”.

Landreform merupakan ide yang secara resmi didukung pemerintah dan setiap saat terus diperjuangkan oleh LSM dan organisasi-organisasi petani. Secara berkala juga dilakukan gerakan aksi untuk mendorong pemerintah agar mau menjalankan lendreform yang sering dijanjikan dan tertuang jelas dalam produk legislasi dan kebijakan pemerintah. Di dunia nyata justeru terus berlangsung proses sebaliknya yang terjadi secara massif. Penjualan lahan oleh petani merupakan peristiwa yang sangat umum, terlebih-lebih pada wilayah yang ekonominya terbuka dan infrastrukturnya terjamin baik. Penjualan lahan oleh petani yang telah pernah dimiliki, yang sebagian besar datang dari warisan keluarga, merupakan peristiwa sosial ekonomi dan kultural yang sangat penting.  Tingkat kesejahteraan keluarga dapat berbalik arah setelah lahan yang selama ini menjadi gantungan ekonomi dilepaskan ke pihak lain.
Namun, fenomena ini selalu luput dari perhatian semua kalangan. Dari sisi hukum, penjualan dan fragmentasi lahan adalah tindakan legal, serta dilayani oleh berbagai komponen keagrariaan pemerintah. Namun, tidak satupun organisasi, baik dari negara maupun LSM dan masyarakat yang berupaya membendung proses ini yang merupakan salah satu akar dari penyebab pemiskinan petani selama ini.  Pengaruhnya semakin besar ketika landreform yang sangat diharapkan tidak kunjung terwujud.
Paper ini memaparkan bagaimana proses delandreformisasi berlangsung, mempelajari pola perkembangannya, memahami penyebabnya, serta menyusun beberapa hal yang semestinya diperhatikan untuk mengontrolnya di masa mendatang.

MEMAHAMI MAKNA DELANDREFORMISASI DARI KERANGKA KONSEP REFORMA AGRARIA

Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria didefnisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, dari empat point tersebut, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi saja, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas berbeda. Yang pertama berbicara tentang hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring.
            Dengan mempertimbangkan berbagai literatur, maka sisi pertama saya sebut dengan “aspek landreform” dan sisi kedua menjadi “aspek non-landreform”. “Landreform” adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Salah satu program landreform yang populer adalah redistribusi tanah. Redistribusi tanah adalah pembagian tanah-tanah yang dikuasai oleh negara dan telah ditegaskan menjadi objek landreform yang diberikan kepada para petani penggarap yang telah memenuhi syarat ketentuan (BPN, 1996). Dalam makna luas, landreform pada hakekatnya adalah seluruh upaya untuk meningkatkan penguasaan lahan petani, baik dari sisi luas maupun kekuatan hak penguasaannya, baik dari tanah negara maupun bukan. Penguasaan lahan yang luasnya cukup penting dari sisi efisiensi usaha khususnya karena tercapainya skala ekonomi.  Ada banyak faktor pendukung landreform, misalnya kebijakan tata ruang yang kuat dan adil, dimana penggunaan lahan menjadi jelas sehingga tidak terancam dikoversi.
Sementara, “non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah, introduksi teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Jadi, reforma agraria tidaklah semata-mata landreform, namun landreform yang dilengkapi dengan berbagai hal lain sehingga penataan dan pendistribusian tanah tersebut menjadi lebih bermanfaat, yaitu dengan bantuan bagaimana penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut sebaik-baiknya. Reforma agraria lebih luas dari landreform (Setiawan, 1997). Kesimpulannya, pembaruan agraria atau reforma agraria sama dengan “aspek landreform” ditambah “aspek non lendreform”. Hal ini
   Landreform tanpa dukungan sisi nonlandreform menjadi salah satu sebab terjadinya delandreformisasi. Penelitian di Cirebon (Wiradi, 2000) dan Sukabumi (Sumaryanto, et al., 2006). Di Sukabumi, banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta (HGU) yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar,  malah menjualnya kepada orang kota karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al., 2002).      
Tambahan awalan “de” bermakna sebagai proses yang berlawanan dari kata dasarnya. Di dalamnya terkandung adanya suatu proses, yang dapat juga bermakna sebagai kemunduran, penafsiran kembali, dan pembatasan.  Kata “deregulasi” menurut KBBI (2002) berarti “kegiatan atau proses menghapuskan pembatasan dan peraturan.” Contoh lain adalah “desentralisasi” yang bermakna sebagai proses yang melonggarkan sentralisasi, demikian pula dengan “debirokratisasi” yang bermakna sebagai pelonggaran birokrasi dalam segala urusan. Penulisannya biasanya digabung dengan kata dasarnya, meskipun banyak juga yang menulis dengan dipisah menggunakan tanda hubung (“-“).
Delandreformisasi pada hakekatnya adalah gejala yang berlawanan dengan ide landreform. Landreform memimpikan dimana petani memiliki akses pada lahan yang mudah, menguasai lahan yang cukup untuk keluarganya untuk mencapai kesejahteraan, dan penataan ruang sedemikian sehingga kegiatan pertanian mendapat dukungan secara skala ekonomi, infrastruktur dan kewilayahan. Dengan demikian, maka “delandreformisasi” adalah suatu peristiwa dimana petani semakin kesulitan mengakses lahan, baik karena tanah yang sbelumnya dimiliki telah dijual, atau perubahan dari pemilik menjadi penyakap, sehingga bagin yang diperolehnya dari hasil panen berkurang jauh. Penguasaan lahan yang luasnya tidak memadai, sehingga tidak layak secara ekonomi juga merupakan gejala delandreformisasi, karena tanpa lahan yang layak kegiatan bertani menjadi kurang dapat dipertahankan. Pada waktu-waktu tertentu, petani harus bermigrasi mencari pekerjaan serabutan ke kota, karena tenaga yang dimilikinya tidak cukup untuk dicurahkan di lahannya yang sempit. Lalu, konversi lahan yang mengalihkan penggunaan lahan dari pertanian menjadi non-pertanian juga merupakan gejala delandreformisasi, karena perencanaan pembangunan pertanian menjadi tidak efektif.
Jadi, pada hakekatnya, delandreformisasi adalah proses atau gejala yang menyebabkan petani tidak dapat menjalankan kegiatannya sebagai petani dengan semestinya, baik karena tekanan dari luar maupun karena perilaku petani itu sendiri dan lingkungan sosio kultural masyarakat setempat. Delandreformisasi adalah gejala yang berlawanan dengan cita-cita ideal landreform dan reforma agraria sebagaimana tercantum dalam UU, kebijakan pemerintah, dan impian para pejuang dan pemerhati agraria.


KARAKTERISTIK GEJALA DELANDREFORMISASI

Karakter yang melekat pada delandreformisasi sesungguhnya saling terakit satu sama lain. Berikut dipaparkan bentuk utama gejala delandreformisasi.

Satu, penjualan lahan
Peristiwa penjualan lahan merupakan peristiwa normal yang berlangsung setiap hari di seluruh pelosok wilayah pertanian. Penjualan lahan semakin ramai pada daerah yang terbuka dimana potensi ekonomi wilayah tersebut tinggi. Penjualan lahan menyebabkan petani tidak lagi memiliki lahan secara pribadi, sehingga mereka berubah menjadi petani penyakap. Ironisnya, mereka menjadi penyakap di lahan yang sebelumnya adalah miliknya sendiri. Sebagai contoh, hal ini marak ditemukan di wilayah Cianjur dan Puncak yang lahannya sangat bernilai tinggi (Mayrowani et al., 2005). Sebagai hasil penelitian Nurmanaf et. al.  (2004), akibatnya sebagian lahan yang diusahakan petani adalah merupakan lahan bukan milik. Mereka menguasainya dalam posisi sebagai petani yang menyakap atau menyewa.
Selain tidak menguasai secara mutlak, penjualan lahan yang marak juga menyebabkan ketimpangan penguasaan lahan. Penelitian Syahyuti (2002) di Donggala (Sulawesi Tengah) mendapatkan lahan-lahan menjadi terkonsentrasi pada satu suku pendatang, karena  suku asli banyak menjual tanahnya. Alasan menjual tanah biasanya karena kebutuhan uang yang mendesak dalam jumlah besar, yaitu untuk ritual kematian keluarga dan untuk menyelenggarakan pesta pernikahan.
Penjualan lahan akhirnya menuju pada ketimpangan luas penguasaan. Ketimpangan lain adalah di satu sisi banyak petani tak berlahan, sedangkan sebagian besr lahan pemilikannya terkonsentrasi pada beberapa orang saja. Ketimpangan yang tinggi, yang ditunjukkan besarnya angka indeks gini banyak ditemukan di desa-desa berbasis sawah (Nurmanaf et al., 2004). Senada dengan ini, penelitian Irawan et.al. (2007) mendapatkan bahwa pemilikan lahan di Jawa lebih sempit dibandingkan dengan luar Jawa (0.524 ha vs 0.528 ha). Ketimpangan distribusi pengusaan sawah di Jawa lebih besar dibandingkan dengan luar Jawa. Di Jawa 17,6 persen petani menguasai 60 persen luasan sawah yang ada, sedangkan di luar Jawa 25 pesen petani menguasai 60 persen luas sawah yang tersedia.
Sementara, penelitian Susilowati et al.  (2009) dengan wilayah berbasiskan komoditas kakao, kelapa sawit, karet, dan tebu; menemukan bahwa lebih dari 80 persen  merupakan petani pemilik-penggarap. ketimpangan lahan yang rendah untuk karet, ketimpangan sedang untuk komoditas kakao dan kelapa sawit, dan ketimpangan tinggi untuk komoditas tebu. Lokollo et.al.  (2007) yang melakukan perbandingan antar Sensus Pertanian, ketimpangan distribusi pengusaan lahan meningkat cukup tinggi, dari 0.5481 di tahun 1973 menjadi 0.7171 di tahun 2003. Petumbuhan petani gurem (pengusaan lahan <0.5 ha) meningkat 2.39 % per tahun. Proporsi petani menurun, tapi proposi buruh tani dan non pertanian meningkat. 

Dua, fragmentasi lahan
Fragmentasi lahan adalah proses semakin mengecilnya penguasaan lahan per unit manajemen usaha. Jika rumah tangga merupakan unit manajemen usaha pertanian, maka fragmentasi lahan adalah semakin berkurangnya luas penguasaan lahan oleh rumah tangga.
Penyebab utama fragmentasi lahan adalah karena proses pewarisan kepada anak-anak, serta karena penjualan lahan. Pewarisan lahan kepada anak-anak sesuai dengan aturan agama maupun adat adalah pembagian lahan yang ada kepada seluruh anak dengan jumlah yang sama atau tidak sama. Demikian pula, penjualan sebagian lahan menyebabkan luas lahan yang dikuasai berkurang. Penjualan lahan banyak dilakukan sebagian dari total yang ada disesuaikan dengan kebutuhan.
Fragmentasi lahan atau penyusutan kepemilikan lahan pertanian menyebabkan skala usaha petani terus menurun. Penurunan skala usaha akan mengakibatkan lahan semakin tidak produktif. Para petani beranggapan bahwa lahan yang sudah tidak produktif lebih baik dijual (Putra,  2009).  Hasil perhitungan analisis rasio penerimaan terhadap biaya produksi menunjukkan bahwa petani pemilik lahan luas lebih menguntungkan daripada petani pemilik lahan sempit. Dan dilihat dari rasio biaya transaksi terhadap penerimaan, petani pemilik lahan luas memiliki rasio tingkat efisiensi penerimaan yang juga lebih tinggi dibandingkan petani pemilik lahan sempit.
Lahan yang sempit menyulitkan dalam aplikasi teknologi. Karena teknologi tidak sungguh-sungguh netral luas usaha. Beberapa teknologi tidak efisien jika diterapkan pada lahan yang kurang. Selain teknologi atau persyaratan teknis, manajemen usaha juga menjadi kurang ekonomis. Inilah yang lalu mendorong pemerintah menggulirkan program corporate farming misalnya.

Tiga, konversi lahan pertanian
Alih fungsi lahan pertanian terjadi pada lahan pertanian produktif menjadi penggunaan di luar sektor pertanian, serta terjadi pada wilayah dengan infrastruktur baik. Dalam kompetisi global yang tinggi dan terbatasnya pilihan investasi sektor non-pertanian, eksistensi alih fungsi lahan pertanian tersebut tidak dapat dihindari. Konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian seperti kompleks perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan sarana publik dapat menimbulkan dampak negatif secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bagi ketahanan pangan nasional, konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius, mengingat konversi lahan tersebut sulit dihindari. Dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan bersifat permanen, kumulatif, dan progresif. Banyak peraturan yang diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan sawah tetapi pendekatan yuridis tersebut relatif  tumpul.
Otonomi daerah secara tidak langsung juga semakin mendorong konversi lahan. Permasalahan agraria termasuk salah satu kebijakan yang diserahkan ke pemerintah daerah. Dengan otonomisasi daerah saat ini, pemerintah daerah telah menjadi salah satu pelaku yang mendorong berlangsungnya delandreformisasi. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 11 ayat 1 dan 2, disebutkan bahwa tugas pertanahan merupakan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota. Artinya, pertanahan bersama-sama dengan banyak kewenangan pusat lain telah diserahkan ke pemerintah daerah. Aturan ini merupakan implementasi dari Pasal 2 UUPA No. 5 tahun 1960 yaitu “hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat”.
Kewenangan daerah kabupaten/kota, meliputi: Izin Lokasi, Pengaturan Persediaan dan Peruntukan Tanah; Penyelesaian masalah sengketa tanah garapan di atas tanah negara; Penguasaan pendudukan tanah tanpa ijin dari pihak yang berwenang oleh pihak yang tidak berhak/kuasanya; Penyelesaian ganti rugi dan santunan dalam pengadaan tanah; Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat; Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar; Penyelesaian dan pemanfaatan sementara tanah kosong; Pengaturan tanah reklamasi dan tanah timbul; Rekomendasi obyek, subyek, redistribusi tanah obyek landreform; Penetapan penyelenggaraan bagi hasil (tanah pertanian); Penetapan harga dasar tanah; Penetapan kawasan siap bangun (Kasiba).

BERBAGAI KONDISI YANG MENDORONG DELANDREFORMISASI

Landreform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu 1961 sampai 1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk, 1995). Penyebabnya berakar pada dua hal pokok, dalam posisi ibarat dua sisi mata uang, yaitu komitmen politik pemerintah yang lemah dan belum tersedianya modal sosial yang cukup di masyarakat, misalnya belum terbentuknya civil society yang memadai.
   Kendala lain adalah intervensi yang tak terbantahkan dari ideologi kapitalisme, khususnya melalui instrumen pasar global, yang telah menembus seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal sistem agraria negara. Jika selama ini, pemerintah yang menjadi penguasa terhadap petani dengan menggunakan tanah sebagai alat politiknya, terutama dalam era “Tanam Paksa”; maka di era pasar bebas ketika komoditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka pasarlah yang menjadi penguasa.
Secara sederhana dapa diringkaskan bahwa beberapa faktor pendorong delandreformisasi adalah: sertifikasi tanah, dualisme hukum, bentuk dan asal penguasaan tanah, dan konflik pertanahan.
Satu, sertifikasi tanah. Sepanjang pemerintahan Orde Baru, yaitu selama tiga dasawarsa, dapat dikatakan landreform tidak dilaksanakan sama sekali. Pada kurun ini, usaha privatisasi tanah tetap diusahakan pemerintah melalui program sertifikasi tanah meskipun kurang memuaskan. Sejak tahun 1960, telah diterbitkan 23,6 juta sertifikat tanah. Namun, sertifikasi merupakan penyebab lain semakin maraknya penjualan tanah. Alih-alih mensejahterakan, sertifikasi lahan di banyak tempat berdampak merugikan.
World Bank secara aktif terlibat dalam kebijakan lahan, terutama mendorong terjadinya sertifikasi lahan (private land titling campaigns). Sertifikasi merupakan upaya penguatan hukum terjhadap akses petani terhadap lahan. Namun demikian, pada kondisi tertentu sertifikasi membawa dampak ikutan, yaitu semakin mudahnya penjualan lahan. Kasus di Filipina di bawah program Comprehensive Agrarian Reform Program (CARP) yang dijalankan mulai pertengahan 1990-an, telah memperparah posisi petani. “… that it makes the rural economy environment insecure for financial investors….” (Borras, 2010). Fenomena yang terjadi adalah reforma agraria berbasis pasar (market-led agrarian reform policy) yang melahirkan formula transaksi lahan berupa ”willing seller, willing buyer”. Tanah menjadi komoditas ekonomi.
Revolusi hijau adalah kebijakan pokok era Orde Baru. Program revolusi hijau adalah reforma agraria yang hanya menjalankan sisi non-landreform, namun tidak ada perbaikan struktur landreform. Akibatnya, revolusi hijau telah menimbulkan polarisasi sosial ekonomi, atau setidak-tidaknya penegasan stratifikasi, dan terusirnya kelompok petani landless dari pedesaan (Tjondronegoro, 1999). Revolusi hijau yang mengabaikan persoalan agraria, memberikan dampak buruk kepada masyarakat. Ini karena struktur penguasaan terhadap tanah adalah basis kesejahteraaan suatu masyarakat. Apabila strukturnya timpang dan tidak adil, maka segala upaya yang dijalankan pada sisi non-landrerform hanya menghasilkan ketimpangan dan ketidakadilan.
Dua, dualisme Hukum. Delandreformisasi juga terjadi karena masih berlangsungnya dualisme hukum, yakni antara hukum adat dan nasional. Hukum adat sesungguhnya mampu menahan delandreformisasi. Masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Barat umumnya telah mempunyai mekanisme pendistribusian penguasaan lahan yang cukup bagus.  Hanya saja, sistem ini biasanya hanya sesuai untuk komunitas yang bersangkutan dan bersifat terbatas.  Sistem ini umumnya mengikuti jalur sistem kekerabatan hingga 3 turunan dan bersifat relatif tertutup.  Contoh lain, di komunitas suku Dayak, penelitian Rousseou (1977), seorang antropolog Canada, menyatakan bahwa corak penguasaan lahan orang Dayak Kanayan tidak mengenal hak milik individu yang dapat dipindah tangankan (undevoluable usufruct atau circulating usufruct system).  Pendapat ini dikritik oleh Mering (1989), seorang antropolog putra daerah, yang mengemukakan bahwa corak penguasaan orang Dayak Kayan mengenal perbedaan hak milik individu dengan hak milik bersama (communal).  Sistem hak milik itu sendiri dapat dipindah tangankan atau devoluable usufruct system, dengan cara diwariskan, diperjual belikan, dihibahkan, atau dipertukarkan.      
Tiga, bentuk dan asal penguasaan tanah. Bagaimana awal sebidang tanah dikuasai juga dapat menjelaskan fenomena kenapa delandreformisasi terjadi. Tanah titisara (bondo desa) adalah tanah yang menjadi kekayaan atau kas desa yang biasanya digarapkan pada anggota warga masyarakat yang kurang mampu dan sebagian penghasilannya masuk sebagai kas desa.  Pengaturan penggarapan akhir-akhir ini di pedesaan Jawa adalah  dengan cara dilelang. Siapa yang berani menyewa dengan harga tertinggi merekalah yang berhak menggarap.
Sementara, bentuk lain adalah tanah bengkok atau lungguh untuk pamong yang sedang menjabat dan untuk biaya operasional pemerintahan desa. Setelah diberlakukannya UUPA, status tanah cacah dan iyasa dirubah menjadi hak milik perseorangan melalui SK Gubernur, yang efektif pada periode tahun 1970-an.   Sejak periode tersebut tanah cacah, songgogawe, gogolan, norowito dan sikep  dapat diperjual-belikan dan diwariskan kepada ahli warisnya.
Empat, konflik pertanahan. Konflik pertanahan merupakan satu bentuk kondisi atau indikasi delandreformisasi. Dalam kondisi konflik, akses petani terhadap lahan terkendala. Konflik merupakan persitiwa yang tidak diinginkan dalam konteks reforma agraria. Berdasarkan data BPN, saat ini sedikitnya ada 7.491 kasus konflik tanah, terdiri dari 4.581 sengketa tanah dan 858 konflik konflik antara petani dan pihak swasta yang mengelola tanah. Sementara, berdasarkan data kasus KPA, hingga 2010 ini tercatat ada 2.163 konflik agraria. Lalu, sengketa tanah yang tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) sampai Januari 2010 adalah sebanyak ada 9.471 kasus konflik, dimana 4.578 kasus di antaranya telah terselesaikan. Data KPA 2001 menunjukkan jumlah kasus mencapai angka 2834 kasus yang pernah dilaporkan kepada berbagai LSM oleh masyarakat sejak jaman Orde Baru. Inventarisasi BPN yang dilaporkan ke Komisi II (18 September 2007) menyebut angka 7468 kasus.
Sepanjang tahun 2010 telah berlangsung 106 konflik agraria di berbagai wilayah, dimana luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektare dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Jenisnya adalah sengketa atas lahan perkebunan besar (45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41 kasus), kehutanan (13 kasus),  pertambangan (3 kasus), pertambakan (1 kasus), perairan (1 kasus), dan lain-lain (2 kasus).
Akar permasalahan hukumnya adalah tumpang-tindihnya peraturan yang disebabkan sektoralisme peraturan perundang-undangan. Satu sama lain saling bertolak belakang, bahkan bertentangan dengan UUD 45, UUPA dan UU lain. Hal ini diperparah egoisme sektor-sektor birokrasi, sehingga satu sama lain tidak sinergis, bahkan sabotase terhadap program sektor lain. Hambatan di tingkat bawah, misalnya dari elite desa, partai di tingkat lokal, dan makelar tanah; juga ikut berpotensi menyabotase penyelenggaraan landreform.
Hasil penelitian Dr. Wolf Ladejinsky (mantan Atase Pertanian Amerika di Jepang, yang membantu Jenderal Mac Arthur sewaktu melaksanakan landrefom di Jepang), menyimpukan bahwa akar konflik adalah karena antara gagasan dan tindakan pelaksanaan tidak konsisten, dimana  pelaksanaannya rumit dan birokrasi yang berbelit-belit; serta model redistribusi tidak sesuai dengan kondisi obyektif yang ada.
Menurut Mc Auslan, hambatan pokok landreform dekade 1960-an di luar konstelasi politik dan sosial adalah hambatan ilmiah. Meskipun UUPA 1960 merupakan produk hukum terbaik selama sejarah RI, kerangka, format dan rumusannya “modern”, memiliki kepekaan “gender”; dan mempunyai idealisme menghapuskan eksploitasi; namun  dalam hal hukum adat, kaitan dan penempatannya dalam UUPA 1960 belum terlalu jelas, program landreform-nya juga dianggap belum terlalu jelas, dan  kurang mengantisipasi kemungkinan akan terjadinya berbagai hambatan. Hambatan lain, walaupun sudah terlalu banyak pembahasan “hukum agraria”, adalah lemahnya dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik, bahkan juga hankam berkenaan dengan keagrariaan nasional.

DAMPAK DELANDREFORMISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI DAN STRUKTUR PERTANIAN NASIONAL
Delandreformiasasi umumnya berlangsung sebagai peristiwa di level mikro, yakni di level rumah tangga. Namun, gejala ini memiliki dampak secara mikro dan makro sekaligus. Penjualan dan fragmentasi lahan telah menyebabkan penguasaan tidak mencapai skala ekonomi. Secara umum, telah terjadi penyempitan penguasaan lahan. Sebagai contoh, dalam Malian et. al. (2000), luasan kepemilikan lahan semakin menurun, yakni 1.05 ha per rumah tangga pada tahun 1963 menjadi 0.86 ha per ruah tangga pada tahun 1983. Petani penyakap semakin bertambah.
Berikut dipaparkan berbagai dampak yang kita hadapi. Pertama, terkendalanya pengembangan agribisnis. Penguasaan lahan yang tidak memadai apalagi dengan status penyakapan berdampak pada terkendalanya pengembangan agribisnis. Pengembangan agribisnis menuntut kepastian kepemilikan lahan yang menjadi faktor resiko usaha pertanian, pencegahan fragmentasi dan upaya konsolidasi lahan pertanian, pengendalian konversi lahan pertanian, serta pengaturan sistem sakap-menyakap dan bagi hasil lahan pertanian.
Akibat lebih jauh adalah tenaga kerja usia muda kurang tertarik di sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan jumlah tenaga kerja umur muda yang bekerja di sector pertanian, di lain pihak pekerja usia lanjut cenderung meningkat (Lokollo et al., 2007). Ini juga menyebabkan lemahnya kemampuan sektor pertanian menyerap tenaga kerja. Pada saat krisis tahun 1997-1999, banyak tenaga kerja diserap oleh sektor pertanian. Sektor pertanian telah menjadi penyelamat. Delandreformisasi tentu akan memperlemah daya sektor pertanian untuk menyerap tenaga kerja berketrampilan rendah (unskilled-labor)  di masa mendatang.
Pelepasan lahan juga menyebabkan sulitnya petani akses ke perbankan, karena agunan berupa sertifikat merupakan syarat yang hampir mutlak diterapkan oleh bank. Di sisi lain, relasi agraria berupa penyakapan akan menyebabkan program anti kemiskinan mandul. Setiap upaya peningkatan teknologi dan peningkatan hasil produksi, hanya sedikit dinikmati penyakap, karena mereka harus membagi dengan pemilik lahan.
Dua, dampak lain adalah petani terpaksa harus melakukan diversifikasi. Penelitian Haeruman et. al (2008) tentang  dampak diversifikasi usahatani terhadap ketahanan pangan dan pendapatan petani, menunjukkan bahwa diversifikasi berpengaruh positif terhadap pendapatan maupun ketahanan pangan walaupun dengan derajat pengaruh yang kecil.  Diversifikasi dapat memperkuat struktur ekonomi rumah tangga, namun di sisi lain menyebabkan petani tidak fokus dalam memilih mata pencaharian. Kegiatan pertanian membutuhkan keseriusan dalma mengelolanya karena selalu dijumpai berbagai tantangan yang dinamis, mulai dari hulu sampai hilir.  Akibat lebih jauh, modernisasi pertanian sulit diraih. Penelitian Kusnadi et. al. (2007) mendapatkan bahwa  pada dekade tahun 2000-an sekalipun, ciri-ciri subsistensi masih tetap melekat pada komoditas petani padi.
Tiga, delandreformisasi juga berdampak pada perubahan sosiokultural. Pada bentuk yang sederhana adalah, sebagaimana hasil penelitian Susilowati et. al.  (2008),  terjadinya perubahan pola hubungan kerja di pedesaan. Bentuk yang paling umum adalah mengendurnya kebiasaan gotong royong, perubahan sistem bawon dan ceblok ke arah  yang lebih komersial. Daya adaptasi masyarakat menghadapi tekanan luar dan prinsip solidaritas sosial sedesa, sebagaimana dulu berlangsung dalam bentuk involusi pertanian, tidak lagi bisa diharapkan.
Dengan lahan garapan yang tidak memadai, partisipasi kerja rumah tangga cenderung berubah dari kegiatan usahatani ke kegiatan-kegiatan di luar pertanian. Pekerja muda dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi tidak tertarik dengan pekerjaan pertanian, sehingga berlangsung fenomena “aging farmer’ dalam struktur tenaga kerja di pertanian. Karena anggota keluarga harus mencari pekerjaan ke luar desa dalam waktu yang agak lama, maka keutuhan rumah tangga cukup teragnggu.

BERBAGAI UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MENGENDALIKAN DELANDREFORMISASI DAN DAMPAK DEKANDREFORMISASI

Upaya mewujudkan landreform yang massal dan serentak dengan prinsip land to tillers adalah satu hal, namun menahan agar proses delandreformisasi tidak terus memburuk adalah hal lain lagi. Pada kondisi landrefrom masih tetap sulit diwujudkan, kita masih dapat menjalankan berbagai upaya untuk menjadikan kondisi inin semakin parah. Beberapa hal dapat dilakukan sebagai upaya untuk menahan laju delandreformisasi.
Memperbaiki relasi antar pihak dapat menahan laju delandreformisasi. Sesuai dengan konsep Cohen (1978), reforma agraria adalah “... change in land tenure, especially the distribution of land-ownership, thereby achieving the objective of more equality”.Land tenure” dalam kalimat ini dimaknai secara luas, tidak hanya apa yang kita kenal sebagai “penyakapan”, tapi mencakup seluruh bentuk hubungan sosial yang terjadi dengan tanah. Artinya, reforma agraria dapat pula berbentuk konsolidasi lahan, konsolidasi usaha, dan penataan hubungan sewa-menyewa dan bagi hasil. Konsolidasi lahan lewat program pemerintah dapat berupa program transmigrasi, pembatasan luas minimal pemilikan tanah, program kerjasama antara masyarakat petani dengan perusahaan pertanian, dan program penataan perumahan. Sementara, konsolidasi usaha pertanian berupa penyatuan usaha yang kecil-kecil ke dalam satu manajemen sehingga lebih efisien (misalnya berupa corporate farming).

Merevitalisasi nilai-nilai hukum adat untuk menahan penjualan tanah

Untuk mengendalikan penjualan lahan oleh petani, salah satunya dapat melalui revitalisasi hukum adat. Dalam hukum adat, sesungguhnya tanah tidak mudah untuk diperjual belikan. Dengan merevitalisasi nilai-nilai ini, maka penjualan lahan dapat ditekan. Pada suku Karo, ”tanah kesain” yang dimiliki tidak boleh diperjual belikan kecuali bangunan yang berada di atasnya (Kaban, 2004), demikian pula di Minangkabau yang memiliki aturan adat terhadap tanah ulayat  yang sangat  tegas dimana tanah tidak boleh diperjualbelikan ataupun digadaikan (Pakpahan et al., 1998; Yakub, 1995).
Aturan yang sama juga ditemukan di Suku Dayak di Kalimantan Barat, meskipun aturan ini tidak lagi dipatuhi secara baik (Jamal et al., 2001). Sementara di Suku Kaili di Sulawesi Tengah (Syahyuti, 2002), jika seseorang ingin mengambil alih pengelolaan sebidang tanah yang telah dibuka oleh orang sebelumnya, maka ia hanya membayar “uang mata kapak”. Artinya, ia hanya membayar jasa  kepada orang yang telah membersihkan lahan tersebut, namun tidak membeli tanah tersebut secara mutlak. 
Ide bank tanah yang pernah disampaikan beberapa pihak juga dapat dipertimbangkan. Petani memiliki solusi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang mendesak tanpa harus melepas tanahnya yang merupakan sumberdaya yang tidak tergantikan nilainya.

Mewujudkan konsolidasi lahan
Konsolidasi lahan yang baik dapat mengurangi penjualan lahan oleh petani. Menurut Fauzi (2002), cakupan pengertian mengenai land reform bukan hanya berupa redistribusi tanah. Land reform dapat berbentuk koperasi atau kolektivitas untuk mencapai skala ekonomi tertentu yang memungkinkan perimbangan antar faktor-faktor produksi (terutama modal versus tenaga kerja) menjadi lebih baik.
Konsolidasi lahan, yang pihak BPN seringnya menyebutnya dengan Konsolidasi Tanah pertanian (KTP), mengandung banyak arti dan bentuk. Beberapa di antaranya adalah Land Consolidation, Redistribtion of Land, Land Assembly (perakitan lahan), Land Readjustment (penyesuaian bentuk lahan), Land Pooling (pengumpulan lahan), dan Ruil Verkaveling (pertukaran petak lahan). Pada dasarnya kondolidasi lahan mengandung 3 aspek, yaitu: (1) usaha mengatur atau menata kembali sehingga tanah tersebut dapat dipergunakan secara lebih efisien, (2) usaha untuk menata kembali tanah dimana si pemilik tanah tidak harus melepaskan haknya, malah seharusnya ia mendapat keuntungan, dan (3) upaya ini harus dijalankan dari dan oleh si pemilik tanah itu sendiri.
Menurut definisi Badan Pertanahan Nasional, Konsolidasi Tanah Pertanian adalah: “penyatuan dan kemudian pembagian kembali tanah-tanah pertanian sehingga menjadi suatu areal pertanian yang kompak dalam bentuk dan luas petakan tertentu sedemikian rupa sehingga irigasi, drainase, farm road dan persyaratan-persyaratan teknologi modern lainnya dapat diterapkan  secara efisien dan menguntungkan”. Konsolidasi lahan telah lama diprogramkan, namun keberhasilannya sangat terbatas.
Jamal (2004), mengindikasikan bahwa upaya konsolidasi lahan, terutama yang dapat dilakukan pada areal yang sama dan berdekatan serta menjadi mata pencaharian utama petani, akan makin meningkatkan effisiensi usaha tani. Konsolidasi lahan dalam satu hamparan tidak saja akan memudahkan dalam pengelolaannya, tetapi juga akan membuka berbagai kemungkinan pengembangan kegitan pendukung, seperti pengembangan usahatani terpadu dengan ternak dan lainnya. Upaya ini diharapkan dapat membuka peluang usaha baru dan peluang kerja baru bagi penduduk pedesaan.

Mendorong program transmigrasi secara lebih produktif berbasis pembangunan wilayah
Menggalakkan program transmigrasi juga dapat memperbaiki dampak delandreformisasi. Transmigrasi yang dimulai dari tahun 1950 dapat dipandang sebagai sebuah land settlemen (Hardjono, 2002). Distribusi lahan untuk setiap petani awalnya sebesar 2 ha, lalu menjadi 4-5 ha, namun karena berbagai pertimbangan dikembalikan lagi menjadi 2 ha per rumah tangga. Realisasi program trasmigrasi dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya iklim sosial politik, kebijakan pemerintah, dan dukungan serta partisipasi masyarakat. Transmigrasi pada masa kolonial Belanda didorong gagasan politik etis (ethische poliriek) yang diusung oleh C Th van Deventer salah seorang anggota Raad van Indie pada tahun 1899. Pada November 1905, program kolonisasi diluncurkan dengan pemberangkatan 155 KK yang terdiri atas  815 jiwa dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo menuju Lampung.
Penanganan program transmigrasian datang silih berganti, dari satu kabinet ke kabinet berikutnya. Pada 12 Desember 1950 dalam Kabinet Natsir diberangkakan sebanyak 23 KK (77 jiwa) ke Lampung. Realisasi penempatan transmigrasi sejak tahun 1950 hingga 1968 mencapai 98.631 KK. Pada tahun 2010 berlangsung penempatan untuk 7.346 rumah tangga trasnmigran.
Pemerintah menerbitkan UU No 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi. Transmigrasi memiliki beban yang berubah-rubah, dari hanya sekedar mengurangi penududuk di Jawa, lalu sebagai pengembangan wilayah, perluasan tenaga kerja, dan sering pula diklaim sebagai kegoatan reforma agraria yang riel. Sampai saat ini transmigrasi masih dijalankan, namun skalanya menjadi sangat kecil. Iklim administrasi pemerintah yang tidak lagi sentral dan padu sebagaimana era Suharto, merupakan salah satu sebabnya.

Memperbaiki sistem dan kesepakatan bagi hasil yang lebih adil
Penataan sistem bagi hasil yang lebih adil di Indonesia adalah masalah yang perlu diperhatikan. Bagi hasil adalah salah satu komponen yang cukup penting dalam konteks sisi non-landreform, ketika landreform tumpul. Sesuai semangat Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 2, bagi hasil merupakan suatu komponen yang dapat menyumbang kepada kemakmuran, asalkan ada perlindungan hukum dan menjunjung azas keadilan antar pelakunya. Bagi hasil yang adil dapat memperkecil dampak absennya landreform.
Jamal (2004) mengusulkan perlunya penyempurnaan  sistem bagi hasil. Penyempurnaan yang dibutuhkan adalah dalam kepastian lamanya waktu garap bagi penggarap dan bila jumlah persil yang digarap itu lebih dari satu, maka  kemungkinan bagi penggarap untuk mendapatkan lahan garapan pada hamparan yang sama dan dengan lusan minimal tertentu layak untuk diupayakan.   
Di antara dua kutub bentuk landreform, yaitu melakukan penataan lahan sebagai aksi sosial yang serentak  atau menyerahkannya kepada mekanisme pasar (market friendly agrarian reform); penataan bagi hasil berada di antara kedua titik ekstrim tersebut. Regulasi sistem bagi hasil dari pemerintah merupakan intervensi terhadap pasar ketenagakerjaan di pedesaan, dengan tujuan memberikan perlindungan kepada penyakap dan pemilik tanah sekaligus.
Pemerintah telah cukup memberikan perhatian terhadap pentingnya bagi hasil di tengah masyarakat tani. Hal ini terlihat dengan telah dikeluarkannya dua Undang-Undang tentang bagi hasil, yaitu UU no. 2 tahun 1960 untuk bagi hasil di pertanian, dan UU No. 16 tahun 1964 untuk bagi hasil di sektor perikanan. Namun demikian, penerapan peraturan ini sangat lemah karena berbagai alasan.
Bagi hasil yang berlaku pasa suatu wilayah merupakan sebuah bentuk kelembagaan yang telah diakui dan diterima secara sosial, dan telah berlangsung sangat lama (Scheltema, 1985). Bagi hasil yang berlaku semenjak dahulu di masyarakat membagi terhadap hasil kotor (bahasa Belanda: deelbouw), namun dalam semangat landreform menginginkan yang dibagi adalah hasil bersih (deelwinning).
Dapat dipaparkan beberapa karakteristik sistem bagi hasil yang saat ini hidup di Indonesia, yang secara tidak langsung telah membuat pihak luar kurang memperhatikan fenomena dan potensinya dalam reforma agraria. Karakteristik tersebut adalah: Pertama, sudah menjadi pendangan yang kuat pada seluruh pihak, bahwa perjanjian bagi hasil antara seorang pemilik tanah dengan si penyakap merupakan wilayah privat yang bersifat personal, bukan masalah publik. Kedua, hubungan tersebut bersandar kepada bentuk hubungan patron klien (patron-client relationship). Penelitian Mayrowani et al. (2004) di Kabupatren Pinrang Sulawesi Selatan mendapatkan bahwa, sesungguhnya pemilik masih sanggup menggarap sendiri lahannya. Jadi, posisi penyakap tersubordinasi dan lemah dalam menegosiasikan pola pembagian hasil panen, karena ia memperoleh garapan lebih karena “kebaikan hati” pemilik lahan.
Ketiga, sistem bagi hasil yang terjadi sangat beragam. Keberagaman ini didukung oleh UU No. 2 tahun 1960 pada bagian Penjelasan butir (2), yaitu: “Mengenai besarnya bagian yang menjadi hak masing-masing fihak tidak ada keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah yang tersedia, banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat/sedaerah dan lain-lainnya......”. Membolehkan keberagaman tersebut artinya menyulitkan dalam pengaturannya, dan ini berpeluang untuk membuat hukum yang kurang tegas.
Keempat, dalam kondisi tekanan penduduk yang tinggi terhadap tanah, maka sistem bagi hasil lebih dipersepsikan sebagai suatu sikap altruis pemilik yang besar kepada penyakap. Bagaimanapun tidak imbangnya pola pembagian, tidak dianggap sebagai suatu hubungan yang eksploitatif. Sikap konformitas penyakap seperti ini juga ditemukan dalam hubungan antara nelayan pandega dengan pemilik kapal pada masyarakat nelayan (Syahyuti, 1995).
Untuk permasalahan ini, maka perlu pendidikan untuk memberi kesadaran kepada para penyakap bahwa mereka adalah pelaku ekonomi aktif dalam kerjasama usaha, sehingga sudah sepantasnya lebih dihargai secara ekonomi. Meskipun mereka tidak memiliki tanah yang digarapnya, namun dalam konteks “fungsi sosial” dari tanah, maka sesungguhnya merekalah yang selayaknya lebih ditinggikan posisinya. Ketidakmampuan negara menyediakan tanah kepada para penyakap tersebut, sebagai petani dalam arti sesungguhnya, sudah sepantasnya ditebus dengan berbagai dukungan, baik berupa sarana produksi yang terjangkau dan kredit, termasuk perolehan bagi hasil yang lebih baik.
Sistem bagi hasil juga merupakan konsep yang terbuka untuk diaplikasikan dan dikembangkan lebih jauh, baik pada usaha pertanian tanaman pangan, pekerbunan, maupun peternakan. Pengelolaan usaha perkebunan dengan menerapkan sistem bagi hasil antara pemilik usaha dengan buruh dan karyawan serta masyarakat sekitar pemilik lahan misalnya, adalah solusi yang dapat mengurangi berbagai konflik agraria yang sering terjadi selama ini. Sesuai dengan Tap MPR No. IX tahun 2001, dimana tercantum upaya untuk penataan kembali sistem hukum dan perundang-undangan; maka, perlu dicatat oleh semua pihak, bahwa sistem hukum dan perundang-undangan untuk sistem bagi hasil yang lebih baik dan adil perlu pula menjadi perhatian.

Mengendalikan konversi lahan
Upaya mengendalikan konversi lahan termasuk sebuah hal yang tidak mudah. Lahan sawah irigasi yang ada sekarang ini, perlu dipertahankan keberadaannya karena sawah tersebut telah menghabiskan investasi yang besar dalam pencetakan dan pembangunan jaringan irigasinya. Pengendalian konversi lahan sawah diprogramkan melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, terutama ditujukan untuk pengembang, instansi pemerintah serta swasta. Peraturan tersebut antara lain perlu memuat diktum bahwa bagi setiap pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan terlebih dahulu mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang dikonversi, lengkap dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya. Pelaksanaan peraturan tersebut didasarkan atas peta Lahan Sawah Utama yang sudah mencakup pulau Jawa, Bali dan Lombok. Solusi lain adalah perluasan areal sawah dan lahan kering terutama ke luar Jawa.      
Salah satu kebijakan berkenaan dengan permasalahan lahan, adalah kebijakan “lahan abadi”. Pemerintah telah menargetkan 30 juta hektar lahan abadi untuk pertanian, yang tidak boleh beralih fungsi, namun dapat berubah kepemilikan.  Lahan ini akan dibagi menjadi dua, yakni 15 juta hektar merupakan sawah beririgasi, dan 15 juta hektar merupakan lahan kering. Lahan tersebut tersebar di seluruh Indonesia dengan tujuan untuk menjaga ketersediaan pangan nasional.
   Selain kebijakan yang berkenaan dengan lahan secara langsung, hal-hal lain dari aspek non-landreform yang perlu diperhatikan adalah pengembangan infrastruktur, serta dukungan kelembagaan berupa lembaga perkreditan, input, pemasaran, dan penyuluhan. Bahkan menurut Husodo (2005), kita perlu mengurangi jumlah petani baik persentasenya terhadap angkatan kerja maupun nominalnya, yaitu dari sekitar 48 persen di tahun 2001 (22,5 juta) menjadi sekitar 15 persen di tahun 2030 (15 juta). Pengurangan ini dapat berlangsung bila pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dan penyalurannya direncanakan dan dipersiapkan dengan baik. Kita juga perlu mengembangkan industri pertanian dan pangan yang berkualitas tinggi, efisien dan berdaya saing tinggi dari hulu sampai dengan hilir, membangun agro industri di desa.
Satu solusi lain adalah program pemanfaatan tanah terlantar yang didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.  Dalam aturan ini, jika tanah yang dimiliki pemegang hak tidak digunakan selama tiga tahun, pemerintah akan menertibkan haknya. Namun, PP Nomor 11 Tahun 2010 belum memiliki perangkat di bawah yang bisa menjalankan dengan kuat. Belum ada landasan pemaksa pemerintah daerah, atau bahkan instansi-instansi terkait untuk menjalankannya.

Menggunakan tekanan dari Lembaga Internasional
Menggunakan tekanan internasional juga dapat dipilih. Saat ini, di awal abad ke-21, meskipun di level dunia internasional wacana tentang landreform juga sudah sangat menurun, namun akhir-akhir ini memperoleh semangat baru yang patut diperhatikan. Muncul perubahan motif Landreform yang tidak hanya dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, pengurangan kemiskinan dan ketahanan pangan; namun juga pada konteks keadilan sosial (social justice) dan sebagai bentuk menebus dosa sejarah peristiwa
perampasan lahan dan ekploitasi di masa lalu. (Cousins, 2007).
Pendekatan pembangunan baru menggunakan pandangan bahwa basis ekonomi landreform untuk kaum miskin (pro-poor land reform) perlu reformulasi dalam kondisi dunia kontemporer yang semakin cepat saat ini. Reforma agraria baru ini telah pula mempertimbangan   fakta ketimpangan rezim perdagangan pertanian internasional yang masih sulit diselesaiakan. Pertanian disadari sebagai mekanisme yang paling mungkin untuk memberikan rasa aman terhadap mata pencaharian bagi mayoritas penduduk di bagian Selatan, serta agar sistem neoliberal mampu mengintegrasikan kembali mereka yang selama ini tersingkir.
Penelitian Akram-Lodhi et al. (2007), merupakan sedikit laporan yang membahas pelaksanaan landreform di era neo-liberal. Mereka mengangkat kasus di sepuluh negara yang mewakili berbagai region di dunia, yaitu Brazil dan Bolivia di Amerika Latin, Filipina dan Vietnam di Asia Tenggara, Armenia dan Uzbekistan mewakili eks Uni Soviet, serta Mesir, Namibia, Ethiopia, dan Zimbabwe di Afrika. Brazil dan Filipina adalah contoh negara yang belum pernah menjalankan landreform secara signifikan di masa lalu, namun sejak tahun 1990-an menjadikan landreform sebagai agenda penting dan berperan dalam pelaksanaan pembangunan mereka. Beberapa negara sebelumnya memiliki pemerintahan sosialis, namun terbukti bisa menjalankan landreform dengan cukup luas, yaitu Armenia, Ethopia, Uzbekistan, dan Vietnam.
Landreform yang mulai marak lagi semenjak akhir abad ke-20 dan terus berlanjut pada awal abad ke-21 ini didorong oleh kesadaran terus berlanjutnya kemiskinan dan konflik tanah yang sangat mengganggu di pedesaan. Ini berlangsung di banyak negara. Bagaimanapun, agenda neo liberalisme, secara langsung atau tidak memberi suasana kepada berlangsungnya landreform baru akhir-akhir ini. Neoliberalisme dengan pendekatan pasarnya, dapat dicurigai, hanya akan menjadikan landreform sebagai jalan agar sistem pasarnya bisa berjalan dengan lenggang kangkung. Namun, bagaimanapun pengurangan kemiskinan merupakan kondisi yang akan mendorong sistem pasar menjadi lebih luas, karena semakin banyak orang yang akan masuk ke dalam sistem. Tantangan bagi pendukung reformasi agraria saat ini adalah untuk merumuskan skenario alternatif yang masuk akal untuk kehidupan pedesaan yang berkelanjutan dan sekaligus mampu mempertahankan keberlanjutan ekonomi dan perkotaan. Kondisi yang berkembang di level dunia ini semestinya dapat dimanfaatkan oleh kalangan pemerhati untuk dapat menekan pemerintah.
Upaya tak langsung lain untuk menahan delandreformisasi adalah berupa revitalisasi pedesaan berupa pengembangan kegiatan non-pertanian di pedesaan, atau  upaya peningkatan sumberdaya manusia di pedesaan yang dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja terampil di perkotaan atau pasar tenaga kerja di pasaran global. Hal senada disampaikan oleh Hayami dan Kikuchi (1981) dalam menganalisis keberhasilan Taiwan dan Jepang dalam memperbaiki distribusi penguasaan lahan petaninya. Menurutnya, dukungan yang kuat dari pemerintah, ketersediaan data lahan yang akurat, dan cepatnya ekspansi sektor non-pertanian dalam menyerap tenaga kerja pertanian,telah mneyebabkan tekanan terhadap lahan menjadi menurun dan upah di sektor pertanian meningkat.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Delandreformisasi merupakan persitiwa yang tersembunyi yang luput dari perhatian banyak kalangan. Ia merupakan peristiwa alamiah yang berlangsung karena tekanan dan kondisi yang menekan atau menariknya. Di satu sisi, negara memiliki keterbatasan mengendalikan penjualan lahan milik petani, karena sertifikat lahan yang sudah dimiliki memberi penguasaan mutlak kepada pemegangnya.
Demikian pula dengan fragmentasi yang berlangsung karena kultur pewarisan. Kekuatan pengaturan dari hukum legal tidak menyentuh hal ini. Pemerintah tidak memiliki perangkat hukum dan kebijakan untuk menjaga berapa batasan minimal fragmentasi masih boleh dilakukan. Hal ini mengakibatkan, di beberapa lokasi di Jawa, banyak petani yang hanya mengusahakan sawah tidak sampai 1000 m2.
Dalam kondisi ini, masih banyak upaya yang dapat dijalankan untuk menahan laju delandreformisasi atau setidaknya mengurangi dampak, misalnya berupa kegiatan konsolidasi lahan, transmigrasi, dan perbaikan sistem bagi hasil. Perbaikan sistem bagi hasil, yang berada pada sisi non-landreform,  selama ini sangat jarang diperhatikan dan hampir tidak pernah dibicarakan, karena dianggap sebagai hal yang personal antara pemilik tanah dan penyakap. Di atas itu semua, tumbuhnya perhatian berbagai pihak terhadap satu fenomena yang spesifik ini, yakni “delandreformisasi”, merupakan langkah awal untuk pengendaliannya.

Daftar Pustaka
Badan pertanahan Nasional. 1996. Tata Cara Kerja Proyek Pengembangan Penguasaan Tanah. Laporan Direktorat Pengaturan Penguasaan Tanah, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.
Haeruman, M. ; R.S Natawidjaya; Y. Yusdja ; T. Karyani ; I. Ayesha ; dan G.S. Budhi.  2008. Konsorsium Penelitian Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Pada Berbagai Tipe Agroekosistem: Dampak Diversifikasi Usahatani Terhadap Ketahanan Pangan dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Hardjono, 2004 (dalam Sitorus, 2002) 

Sitorus, F.M.T. 2002. Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun Gunawan Wiradi. Penerbit Yayasan Akatiga, Bandung. 373 hal.

Hayami and M. Kikuchi. 1981. Asian village economy at the crossroads. Japan: University of Tokyo Press. 275 p.
Husodo, S.Y. 2005. Penataan Keagrariaan dan Pertanahan Wujud Kesinambungan Pertanian. Dalam: Sitorus, F.M.T. 2002. Menuju Keadilan Agraria : 70 Tahun Gunawan Wiradi. Penerbit Yayasan Akatiga, Bandung. 373 hal.
Irawan,B.  2007 ganti dengan Irawan,B.  2006
Irawan,B. ; P. Simatupang ; Sugiarto ; Supadi ; N.K Agustin ; dan J.F. Sinuraya.  2006. Panel Petani Nasional (Patanas): Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Laporan Penelitian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Jamal, E. 2004. Efficiency of Land Tenure Contracts in West Java, Indonesia. Dissertation at  University of Philippines Los Banos. Los Banos.
Kusnadi, N.; R. Nurmalina; N. Ilham; dan E.Y. Aviny. 2007. Konsorsium Penelitian: Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Pada Berbagai Tipe Agroekosistem. Aspek Besaran Dan Karakteristik Marketable Surplus Beras. Laporan Penelitian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Lokollo, E.M. ; H.P. Saliem ; I.W. Rusastra;  Supriyati; S. Friyatno ; dan G.S Budhi.  2007. Dinamika Sosial Ekonomi Pedesaan: Analisis Perbandingan Antar Sensus Pertanian.  Laporan Penelitian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Malian, H.; S. Friyatno; S.K. Dermoredjo; S. Mardiyanto; M. Suryadi, dan M. Maulana. 2000. Analisis Perkembangan Aset, Kesempatan Kerja dan Pendapatan Rumah Tangga di Sektor Pertanian. Laporan Peneliian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor
Mayrowani, H.; T. Pranadji; Syahyuti; dan A. Agustian. 2005. Studi Peluang Penerapan Reforma Agraria Di Sektor Pertanian. Laporan penelitian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor

Nurmanaf, A.R. ; A. Djulin ; H. Supriyadi; Sugiarto; Supadi; J.F. Sinuraya; N.K. Agustin ; G.S Budhi.   2004. Patanas: Analisis Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Pedesaan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Laporan Penelitian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Rousseou, 1977. (Dalam Djuweng, 1996).
Djuweng, S. 1996. Kalimantan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan. Oktober, 1996. Institut Dayakologi, Pontianak Kalbar.
Setiawan, Usep. 1997.Konsep Pembaharuan Agraria, Sebuah Tinjauan Umum, Reformasi Agraria Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Susilowati, S.H. ; P.U. Hadi ; Sugiarto ; Supriyati ; W. K. Sedjati ; Supadi ; A.K. Dzakaria ; T.B. Purwantini ; D. Hidayat ; M. Maulana. 2009. Patanas: Analisis Indikator Pembangunan Pertanian Dan Pedesaan. Laporan Penelitian: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Susilowati, S.H. ; Sumaryanto; R.N. Suhaeti;  S. Friyatno; H. Tarigan ; N.K. Agustin ; dan C. Muslim. 2008. Konsorsium Penelitian Karkateristik Sosial Ekonomi Petani Pada Berbagai Tipe Agroekosistem: Aspek Arah Perubahan Penguasaan Lahan dan Tenaga Kerja Pertanian. Laporan Penelitian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Sumaryanto et al.,2006, ganti dengan Sumaryantoet al., 2002.
Sumaryanto; Syahyuti, Saptana, Bambang Irawan, dan Aten M. Hurun. 2002. Kajian Pembaruan Agraria dalam Mendukung Pengembangan Usaha Dan Sistem Agribisnis. Laporan Penelitian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan. Tesis pada Jurusan Sosiologi Pedesaan. IPB, Bogor.
Syahyuti. 2006. Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah menurut Hukum Adat di Indonesia. Majalah Forum Agro Ekonomi No. 1 tahun 2006, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Tjondronegoro, S.M.P. 1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa. Dalam: Tjondronegoro, S.M.P. 1999.  Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jakarta.
Wiradi. 2000. Reforma agraria : perjalanan yang belum berakhir. Penerbit : Insist Press, Konsorsium Pembaruan Agraria, dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 247 p.


*****

Tidak ada komentar: