Disusun
oleh Ir. Syahyuti, MSi. (Peneliti
Sosiologi Pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Bogor).
Materi ini sangat ringkas, masih
dangkal, dan belum lengkap. Jika Bapa, Ibu, dan Rekan mau membantu untuk
melengkapinya, silahkan isi pada ruang comment di
bawah.
1981. Introdusir PRONA ( Proyek Operasi Nasional Agraria) untuk mempercepat program registrasi tanah. Mulai tahun 1981 dimulai program PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) untuk mempercepat program registrasi tanah. Berikutnya, tahun 1988 berdiri Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Keppres no. 26 tahun 1988, namun peranannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutnya, tahun 1999 keluar Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Disini diberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendaftarkan tanah yang merupakan tanah adat atau tanah ulayat dalam format kepemilikan komunal.
1988. Keppres no.26 tahun 1988 sebagai dasar
berdirinya Badan Pertanahan Nasional, dengan programnya yang dikenal dengan
“catur tertib agraria”. Pihak intelektual yang mengusulkan suatu badan yang
mampu melaksanakan suatu program landreform, tidak terpuaskan dengan hadirnya
BPN ini yang dinilainya mandul dan tidak memiliki wewenang yang cukup, hanya
berperan sebatas sebagai badan administrasi belaka.
1990. Keppres No. 33 tahun 1990
tentang Penggunaan tanah untuk kawasan industri.
1992. UU no. 24 tahun 1992 tentang penataan
ruang, yang kemudian dioperasionalkan dengan PP No. 47 tahun 1997 tentang
rencana tata ruang wilayah Indonesia. Peraturan ini mendorong pembuatan rencana
tata ruang di tiap wilayah, dengan dasar kebutuhan pembangunan dan pertimbangan
batasan teknis topografis dan aspek biofisik lain.
1992. Undang-Undang No. 12 tahun 1992
Tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU ini merupakan produk hukum utama yang
dikeluarkan Deptan, yang mengatur berbagai segi usaha pertanian. Namun, dalam
urusan pertanahan, UU ini tidak memiliki tekanan yang kuat. UU ini membutuhkan
banyak aturan di bawahnya agar operasional, yaitu berupa PP, Keppres, Kepmen
dan lain-lain. Untuk operasionalnya, saat ini Deptan sedang mengajukan
Peraturan Pemerintah berkaitan dengan Usaha Budidaya Tanaman. Dalam
pemberian izin misalnya, mengacu kepada
UU No. 1/1967 dan UU No. 11/1970 untuk PMA, dan UU No. 6/1968 dan UU no.
12/1970 tentang PMDN.
1993. SK Menteri
Kehutanan No. 251 tahun 1993 Tentang
PP-HPH
-Keppres No. 55 tahun 1993 Tentang
penyediaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
1994. Surat Mendagri No.
474/4263/SJ, 27 Desember 1994 Tentang konversi tanah. Didalamnya ditetapkan
bahwa dalam hal perubahan penggunaan tanah pertanian ke nonpertanian agar tidak
mengorbankan tanah pertanian subur dan berpengairan teknis, walaupun lokasi
tersebut termasuk ke dalam tata ruang wilayah yang telah ada.
1995. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun
1995 Tentang Perlindungan Tanaman. Aturan ini merupakan produk hukum untuk
mengoperasionalkan UUNo. 12/1992.
-Peraturan
Pemerintah No. 44 tahun 1995 Tentang Perbenihan Tanaman.
1996. Peraturan Pemerintah No. 40
tahun 1996 Tentang hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah.
1997. Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 Tentang pendaftaran tanah, sebagai penyempurnaan dari PP no. 10 tahun 1961. Ketentuan pelaksanaannya dikeluarkan Permenag/BPN No. 3 tahun 1997.
1998. Kep.
Menhutbun no. 728/Kpts-II/1998 Tentang luas maksimum pengusahaan hutan dn
pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan. Hal ini merupakan aturan
yang penting dalam reforma agraria, khususnya penyediaan tanah untuk pertanian
dengan mengkonversi tanah kehutanan yang selama ini cenderung tertutup untuk
departemen-departemen lain.
1999. Akibat pernyataan Presiden Abdurahman Wahid, bahwa
40 persen dari tanah-tanah perkebunan itu seharusnya didistribusikan kepada
rakyat, maka berbondong-bondongnya rakyat menduduki tanah-tanah yang dibiarkan
terbengkalai oleh pemiliknya.
-Berdasarkan UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 11 ayat 1 dan 2, disebutkan
bahwa tugas pertanahan merupakan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan
oleh daerah kabupaten dan kota. Artinya, pertanahan bersama-sama
dengan banyak kewenangan pusat lain telah diserahkan ke pemerintah daerah.
Aturan ini merupakan implementasi dari Pasal 2 UUPA No. 5 tahun 1960 yaitu “hak
menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
swatantra dan masyarakat hukum adat”. Namun demikian, aturan ini belum secara
tegas menjelaskan batasan sejauh mana
kewenangan daerah dalam urusan pertanahan yang berada di wilayahnya.
-Berlangsung Perdebatan Seputar
Revisi UUPA.
-Lahir Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, menggantikan
yang tahun 1967.
-Peraturan
Menteri Agraria/BPN No. 5 tahun 1999. Pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Perautran ini
sesungguhnya merupakan suatu langkah yang sangat bijak dari belum tegasnya
posisi hukum adat dan hak masyarakat adat dalam UUPA 1960. Di dalamnya
diberikan peluang bagi masyarakat untuk mendaftarkan tanah yang menurut mereka
merupakan tanah adatnya (tanah ulayat). Produk hukum ini belum diketahui secara
luas oleh masyarakat, selain adanya beberapa perbedaan pendapat dalam
memaknainya.
-UU No. 22 tahun 1999. Tentang Pemerintahan daerah. Dalam pasal 11 disebutkan: “Kewenangan bidang pertanahan merupakan kewenangan kabupaten/kota, sedangkan pusat dan propinsi hanya bertanggung jawab dalam kebijakan standar berkaitan dengan pertanahan”. Artinya, tugas pertanahan merupakan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota.
2000. Peraturan Pemerintah No. 8
tahun 2000 Tentang alat dan mesin pertanian
2001. Tap MPR
No. IX tahun 2001. Tentang reforma agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.
Latar belakang kehadirannya adalah banyaknya konflik pertanahan, ketimpangan
penguasaan, inkosistensi hukum, dan semakin rusaknya sumber daya alam. Peraturan
ini merupakan penugasan kepada pemerintahan Presiden Megawati untuk
mengagendakan pelaksanaan reforma agraria, yang selama masa Orde Baru hampir
tidak pernah diperhatikan. Produk hukum ini lahir dari iklim keterbukaan yang
didesakkan terutama oleh kalangan organisasi nonpemerintah, khususnya yang concern kepada agraria dan juga
sumberdaya alam. Sebagaimana produk-produk hukum sebelumnya, selain menimbulkan
perbedaan pendapat, kelembagaan pelaksanaanya juga membutuhkan usaha yang cukup
besar dan waktu yang cukup lama. Wacana yang berkembang akhir-akhir ini
misalnya adalah: perlu dibentuk suatu “Komisi Reforma Agraria” untuk
mengimplimentasikannya.
-Keluarnya
Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2001 Tentang pupuk dan budidaya tanaman. Merupakan
aturan operasional untuk UU Budidaya Tanaman sebagai hukum utama.
-Keluarnya Keppres
No. 103 tahun 2001. Aturan ini dianggap tidak selaras dengan UU No. 22 tahun
1999, karena sampai dengan bulan Mei 2003, tugas pertanahan masih merupakan
tugas pemerintahan yang dilakukan oleh BPN sebagai institusi vertikal (pusat). Keppres No. 103 tahun 2001 menyatakan bahwa
masalah pertanahan masih menjadi
kewenangan pemerintahan pusat. Ini merupakan suatu “sikap yang berhati-hati”.
Pemberian kewenangan secara bertahap merupakan langkah terbaik karena
pertanahan memiliki muatan politis yang sangat besar.
2002. Keputusan
Mentan No. 392/KPTS/OT.210/6/2002 Tentang pedoman pengembangan kawasan industri masyarakat
perkebunan. Aturan ini diusulkan oleh Dirjen Perkebunan. Dalam usaha
pengembangan perkebunan, pemerintah daerah bertanggungjawab dalam penyediaan
jalan, pelabuhan, pergudangan, outlet pemasaran, sarana pengolahan, listrik,
pengairan, komunikasi dan lain-lain.
-Keputusan Mentan No. 375/KPTS/HK.350/2002 Tentang pedoman perizinan usaha
perkebunan. Di dalamnya diatur misalnya jenis, luas maksimum, dan pola
pengembangan usaha. Untuk menghalangi terjadinya monopoli penguasaan tanah
misalnya, maka untuk satu perusahaan atau satu grup perusahaan, luas maksimum kebunnya satu propinsi adalah
20 ribu ha atau 100 ribu untuk seluruh Indonesia, namun untuk tebu boleh
maksimal 60 ribu untuk satu propinsi atau 150 ribu untuk seluruh Indonesia. Luas
kebun tebu di atas 25 ha perlu memiliki izin usaha perkebunan (IUP) oleh
gubernur atau bupati/walikota, sedangkan luas di bawahnya hanya perlu
pendaftaran oleh pemberi izin.
2007. Pemerintah melansir “Program Pembaruan Agraria
Nasional” dengan target mendistribusikan tanah 8-9 juta ha lahan pemerintah
kepada masyarakat. Tahun 2010, pemerintah
melakukan penertiban tanah terlantar yang jumlahnya mencapai lebih dari 7 juta
ha. Pemerintah sedang menyiapkan RUU Pertanahan dan PP Reforma Agraria yang
direncanakan selesai pada Desember 2010. RUU Pertanahan juga mencakup
sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan terkait tanah,
seperti UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, serta UU Pertambangan,
Mineral, dan Batubara. Aspek-aspek hukum adat juga
ditata ke dalam sistem keagrariaan nasional.
2010. Program pemanfaatan tanah terlantar didukung
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dalam
aturan ini, jika tanah yang dimiliki pemegang hak tidak digunakan selama tiga
tahun, pemerintah akan menertibkan haknya. Namun, PP Nomor 11 Tahun 2010 belum
memiliki perangkat di bawah yang bisa menjalankan dengan kuat. Belum ada
landasan pemaksa pemerintah daerah, atau bahkan instansi-instansi terkait untuk
menjalankannya.
-Presiden membagi-bagikan sertifikat tanah kepada petani yang dilakukan secara simbolik di Istana Bogor, 21 Oktober 2010. Secara nasional, total tanah milik negara yang hak kepemilikannya diserahkan kepada petani mencapai 142.159 hektar yang dilakukan serempak pada 389 desa di 21 propinsi.
-Redistribusi lahan di lapangan Desa Kutasari,
Cipari, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, 23 oktober 2010; ada sebanyak 291
hektar lahan dibagikan kepada 5.141 petani. Tiap petani mendapat masing-masing
500 meter persegi. Di Batang, melalui pendampingan pegiat landreform Omah Tani
Kabupaten dan BPN, berlangsung distribusi tanah 32,7 ha kepada 144 keluarga di
Desa Kuripan, Kecamatan Subah. Tanah yang dibagi ini adalah tanah sisa dari
pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Redistribusi
Tanah seluas 1,6 juta hektare.
Agustus
2010, BPN menyatakan akan
membagi-bagikan 6 juta hektar tanah ke masyarakat. Namun, program ini masih
menunggu selesainya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria.
Dengan RPP Reforma Agraria, nantinya diharapkan luas tanah yang dibagikan
berkisar 2,8-3,5 juta hektare dan ditargetkan selesai pada 2025. Sepanjang
tahun 2010, dapat dikatakan belum ada komitmen politik yang kuat dari
pemerintah untuk menjalankan landreform. Sebaliknya, lahir sejumlah kebijakan
yang dinilai anti-pembaruan agraria.
-Sepanjang tahun 2010 telah berlangsung 106 konflik agraria di berbagai wilayah, dimana luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektare dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Jenisnya adalah sengketa atas lahan perkebunan besar (45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41 kasus), kehutanan (13 kasus), pertambangan (3 kasus), pertambakan (1 kasus), perairan (1 kasus), dan lain-lain (2 kasus).
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar