Jumlah pe-longok :

Minggu, 15 April 2012

Sejarah Agraria 1981-2012


Disusun oleh Ir. Syahyuti, MSi. (Peneliti Sosiologi Pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor).
Materi ini sangat ringkas, masih dangkal, dan belum lengkap. Jika Bapa, Ibu, dan Rekan mau membantu untuk melengkapinya, silahkan isi pada ruang comment di bawah.

1981. Introdusir PRONA ( Proyek Operasi Nasional Agraria) untuk mempercepat program registrasi tanah. Mulai tahun 1981 dimulai program PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) untuk mempercepat program registrasi tanah. Berikutnya, tahun 1988 berdiri Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Keppres no. 26 tahun 1988, namun peranannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutnya, tahun 1999 keluar Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat.  Disini diberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendaftarkan tanah yang merupakan tanah adat atau tanah ulayat dalam format kepemilikan komunal.

1988.  Keppres no.26 tahun 1988 sebagai dasar berdirinya Badan Pertanahan Nasional, dengan programnya yang dikenal dengan “catur tertib agraria”. Pihak intelektual yang mengusulkan suatu badan yang mampu melaksanakan suatu program landreform, tidak terpuaskan dengan hadirnya BPN ini yang dinilainya mandul dan tidak memiliki wewenang yang cukup, hanya berperan sebatas sebagai badan administrasi belaka.

1990. Keppres No. 33 tahun 1990 tentang Penggunaan tanah untuk kawasan industri.

1992. UU no. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, yang kemudian dioperasionalkan dengan PP No. 47 tahun 1997 tentang rencana tata ruang wilayah Indonesia. Peraturan ini mendorong pembuatan rencana tata ruang di tiap wilayah, dengan dasar kebutuhan pembangunan dan pertimbangan batasan teknis topografis dan aspek biofisik lain.

1992. Undang-Undang No. 12 tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU ini merupakan produk hukum utama yang dikeluarkan Deptan, yang mengatur berbagai segi usaha pertanian. Namun, dalam urusan pertanahan, UU ini tidak memiliki tekanan yang kuat. UU ini membutuhkan banyak aturan di bawahnya agar operasional, yaitu berupa PP, Keppres, Kepmen dan lain-lain. Untuk operasionalnya, saat ini Deptan sedang mengajukan Peraturan Pemerintah berkaitan dengan Usaha Budidaya Tanaman. Dalam pemberian izin  misalnya, mengacu kepada UU No. 1/1967 dan UU No. 11/1970 untuk PMA, dan UU No. 6/1968 dan UU no. 12/1970 tentang PMDN.
1993. SK Menteri Kehutanan No. 251 tahun 1993 Tentang PP-HPH

-Keppres No. 55 tahun 1993 Tentang penyediaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

1994. Surat Mendagri No. 474/4263/SJ, 27 Desember 1994 Tentang konversi tanah. Didalamnya ditetapkan bahwa dalam hal perubahan penggunaan tanah pertanian ke nonpertanian agar tidak mengorbankan tanah pertanian subur dan berpengairan teknis, walaupun lokasi tersebut termasuk ke dalam tata ruang wilayah yang telah ada.

1995. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995 Tentang Perlindungan Tanaman. Aturan ini merupakan produk hukum untuk mengoperasionalkan UUNo. 12/1992.
-Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1995 Tentang Perbenihan Tanaman.

1996. Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 Tentang hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah.

1997. Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 Tentang pendaftaran tanah, sebagai penyempurnaan dari PP no. 10 tahun 1961. Ketentuan pelaksanaannya dikeluarkan  Permenag/BPN No. 3 tahun 1997.

1998. Kep. Menhutbun no. 728/Kpts-II/1998 Tentang luas maksimum pengusahaan hutan dn pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan. Hal ini merupakan aturan yang penting dalam reforma agraria, khususnya penyediaan tanah untuk pertanian dengan mengkonversi tanah kehutanan yang selama ini cenderung tertutup untuk departemen-departemen lain.
1999. Akibat pernyataan Presiden Abdurahman Wahid, bahwa 40 persen dari tanah-tanah perkebunan itu seharusnya didistribusikan kepada rakyat, maka berbondong-bondongnya rakyat menduduki tanah-tanah yang dibiarkan terbengkalai oleh pemiliknya.

-Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 11 ayat 1 dan 2, disebutkan bahwa tugas pertanahan merupakan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota. Artinya, pertanahan bersama-sama dengan banyak kewenangan pusat lain telah diserahkan ke pemerintah daerah. Aturan ini merupakan implementasi dari Pasal 2 UUPA No. 5 tahun 1960 yaitu “hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat”. Namun demikian, aturan ini belum secara tegas menjelaskan batasan sejauh  mana kewenangan daerah dalam urusan pertanahan yang berada di wilayahnya.

-Berlangsung Perdebatan Seputar Revisi UUPA.
-Lahir Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, menggantikan yang tahun 1967.

-Peraturan Menteri Agraria/BPN No. 5 tahun 1999. Pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Perautran ini sesungguhnya merupakan suatu langkah yang sangat bijak dari belum tegasnya posisi hukum adat dan hak masyarakat adat dalam UUPA 1960. Di dalamnya diberikan peluang bagi masyarakat untuk mendaftarkan tanah yang menurut mereka merupakan tanah adatnya (tanah ulayat). Produk hukum ini belum diketahui secara luas oleh masyarakat, selain adanya beberapa perbedaan pendapat dalam memaknainya.

-UU No. 22 tahun 1999. Tentang Pemerintahan daerah. Dalam pasal 11 disebutkan: “Kewenangan bidang pertanahan merupakan kewenangan kabupaten/kota, sedangkan pusat dan propinsi hanya bertanggung jawab dalam kebijakan standar berkaitan dengan pertanahan”.  Artinya, tugas pertanahan merupakan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota.

2000. Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2000 Tentang alat dan mesin pertanian

2001. Tap MPR No. IX tahun 2001. Tentang reforma agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Latar belakang kehadirannya adalah banyaknya konflik pertanahan, ketimpangan penguasaan, inkosistensi hukum, dan semakin rusaknya sumber daya alam. Peraturan ini merupakan penugasan kepada pemerintahan Presiden Megawati untuk mengagendakan pelaksanaan reforma agraria, yang selama masa Orde Baru hampir tidak pernah diperhatikan. Produk hukum ini lahir dari iklim keterbukaan yang didesakkan terutama oleh kalangan organisasi nonpemerintah, khususnya yang concern kepada agraria dan juga sumberdaya alam. Sebagaimana produk-produk hukum sebelumnya, selain menimbulkan perbedaan pendapat, kelembagaan pelaksanaanya juga membutuhkan usaha yang cukup besar dan waktu yang cukup lama. Wacana yang berkembang akhir-akhir ini misalnya adalah: perlu dibentuk suatu “Komisi Reforma Agraria” untuk mengimplimentasikannya.
-Keluarnya Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2001 Tentang pupuk dan budidaya tanaman. Merupakan aturan operasional untuk UU Budidaya Tanaman sebagai hukum utama.

-Keluarnya Keppres No. 103 tahun 2001. Aturan ini dianggap tidak selaras dengan UU No. 22 tahun 1999, karena sampai dengan bulan Mei 2003, tugas pertanahan masih merupakan tugas pemerintahan yang dilakukan oleh BPN sebagai institusi vertikal (pusat). Keppres No. 103 tahun 2001 menyatakan bahwa masalah  pertanahan masih menjadi kewenangan pemerintahan pusat. Ini merupakan suatu “sikap yang berhati-hati”. Pemberian kewenangan secara bertahap merupakan langkah terbaik karena pertanahan memiliki muatan politis yang sangat besar.

2002. Keputusan Mentan No. 392/KPTS/OT.210/6/2002 Tentang pedoman pengembangan kawasan industri masyarakat perkebunan. Aturan ini diusulkan oleh Dirjen Perkebunan. Dalam usaha pengembangan perkebunan, pemerintah daerah bertanggungjawab dalam penyediaan jalan, pelabuhan, pergudangan, outlet pemasaran, sarana pengolahan, listrik, pengairan, komunikasi dan lain-lain.

-Keputusan Mentan No. 375/KPTS/HK.350/2002 Tentang pedoman perizinan usaha perkebunan. Di dalamnya diatur misalnya jenis, luas maksimum, dan pola pengembangan usaha. Untuk menghalangi terjadinya monopoli penguasaan tanah misalnya, maka untuk satu perusahaan atau satu grup perusahaan,  luas maksimum kebunnya satu propinsi adalah 20 ribu ha atau 100 ribu untuk seluruh Indonesia, namun untuk tebu boleh maksimal 60 ribu untuk satu propinsi atau 150 ribu untuk seluruh Indonesia. Luas kebun tebu di atas 25 ha perlu memiliki izin usaha perkebunan (IUP) oleh gubernur atau bupati/walikota, sedangkan luas di bawahnya hanya perlu pendaftaran oleh pemberi izin.

2007. Pemerintah melansir “Program Pembaruan Agraria Nasional” dengan target mendistribusikan tanah 8-9 juta ha lahan pemerintah kepada masyarakat. Tahun 2010, pemerintah melakukan penertiban tanah terlantar yang jumlahnya mencapai lebih dari 7 juta ha. Pemerintah sedang menyiapkan RUU Pertanahan dan PP Reforma Agraria yang direncanakan selesai pada Desember 2010. RUU Pertanahan juga mencakup sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan terkait tanah, seperti UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, serta UU Pertambangan, Mineral, dan Batubara. Aspek-aspek hukum adat juga ditata ke dalam sistem keagrariaan nasional.

2010. Program pemanfaatan tanah terlantar didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.  Dalam aturan ini, jika tanah yang dimiliki pemegang hak tidak digunakan selama tiga tahun, pemerintah akan menertibkan haknya. Namun, PP Nomor 11 Tahun 2010 belum memiliki perangkat di bawah yang bisa menjalankan dengan kuat. Belum ada landasan pemaksa pemerintah daerah, atau bahkan instansi-instansi terkait untuk menjalankannya.

-Presiden membagi-bagikan sertifikat tanah kepada petani yang dilakukan secara simbolik di Istana Bogor, 21 Oktober 2010.  Secara nasional, total tanah milik negara yang hak kepemilikannya diserahkan kepada petani mencapai 142.159 hektar yang dilakukan serempak pada 389 desa di 21 propinsi.

-Redistribusi lahan di lapangan Desa Kutasari, Cipari, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, 23 oktober 2010; ada sebanyak 291 hektar lahan dibagikan kepada 5.141 petani. Tiap petani mendapat masing-masing 500 meter persegi. Di Batang, melalui pendampingan pegiat landreform Omah Tani Kabupaten dan BPN, berlangsung distribusi tanah 32,7 ha kepada 144 keluarga di Desa Kuripan, Kecamatan Subah. Tanah yang dibagi ini adalah tanah sisa dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah seluas 1,6 juta hektare.

Agustus 2010, BPN menyatakan  akan membagi-bagikan 6 juta hektar tanah ke masyarakat. Namun, program ini masih menunggu selesainya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria. Dengan RPP Reforma Agraria, nantinya diharapkan luas tanah yang dibagikan berkisar 2,8-3,5 juta hektare dan ditargetkan selesai pada 2025. Sepanjang tahun 2010, dapat dikatakan belum ada komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk menjalankan landreform. Sebaliknya, lahir sejumlah kebijakan yang dinilai anti-pembaruan agraria.

-Sepanjang tahun 2010 telah berlangsung 106 konflik agraria di berbagai wilayah, dimana luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektare dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Jenisnya adalah sengketa atas lahan perkebunan besar (45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41 kasus), kehutanan (13 kasus),  pertambangan (3 kasus), pertambakan (1 kasus), perairan (1 kasus), dan lain-lain (2 kasus).

*****

Tidak ada komentar: