Jumlah pe-longok :

Minggu, 15 April 2012

Sejarah Agaria sampai tahun 1900


Disusun oleh Ir. Syahyuti, MSi. (Peneliti Sosiologi Pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor).
Materi ini sangat ringkas, masih dangkal, dan belum lengkap. Jika Bapa, Ibu, dan Rekan mau membantu untuk melengkapinya, silahkan isi pada ruang comment di bawah.

Sampai awal abad 16. Masa kerajaan feodalisme Jawa. Dalam konsep kerajaan Jawa, tanah (dan warga) adalah milik raja. Tanah dibagikan raja kepada pegawai istana dan penduduk, dimana sebagian hasilnya merupakan sumber pendapatan untuk kerajaan. Pembagian luas tanah berdasarkan kebutuhan penduduk, yaitu  masing-masing luasan satu cacah untuk kebutuhan satu rumah tangga. Pola ini bersifat kontraproduktif, dimana masyarakat kurang terdorong untuk berproduksi setinggi-tingginya.



1619. Kedatangan VOC. Tujuan awal kedatangan VOC adalah untuk berdagang dengan penduduk, dan tidak memiliki kaitan dengan persoalan agraria. Namun kemudian, beberapa tanah yang dikuasai VOC dari penduduk pribumi - utamanya di Batavia – diberikan  kepada Cina dan bangsa Eropah.

Abad ke 18-19: Kepemilikan semu petani pada pada Masa Feodalisme. Pada era kerajaan, secara prinsip tanah (dan rakyat) adalah “milik raja”. Karena itu, setiap hasil dari tanah mesti disisihkan untuk raja, yang nilainya tergantung kepada luas dan hasil yang diperoleh. Secara umum di Jawa dikenal 3 kelas penguasaan tanah , yaitu: (1) Kelompok petani tuna-kisma yang kadangkala berlindung pada keluarga-keluarga petani yang memiliki tanah, namun juga sering merupakan tenaga kerja musiman yang tidak terikat dan cukup mobil. (2) Kelompok petani (sikep atau kuli) yang memiliki hak atas tanah, dan untuk hak tersebut berkewajiban membayar pajak dan upeti yang besar jumlahnya kepada pihak kerajaan. (3) Kelas pamong desa yang selain menguasai tanah pribadi, juga berhak menguasai sejumlah besar tanah desa sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan (lungguh dan tanah bengkok), ditambah lagi hak memperkejakan sikep atau kuli untuk mengarap tanah mereka tersebut tanpa harus membayar upah.

-Penelitian Breman (1986) di Cirebon menemukan struktur yang hampir serupa, dimana ada empat lapisan dalam masyarakat desa, yaitu: penguasa desa dan orang-orang penting lokal yang tidak pernah menggarap tanah secara langsung namun mendapat hak apanage atau lungguh dari raja, masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti masyarakat, para wuwungan (=penumpang) atau tuna kisma yang hidup sebagai buruh tani dan membangun rumah di pekarangan sikep karena tidak punya tanah sendiri, serta para bujang yaitu mereka yang belum keluarga.

-Pada Era Kolonial, Petani Menyewa ”Tanah Pemerintah” pada era Pemerintahan Kolonial. Dua kebijakan pokok yang dirasakan sangat berpengaruh besar - bahkan hingga saat ini - pada masa pemerintahan kolonial, adalah pengenaan pajak tanah dan mulai berlakunya sistem penyewaan tanah dalam jangka panjang (25 –30 tahun) yang dikenal dengan erfpacht atau tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU). Pemerintah kolonial bekerjasama dengan golongan elit feodal (para bupati). Pajak tanah dimulai ketika masa Gubernur Jenderal Raffles. Saat itu, seluruh tanah dianggap sebagai tanah desa, sehingga pemerintah desa menarik pajak tanah berupa natura dari penduduk.

1808. Deandels sebagai Gubernur Jenderal. Sikap politik agraria pemerintahan Belanda mulai berubah semenjak Deandels berkuasa. Ia memprakarsai perubahan-perubahan administrasi pertanahan untuk tercapainya kekuasaaan politik yang sistematis. Bahkan, beberapa wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual kepada swasta untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah.

1811-1816. Raffles menjadi Gubernur Jenderal. Karena kesulitan keuangan, ia menjual beberapa tanah kepada  swasta, dan memperkenalkan sistem sewa tanah di Jawa. Tujuannya, dengan liberalisasi ekonomi, maka produksi pertanian akan meningkat untuk masuk kepasar Eropah. Peran bupati dikurangi, diganti dengan gaji, dan beberapa bidang tanah sebagai ganti rugi. Sistem sewa ini gagal, dimana perolehan sewa tak sesuai target, karena korupsi dan kelemahan administrasi. Raffles membentuk Komisi Mackenzie untuk meneliti struktur agraria untuk memaksimumkan penggunaan tanah.

1813: Tahun 1813 terjadi pelelangan tanah di Batavia, Karawang, Bandung, Semarang, dan Surabaya kepada para delapan orang pengusaha Belanda untuk meningkatkan produktivitas tanah.  Tanah yang dilelang termasuk tanah-tanah yang sudah ditempati penduduk sebelumnya.  Pada bulan Juni 1813, ditetapkan sistem sewa tanah, antara pemerintah dengan kepala desa. Penggarap membayar melalui  kepala desa. Namun, semenjak Februari 1814 pemerintah dapat berhubungan langsung dengan setiap individu penggarap.

1827. Gubernur Jenderal Van der Cappellen. Penduduk Jawa bebas menggunakan tanah  mereka untuk ditanam komoditas apapaun, namun harus membayar sewa tanah, sebagai sumber keuangan pemerintah. Hal ini banyak ditentang penduduk berupa berbagai pemberontakan,  sehingga kondisi keuangan pemerintah menurun.

1830. Gubernur Jenderal Van Den Bosch (1830-1833). Pada tahun 1831 ia mengembalikan kekuasaan bupati-bupati yang sudah dihapus Raffles. Pada periode 1834-1885 ditetapkan kebijakan tanam paksa (Culturstelsel) agar Jawa menghasilkan kopi, gula, dan nila dengan biaya murah sehingga laku di pasaran Eropah. Ditentukan bahwa, 1/5 tanah desa, lalu naik jadi 1/3, harus ditanam ketiga komoditas tersebut. Sewa tanah tak perlu dibayar, namun petani harus menjual hasilnyanya ke pemerintah dengan harga rendah. Namun dalam pelaksanaannya, ada petani yang tetap harus membayar sewa, disertai paksaan dan tekanan. Selain harus menanam tanaman tersebut, penduduk juga sering diminta itenaga kerja sehingga banyak terjadi kelaparan. Masa ini melahirkan kemiskinan berbagi, yang disebut Clifford Geertz dengan dengan involusi pertanian. Sistem ini menghapus peranan usaha-usaha swasta.

1854. Regerings Reglement. Aturan ini memungkinkan tanah disewa oleh pihak swasta. Disebutkan bahwa gubernur jenderal tak boleh menjual tanah, kecuali tanah-tanah kecil untuk perluasan desa dan kota, dan boleh menyewakan tanah kecuali tanah-tanah milik orang Indonesia asli atau tanah milik bersama dan tanah milik desa. Jangka waktu sewa maksimal hanya 20 tahun, dan kurang memuaskan pihak swasta yang menginginkan jangka sewa yang lebih panjang.


1870. Pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agararia tahun 1870 (Agrarische Wet). Peraturan ini bersifat dualistis, dimana bagi orang asing berlaku hukum Barat, sedangkan bagi rakyat Indonesia berlaku hukum adat. UU ini menjamin kepemilikan pribumi atas hak-hak adat, serta memungkinkan penduduk untuk mendapatkan hak pribadi. Mulai saat itu, dimungkinkan untuk memiliki mutlak (hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Dengan asumsi bahwa tanah adalah milik Belanda, pemerintah melakukan kebijakan sistem sewa tanah kepada petani (Fauzi, 1999: 28). Sistem sewa ini pada dasarnya agar dapat memberikan  kebebasan dan kepastian hukum serta merangsang untuk menanam tanaman dagang kepada petani, bukan benar-benar memberikan penguasaan lahan yang riel kepada petani.

- Hukum ini lahir karena kekuasaan Partai Liberal di Belanda yang meningkat dan menginginkan berperan dalam pemanfaatan tanah di daerah jajahan. Dalam ketentuan ini swasta boleh menyewa tanah secara turun temurun (erpacht) dari pemerintah selama 75 tahun, serta menyewa tanah dari penduduk. UU ini juga menjamin kepemilikan penduduk pribumi atas hak-hak adat, serta memungkinkan juga bagi penduduk untuk mendapatkan hak milik pribadi. Kebijakan ini didahului sebuah survey tanah di Jawa meliputi 808 desa antara tahun 1868 sampai 1870.

1872. Pemerintah juga mengeluarkan Agrarisch Besluit/Domein verklaring tahun 1870, dan  Koninklijk Besluit pada 16 April 1872.

1885. Staatsblad (Lembaran Negara) No. 102 tahun 1885. Pada tahun ini politik tanam paksa berakhir. Sistem penguasaan tanah yang tadinya milik bersama desa, dikembalikan kepada individu-individu. Konversi tanah bersama menjadi tanah individu hanya jika ¾ warga desa menyetujuinya.

******

Tidak ada komentar: