Jumlah pe-longok :

Minggu, 15 April 2012

Sejarah Agraria 1900-1980


Disusun oleh Ir. Syahyuti, MSi. (Peneliti Sosiologi Pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor).
Materi ini sangat ringkas, masih dangkal, dan belum lengkap. Jika Bapa, Ibu, dan Rekan mau membantu untuk melengkapinya, silahkan isi pada ruang comment di bawah.

1921. Khusus di DI Yogyakarta, berlangsung program klassering (classering) yang dimulai tahun 1921 yang merupakan peristiwa penyerahan tanah “ kagungan dalem”  kepada rakyat, atau meningkatkan status hak atas tanah kepada rakyat dari penggarap menjadi tanah yang berstatus “ anganggo turun-temurun”.  Peristiwa ini kemudian diperkuat dengan Perda No.5 Tahun 1954, di mana Sultan menyerahkan tanahnya kepada rakyat sehingga menjadi tanah milik privat. Klasering secara teoritis merupakan suatu riel land reform, karena distribusi tanah kepada petani didasarkan prinsip “ land tillers”.  Pendistribusian tanah hanya ditujukan bagi petani penggarap dan pemilikan hanya sebatas yang mampu digarap oleh anggota keluarga yang bersangkutan, yang sangat terkait dengan aspek penataan lahan yaitu bagaimana lahan tersebut dapat dimanmaatkan secara optimal. 

1930. Regeringsomlagvel No. 30318 (17 Oktober 1930). Dalam ketentuan ini, pemerintah mengakui hak-hak pribumi sesuai dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk hak kepemilikan dengan syarat tertentu, misalnya memperoleh hasil hutan dengan izin kepala desa dan Asisten Residen. Pada masa ini ribuan konflik pertanahan terjadi tiap tahun atas pemanfaatan hasil hutan, antara masyarakat yang merasa berhak dengan pemerintah yang menganggap sebagai hutan negara.

1942-1945: Masa Pendudukan Jepang (1942—1945 / Perang Dunia II) Petani dibebani pajak bumi sebesar 40% dari hasil produksinya. Hal ini tentu semakin memperparah kemiskinan. Perkebunan-perkebunan besar menjadi terlantar karena ditinggalkan oleh pemiliknya (Belanda maupun modal asing lainnya). Dengan adanya lahan-lahan perkebunan yang terlantar dan kemiskinan yang parah di masyarakat, maka berbondong-bondonglah rakyat menduduki tanah-tanah bekas perkebunan yang terlantar tersebut. Pemerintah pendudukan Jepang ternyata memberi toleransi bahkan mendorong tindakan rakyat tersebut. Secara sosiologis, kenyataan ini telah menciptakan suatu collective perception di antara rakyat, bahwa seolah-olah mereka telah memperoleh kembali haknya atas tanah yang dulu dicaplok oleh Belanda (dan modal asing lainnya melalui UU Agraria kolonial 1870.

1945.  Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Bagian yang paling terkait dengan masalah agraria adalah pasal 33 ayat 3 yang menjelaskan bahwa seluruh sumberdaya alam, termasuk tanah, dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini sering dipertentangkan, sebagai penyeimbang, dengan konsep “penguasaan oleh negara” pada UUPA No. 5  tahun 1960.

1946. Pidato Bung Hatta. Pidato ini berisi berbagai pandangan mendasar tentang pertanahan dan hubungannya dengan pembangunan dan keadilan. Pidato ini dianggap sebagai suatu penyampaian pandangan yang idealis sehingga masih sering dikutip oleh berbagai pakar sampai saat ini. Pidato ini juga menjiwai isi UUPA yang dilahirkan tahun 1960, misalnya prinsip-prinsip “sosialisnya”.

1948. Pembentukan Panitia Agraria di Yogyakarta. Pembentukan panitia ini untuk mengahsilkan suatu hukum agraria yang sangat penting bagi Indonesia untuk menghilangkan masih berlakunya dualisme hukum, antara hukum Barat dan hukum asli Indonesia tentang pertanahan. Panitia ini berganti-ganti selama 12 tahun, sampai kemudian menghasilkan UUPA tahun 1960

1950. Mulainya program transmigrasi. Meskipun dengan tujuan yang berbeda, pemindahan penduduk ke luar Jawa sudah dimulai dengan program kolonisasi Belanda tahun 1905. Hal ini merupakan suatu bentuk reforma agraria, khususnya pembukaan lahan-lahan baru (land settlement), walaupun pendekatannya lebih kepada demografi, yaitu pembukaan lapangan kerja dan mengurangi tekanan penduduk yang sangat padat di pulau Jawa.

1952.  Keluarnya UU No. 6 tahun 1952. Menghapus sewa jangka panjang yang ditetapkan pada tahun 1870 selama 75 tahun.

1959. Permenag No. 9 tahun 1959. Tentang pedoman tata kerja tentang pendaftaran hak-hak atas tanah. Hal ini dipandang perlu, karena kepastian hak atas tanah merupakan prasyarat untuk melakukan usaha di atasnya, termasuk usaha pertanian.

1960. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Suatu produk hukum fundamental dengan kelebihan dan kekurangannya. Tujuan utamanya adalah menghilangkan dualisme hukum yang masih terdapat di tengah masyarakat, antara hukum dengan sistem masyarakat Barat dengan hukum adat. UU ini lahir dari proses yang dinilai cukup matang (selama 12 tahun), dan memasukkan berbagai pertimbangan baik dari segi hukum, politik, keadilan, dan pembangunan ke depan. Sampai sekarang, UU ini tetap merupakan produk hukum yang terbaik yang pernah dihasilkan, meskipun pelaksanaanya kurang berhasil karena sikap politik agraria tiap rezim yang berkuasa. Dengan dasar produk hukum ini, dari tahun 1960 sampai 1965 landreform berjalan, khusunya di Jawa.

-Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Tentang perjanjian bagi hasil. Pedoman pelaksanaannya adalah Inpres No. 3 tahun 1980. UU ini merupakan pelengkap dari UUPA, namun hampir tak pernah ada wilayah yang menerapkannya. Didalamnya dicakup bagaimana batasan bagi hasil di pertanian, termasuk pada usaha perikanan, antara pemilik modal dengan pekerja (buruh nelayan dan buruh tani).

-Undang-Undang No. 56 tahun 1960. Tentang penetapan luas tanah pertanian, atau dikenal dengan “UU landreform”. Bersama dengan UU tentang bagi hasil, ini merupakan produk hukum untuk melengkapi UUPA. Didalamnya ditetapkan batas minimal dan maksimal luas tanah yang boleh dikuasai  perorangan, khusus untuk usaha pertanian. UU ini merupakan pedoman dalam pelaksanaan landreform di zaman ORLA sampai tahun 1965, meskipun kurang sukses. Banyak kritik terhadap peraturan ini, misalnya bahwa batas minimal yang 2 ha per keluarga, dianggap tidak realistis untuk di Jawa.

1961. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini merupakan aturan pelaksanaan dari pasal 19 UUPA, yaitu tentang pendaftaran tanah, yang kemudian diperkuat dengan PP No. 24 tahun 1997. Disebutkan bahwa  hak terjauh yang bisa dimiliki oleh pihak swasta hanyalah berupa Hak Guna Usaha dan Hak Pakai, sedangkan hak milik berada pada pemegang hak sebelumnya.

-Undang-Undang No. 20 tahun 1961. Tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda di atasnya. UU ini merupakan instrumen yang perlu dalam usaha menyelesaikan kemungkinan konflik dalam pembangunan nantinya, khususnya berkaitan dengan penggunaan sebidang tanah.

-Peraturan Pemerintah No 224 tahun 1961. Tentang pembagian tanah dan pemberian ganti rugi. PP ini sejalan dan merupakan aturan pelaksanaan dari UU No. 20 tahun 1961.

-Permenag No. 7 tahun 1961. Sebagai aturan untuk penyelenggaraan tata usaha pendaftaran tanah.

- Lahirnya ”Paket UU Landreform”, yaitu PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, serta UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.

1962. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962. Penegasan konversi dan pandaftaran bekas hak Indonesia atas tanah. Salah satu syarat untuk mendapatkan hak penguasaan atas satu bidang tanah adalah surat pajak hasil bumi sebelum 24 September 1961.

1965. Permenag No. 6 tahun 1965. Pedoman-pedoman pokok penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam PP No. 10 tahun 1961.

1967. Undang-Undang No. 1 tahun 1967 Tentang penanaman modal asing. UU ini diharapkan mampu mendorong investasi dari luar negeri dengan memberikan ketegasan hak atas tanah yang akan dipakai untuk suatu usaha. Namun, dalam pelaksanaanya seringkali berbenturan dengan penduduk, karena suatu bidang tanah yang diinginkan swasta juga merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh penduduk meskipun tidak memiliki bukti resmi.

-Keluarnya UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967. Memuat ketentuan pokok tentang kehutanan, baik perlindungan maupun pemanfaatannya untuk perolehan devisa negara.

-PP No. 22 tahun 1967 tentang Iuran hak pengusahaan hutan Dan iuran hasil hutan
-Lalu ada lagi PP No. 6 tahun 1999 (27 Januari 1999) sebagai Pengganti PP 21 tahun 1970.

1968. UU No. 8 tahun 1968 Tentang penanaman modal dalam negeri, menyebabkan semakin gencarnya eksploitasi sumber daya kehutanan.
1970. Keluarnya PP No. 21 tahun 1970 Tentang hak pengusahaan hutan Dan hak pemungutan hasil hutan.

-Undang-Undang No. 7 tahun 1970 Tentang pengadilan landreform, namun UU ini kemudian dicabut di zaman Orba yang tidak respek kepada masalah landreform.

1971. Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 1971 Tentang Perusahaan Penggilingan Padi, Huller, dan Penyosohan Beras. Produk hukum ini tidak menyinggung sama sekali tentang pertanahan dan agraria secara umum. Artinya, segala bentuk hal yang berkaitan dengan agraria merujuk kepada hukum-hukum yang sudah ada yang dikeluarkan presiden maupun menteri.

1972: Pemerintah menerbitkan UU No 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi. Transmigrasi memiliki beban yang berubah-rubah, dari hanya sekedar mengurangi penududuk di Jawa, lalu sebagai pengembangan wilayah, perluasan tenaga kerja, dan sering pula diklaim sebagai kegoatan reforma agraria yang riel. Sampai saat ini transmigrasi masih dijalankan, namun skalanya menjadi sangat kecil. Iklim administrasi pemerintah yang tidak lagi sentral dan padu sebagaimana era Suharto, merupakan salah satu sebabnya.

1974. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan. Peraturan ini dibuat untuk mengendalikan konversi tanah pertanian ke penggunaan pertanian yang terlihat semakin merajalela. Pengendalian ini dirasa perlu sebagai instrumen untuk mencapai program swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah, berupa Program Bimas.

1975. Permenagri No. 15 tahun 1975  tentang lembaga pembebasan tanah. Aturan pelaksanaannya adalah PP no. 29 tahun 1986. Mengatur tentang tata cara pembebasan tanah untuk pembangunan. Peraturan ini dilahirkan agar penggunaan tanah untuk pembangunan (kepentingan umum) tidak menimbulkan konflik dengan masyarakat. Namun konflik juga semakin banyak terjadi, karena pembebasan tanah secara paksa oleh pemerintah atas nama untuk kepentingan umum, namun adakalanya diberikan kepada pihak swasta. Hal ini bertentangan dengan UUPA , karena tak memberi kesempatan kepada masyarakat, sedangkan keputusan ada di gubernur dan Panitia Pembebeasan Tanah.

-Keppres No. 20 tahun 1975 tentang Kebijakan di bidang pemberian hak pengusahaan hutan. HPH mulai sejak 1960-an, Dan mencapai puncaknya tahun 1980-an.

1978. Keppres No. 1 tahun 1978. Menetapkan aturan baru, bahwa 10 persen dari total areal transmigrasi pada satuan pemukiman harus diberikan kepada penduduk asli sekitar atau penduduk lokal.

1980. Keluarnya Keppres No. 3 tahun 1980 Tentang Landreform

******

Tidak ada komentar: