Disusun
oleh Ir. Syahyuti, MSi. (Peneliti
Sosiologi Pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Bogor).
Materi ini sangat ringkas, masih
dangkal, dan belum lengkap. Jika Bapa, Ibu, dan Rekan mau membantu untuk
melengkapinya, silahkan isi pada ruang comment di
bawah.
1921. Khusus di DI Yogyakarta, berlangsung program klassering (classering) yang
dimulai tahun 1921 yang merupakan peristiwa penyerahan tanah “
kagungan dalem” kepada rakyat, atau
meningkatkan status hak atas tanah kepada rakyat dari penggarap menjadi tanah
yang berstatus “ anganggo turun-temurun”. Peristiwa ini kemudian diperkuat dengan Perda
No.5 Tahun 1954, di mana Sultan menyerahkan tanahnya kepada rakyat sehingga
menjadi tanah milik privat. Klasering secara teoritis merupakan suatu riel land reform, karena distribusi tanah kepada petani didasarkan prinsip “ land tillers”. Pendistribusian tanah hanya ditujukan
bagi petani penggarap dan pemilikan hanya sebatas yang mampu digarap oleh
anggota keluarga yang bersangkutan, yang sangat terkait dengan aspek penataan
lahan yaitu bagaimana lahan tersebut dapat dimanmaatkan secara optimal.
1930. Regeringsomlagvel No. 30318 (17 Oktober 1930). Dalam ketentuan ini,
pemerintah mengakui hak-hak pribumi sesuai dengan hukum adat setempat. Penduduk
diakui untuk hak kepemilikan dengan syarat tertentu, misalnya memperoleh hasil
hutan dengan izin kepala desa dan Asisten Residen. Pada masa ini ribuan konflik
pertanahan terjadi tiap tahun atas pemanfaatan hasil hutan, antara masyarakat
yang merasa berhak dengan pemerintah yang menganggap sebagai hutan negara.
1942-1945: Masa Pendudukan Jepang (1942—1945 / Perang Dunia
II) Petani dibebani pajak bumi sebesar 40% dari hasil produksinya. Hal ini
tentu semakin memperparah kemiskinan. Perkebunan-perkebunan besar menjadi
terlantar karena ditinggalkan oleh pemiliknya (Belanda maupun modal asing
lainnya). Dengan adanya lahan-lahan perkebunan yang terlantar dan kemiskinan
yang parah di masyarakat, maka berbondong-bondonglah rakyat menduduki
tanah-tanah bekas perkebunan yang terlantar tersebut. Pemerintah pendudukan
Jepang ternyata memberi toleransi bahkan mendorong tindakan rakyat tersebut.
Secara sosiologis, kenyataan ini telah menciptakan suatu collective perception
di antara rakyat, bahwa seolah-olah mereka telah memperoleh kembali haknya atas
tanah yang dulu dicaplok oleh Belanda (dan modal asing lainnya melalui UU
Agraria kolonial 1870.
1945. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Bagian yang
paling terkait dengan masalah agraria adalah pasal 33 ayat 3 yang menjelaskan
bahwa seluruh sumberdaya alam, termasuk tanah, dipergunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini sering dipertentangkan,
sebagai penyeimbang, dengan konsep “penguasaan oleh negara” pada UUPA No.
5 tahun 1960.
1946. Pidato Bung Hatta. Pidato ini
berisi berbagai pandangan mendasar tentang pertanahan dan hubungannya dengan
pembangunan dan keadilan. Pidato ini dianggap sebagai suatu penyampaian
pandangan yang idealis sehingga masih sering dikutip oleh berbagai pakar sampai
saat ini. Pidato ini juga menjiwai isi UUPA yang dilahirkan tahun 1960,
misalnya prinsip-prinsip “sosialisnya”.
1948. Pembentukan
Panitia Agraria di Yogyakarta. Pembentukan panitia ini untuk mengahsilkan suatu
hukum agraria yang sangat penting bagi Indonesia untuk menghilangkan masih
berlakunya dualisme hukum, antara hukum Barat dan hukum asli Indonesia tentang
pertanahan. Panitia ini berganti-ganti selama 12 tahun, sampai
kemudian menghasilkan UUPA tahun 1960
1950. Mulainya program transmigrasi.
Meskipun dengan tujuan yang berbeda, pemindahan penduduk ke luar Jawa sudah
dimulai dengan program kolonisasi Belanda tahun 1905. Hal ini merupakan suatu
bentuk reforma agraria, khususnya pembukaan lahan-lahan baru (land settlement), walaupun
pendekatannya lebih kepada demografi, yaitu pembukaan lapangan kerja dan
mengurangi tekanan penduduk yang sangat padat di pulau Jawa.
1952. Keluarnya UU No. 6 tahun 1952. Menghapus sewa
jangka panjang yang ditetapkan pada tahun 1870 selama 75 tahun.
1959. Permenag No. 9 tahun 1959. Tentang
pedoman tata kerja tentang pendaftaran hak-hak atas tanah. Hal ini dipandang
perlu, karena kepastian hak atas tanah merupakan prasyarat untuk melakukan
usaha di atasnya, termasuk usaha pertanian.
1960. Undang-Undang Pokok Agraria
No. 5 tahun 1960. Suatu produk hukum fundamental dengan kelebihan dan
kekurangannya. Tujuan utamanya adalah menghilangkan dualisme hukum yang masih
terdapat di tengah masyarakat, antara hukum dengan sistem masyarakat Barat
dengan hukum adat. UU ini lahir dari proses yang dinilai cukup matang (selama
12 tahun), dan memasukkan berbagai pertimbangan baik dari segi hukum, politik,
keadilan, dan pembangunan ke depan. Sampai sekarang, UU ini tetap merupakan
produk hukum yang terbaik yang pernah dihasilkan, meskipun pelaksanaanya kurang
berhasil karena sikap politik agraria tiap rezim yang berkuasa. Dengan dasar
produk hukum ini, dari tahun 1960 sampai 1965 landreform berjalan, khusunya di
Jawa.
-Undang-Undang
No. 2 tahun 1960 Tentang perjanjian bagi hasil. Pedoman pelaksanaannya
adalah Inpres No. 3 tahun 1980. UU ini merupakan pelengkap dari UUPA, namun
hampir tak pernah ada wilayah yang menerapkannya. Didalamnya dicakup bagaimana
batasan bagi hasil di pertanian, termasuk pada usaha perikanan, antara pemilik
modal dengan pekerja (buruh nelayan dan buruh tani).
-Undang-Undang
No. 56 tahun 1960. Tentang penetapan luas tanah pertanian, atau dikenal
dengan “UU landreform”. Bersama dengan UU tentang bagi hasil, ini merupakan
produk hukum untuk melengkapi UUPA. Didalamnya ditetapkan batas minimal dan
maksimal luas tanah yang boleh dikuasai
perorangan, khusus untuk usaha pertanian. UU ini merupakan pedoman dalam
pelaksanaan landreform di zaman ORLA sampai tahun 1965, meskipun kurang sukses.
Banyak kritik terhadap peraturan ini, misalnya bahwa batas minimal yang 2 ha
per keluarga, dianggap tidak realistis untuk di Jawa.
1961. Peraturan Pemerintah No. 10
tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini merupakan aturan
pelaksanaan dari pasal 19 UUPA, yaitu tentang pendaftaran tanah, yang kemudian
diperkuat dengan PP No. 24 tahun 1997. Disebutkan bahwa hak terjauh yang bisa dimiliki oleh pihak
swasta hanyalah berupa Hak Guna Usaha dan Hak Pakai, sedangkan hak milik berada
pada pemegang hak sebelumnya.
-Undang-Undang
No. 20 tahun 1961. Tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda di
atasnya. UU ini merupakan instrumen yang perlu dalam usaha menyelesaikan
kemungkinan konflik dalam pembangunan nantinya, khususnya berkaitan dengan
penggunaan sebidang tanah.
-Peraturan
Pemerintah No 224 tahun 1961. Tentang pembagian tanah dan pemberian ganti rugi.
PP ini sejalan dan merupakan aturan pelaksanaan dari UU No. 20 tahun 1961.
-Permenag No. 7
tahun 1961. Sebagai aturan untuk penyelenggaraan tata usaha pendaftaran tanah.
- Lahirnya ”Paket UU Landreform”, yaitu PP 224/1961 tentang Pelaksanaan
Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, serta
UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.
1962. Peraturan Menteri Pertanian
dan Agraria No. 2 tahun 1962. Penegasan konversi dan pandaftaran bekas hak
Indonesia atas tanah. Salah satu syarat untuk mendapatkan hak penguasaan atas
satu bidang tanah adalah surat pajak hasil bumi sebelum 24 September 1961.
1965. Permenag No. 6 tahun 1965. Pedoman-pedoman
pokok penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam PP No. 10
tahun 1961.
1967. Undang-Undang No. 1 tahun 1967
Tentang penanaman modal asing. UU ini diharapkan mampu mendorong investasi dari
luar negeri dengan memberikan ketegasan hak atas tanah yang akan dipakai untuk
suatu usaha. Namun, dalam pelaksanaanya seringkali berbenturan dengan penduduk,
karena suatu bidang tanah yang diinginkan swasta juga merupakan tanah yang
sudah dikuasai oleh penduduk meskipun tidak memiliki bukti resmi.
-Keluarnya
UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967. Memuat ketentuan pokok tentang kehutanan,
baik perlindungan maupun pemanfaatannya untuk perolehan devisa negara.
-PP
No. 22 tahun 1967 tentang Iuran hak pengusahaan hutan Dan iuran hasil hutan
-Lalu
ada lagi PP No. 6 tahun 1999 (27 Januari 1999) sebagai Pengganti PP 21 tahun
1970.
1968. UU No. 8 tahun 1968 Tentang
penanaman modal dalam negeri, menyebabkan semakin gencarnya eksploitasi sumber
daya kehutanan.
1970. Keluarnya PP No. 21 tahun 1970
Tentang hak pengusahaan hutan Dan hak pemungutan hasil hutan.
-Undang-Undang No. 7 tahun 1970 Tentang
pengadilan landreform, namun UU ini kemudian dicabut di zaman Orba yang tidak
respek kepada masalah landreform.
1971. Peraturan Pemerintah No. 65
tahun 1971 Tentang Perusahaan Penggilingan Padi, Huller, dan Penyosohan Beras. Produk
hukum ini tidak menyinggung sama sekali tentang pertanahan dan agraria secara
umum. Artinya, segala bentuk hal yang berkaitan dengan agraria merujuk kepada
hukum-hukum yang sudah ada yang dikeluarkan presiden maupun menteri.
1972: Pemerintah menerbitkan UU No 3 Tahun 1972 tentang
Ketentuan Pokok Transmigrasi. Transmigrasi memiliki beban yang berubah-rubah,
dari hanya sekedar mengurangi penududuk di Jawa, lalu sebagai pengembangan
wilayah, perluasan tenaga kerja, dan sering pula diklaim sebagai kegoatan
reforma agraria yang riel. Sampai saat ini transmigrasi masih dijalankan, namun
skalanya menjadi sangat kecil. Iklim administrasi pemerintah yang tidak lagi
sentral dan padu sebagaimana era Suharto, merupakan salah satu sebabnya.
1974. Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 5 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan
mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan perusahaan. Peraturan
ini dibuat untuk mengendalikan konversi tanah pertanian ke penggunaan pertanian
yang terlihat semakin merajalela. Pengendalian
ini dirasa perlu sebagai instrumen untuk mencapai program swasembada pangan
yang dicanangkan pemerintah, berupa Program Bimas.
1975. Permenagri No. 15 tahun 1975 tentang lembaga pembebasan tanah. Aturan pelaksanaannya
adalah PP no. 29 tahun 1986. Mengatur tentang tata cara pembebasan tanah untuk
pembangunan. Peraturan ini dilahirkan agar penggunaan tanah untuk pembangunan
(kepentingan umum) tidak menimbulkan konflik dengan masyarakat. Namun konflik
juga semakin banyak terjadi, karena pembebasan tanah secara paksa oleh
pemerintah atas nama untuk kepentingan umum, namun adakalanya diberikan kepada
pihak swasta. Hal ini bertentangan dengan UUPA , karena tak memberi
kesempatan kepada masyarakat, sedangkan keputusan ada di gubernur dan Panitia
Pembebeasan Tanah.
-Keppres
No. 20 tahun 1975 tentang Kebijakan di bidang pemberian hak pengusahaan hutan.
HPH mulai sejak 1960-an, Dan mencapai puncaknya tahun 1980-an.
1978. Keppres No. 1 tahun 1978. Menetapkan
aturan baru, bahwa 10 persen dari total areal transmigrasi pada satuan
pemukiman harus diberikan kepada penduduk asli sekitar atau penduduk lokal.
1980. Keluarnya Keppres No. 3 tahun 1980 Tentang
Landreform
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar