Jumlah pe-longok :

Selasa, 23 Desember 2014

"KEBIJAKAN YANG DIBUTUHKAN UNTUK MENGOPTIMALKAN PERAN PENYULUH PERTANIAN SWASTA DI INDONESIA"


Oleh: Syahyuti
Pusat Sosial Eknomi dan Kebijakan Pertanian
Jl. Ahmad Yani No. 70 Bogor

 Abstract
The role of agricultural extension by private actors began to emerge in the world around the 1980s, when the government began to reduce the budget for extension activities. In Indonesia, the existence of private extension was officially listed in the Act No. 16 of 2006 which has embraced the participatory paradigm, in which private actors are expected it to meet the shortage of extension workers is increasingly difficult to meet. However, until now, has been almost 10 years since this regulation was issued, the mobilization of private extension is not executed. This paper is a review of a variety of ideas and research results in the various countries where private education has been practiced. Limited conditions and government, as well as the pressure of commercialization of agricultural products coupled with the growing communication patterns, leading to the presence of private extension is a necessity. However, to optimize the role of private extension worker, the government needs to implement a new extension policies to develop an effective extension system.  The government than can optimize the role private agricultural extension in the national agricultural extensioan system.

Keywords: agricultural extension, penyuluh private, mixed extension institutional

Abstrak

Penyuluhan pertanian oleh pelaku swasta mulai marak di dunia sekitar tahun 1980-an, ketika pemerintah mulai mengurangi anggaran untuk kegiatan penyuluhan. Di Indonesia, keberadaaan penyuluh swasta secara resmi tercantum dalam UU No 16 tahun 2006 yang sudah menganut paradigma partisipatif, dimana pelaku swasta diharapkan dapat memenuhi kekurangan tenaga penyuluh yang semakin sulit dipenuhi. Namun demikian, sampai saat ini, sudah hampir 10 tahun semenjak peraturan ini dikeluarkan, mobilisasi penyuluh swasta belum dijalankan. Tulisan ini merupakan review berbagai pemikiran dan hasil penelitian di berbagai negara dimana penyuluhan oleh swasta telah dipraktekkan. Kondisi dan keterbatasan pemerintah, serta tekanan komersialisasi hasil pertanian ditambah dengan pola komunikasi yang semakin berkembang, menyebabkan kehadiran penyuluh swasta merupakan satu keniscayaan. Namun demikian, untuk mengoptimalkan peran penyuluh swasta, pemerintah perlu menjalankan kebijakan yang telah diambil, serta menyusun pengaturan sistem penyuluhan baru di lapangan yang lebih jelas, dan segera melakukan mobilisasi dan mengoptimalkan penyuluh pertanian swasta.

Kata kunci: penyuluhan pertanian, peyuluh swasta, kelembagaan penyuluhan campuran

Pendahuluan
Selama ini sampai dengan tahun 2006, Indonesia hanya mengenal satu jenis penyuluh pertanian, yaitu Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang diangkat dan digaji oleh pemerintah, demikian pula dengan seluruh biaya operasionalnya yang juga ditanggung pemerintah. Namun, semenjak keluarnya Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, telah diakui tiga jenis penyuluh, yaitu penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya (petani). Khusus untuk tipe penyuluh yang baru ini, yakni penyuluh swadaya dan swasta, telah dikeluarkan pula Permentan No. 61 tahun 2008 Tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Swasta. Disebutkan dalam kebijakan ini bahwa penyuluh swasta dan swadaya membantu penyuluh pemerintah dalam format kemitraan. Namun demikian, meskipun telah berjalan hampir 10 tahun semenjak keluarnya UU ini, bagaimana dukungan dan kemitraan di lapangan antar ketiga jenis penyuluh ini belum berjalan dan masih membingungkan.
Pada Rapat Koordinasi Sektretariat Badan Koordinasi Nasional Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Bakornas P3K) di Jakarta bulan Januari 2014, disepakati bahwa pemerintah akan memberi peran yang lebih luas bagi para penyuluh swasta untuk berpartisipasi secara aktif. Pemerintah akan membuka ruang yang lebih luas kepada sektor swasta yang terlibat aktif melakukan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. SDM untuk penyuluh swasta dapat berasal dari dunia usaha, namun memiliki kompetensi di bidang penyuluhan (Harian Kabar Bisnis, 10 Januari 2014). Kejelasan dan program nyata dari pemerintah mendesak dilakukan.
Satu hasil penelitian (Setiawan et al., 2009) berkenaan dengan ketiga jenis penyuluh menunjukan bahwa peran penyuluh masih lemah, sementara integrasi dan koordinasi peran antar penyuluh baik secara vertikal maupun horizontal juga tidak berjalan efektif. Sementara, penelitian tahun 2013 di tiga propinsi (Indraningsih et al., 2013) mendapatkan bahwa belum ada pemerintah daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan yang telah melakukan kegiatan berkenaan dengan penyuluh swasta, bahkan sekedar melakukan pendataan. Tambahan lain, pada tanggal 18 April 2012 telah dilaksanakan kegiatan Temu Teknis Penyuluh Swadaya/Swasta Provinsi D.I.Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Bidang Koordinasi Penyuluhan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi DIY. Kegiatan ini hanya dihadiri penyuluh swadaya tanpa ada penyuluh swasta seorang pun (Anonimous, 2012).
Sesungguhnya terdapat tiga level persoalan yang dihadapi dalam upaya memobilisasi penyuluh pertanian swasta saat ini. Pertama, pada level akademik, dimana hampir tidak ada pemikiran yang berkembang baik dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian tentang apa dan bagaimana semestinya penyuluh pertanian swasta akan diberdayakan dan dikembangkan di Indonesia.
Kedua, pada level kebijakan, dimana pedoman untuk kegiatan di lapangan bagi pemerintah daerah misalnya sampai saat ini masih sangat terbatas dan belum memadai. Pemda banyak yang menahan diri, karena dikuatirkan akan menghasilkan arah yang keliru. Bahkan jika dipelajari lebih dalam, bagaimana memobilisasi penyuluh swasta belum memperoleh penjelasan yang cukup dalam UU 16 tahun 2006 dan juga dalam Permentan 61 tahun 2008. Ada ketidakkonsistenan antara UU dengan turunannya ini. Meskipun UU sudah memiliki semangat dan paradigma penyuluhan baru, namun tidak diadopsi baik dalam Permentan, dimana masih mengedepankan kepada pola penyuluhan lama era Bimas, dan mengandaikan bahwa semua kegiatan penyuluhan akan dijalankan dan menjadi tanggung jawab dari pemerintah.
Ketiga, pada level lapang, dimana belum ada tindakan yang riel bagaimana misalnya melakukan pendataan penyuluh swasta. Level ini juga penting, karena pemerintah daerah yang akan menjalankan buktinya sampai saat ini belum melakukan tindakan apapun.
Sesuai dengan Permentan No. 72 tahun 2011 tentang Pedoman Formasi Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian, kebutuhan penyuluh pertanian seluruh Indonesia adalah 71.479 orang. Dari jumlah tersebut, yang baru tersedia adalah 27.961 orang atau hanya 39,4 persen. Kekurangan ini sesungguhnya hanya dapat diisi dengan memobilisasi penyuluh swadaya dan swasta, sehingga wacana untuk mewujudkan penyuluh yang cukup (“satu penyuluh satu desa”) akan terwujud. Penyuluh swasta lahir sebagai amanat UU N0. 16 tahun 2006, bertolak dari azas demokrasi, partisipatif, dan kemitraan (Pasal 2). Ini juga dikuatkan oleh point b pasal 6 yaitu: “Penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra Pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkat administrasi pemerintahan.
Tulisan ini hanya akan membahas penyuluh swasta, yang sampai saat ini belum memiliki kejelasan dalam mobilisasinya. Ketiga jenis penyuluh ini, yakni penyuluh pemerintah, swasta dan swadaya, memiliki persamaan dan perbedaan yang jika dikombinasikan akan mampu menghasilkan sistem penyuluhan pertanian yang kuat.

Metode Penulisan
Permasalahan penyuluh pertanian swasta masih sangat awam di Indonesia, sehingga referensi berkenaan dengan penelitian dan kebijakan pun hampir tidak ada. Namun, persoalan ini sangat penting diwacanakan, karena telah hampir 10 tahun semenjak UU No 16 tahun 2006 dikeluarkan belum ada tindakan apapun terkait penyuluh swasta yang dilakukan pemerintah. Pada aras ilmiah, objek ini pun belum memperoleh perhatian, sehingga belum ada seminar serius yang membicarakannya.
Karena keterbatasan itulah, maka tulisan ini disusun dari berbagai sumber yang merupakan hasil-hasil penelitian di berbagai negara yang telah mempraktekkan penyuluh swasta. Pengalaman dari banyak wilayah ini akan menjadi bahan penting dalam menyusun kebijakan dan strategi dalam mengoptimalkan penyuluh swasta di Indonesia. Bahan yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, sehingga format tulisan menjadi sebuah review ilmiah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kebutuhan Terhadap Kehadiran Penyuluhan Swasta di Indonesia
Penyuluhan oleh swasta lahir bersamaan dengan semakin kuatnya intervensi pasar dalam sektor pertanian. Sehingga, istilah penyuluhan pun telah berkembang mengikutinya dalam 50 tahun terakhir ini. Tahun 1949 misalnya, penyuluhan dimaknai lebih luas, yaituThe central task of extension is to help rural families help themselves by applying science, whether physical or social, to the daily routines of farming, homemaking, and family and community living (Brunner and Hsin Pao Yang, 1949). Berikutnya, pada tahun 1965 penyuluhan menjadi agak sempit sebagai kegiatan pendidikan  “Agricultural extension has been described as a system of out-of-school education for rural people” (Saville, 1965). Sedangkan tahun 2006, penyuluhan sudah memasukkan sektor industri sebagai objeknya. “Extension is the process of enabling change in individuals, communities and industries involved in the primary industry sector and in natural resource management (SELN, 2006). Dalam perjalanannya, telah berkembang beberapa paradigma yang lalu diikuti oleh pendekatan dan metode kerja di lapangan (tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan Paradigma Penyuluhan, Pendekatan Dan Metode Kerja Penyuluhan
Paradigma
Pendekatan
Metode yang dijalankan
Transfer teknologi
persuasive + paternalistic
Pola klasik latihan dan kunjungan (LAKU)
Penyampaian saran dan pembimbingan (advisory work)
persuasive + participatory
Misalnya berupa kerjasama pemerintah dengan pelaku industri
Pengembangan sumberdaya manusia
educational + paternalistic
Pelibatan perguruan tinggi
Fasilitasi untuk pemberdayaan
educational + participatory
Dari petani ke petani, contohnya adalah sekolah lapang (Farmer Field Schools) atau participatory technology development (PTD).
Sumber: Rivera and Cary (2005).
Sesuai dengan Rivera and Cary (2005), konsep privatisasi penyuluhan dimulai semenjak 1980-an oleh pemerintahan di berbagai negara. Makna privatiasi (privatization) secara luas adalah “….introducing or increasing private sector participation, which does not necessarily imply a transfer of designated state-owned assets to the private sector. In fact, various cost-recovery, commercialization, and other so-called privatization alternatives have been adopted to improve agricultural extension. Pada era perdagangan bebas mulai meluas, negara-negara dituntut berproduksi yang unggul sesuai prinsip keunggulan komparatif, sementara negara berkembang masih harus pula bergulat dengan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan.
Singh (2009) dalam tulisannya “Agricultural Extension: Needed Paradigm Shift menyatakan bahwa kondisi dunia telah berubah banyak. Untuk pembangunan pertanian, petani membutuhkan informasi yang lebih realistis dan terukur (measurable value), sehingga pelayanan penyuluhan tidak lagi cukup hanya berupa informasi (pengetahuan) semata. Telah terjadi perubahan dari mental sebagai penyedia (provider mentality) kepada mental pengguna (user mentality). Selain itu, petani juga menuntut penyampaian informasi yang sebelumnya meluas (broadcasting) ke arah yang lebih sepesifik  (narrow casting), juga informasi yang dapat memberikan gambaran cepat (instance performance), dan juga sesuatu yang lebih demand driven dan customized information.
Kebutuhan informasi pertanian dan jasa konsultasi dalam masa mendatang akan lebih intensif dibutuhkan oleh petani (Swanson et al., 1997). Petani harus lebih efisien dan efektif dalam usaha taninya. Karena itu, penyuluh membutuhkan keahlian baru di luar penyampai informasi, yaitu mampu melakukan negosiasi, selain mampu melakukan resolusi konflik, serta menumbuhkan dan memelihara organisasi petani.
Sistem penyuluhan pertanian yang dikembangkan oleh FAO juga menekankan bahwa penyuluhan haruslah berkelanjutan, yang mempunyai empat ruang lingkup yang terdiri dari kelayakan teknis, kelayakan ekonomi, penerimaan sosial, dan keamanan lingkungan.  FAO dalam bukunya Improving Agricultural Extension memberikan arahan bahwa ke depannya pengembangan penyuluhan harus mampu menjawab tantangan yang ada. Selain mengusung paradigma keberlanjutan, juga harus mampu menjawab tantangan perubahan sosial ekonomi yang berlangsung di masyarakat.
Menurut Gustafson dalam (Swanson et al., 1997), ada empat perubahan utama dunia yang berimplikasi kepada perlunya format penyuluhan baru, yaitu: Pertama, Ekonomi dan kebijakan. Tumbuh kecenderungan dari pemerintah untuk lebih efisien dalam pelayanan publik (penyuluhan), namun ada keterbatasan pemerintah dalam merektrut tenaga-tenaga penyuluh. Karena itu, pelayanan penyuluhan akan lebih luas dengan mengajak kalangan swasta dan penswadayaan dari diri petani sendiri.
Kedua, perubahan pada konteks sosial di pedesaan. Penduduk  pedesaan semakin lebih berpendidikan, dan paparan dari media massa akan terus mengurangi isolasi terhadap informasi, gagasan, dan kesadaran dari situasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Ketiga, Perubahan sistem pengetahuan. Tumbuh pula pengakuan terhadap sistem pertanian lokal spesifik dan informasi pertanian  yang mendukung pelayanan penyuluhan. Pengakuan ini juga menyiratkan bahwa penyuluh dan petani (baik pelaku utama maupun pelaku usaha) secara bersama-sama harus terlibat dalam verifikasi dan adaptasi teknologi baru.
Empat, perubahan teknologi informasi. Pesatnya perkembangan teknologi informasi menjadi salah satu faktor terbesar untuk perubahan penyuluhan, karena membuka banyak kemungkinan untuk aplikasi potensi teknologi dalam penyuluhan pertanian.  Teknologi informasi akan membawa informasi baru layanan ke daerah pedesaan di mana para petani sebagai pengguna akan memiliki kontrol jauh lebih besar dibandingkan pola saluran informasi masa lalu. Petani pun akan lebih banyak mendapatkan informasi yang nantinya dapat dipilih mana yang sesuai dengan usaha taninya.
FAO telah agak lama mengenalkan pola penyuluhan baru dalam payung “Sustainable Agricultural And Rural Development” (SARD).  Di sini penyuluhan diposisikan sebagai bentuk bantuan untuk membantu meningkatkan pengetahuan, efisiensi, produktivitas, profitabilitas, dan kontribusi terhadap petani individual,  komunitas keluarga mereka, dan masyarakat. Pada saat yang sama, politisi, perencana, dan pembuat kebijakan di banyak negara berkembang melihat penyuluhan dalam negara sebagai instrumen kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian, untuk mencapai ketahanan pangan nasional, dan  pada saat yang sama juga membantu mengurangi kemiskinan di pedesaan (Swanson et al., 1997). Kegiatan ini diharapkan mengarah kepada peningkatan dan berkelanjutan produktivitas, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pertanian, serta untuk promosi ketahanan pangan nasional dan pertumbuhan ekonomi.
Selama ini, pemerintah pusat sering dikatakan kurang responsif dan tidak efisien dalam menjalankan penyuluhan. Namun, pertanyaan yang penting adalah apa yang bisa diperankan pemerintah dalam kondisi kelembagaan yang kompleks (complex institutional) yang tidak bisa dijawab dengan mudah, sementara peran swasta pun harus dikontrol (Rivera and Cary, 2005).
Keterlibatan pihak swasta (private sector) dalam kegiatan penyuluhan pertanian bertolak atas upaya untuk mencapai efisiensi kegiatan penyuluhan dan pembangunan pertanian, dengan mengawinkan pelaku bisnis sekaligus terlibat langsung dalam menyuluh petani yang menjadi mitranya. Tiga alasan pokok keterlibatan swasta dalam penyuluhan menurut Rivera and Cary, (2005) adalah: (1) Jaminan bahwa penyuluh swasta akan lebih efisien (more efficient delivery of services), (2) Dapat menekan anggaran dari pemerintah (lowered government expenditures), dan (3) Jaminan pada pelayanan yang lebih baik (higher quality of services).
Penelitian di Nigeria (Apantaku et al., 2005), mempelajari feasibilitas integrasi antara penyuluhan swasta dengan penyuluhan pemerintah dalam program Private Integrated Agricultural Extension Service (PIAES) yang dilakukan kepada 240 orang petani kecil, staf penyuluhan, penyuluh ahli, dan pihak industri pertanian.  Hasilnya menunjukkan bahwa 75,8 persen petani bersedia membayar jasa penyuluhan. Dari pihak penyuluhan (extension specialists/workers), sebanyak 93,4 persen juga menyukai skema program ini, sehingga program integrasi ini sangat memungkinkan untuk dijalankan.
Khusus untuk Indonesia, untuk mengantisipasi perubahan baru ini, sebagaimana diamanatkan dalam UU No 16 tahun 2006, maka pemerintah telah mewadahi permasalahan yang dihadapi penyuluh swadaya dan swasta dalam Permentan No. 61 tahun 2008. Pada Permentan ini disebutkan bahwa  permasalahan yang dihadapi adalah: (1) Pembinaan terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluhan bagi penyuluh pertanian swadaya dan swasta belum memiliki arah yang jelas, (2) Belum didayagunakan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha, (3) Masih lemahnya fungsi dan peran penyuluh swadaya dalam penyelenggaraan penyuluhan,  (4) Masih rendahnya motivasi kerja, (5) Belum terciptanya mekanisme kerja antara ketiga jenis penyuluh, dan (6) Belum terciptanya kinerja dan profesionalisme penyuluh swadaya.
Namun demikian, Permentan No 61/Permentan/OT.140/11/2008 ini juga memiliki beberapa keterbatasan, di antaranya adalah menyamakan belaka antara penyuluh swadaya dan swasta. Di dalam seluruh bagian peraturan ini tidak ada bagian khusus yang membahas penyuluh swasta, demikian pula tidak ada yang membahas hanya penyuluh swadaya. Setiap bahasan selalu menyebutkan kedua jenis penyuluh ini sekaligus. Artinya, peraturan ini tidak melihat bahwa sesungguhnya penyuluh pertanian swasta berbeda dengan penyuluh swadaya.
Kebutuhan terhadap penyuluhan swasta telah dirasakan kuat di Indonesia. Pada bulan November 2012 misalnya, Menteri Kehutanan menargetkan akan mengangkat 30 Ribu Penyuluh Kehutanan Swasta.  Menteri Kehutanan mencanangkan pengangkatan penyuluh kehutanan swasta untuk memberikan pendidikan kehutanan bagi masyarakat sekitar hutan guna mendukung pembangunan kehutanan menuju Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera yang Berkeadilan. Penyuluh swasta adalah pengganti petugas PAM Swakarsa. Mereka direkrut melalui kerjasama dengan BUMN, perusahaan-perusahaan swasta dan pemerintah daerah. Tugas penyuluh swasta di samping mengamankan dan menertibkan, juga memberikan penyuluhan pendidikan akan pentingnya hutan. Total kebutuhan penyuluh kehutanan secara nasional sesuai formulasi Badan Kepegawaian Negara sebanyak 21 ribu orang. Namun, hingga 2012, penyuluh kehutanan PNS hanya berjumlah 4.056 orang dan tenaga penyuluh kehutanan swadaya masyarakat 2.505 orang, sementara tenaga penyuluh kehutanan swasta sampai tahun 2012 belum ada.
Selama ini, kerjasama antara ketiga jenis penyuluh sesungguhnya telah berlangsung di beberapa wilayah. Salah satu contoh adalah dalam usaha tambak udang di sulawesi Selatan. Dalam laman web resminya, Pusat Penyuluhan Perikanan melaporkan satu keberhasilan “Sinergitas Penyuluh Swasta, Swadaya dan PNS Dalam Kebangkitan Udang Sulsel” (2 Februari 2014, http://www.pusluh.kkp.go.id/....). Keberhasilan usaha tambak udang windu di Sulawesi Selatan tak lepas dari campur tangan swasta dalam alih teknologi kepada pembudidaya. Sejumlah produsen pakan udang menerjunkan petugas lapangan untuk mentrasfer inovasi teknologi budidaya udang windu sambil mempromosikan produknya kepada pembudidaya. Di lapangan, staf perusahaan ini dibantu oleh penyuluh PNS, yang secara bersama-sama mencari tokoh-tokoh pembudidaya yang dinilai sukses dalam usaha budidaya dan berpengaruh dalam komunitas pembudidaya dalam kawasan tersebut. Petambak-petambak maju ini akhirnya berkembang menjadi penyuluh swadaya. Satu kajian menyebutkan bahwa sekitar 44 persen alih teknologi berasal dari penyuluh swasta, 11-14 persen dari kontak tani (penyuluh swadaya), dan 5-9 persen dari penyuluh PNS (Infomina, Edisi Desember 2013).
Apa yang berlangsung di Indonesia saat ini sesungguhnya sejalan dengan fenomana yang berlangsung di berbagai negara berkembang, dan wilayah Asia khususnya. Di wilayah Asia, yang sebagian besar adalah negara dunia ketiga, ada empat tahapan pokok perkembangan penyuluhan pertanian, yang sedikit banyak sangat ditentukan oleh sumber anggaran pembangunan (NAFES, 2005). Tahapan tersebut adalah:
(1)            Era kolinal (Colonial agriculture) yang fokus pada pengembangan tanaman perkebunan, dimana tenaga penyuluh pertanian adalah staf perusahaan-perusahaan perkebunan tersebut.  
(2)            Era top down beragam (Diverse top-down extension) dimana pemerintah mengembangkan pertanian melalui pendekatan komoditas dengan target-target produksi nasional. Pada era ini, penyuluh didominasi petugas pemerintah yang bekerjasama erat dengan aparat pemerintah administratif lain. Di Indonesia pola ini berlangsung secara massif pada era Bimas, dimana aparat pemerintah begitu kuat mengintervensi penyuluh.
(3)            Era penyuluhan searah (Unified top-down extension) pada tahun 1970-an dan 1980-an, bersamaan dengan program revolusi hijau. Pada era ini, introduksi teknologi dipadukan dengan pola Latihan dan kunjungan (training and visit method).
(4)            Era bottom up (diverse bottom-up extension) ketika berakhirnya pendanaan dari Bank Dunia dan pola LAKU juga menurun. Setelah bantuan Bank Dunia diberhentikan, sumber pendanaan semakin beragam namun menurun, dan perencanaan yang sebelumnya sangat terpusat juga mulai longgar. Di Indonesia hal ini bersamaan dengan berlangsungnya era otonomi daerah yang lalu disambut dengan lahirnya UU No 16 tahun 2006 yang sudah menganut prinsip-prinsip partisipatif. Pada era ini NAFES (2005) mencatat bahwa: “The decline of central planning, combined with a growing concern for sustainability and equity, has resulted in participatory methods gradually replacing top-down approaches”.

Dibandingkan dengan 20 tahun lalu, tidak ada lagi dukungan dana besar untuk penyuluhan pertanian. Bank Dunia merupakan pendonor utama penyuluhan pertanian di Indonesia yang dimulai tahun 1970-an dengan Proyek Penyuluhan Tanaman Pangan (National Food Crops Extension Project / NFCEP) lalu diikuti dengan National Agricultural Extension Project periode I dan II sampai awal 1990-an.

Siapakah Penyuluh Pertanian Swasta?
Dalam Buku Statistik SDM Pertanian dan Kelembagaan Petani (Pustdatin, 2013), per Januari 2013 dari total jumlah penyuluh pertanian yakni 58.123 orang, dimana belum ada satupun yang berasal dari penyuluh swasta. Jumlah penyuluh pertanian PNS sebanyak 28.494 orang, lalu penyuluh THL-TB 21.249 orang dan penyuluh swadaya 8.380 orang.
Masyarakat awam mengenal penyuluh swasta sebagai tenaga pemasaran berbagai sarana input pertanian, yakni penjual benih dan obat-obatan pertanian, yang dikenal dengan sebutan “formulator” atau ”distributor” pestisida. Ini baru merupakan satu jenis penyuluh yang potensial untuk dijadikan sebagai penyuluh swasta. Dalam UU 16 tahun 2006 dan Permentan No 61 tahun 2008 disebutkan “Penyuluh Pertanian Swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan”.
Artinya, penyuluh dapat berasal dari dunia usaha (perusahaan swasta) dan juga bukan. Ini sejalan dengan Umali-Deininger (1997) yang menyebutkan bahwa penyuluh swasta mencakup pelaku yang profit and nonprofit private. Secara umum, ada tiga jenis penyuluh swasta, yaitu: (1) Staf  perusahaan swasta, yakni perusahaan-perusahaan yang menjual input, perusahaan pengolahan, dan pemasaran; (2) Non profit sector yakni perguruan tinggi, NGO, dan lain-lain; serta (3) Pay for service (dibayar oleh organisasi petani, bisa Gapoktan, atau asosiasi komoditas).
Sementara menurut Schwartz (1994),  penyuluh swasta (private extension) mencakup perguruan tinggi, masyarakat (public), penyuluh yang dikontrak khusus (contract farming schemes), para penjual input usaha pertanian (input supply companies) dimana penyuluh swasta adalah bagian dari aktivitas mereka, dan Non Governmat Organization (NGO).
Penyuluh swasta memiliki sisi keunggulan dan sekaligus kelemahan. Beberapa keunggulan penyuluh swasta di antaranya adalah: (1) Memiliki pengetahuan yang lebih baru dan dukungan sumber informasi yang kuat, karena mereka terhubung langsung dengan perusahaan yang aktif di pasaran. (2) Didukung oleh materi teknologi yang lebih baik, karena perusahaan tempatnya bekerja biasanya memiliki divisi pengembangan teknologi yang canggih, (3) Memberikan pengetahuan sekaligus solusi bisnis bagi petani, karena mereka adalah pelaku pasar yang aktif, dan (4) Memiliki mobilitas yang tinggi dan bekerja dengan disiplin ketat sesuai dengan kultur perusahaan modern.
Selengkapnya perbedaan dan persamaan antara penyuluh PNS, swasta dan swadaya adalah sebagai berikut. Ketiganya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, karena perbedaan posisi sosial, orientasi kelembagaannya, dan metode kerjanya.

Tabel 2.  Perbedaan Karakteristik Penyuluh PNS, Swasta Dan Swadaya
Aspek
Penyuluh PNS
Penyuluh swasta
Penyuluh swadaya
Pelaku
PPL PNS dan PPL-THL
Dosen perguruan tinggi, peneliti, pegawai perusahaan swasta, staf asosiasi komoditas, NGO
Petani (Kontak Tani, petani maju, pengurus organisasi petani).
Basis kerjanya
Pelayanan dan administrasi
Pelayanan dan mencari keuntungan  
Pelayanan, pendampingan, dan bisnis
Indikator kinerjanya
Loyalitas pada atasan
Pencapaian hasil
Pencapaian hasil
Peran dalam pembangunan pertanian
Motivator dan komunikator
Komunikator, motivator, suplier input, dan pembeli (buyer).
Pembaharu, motivator, organisator komunitas, pemimpin langsung di lapangan.
Sumber: penulis (diolah dari berbagai sumber).
Umali-Deininger (1997) mendapatkan bahwa komersialisasi pertanian membutuhkan semakin meningkatnya permintaan terhadap penyuluhan yang semakin spesifik dari sisi klien dan materi (specialized client- and location-specific extension services). Permintaan ini lebih tepat jika disediakan oleh penyuluh swasta yang berbentuk for-profit firms yang lebih responsif.
Dari berbagai bentuk penyuluh swasta tersebut, perbedaan kelebihan dan kekurangannya adalah sebagai berikut:




Tabel 3. Perbedaan Karakteristik Antar Jenis Penyuluh Swasta
Jenis penyuluh
Kelebihan
Kekurangan
1.                Pegawai swasta


a.                Perusahaan penyedia sarana produksi
Menyediakan sarana produksi yang lebih berkualitas dan tepat waktu
Petani harus membayar tunai, dan kemungkinan mutunya belum lulu uji atau belum bersertifikat. Terikat dengan aturan perusahaan
b.                Perusahaan pengolahan dan pemasaran komoditas pertanian
Hasil petani terjamin untuk diserap
Terikat dengan aturan perusahaan, dan lebih mengejar keuntungan perusahaan.
2.                Perguruan tinggi
Memberikan hasil-hasil penelitian yang kuat secara ilmiah
Hasil penelitian sering tidak aplikatif
3.                NGO
Memiliki kemampuan persuasi yang lebih baik, dan memiliki wawasan lingkungan yang tinggi
Kurang didukung oleh jaringan pensuplai teknologi yang baru
4.                Penyuluh pribadi


a.                Pribadi (personal)
Memiliki komitmen tinggi, karena langsung memiliki kontrak dengan petani, dan pembayaran berdasarkan keuntungan usaha yang diperoleh petani.
Pihak penekan dan penanggung jawab tidak ada, karena merupakan kontrak personal
b.                Perusahaan jasa penyuluhan
Memiliki komitmen tinggi, karena pendapatan bergantung kepada nilai fee sesuai perjanjian, dan ada pihak penekan atau penangung jawab
Ada tambahan biaya untuk fee perusahaan, dan motivasi perusahaan kepada keuntungan dapat menjadi conflict of interest
Sumber: penulis (diolah dari berbagai sumber).

Peran Strategis Penyuluh Swasta dan Bentuk Peran Yang Sesuai Untuknya
Salah satu sisi paradigma baru penyuluhan adalah “penyuluhan partisipatif”, bukan penyuluh yang searah. Penyuluh harus bisa hidup di antara petani,  hadir di dalam semangat petani serta terlibat secara partisipatif dalam kegiatan petani. Jadi, penyuluh tidak hanya memberikan teori budidaya serta masalah hama dan penyakit tanaman, namun harus bisa membukakan dan memberikan solusi (problem solving approach).
Keberadaan penyuluh swasta sangat signifikan di era dimana dibutuhkan perluasan jaringan berbasis bisnis petani. Chamala dan Shingi (2007) dalam tulisannya Establishing and Strengthening Farmer Organizations”,  menyampaikan bahwa pada organisasi yang berbentuk commodity-based organizations, penyuluh dapat membantu mengintegrasikan berbagai aspek untuk memaksimalkan pendapatan petani. Kelebihan penyuluh swasta adalah ia penghasil teknologi, dan ia bertanggung jawab kepada keefektifan teknologi tersebut secara langsung. Jika penyuluh PNS ukuran penilaian pegawainya adalah loyalitas. Sedangkan organisasi swasta desentralistis, pegawainya ramping dan efisien, dan indikator kinerja pegawainya adalah pencapaian hasil.
Kehadiran penyuluh swasta sudah merupakan keniscayaan, karena satu objek yang kurang disentuh selama ini oleh penyuluh  pemerintah adalah berkenaan dengan pasar dan pemasaran ("extension markets"). Ini menjadi nilai lebih seorang penyuluh swasta, khususnya untuk penyuluh yang merupakan staf sebuah perusahaan besar bidang agroindustri misalnya.
Pada era 1990-an, berbagai pihak di dunia ramai membicarakan perubahan konsep dan paradigma penyuluhan. Hal ini dikompilasi misalnya dalam buku FAO berjudul “Strategic Vision and Guiding Principles (2000) for promoting Agricultural Knowledge and Information Systems for Rural Development (AKIS/RD). Paradigma baru ini disusun dengan menyadari perubahan lingkungan dunia yaitu isu globalisasi, perubahan yang semakin cepat (rapidity),  transportasi dan komunikasi, dan kecenderungan terbentuknya apa yang disebut dengan corporate development.
Keberadaan penyuluh swasta semakin penting jika pemerintah akan mengaplikasikan pendekatan Farmer Bussines School (FBS). FBS menerapkan metode sekolah lapang untuk materi pengembangan pemasaran hasil pertanian. Metode ini mulai marak tahun 2000-an, dengan tujuan untuk memperkuat kemampuan dan kapasitas petani dan organisasi petani dalam menjalankan usaha pertanian, terutama untuk memasarkan hasil produksinya.
Jika Farmer Field School (FFS) fokus pada subsistem budidaya, FBS fokus pada subsistem pengolahan dan pemasaran hasil. Para peserta dalam program FBS berupaya memahami keuntungan usaha, pemasaran dan pasar, survei pasar, membuat laporan pasar, membangun visi dan tujuan bisnis, memilih badan usaha, mengenali komponen rencana bisnis, menyusun rencana bisnis, menyiapkan tindakan, dan pencatatan. Tujuannya adalah agar petani pandai, cerdik mensiasati pasar, dan kuat sebagai pelaku pasar. Dengan mengikuti FBS diharapkan petani akan mampu memilih secara tepat apa komoditas yang mau ditanam, mengelola modal dan tenaga kerja, dan menangani resiko
Metode FBS lahir dari kenyataan bahwa petani tidak bisa lepas dari tekanan globalisasi dan komersialisasi, maka petani harus berbisnis. Tujuannya adalah agar petani mampu berkompetisi dan mengambil keuntungan dari kondisi dan tantangan baru di lingkungan baru. Membangun kemampuan petani dalam wirausaha dan manajemen, meningkatkan pengetahuan, merubah sikapnya dan meningkatkan keterampilannya dalam mengkomersilkan hasil pertanian. Pendekatan FBS bersifat responsive and interactive, dimana pelatih datang dari pihak yang beragam mulai dari fasilitator teknis sampai dengan fasilitator pengembangan komunitas, konsultan pemasaran, dan lain-lain.
Farm Business School menggunakan pendekatan FFS dalam kegiatannya yaitu “…to strengthen the entrepreneurial capacities of farmers and farmer organizations” (FAO, 2011). Perubahan lingkungan, terutama perdagangan internasional mendesak petani untuk bisa menjadi pengambil keputusan yang cerdik dan mampu berkompetisi lebih baik di lingkungan baru, dan juga akan terus berubah. Untuk itu perlu kemampuan lebih dalam manajemen usahatani. FBS membantu petani memilih secara tepat apa komoditas yang mau ditanam, mengelola modal dan tenaga kerja, dan menangani resiko berusaha.
Materi pelatihan dalam FBS mulai dari memahami apa itu FBS, memahami dasar-dasar bisnis dan konsep pemasaran,  analisa situasi eksisting, identifikasi keuntungan, menyiapkan rencana bisnis, dan membuat farm records. Pada tahap diagnosis dan menyusun perencanaan dijelaskan mengapa FBS penting. Dijelaskan pula pentingnya membangun komitmen dan jadwal pertemuan, memahami mengapa usahatani dipandang sebagai bisnis dan petani adalah seorang usahawan, menumpuk keuntungan usaha, dan mengenali kondisi dan permasalahan pertanian. Materi lain adalah memahami keuntungan usaha, pemasaran dan pasar, survei pasar, membuat laporan pasar, membangun visi dan tujuan bisnis, memilih badan usaha, mengenali komponen rencana bisnis, menyusun rencana bisnis, menyiapkan tindakan, dan pencatatan. Dalam tahap implementasi adalah menyepakati sesi dan skedul kegiatan, memobilisasi modal, penjualan secara kelompok, dan memasarkan produk. Juga dipelajari tentang pembelian dan penyimpanan, memahami kontrak kerjasama, memahami dan belajar cara menilai resiko, melakukan benchmarking, mengenal bagaimana ciri usahawan yang efektif, dan memahami konsep nilai tambah.
Langkah-langkah dalam FBS adalah mendiagnosis atau menemukan peluang, menyusun rencana usaha, lalu dilaksanakan dengan mengorganisasikan dan memproduksi, memasarkan, dan melakukan monitoring dan evaluasi. Pahami apa yang mau diproduksi, bagaimana memproduksinya, apakah itu mungkin diproduksi di lahan yang dimiliki, apa sumber dan input yang dibutuhkan, bagaimana memenuhi tenaga kerja, dimana peluang pasar, berapa harga yang sesuai, apakah ini menguntungkan, apakah cukup modal tunai, dan apa resiko yang akan dihadapi.
Di Indonesia kegiatan FBS masih terbatas. Salah satu contoh adalah program the Participatory Market Chain Approach (PMCA) yang dijalankan para petani kentang di Jawa Barat.  Pelatih berasal dari International Potato Center (CIP) dari Lima, Peru. Disini dilibatkan petani, pedagang (market chain actors), dan pedagang sarana input pertanian (agricultural service providers). Mereka berhasil membentuk manajemen baru dalam produksi dan sekaligus peluang pasar yang baru. ACIAR juga telah mengembangkan FBS yang dijalankan di kawasan Asia (termasuk Indonesia) untuk membangun relasi yang kuat antara petani, pedagang, dan konsumen di negara-negara berkembang.
Contoh lain dilakukan oleh CARE yang khusus untuk petani kecil perempuan. Kegiatan CARE’s Pathways program didanai dari Bill and Melinda Gates Foundation di enam negara yakni Ghana, Malawi, Bangladesh, India, Mali, dan Tanzania. Program Pathways ini disusun untuk meningkatkan ketahanan pangan dan sumber pendapatan rumah tangga untuk 150 ribu peserta dengan pendekatan Farmer Field and Business School (FFBS).  Pendekatan ini memadukan FFS approach dengan prinsip pendidikan orang dewasa (CARE, 2013).
Satu contoh keberhasilan lain adalah keberhasilan pengenalan program pertanian kepada siswa sekolah di Filipina dalam program Pinoy Agripreneurs Program, dimana siswa magang pada perusahaan-perusahaan pertanian yang berhasil. Setelah lulus mereka dapat menciptakan dan membangun bisnisnya sendiri. Program ini berjalan karena bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan swasta, dan dikenal dengan “Farms-Schools Network” (Gayo, 2012).
Beberapa sisi keunggulan penyuluh Swasta dibanding dengan penyuluh pemerintah dan penyuluh swadaya adalah: pertama, mampu memberikan teknologi yang sesuai kebutuhan petani dan bertanggung jawab kepada efektivitasnya. Hal ini karena mereka dekat dan bahkan menjadi penghasil teknologi itu sendiri dalam bentuk fisik (hardware). Teknologi yang tidak handal akan berdampak langsung kepada usaha perusahaan swasta itu sendiri.
Kedua, tidak memberikan pengetahuan, tapi menyediakan langsung teknologinya. Ini menutupi kelemahan penyuluhan PNS karena sering hanya memberikan pengetahuan namun tidak didukung sistem logistik pemenuhan teknologi yang memadai. Sebagai contoh, penyuluh menyarankan penggunaan pupuk berimbang namun pupuk tidak tersedia di kios-kios di desa.
Ketiga, memberikan pemecahan masalah. Sesuai dengan Chamala and Shingi (2007: bab “Establishing And Strengthening Farmer Organizations), ada empat peran penyuluh yang penting, yaitu peran sebagai tenaga pemberdayaan (Empowerment Role), peran mengorganisasikan komunitas (Community-Organizing Role), peran dalam pengembangan sumberdaya manusia (Human Resource Development Role), dan peran dalam pemecahan masalah dan pendidikan (Problem-Solving and Education Role). Penyuluh swasta utamanya adalah pada peran yang keempat.
Keempat, mampu mengajarkan teknologi dan keterampilan bertani lebih tepat karena ia memiliki pengetahuan teknis dari bukti penerapan produknya di berbagai lokasi lain.
Namun demikian, pendekatan komersial (commercialized approach) menuntut pelayanan penyuluhan pertanian yang lebih responsif kepada kebutuhan petani dalam kondisi yang sudah semakin market oriented. Beberapa implikasi dari privatisasi penyuluhan yang perlu diwaspadai diantaranya adalah:
1.               Mereduksi keterkaitan petani dan organisasi petani secara horizontal,
2.               Berpeluang menyebabkan ketimpangan, dimana perusahaan pertanian tempat penyuluh pertanian swasta bekerja akan memperoleh keuntungan lebih besar sehingga akan menyebabkan akumulasi keuntungan dan modal, serta skala perusahaan semakin besar.
3.               Mengurangi tersedianya informasi yang tergolong sebagai “public-good information” yang tersedia untuk semua orang, dan menyebabkan informasi menjadi komoditas (knowledge as a saleable commodity).
4.               Mengurangi peran pemerintah dan konflik kepentingan. Belanda pernah mengalami persoalan yakni konflik antara keinginan petani dan kebijakan pemerintah. “The Netherlands' approach reduced government outlays as well as the government agency role conflict between concern for farmers' interests and the implementation of increasingly stringent environmental policies (Bos et al., 1991).
5.               Merubah arah pembangunan pertanian. Karena petani membayar jasa penyuluhan, maka mereka merasa berhak mengendalikan tujuan-tujuan pembangunan, termasuk target-target penyuluhan.
6.               Menyingkirkan petani kecil yang kurang mampu membayar jasa penyuluh swasta dan juga karena memproduksi barang yang kurang menarik untuk pasar sehingga tidak mendorong penyuluh swasta melayaninya.
Kebijakan dan Pedoman yang Dibutuhkan
Menurut Umali-Deininger (1997), untuk mobilisasi dan optimalisasi penyuluh swasta dibutuhkan pengaturan yang tepat untuk menjamin kompetisi yang adil antar pelaku dan menjaga kualitas layanan. A critical government role in a pluralistic extension system would be to provide the appropriate regulatory framework to ensure fair competition and maintain quality standards”.
Dari penelusuran produk kebijakan yang telah dikeluarkan Kementan sampai saat ini, dapat dikatakan bahwa pedoman untuk memobilisasi penyuluh swasta masih belum memadai. Pertama, Dalam Rencana Strategis Tahun 2010-2014 Badan Penyuluhan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (Badan SDM, 2011), pada bagian Sasaran Strategis ditargetkan untuk “Terfasilitasinya pemberdayaan bagi 330 Penyuluh Pertanian Swadaya/Swasta” (hal 44). Artinya, ada fasilitas pemberdayaan untuk 330 orang penyuluh, namun tidak disebutkan berapa yang khusus untuk penyuluh swasta.
Lalu, dalam hal Strategi disebutkan bahwa akan dilakukan “Penataan serta peningkatan jumlah dan kompetensi penyuluh pertanian melalui optimalisasi peran penyuluh PNS, penyuluh Swadaya, dan penyuluh Swasta” (hal. 52). Selanjutnya, dalam konteks Pemantapan Sistem Penyuluhan Pertanian akan dilakukan “Fasilitasi Pemberdayaan Penyuluh Pertanian Swadaya/Swasta (hal 55). Terlihat, bahwa dokumen ini belum memberikan arahan yang jelas untuk penyuluh swasta secara spesifik.
Dua, Dalam Permentan Nomor: 25/Permentan/Ot.140/5/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian juga tidak ditemukan apa peran khusus penyuluh swasta, dibandingkan dengan penyuluh yang lain. Semestinya dijelaskan misalnya apa peran penyuluh swasta dalam menyusun programa, dan apa perbedaan peran dan tanggung jawab dengan penyuluh pemerintah dan penyuluh swadaya. Panduan ini menyebabkan tidak diikutsertakannya penyuluh swasta dalam penyusunan program selama ini.
Tiga, Permentan Nomor 26/Permentan/Ot.140/4/2012 Tentang Pedoman Pengelolaan Balai Penyuluhan. Dalam aturan ini, khususnya dalam bab “Pengertian” tidak ada pengertian untuk “penyuluh swasta”, demikian pula untuk “penyuluh swadaya”. Hanya ada pengertian untuk Penyuluhan PNS yaitu “Penyuluh PNS yang selanjutnya disebut penyuluh adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, dan kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan”.
Penyuluh swasta diakui sebagai salah satu jenis penyuluh, namun pedoman ini dapat dikatakan tidak memiliki persepsi dan pemahaman yang cukup bahwa ketiga jenis penyuluh ini mestinya diperlakukan berbeda. Dalam bagian Maksud dan Tujuan pedoman disebutkan untuk “meningkatkan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta agar dapat membimbing, mendampingi, melayani pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengembangkan usaha mereka..... (hal 6). Lalu pada bagian Tugas dan Fungsi BPP disebutkan termasuk ”memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan” (point nomor 5).
Disebutkan pula bahwa “Programa Penyuluhan” pada hakekatnya adalah kesepakatan antara penyuluh PNS dengan penyuluh swadaya dan penyuluh swasta di wilayah kerja Balai Penyuluhan untuk melaksanakan penyuluhan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun anggaran (hal. 11). Dalam pelaksanaan, disebutkan bahwa “Pelaksana penyuluhan adalah penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta yang merupakan penjabaran dari programa penyuluhan .... (hal 12). Sebagaimana pada panduan yang lain, pada Permentan  ini juga tidak dijelaskan pembagian peran antar jenis penyuluh. Artinya, Permentan ini tidak memberikan arahan yang jelas apa peran masing-masing pihak.
Bagian yang agak panjang yang didalamnya tercakup penyuluh swasta ada pada halaman 14, yakni Bagian “Fasilitasi Peningkatan Kapasitas Penyuluh”. Tertulis selengkapnya di bagian ini bahwa peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta adalah upaya meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap para penyuluh agar meningkat mutu pelaksanaan penyuluhan. Upaya peningkatan kapasitas penyuluh PNS, swadaya dan swasta dilakukan dengan cara sebagai berikut: (a) Melakukan pendataan seluruh penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta di wilayah kerja Balai. Data yang dikumpulkan meliputi: nama penyuluh, alamat, usia, pendidikan, keahlian yang dimiliki, pelatihan/kursus yang pernah diikuti. (b). Menginventarisasi kebutuhan materi dalam rangka meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap para penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta; (c). Menyusun rencana peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta; dan (d). Menyusun rencana sertifikasi keahlian/kompetensi penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta.
Empat, Permentan No 52/Permentan/OT.140/12/2009 tentang Metode Penyuluhan Pertanian, secara umum masih menggunakan pola konvensional. Disini tidak dibedakan bagaimana perbedaan peran antara penyuluh pertanian PNS, dengan penyuluh swadaya dan juga penyuluh swasta dalam hal metode kerja di lapangan.
Informasi yang perlu dijawab saat ini berkenaan dengan penyuluh swasta cukup banyak, terutama bagaimana porsi masing-masing jenis pelaku ke depan, berapa biaya yang akan dikeluarkan atau disediakan, serta berapa sesungguhnya jumlah tenaga antar jenis pelaku yang tersedia dan dibutuhkan. Selain itu, juga perlu ditetapkan bagaimana manajer penyuluhan untuk masing-masing kelompok pelaku, gaji dan upah, rasio petani dan petugas penyuluh, dan metode yang akan diterapkan untuk masing-masing jenis penyuluh. Hal ini akan berbeda-beda untuk masing-masing pelaku. Pelaku yang dimaksud adalah  penyuluh swasta dari perguruan tinggi, penyuluh kontrak  (contract farming scheme), penyuluh dari perusahaan dan penyuluh dari NGO.
Ada beberapa agenda kebijakan yang harus dirumuskan untuk ke depan, yaitu : (1) Penelitian (policy research) untuk pola mobilisasi dan optimalisasi peran penyuluh swasta yang lebih sesuai di Indonesia untuk menyusun kebijakan dan strategi kerja lapang, (2) Rumusan pembagian peran antara penyuluh yang lebih detail, (3) Rumusan kebijakan/pedoman  (Perpres, Permentan, buku pedoman, dll), dan (4) Membangun struktur keorganisasian yang efektif. Kondisi perkembangan dan persoalan  pertanian serta kebutuhan penyuluhan berbeda antar komoditas, wilayah, dan komunitas petani.
Tabel 4. Opsi Pembagian Peran Ke Depan Antara Penyuluh Pertanian Pemerintah, Swasta Dan Swadaya
Aspek
Penyuluh PNS
Penyuluh swasta
Penyuluh swadaya
Sosok pengetahuan dan kemampuannya sebaiknya
Umumnya polivalent dan sedikit monovalent
Monovalent,  bahkan cenderung spesifik komoditas/bidang
Monovalent,  spesifik komoditas/bidang
Tanggung jawab dan pembagian peran yang sebaiknya dijalankan
Bertanggung jawab pada wilayah tertentu (misal 1-3 desa), dan tanggung jawab administratif
Area tertentu (kawasan) yang lebih luas, karena menguasai spesifik komoditas atau bidang tertentu
Wilayah tidak dibatasi utamakan di desa/kec bersangkutan, karena mereka  menguasai komoditas atau teknologi tertentu
Komposisi antar karakter wilayah
Dominan untuk wilayah yang perkembangannya masih rendah, sehingga butuh dukungan pemerintah secara kuat
Sesuai untuk komoditas bernilai ekonomi tinggi dan ekspor, misalnya komoditas perkebunan dan hortikultura
Diutamakan untuk wilayah dengan sifat komunalitasnya masih tinggi
Sumber: penulis (diolah dari berbagai sumber).

Kebijakan lain yang dibutuhkan adalah: (1) Kebijakan pajak (tax policy), (2) kebijakan kredit (special financing terms), (3) Kemudahan berinvestasi misalnya kemudahan meluncurkan produk baru ke pasaran, dan (4) Sikap umum terhadap keberadaan private sector dalam pembangunan. Sedangkan kondisi yang dibutuhkan adalah kebebasan dalam pasar input pertanian dan kondisi yang positif untuk dalam kegiatan pengolahan dan pemasaran produk-produk pertanian.
Untuk Indonesia, pola yang akan dipilih tampaknya adalah tipe campuran (mixed system extension), sebagaimana telah disampaikan dalam UU 16 tahun 2006 yang mengakui sekaligus tiga jenis penyuluh pertanian. Keberhasilan tipe campuran ini akan bergantung kepada banyak hal, yaitu: (1) Terpengaruh oleh perbedaan tujuan dan target antara pemerintah, swasta dan donor (misal: organic farming), (2) Karakteristik komoditas yang dikembangkan dan keterkaitan dengan industri pengolahan, (3) Kebijakan, infrastruktur, dan relasi politik, serta (4) Level seberapa banyak informasi-informasi yang dibutuhkan petani merupakan public good.
Dalam hal pendanaan, menurut Rivera and Cary (2005) dimana penyuluh swasta banyak yang tidak independen, maka tetap dibutuhkan dukungan pendanaan dari pemerintah. Beberapa alternatif pendanaan untuk penyuluh swasta (private sector provides extension), adalah:
1.               Dana dari pemerintah (government revenue-based vouchers), dimana petani membuat kontrak kerja dengan penyuluh swasta yang didanai oleh pemerintah, sebagaimana dipraktekkan di Chile.
2.               Skema dari dana kredit yang diajukan petani (public credit revenue-based coupon schemes), dimana ada komponen untuk membayar jasa penyuluhan di dalamnya.
3.               Skema keanggotaan (membership and fee-based). Pola ini dikombinasikan dengan pajak berbasiskan komoditas (commodity tax-based funding), dimana petani membayar keanggotaannya dan jasa yang diperolehnya. Anggaran untuk tenaga penyuluh diperoleh dari pajak yang terkumpul tersebut.
4.               Skema keanggotaan yang didukung oleh perusahaan sarana produksi (membership fee plus commercial sponsorship by groups of input suppliers). Petani memperoleh layanan penyuluhan dari konsorsium perusahaan input pertanian yang lalu mengangkat para konsultan dan profesional untuk memberikan penyuluhan. Pola ini sesuai untuk pertanian skala besar.
5.               Swasta penuh (privatization), dimana pendanaan ditanggung sepenuhnya oleh asosiasi petani yang menyewa perusahaan penyuluhan.

Di berbagai negara, opsi yang banyak dipilih adalah tipe campuran antara penyuluh oleh pemerintah dan juga swasta. Ini berimplikasi pada bagaimana mengorganisasikannya. Menurut Wise (1990): "privatization... is not necessarily a simplifying strategy... the responsibilities of public organizations do not disappear, they merely change." (p. 152). Isunya adalah pada bagaimana konfigurasinya yang sesuai, dan bagaimana penataan manajemennya   agar diperoleh hasil yang efektif.
Permasalahan lain yang perlu pula diantisipasi jika memberikan keleluasaan yang besar kepada penyuluh swasta, adalah:  (1) Dimana sebagian besar pengetahuan termasuk tentang pertanian sesungguhnya sudah menjadi milik umum (public good), (2) Kekuatiran kurang memperhatikan aspek-aspek manajemen lingkungan, (3) Kekuatiran akan kurang memperhatikan para petani yang tergolong lemah (lack adequate access to educational institutions), (4) Kekuatiran akan kurang memberikan informasi berkenaan dengan bagaimana menekan resiko berusaha untuk petani dan juga menekan biaya transaksi, dan (5) Kekuatiran akan kurang memperhatikan isu-isu kesehatan terutama dalam aplikasi berbagai obat-obatan kimia terhadap manusia. Privatisasi penyuluhan juga dapat mengancam keberadaan dan pendayagunaan kearifan lokal (local indigenous technology) yang ada pada masyarakat.
Selain itu, tidak kalah pentingnya mengantisipasi ketidaksamaan akses terhadap sumberdaya karena ada banyak pelaku, dan kesulitan koordinasi karena melibatkan beberapa instansi pemerintah dengan pihak non pemerintah (perusahaan swasta). Secara prinsip, penyuluh swasta tidak akan terlalu responsif kepada keinginan dan kebijakan pemerintah, dan juga keterkaitannya dengan kegiatan penelitian. Selama ini proses transfer pengetahuan antar petani berjalan secara tradisional dengan pola yang kerjasama (cooperative) dan bebas biaya (free exchange of information), sedangkan informasi dari perusahaan dicirikan oleh “industrial information traditionally has been a private good characterized by patent rights, process licensing, the use of paid consultants, and differentiated production and marketing processes” (Rivera and Cary, 2005).
Penelitian Bloome (1993) yang mewawancarai penyuluh, staf administrasi, dan klien; mendapatkan bahwa di Australia dan New Zealand, penyuluhan dipersepsikan sebagai perpanjangan layanan konsultasi, dimana klien penyuluh swasta harus membayar untuk jasa yang diterimanya. Negara bagian Tasmania memiliki pengalaman yang kurang berhasil dalam fee-for-service Extension, yang telah mulai semenjak tahun 1982. Penyuluhan berubah dari relasi tatap muka (face-to-face relation) ke hubungan telepon. Setelah berjalan 10 tahun, sumbangannya terhadap pendapatan departemen tidak sampai 5 persen.
Pengalaman di Selandia Baru, komersialisasi penyuluhan membutuhkan perubahan dalam kultur organisasi (organizational culture) yang terbukti sulit terutama untuk pegawai yang berumur. Kontak dengan petani menjadi lebih sedikit, namun lebih mendalam. Pengalaman 5 tahun pelaksanaan penyuluhan secara komersial, menyimpukan bahwa This suggests private Extension (private sector delivery of advisory services) can't completely replace public Extension. Penyuluhan swasta tidak dapat sepenuhnya menggantikan penyuluhan oleh pemerintah. Penyuluhan merupakan investasi publik, sehingga selain penyuluh swasta tidak dapat sepenuhnya mengambil alih peran pemerintah, juga tidak etis jika pemerintah lepas tangan.
Dalam kondisi keterbatasan anggaran pemerintah, penyuluhan oleh swasta dianggap jalan pintas yang menjanjikan. Riset Feder et al. (2011) yang mempelajari kemitraan antara ketiga pihak, yakni pemerintah, petani dan swasta menyimpulkan bahwa that while privatesector participation can overcome some of the deficiencies of public extension systems, there are also challenges that have been faced, including misuse of public funds, insufficient accountability to farmers, inequitable provision of service, inadequate quality, and limited coverage of the wide range of farmers' needs”. Feder menyarankan bahwa keterlibatan pihak swasta dalam penyuluhan bukanlah sebuah obat mujarab, dan pola yang harus dijalankan di setiap negara dan  komunitas akan sangat berbeda. Penelitian Rivera and Zijp (2002) tentang Agricultural Knowledge and Information Systems pada 18 kasus di Australia, Bangladesh, Chile, China, Jerman, Mozambik dan Amerika; mendapatkan pola dan manajemen penyuluhan pertanian yang tidak seragam antar wilayah
Indonesia telah memilih untuk menggunakan pendekatan penyuluhan kombinasi atau plural (pluralistic extension system). Pada hakekatnya, alasan diterimanya swasta sebagai pelaku penyuluhan adalah karena sistem pasar menyediakan informasi yang lebih rasional dan efisien.Some argue for extension's privatization, claiming that a market driven system provides the most rational and efficient means of information delivery” (Davidson and Ahmad, 2003). Umali-Deininger (1997) mendapatkan bahwa komersialisasi membutuhkan permintaan penyuluhan yang spesifik petani dan lokasi.  Tantangan bagi pemerintah yang menerapkan pola penyuluhan yang plural  adalah  bagaimana menyediakan aturan yang tepat untuk menjamin kompetisi yang adil dan menjaga standar kualitas pelayanan.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Merupakan sikap yang keliru jika penyuluh swasta hanya ditempatkan sebagai elemen SDM dalam pembangunan, dan hanya “membantu” penyuluh pemerintah. Kapasitas penyuluh swasta bersifat khas, dan tidak dapat menggantikan keseluruhan peran penyuluh pemerintah. Jika mampu diposisikan dengan baik, maka berbagai kelemahan penyuluhan pertanian nasional saat ini, sebagian di antaranya dapat dipenuhi dari penyuluh swasta.
Sampai saat ini, pedoman pokok untuk memobilisasi penyuluh swasta adalah Permentan No. 61/Permentan/Ot.140/11/2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Penyuluh Pertanian Swasta. Dalam Permentan ini disebutkan bahwa pembinaan terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian khususnya bagi penyuluh pertanian swadaya dan penyuluh pertanian swasta selama ini dirasakan belum memiliki arah yang jelas, juga belum didayagunakan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. Keluarnya Permentan ini bertolak dari permasalahan yaitu masih lemahnya fungsi dan peran penyuluh swadaya dan swasta dalam penyelenggaraan penyuluhan, masih rendahnya motivasi kerja, belum terciptanya mekanisme kerja antara ketiga jenis penyuluh, dan belum terciptanya kinerja dan profesionalisme penyuluh swadaya dan swasta.
Uraian dalam tulisan ini menunjukkan bahwa keluarnya UU No 16 tahun 2006 dan pengangkatan secara formal penyuluh swasta baru merupakan awal dari penerapan paradigma baru penyuluhan pertanian di Indonesia. Masih banyak pendalaman yang perlu dilakukan dan bagaimana dukungan yang sesuai untuk mencapai tujuan ini, serta khususnya bagaimana mengoptimalkan peran penyuluh swasta ke depan. Penyuluh swasta mestilah diposisikan secara tepat dan diberikan porsi peran yang sesuai dengan karakteristiknya, sehingga kerjasama dengan penyuluh pemerintah dan swadaya saling melengkapi.
Secara sederhana, langkah-langkah untuk memobilisasi dan mengoptimalkan peran penyuluh pertanian swasta adalah dimulai dengan pematangan konsep melalui pengembangan wacana di level akademisi, perumusan kebijakan yang lebih aplikatif dan memiliki pemahaman yang cukup, pelaksanaan sosialisasi, pengembangan rumusan kelembagaan penyuluhan swasta di daerah, pendataan tenaga penyuluh swasta, serta operasionalisasi di lapangan, disertai dengan  monitoring dan evaluasi. Indonesia sesungguhnya sudah terlambat dalam memanfaatkan tenaga-tenaga perusahaan swasta dalam penyuluhan. Berbagai pengalaman negara yang telah menerapkan pola ini semestinya dapat menjadi pelajaran ke depan. Dalam konteks ini, yakni dalam upaya mengoptimalkan peran penyuluh swasta dalam suatu sistem penyuluhan pertanian nasional, maka pemerintah juga harus meningkatkan kapasitas dan kompetensi penyuluh pemerintah terlebih dahulu, agar mereka dapat berperan sebagai teladan (role makers) di lapangan.

Daftar Pustaka

Anonimous. 2012. Temu Teknis Penyuluh Swadaya/Swasta Provinsi D.I.Yogyakarta (http://bkpp.jogjaprov.go.id/content/read/224/Temu-Teknis-Penyuluh-Swadaya---Swasta-Provinsi-D.I.Yogyakarta)
Apantaku, SO; J.M. Awotunde; D.A. Adegbite; and E.A. Ajayi. 2005. The Feasibility Of Private Integrated Agricultural Extension Services In Ogun State, Nigeria. Journal of Social Development in Africa Vol. 20 (1) 2005: 59-76 (http://www.ajol.info/index.php/jsda/article/view/23894)
Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. 2011. Rencana Strategis Tahun 2010-2014 Badan Penyuluhan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Bloome, P. 1993. Privatization Lessons for U.S. Extension from New Zealand and Tasmania. Assistant Director Illinois Cooperative Extension Service, University of Illinois at Urbana-Champaign. Journal of Extension Journal Spring 1993, Volume 31 Number 1.  http://www.joe.org/joe/1993spring/intl1.php
Bos, J. T. M., Proost, M. D. C., and Kuiper, D. 1991. Reorganizing the Dutch agricultural extension service: The IKC in focus. In D. Kuiper & N. G. Röling (Eds.), Proceedings of the European seminar on knowledge management and information technology. Wageningen, The Netherlands: Agricultural University, Department of Extension Service.
Brunner, E. and Hsin Pao Yang, E. 1949. Rural America and the Extension Service, Columbia University
CARE. 2013. The Farmer Field and Business School: A Pathways Programming Approach. CARE Economic Development. CARE USA. www.carepathwaystoempowerment.org.
Chamala, S. and P.M. Shingi. 2007. Chapter 21 - Establishing And Str engthening Farmer Organizations. Dalam: Burton E. Swanson, Robert P. Bentz and Andrew J. Sofranko (eds.), Improving agricultural extension: a reference manual. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy. 220 pages. P. 195-201. (http://www.fao.org/docrep/w5830e/w5830e0n.htm)
Davidson, A.P. and M. Ahmad. 2003. Privatization and the Crisis of Agricultural Extension: The Case of Pakistan. Ashgate Publishing Limited (21 July 2003) 165 pages
FAO. 2011. Farm Business School: Training Of Farmers Programme South Asia. Handbook. Food And Agriculture Organization Of The United Nations Regional Office For Asia And The Pacific. Bangkok 2011. (http://www.fao.org/.....)
FAO. 2000. Strategic Vision and Guiding Principles for Promoting Agricultural Knowledge and Information Systems for Rural Development (AKIS/RD). Rome: FAO.
Feder, G.; R. Birner; and J.R. Anderson. 2011. The Private Sector's Role In Agricultural Extension Systems: Potential And Limitations. Journal of Agribusiness in Developing and Emerging Economies, Vol. 1 Iss: 1, pp.31 - 54
Gustafson, D. J. 1990. Developing Extension Within A Complex Institutional Arena. Journal of Extension Systems, Vol. 8 No. 1, p. 87-99.
Harian Kabar Bisnis. Peran penyuluh pertanian swasta bakal dioptimalkan. 10 Januari 2014.
Indraningsih, K.S.; Syahyuti; Sunarsih; A.M. Ar-Rozi; S. Suharyono; dan Sugiarto. 2013. Peran Penyuluh Swadaya Dalam Implementasi Undang–Undang Sistem Penyuluhan Pertanian. Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.
NAFES, 2005: Consolidating Extension in the Lao PDR, National Agricultural and Forestry Extension Service, Vientiane OECD (Organization of Economic Cooperation and Development). 1989. Survey on effects and consequences of different forms of funding agricultural services. Paris: OECD doc. AGR/REE 89, 7.
Permentan Nomor 25/Permentan/Ot.140/5/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Permentan Nomor 26/Permentan/Ot.140/4/2012 Tentang Pedoman Pengelolaan Balai Penyuluhan. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Permentan Nomor 52/Permentan/OT.140/12/2009 tentang Metode Penyuluhan Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Permentan Nomor 61/Permentan/Ot.140/11/2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Penuyuh Pertanian Swasta
Rivera, W. M., and Gustafson, D. J. 1991. Agricultural Extension: Worldwide Institutional Evolution And Forces For Change. Amsterdam: Elsevier.
Rivera, William M. and John W. Cary. 2005. Chapter 22 - Privatizing Agricultural Extension. http://www.fao.org/docrep/w5830e/w5830e0o.htm
Saville, A. H. 1965. Extension in Rural Communities: A Manual for Agricultural and Home Extension Technician Workers. Oxford University Press
Schwartz, L.A. 1994. The Role Of The Private Sector In Agricultural Extension: Economic Analysis And Case Studies. Agricultural Administration (Research and extension) Network Paper 48. London: Overseas Development Isntitute.
Singh, B. 2009. Agricultural Extension: Needed Paradigm Shift ().
State Extension Leaders Network (SELN). 2006. Enabling Change in Rural and Regional Australia: The Role Of Extension In Achieving Sustainable And Productive Futures. www.seln.org.au
Swanson, B. E.; Farner, B. J.; and Bahal, R. 1997. The Current Status Of Agricultural Extension Worldwide. In B. E. Swanson (Ed.), Report of The Global Consultation on Agricultural Extension. Rome: FAO.
Umali-Deininger, D. 1997. Public and Private Agricultural Extension: Partners or Rivals? The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank. http://wbro.oxfordjournals.org/content/12/2/203.abstract
Wise, C. R. 1990. Public Service Configurations And Public Organizations: Public Organization Design In The Post-Privatization Era. Journal of Public Administrations Review, Vol 50 (2), p. 141-155.

*****

Tidak ada komentar: