(Tulisan ini dimuat di Koran SINAR TANI 1 Desember 2014:
http://tabloidsinartani.com/content/read/potensi-hebat-penyuluh-pertanian-swasta/)
Semenjak
tahun 2000-an beredar
ide “satu desa satu penyuluh”. Artinya, kita perlu
lebih dari 70 ribu orang penyuluh. Padahal, kondisi
trakhir di ujung tahun
2014 ini, hanya
tersisa 28
ribu penyuluh PNS. Dari mana akan memenuhi sisanya? Apakah dari PPL-THL
yang berjumlah 32
ribu? Kenapa
tidak dari penyuluh swadaya dan swasta, sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang
No 16 tahun 2006. Tulisan ini mencoba membahas penyuluh swasta dari sisi
potensi dan upaya mobilisasinya.
Penyuluhan
pertanian oleh pelaku swasta mulai marak di dunia sekitar tahun 1980-an, ketika
pemerintah mulai mengurangi anggaran untuk kegiatan penyuluhan. Namun demikian,
sampai saat ini di Indonesia, sudah hampir 10 tahun, mobilisasi penyuluh swasta
hampir nihil. Tahun 2014 ini, dari beberapa kabupaten yang Saya kunjungi, baru satu
kabupaten yang telah melakukan pendataan penyuluh swasta, meskipun baru sebatas
pencatatan nama, pekerjaan dan alamat. Mereka berasal dari pegawai swasta pupuk,
benih, obat-obatan, serta perusahaan swasta pertanian yang berlokasi di wilayah
bersangkutan.
Siapakah penyuluh
swasta? Publik biasanya hanya mengenal para tenaga pemasar sarana input sebagai
calon penyuluh swasta. Namun menurut Schwartz
(1994: “The Role Of The Private Sector In Agricultural Extension: Economic
Analysis And Case Studies”), penyuluh swasta (private
extension) mencakup perguruan tinggi, masyarakat bebas (public), penyuluh yang dikontrak khusus
(contract farming schemes), para
penjual input usaha pertanian (input supply companies) dimana penyuluh
swasta adalah bagian dari aktivitas mereka, dan NGO.
Secara umum, dari
berbagai literatur, ada tiga jenis penyuluh swasta, yaitu: Pertama, Staf
perusahaan swasta, yakni staf perusahaan-perusahaan yang menjual input, perusahaan
pengolahan pertanian, dan pelaku pemasaran. Ini kita kenal
dengan suplier, distributor, atau formulator. Kedua, Penyuluh dari kalangan non profit sector yakni dari perguruan
tinggi, NGO, dan lain-lain. Ini potensinya
luar biasa. Dan, ketiga, Penyuluh
yang berbentuk pay for service. Ini adalah penyuluh yang dibayar langsung oleh petani atau organisasi petani (bisa Gapoktan atau asosiasi komoditas).
Penyuluh swasta
memiliki sisi keunggulan dan sekaligus kelemahan. Beberapa keunggulan penyuluh
swasta di antaranya adalah: (1) Memiliki pengetahuan yang lebih baru dan
dukungan sumber informasi yang kuat, karena mereka terhubung langsung dengan
perusahaan yang aktif di pasaran; (2) Didukung oleh materi teknologi yang lebih
baik, karena perusahaan tempatnya bekerja memiliki divisi pengembangan
teknologi yang canggih; (3) Memberikan pengetahuan sekaligus solusi bisnis bagi
petani, karena mereka adalah pelaku pasar yang aktif; dan (4) Memiliki
mobilitas yang tinggi dan bekerja dengan disiplin ketat sesuai dengan kultur
perusahaan modern.
Sisi-sisi
keunggulan seperti ini tentu tidak dimiliki oleh penyuluh PNS dan juga penyuluh
swadaya. Dapat dikatakan, potensi manfaat yang besar bagi petani ini hanya akan
terwujud bila penyuluh swasta dimobilisasi secara optimal.
Namun
demikian, pendekatan komersial (commercialized
approach) menuntut pelayanan penyuluhan pertanian yang lebih responsif
kepada kebutuhan petani dalam kondisi yang sudah semakin market oriented. Beberapa implikasi dari privatisasi penyuluhan
yang perlu diwaspadai di antaranya adalah: (1) Mereduksi keterkaitan petani dan
organisasi petani secara horizontal. (2) Berpeluang menyebabkan ketimpangan, dimana
perusahaan pertanian tempat penyuluh pertanian swasta bekerja akan memperoleh
keuntungan lebih besar sehingga akan menyebabkan akumulasi keuntungan dan
modal, serta skala perusahaan semakin besar. (3) Mengurangi tersedianya
informasi yang tergolong sebagai “public-good
information” yang tersedia untuk semua orang, dan menyebabkan informasi
menjadi komoditas (knowledge as a
saleable commodity). (4) Mengurangi peran pemerintah dan konflik
kepentingan. (5) Merubah arah pembangunan pertanian. Karena petani membayar jasa penyuluhan, maka mereka merasa berhak
mengendalikan tujuan-tujuan pembangunan, termasuk target-target penyuluhan. Dan, (5)
dikuatirkan akan menyingkirkan petani kecil yang kurang mampu membayar jasa
penyuluh swasta, atau juga karena memproduksi barang yang kurang menarik untuk
pasar sehingga tidak mendorong penyuluh swasta melayaninya.
Berdasarkan kepada
perbedaan karaketristik ketiga jenis penyuluh ini, maka dengan basis untuk
mencapai sinergitas maksimal, maka penyuluh swasta akan lebih tepat jika
bersosok monovalent, dan lebih spesifik pada satu komoditas atau bidang
tertentu saja. Sosok ini sama dengan penyuluh swadaya, namun penyuluh PNS
sebaiknya polivalent. Sementara, untuk
tanggung jawab wilayah sebaiknya diberikan kepada penyuluh PNS, sedangkan
penyuluh swasta memiliki wilayah kerja pada area tertentu (kawasan),
misalnya beberapa kecamatan atau satu kabupaten.
Indonesia memiliki puluhan kampus
pertanian, serta ratusan fakultas pertanian. Maka, jika pihak kampus bisa
dimobilisasi dan diberdayakan secara optimal, mungkin beberapa wilayah mampu
ditangani cukup hanya oleh mereka, misalnya wilayah seputar kota Yogyakarta dan
Malang, dimana kekuatannya sangat besar. Karena itu, bagaimana proporsi
keterlibatan ketiga ketiga jenis penyuluh akan sangat variatif antar wilayah.
(Oleh: DR. Syahyuti.
Peneliti di Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dan anggota
Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional).
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar