Jumlah pe-longok :

Senin, 07 Desember 2015

Saat ini, khususnya pada paruh kedua tahun 2015 berlangsung perdebatan tentang bagaimana semestinya keberadaan penyuluhan pertanian di daerah. Pemahaman yang berkembang dapat dikelompokkan atas dua golongan pemikiran, yakni yang optimis dan MENDUKUNG serta sebaliknya yang pesimis dan MENOLAK keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah. Namun, yang mendukung posisinya lebih kuat.

Pemahaman Yang Optimis Dan Mendukung
Pihak yang mendukung pembentukan kelembagaan pertanian di daearah berlandaskan kepada UU 16 tahun 2006 dan UU no 19 tahu 2013, serta kepada landasan teoritis prinsip-prinsip penyuluhan pertanian modern yang sedang diperjuangkan di Indonesia. Beberapa alasan pokok adalah sebagai berikut:
Pertama, pendirian kantor penyuluhan pertanian di daerah sesungguhnya telah didukung kebijakan yang kuat, karena penyuluhan pertanian telah memiliki UU sendiri yakni UU No 16 tahun 2006. Dalam konteks perbandingan hukum seperti ini, UU no 16 tahun 2006 merupakan lex specialist artinya lebih tinggi dibandingkan UU 23 tahun 2014 yang lex generalis. Pada Pasal 63 ayat (2) KUHP  disebutkan bahwa “Lex specialis derogat legi generali” adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Hal ini juga didukung oleh UU 23 tahun 2014 tentang Pemda yang juga mendukung azas hukum ini. Pasal 231 berbunyi: “Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan memerintahkan pembentukan lembaga tertentu di Daerah, lembaga tersebut dijadikan bagian dari Perangkat Daerah yang ada setelah dikonsultasikan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan bidang pendayagunaan aparatur negara”.
Aturan lain yang sangat penting adalah Peraturan Presiden No 154 tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pada Pasal 2 dijelaskan bahwa kelembagaan penyuluhan mencakup mulai dari pusat sampai kecamatan. Azasnya adalah konkurensi. Lalu, pada Pasal 12 terbaca bahwa di tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan.
Kedua, UU 19 tahun 2013 yang sangat mendukung keberadaan penyuluhan di daerah, karena penyuluhan merupakan salah satu komponen untuk melakukan pemberdayaan petani. Hal ini setidaknya disampaikan dalam Pasal 1, 7, 46, dan 47. Kementerian Pertanian berpegang kuat kepada UU ini karena dilahirkan dan disusun untuk kepentingan pembangunan pertanian secara lebih khusus.
Ketiga,  Pasal 15 UU No 23 tahun 2014 yang secara jelas disebutkan bahwa penyuluhan pertanian merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah, atau dilaksanakan secara konkurensi. Hal ini berimplikasi kepada pengelolaan sistem penyuluhan dalam hal peningkatan kompetensi, pengembangan profesionalitas dan juga karir penyuluh pertanian.
Selengkapnya, Pasal 15 berbunyi: (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini, (2) Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pelaksanaan secara kongkurensi ini tentu sangat sejalan dengan konsep otonomi daerah, dengan berbasiskan prinsip demi mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani yang tersebar luas dengan tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang beragam. Artinya, desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan. Pendapat ini juga diperkuat oleh Pasal 345, dimana: (1) Pemerintah Daerah wajib membangun manajemen pelayanan publik dengan mengacu pada asas-asas pelayanan publik, dan (2) Manajemen pelayanan publik meliputi salah satunya adalah penyuluhan kepada masyarakat (ayat 2 point e).

Pemahaman yang Pesimis dan Menolak
Sebaliknya, kalangan yang tergolong menolak keberadaan penyuluhan di daerah berpandangan bahwa kata “penyuluhan pertanian” sama sekali tidak ada dalam UU 23 tahun 2014 ini. Dalam konteks Kementerian Pertanian hanya memasukkan urusan pemerintahan bidang ketahanan pangan serta pertanian. Pada Lampiran AA yakni “Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanian” terdiri atas 7 sub urusan yakni: sarana pertanian, prasarana pertanian, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian, perizinan usaha pertanian, karantina pertanian dan varietas pertanian. Sedangkan urusan pangan terdapat pada lampiran I yakni “Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pangan” terdiri atas 4 sub urusan yaitu: penyelenggaraan pangan berdasarkan kedaulatan dan kemandirian, penyelenggaraan ketahanan pangan, penanganan kerawanan pangan, dan keamanan pangan.
Pola fikir yang hanya berbasiskan bahwa penataan kelembagaan di daerah semata-mata berdasarkan kepada lampiran dalam UU ini tentu akan memaknai bahwa seolah-olah penyuluhan pertanian akan “dihilangkan” di daerah.

*****

Tidak ada komentar: