Kita-kita orang penyuluhan hafal bener LAKU,
kependekan dari Latihan dan Kunjungan. Habis dilatih ya berkunjung! Sekarang
mau dilengkapi dengan supervisi, sehingga menjadi LAKUSUSI. Cakep.
Namun, maaf, pendekatan ini agak konvensional,
terutama dalam memaknai ”kunjungan”. Sesungguhnya yang lebih penting adalah bagaimana
menciptakan relasi yang efektif antara penyuluh dengan petani, caranya kan tidak
mesti melalui kunjungan. Bisa berupa hubungan telepon, bisa juga petani yang mendatangi
BPP/BP3K, atau ketemu di Poluhdes. Bukankah petani mau kita dorong AKTIF?
Ada beberapa alasan yang mengharuskan kita mikir
ulang lagi pendekatan ini, yaitu: Satu, kita pernah – mudah-mudahan ga lupa - mentargetkan
satu Posluhdes di tiap desa, dan saat
ini sudah banyak yang berdiri. Ada yang punya tempat sendiri, ada pula yang pinjam
ruangan di kantor desa. Secara teori, penyuluh disarankan untuk menunggu petani
saja disitu, ga usah muter-muter ngabisin bensin. Teorinya begitu. Artinya:
apakah kita mundur lagi, ga usah ngomong-ngomong Posluhdes lagi?
Dua, Selama ini kunjungan penyuluh, kalau di Jawa
misalnya, disesuaikan dengan pertemuan selapanan petani, biasanya malam hari di
rumah ketua. Nah, artinya PPL harus datang malam. Apa yang harus dilakukan PPL siang
hari pada hari itu? Kalau target kunjungan 2 kelompok sehari, nah apa bisa
malam-malam mendatangi 2 tempat berbeda?
Tiga, kunjungan selalu disebut hanya untuk
KELOMPOK. Bagaimana dengan petani yang karena berbagai sebab TIDAK menjadi
ANGGOTA Poktan? Jumlahnya saat ini lebih dari 60 persen. Bagaimana dengan buruh
tani? Mungkin perlu FORUM KHUSUS untuk petani yang bukan anggota kelompok ya.
Tempat ketemunya dimana? Nah, mungkin di Posluhdes bagus juga. Petani tanpa
kelompok tetap perlu diberi PENGETAHUAN, meskipun mereka ga akan menerima
BANTUAN langsung dari pemerintah. Mereka juga warga negara yang syah lho.
Empat, kita lupa pada penyuluh swadaya dan swasta.
Baca lagi UU 16 tahun 2006 tentang SP3. LAKU yang tersusun masih terbatas
kepada PPL PNS dan THL, baru untuk penyuluh pemerintah. Belum mengakomodasi
sama sekali penyuluh swadaya dan swasta. Contoh: jika target kunjungan 2
kelompok sehari, apakah yang satu dikerjakan PPL PNS dan satunya lagi oleh PPL
swadaya?
Lima, bukankah sasaran penyuluh mencakup penlaku
utama dan pelaku usaha? Bagaimana dan kapan kunjungan ke pelaku usaha (ke
pedagang, ke penjual pupuk, ke pengolah hasil pertanian?). Kapan mau berkunjung
dan apa yang mau dibicarakan jelas sangat berbeda dengan berkunjung ke petani.
Enam, ini yang terpenting, bukankah petani sekarang
ga kaya petani zaman Bimas lagi, yang terlonjak kaget dikasih tahu ini lho Pa
pupuk Urea, ini TSP! Petani sekarang sudah memiliki pengetahuan dasar yang
cukup, sangat cukup. Kalau penyuluh datang bawa CERITA doang, knowledge saja,
..... untuk apa. Yang lebih perlu diperbaiki adalah sistem logistik. Artinya,
bagaimana pupuk ada di desa, benih ayak di kios, dst. Lha, artinya, kan penyuluh
ga harus berkunjung-kunjung melulu. Penyuluh harus melakukan problem solving.
Apakah dengan berkunjung ke petani urusan selesai? Penyuluh perlu berkunjung ke
kios, ke lini II penyalur pupuk bersubsidi jika pupuk ga datang-datang, dan
seterusnya. Nah, kapan penyuluh ada waktu ke situ? Harus di fikir juga dong.
Begitu lah Bapak dan Ibu kira-kira, mungkin ada
benarnya, jelas ga benar semua. Demi kerja penyuluhan yang lebih efektif,
efisien, dan realistis; kita perlu agak KRITIS. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar