Pelibatan
petani sebagai subjek dalam kegiatan penyuluhan telah berlangsung cukup lama
dengan berbagai pendekatan. Di Indonesia, hal ini dimulai dari pelibatan kontak
tani pada era Bimas sampai Supra Insus, lalu pendekatan farmer to farmer extension
melalui P4S, pengangkatan penyuluh swakarsa tahun 2004,
dan terakhir adalah pengangkatan penyuluh pertanian swadaya secara
besar-besaran mulai tahun 2008. Keberadaan
penyuluh swadaya diakui secara resmi semenjak diundangkannya UU No. 16 tahun
2006.
Penelitian
yang saya jalankan dengan Tim tahun 2013 mendapatkan informasi betapa dukungan
yang tepat harus diberikan kepada penyuluh swadaya sehingga
bisa berperan lebih optimal. Ia tidak cukup hanya diposisikan sebagai
“pembantu” penyuluh pemerintah. Ia justeru adalah sosok penyuluh pertanian yang
lebih strategis di masa mendatang.
Sesuai dengan Permentan No. 72 tahun 2011 tentang Pedoman Formasi
Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian, kebutuhan penyuluh pertanian seluruh Indonesia
adalah 71.479 orang. Dari jumlah tersebut, yang baru tersedia adalah 27.961
orang atau hanya 39,4 persen. Kondisi
inilah yang membuat pemerintah mengangkat para penyuluh PPL- THL semenjak
tahun 2007. Keberadaan penyuluh swadaya akan sangat membantu
kelangkaan penyuluh ini.
Penyuluh swadaya
lahir sebagai amanat UU N0. 16 tahun 2006, bertolak dari bab Asas, Tujuan, dan Fungsi (Pasal 2) terutama
pada azas demokrasi, partisipatif, dan kemitraan. Ini juga dikuatkan oleh point b pasal 6 yaitu: “Penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan
oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra Pemerintah
dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang
dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkat
administrasi pemerintahan”.
Peran Strategis Penyuluh Swadaya
Beberapa sisi keunggulan penyuluh swadaya
dibanding dengan penyuluh pemerintah dan penyuluh swasta adalah: pertama, lebih mampu menciptakan
penyuluhan yang partisipatif. Ini karena penyuluh swadaya hidup di antara
petani, mengalami secara langsung perasaan dan masalah petani, menjadi bagian
dari semangat petani, serta terlibat secara partisipatif dalam kegiatan
pertanian di komunitasnya. Ia adalah “orang dalam” yang tidak perlu lagi
belajar psikologi petani dan sosiologi masyarakat desa.
Sebagai anggota komunitasnya sendiri, penyuluh
swadaya lebih mampu memainkan peranan secara aktif,
memiliki kontrol terhadap kehidupan
komunitasnya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat,
serta menjadi lebih terlibat dalam proses
pembangunan
sehari-hari. Secara teoritis, keberadaan tokoh lokal akan
lebih mampu menghasilkan partisipasi interaktif. Keberadaan penyuluh swadaya akan mampu
menciptakan partisipasi mandiri (self mobilization) dimana masyarakat mengambil inisiatif sendiri
secara lebih bebas untuk menghasilkan collective action.
Kedua, penyuluh swadaya lebih mampu
mengorganisasikan masyarakat, karena umumnya mereka terlibat langsung sebagai
pengurus dalam banyak organisasi petani, baik kelompok tani, Gapoktan, koperasi,
maupun P3A dan UPJA. Ia menjadi simpul pengorganisasian komunitasnya sendiri. Penyuluh
swadaya tidak hanya mendorong untuk memperkuat proses
pengorganisasian mereka sendiri,
namun menjadi aktor aktif yang memperkuat organisasi petani.
Menurut
Chamala and Shingi (2007: bab “Establishing And Strengthening Farmer Organizations”), ada empat peran
penyuluh yang penting, yaitu peran sebagai tenaga pemberdayaan (Empowerment
Role), peran
mengorganisasikan komunitas (Community-Organizing
Role), peran dalam pengembangan sumberdaya manusia (Human Resource Development Role), dan peran dalam pemecahan masalah
dan pendidikan (Problem-Solving and
Education Role).
Ketiga, menjadi penghubung (change agent) yang lebih powerfull.
Keberadaan sosok “Kontak Tani” yang efektif di era Bimas, menjadi lebih kuat
pada diri penyuluh swadaya saat ini. Relasi yang intim dan akrab dengan staf
pemerintah (penyuluh PNS) merupakan modal sosialnya yang kuat. Penyuluh swadaya berdiri di
dua kaki, di pemerintahan dan sekaligus di petani. Ia menjadi
tokoh penghubung yang kokoh.
Keempat, agen bisnis yang potensial. Sebagian besar
penyuluh swadaya saat ini memiliki usaha yang aktif. Jadi, selain sebagai
pelaku utama, ia juga pelaku usaha pertanian. Selain mengajarkan petani bagaimana
berusahatani lebih baik, ia menampung hasil panen petani untuk dipasarkan.
Dengan kata lain, selain mempraktekkan Farmer
Field Schhol (FFS), ia juga menjalankan Farmer
Bussiness School (FBS)
Kelima, mampu mengajarkan teknologi dan ketrampilan
bertani lebih tepat karena ia memiliki pengetahuan teknis dari pengalaman
langsung sebagai petani di lapangan. Dan,
keenam, penyuluh swadaya juga punya nilai lebih pada kepemilikan modal
sosial. Posisi penyuluh swadaya sebagai bagian dari komunitasnya merupakan posisi
yang sangat penting. Karena itu, adalah keliru jika penyuluh swadaya hanya
ditempatkan sebagai elemen SDM dalam pembangunan, dan hanya “membantu” penyuluh
pemerintah. Memandang penyuluh swadaya hanya sebagai sumberdaya manusia (human capital), merupakan pandangan yang
sempit. Ada kapasitas penyuluh swadaya yang sesungguhnya jauh lebih esensial yakni
sebagai elemen yang mampu menumbuhkan dan menjaga modal sosial dalam
komunitasnya.
Jika masyarakat divisualisasikan dengan seperangkat
titik-titik dan garis-garis, maka “titik” adalah simbol manusia dan “garis” simbol relasi antar manusia. Konsep human capital hanya bicara “titik” sedangkan social capital bicara “garis”. Konsep social capital dapat diterapkan untuk upaya pemberdayaan masyarakat
karena social capital menjadi semacam perekat yang mengikat
semua orang dalam masyarakat (World Bank, 2005). Penyuluh swadaya adalah agen penting yang menjadi simpul pembentukan modal
sosial di komunitasnya.
Dengan
konsep human capital, maka penyuluh
swadaya hanya dilihat sebagai komponen organisasi, sedangkan dengan konsep social capital ia dipandang sebagai
penggerak komunitas. Jika kita memandang penyuluh swadaya dalam konteks human
capital maka yang diberikan adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan.
Sebaliknya, jika menggunakan pendekatan social
capital, penyuluh swadaya diposisikan untuk memperkuat relasi apa yang berlangsung
ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Dengan kata lain, penyuluh
swadaya tidak semata “employment”,
namun sebagai makhluk sosial (social
beings) sebagai energi di komunitasnya yang dicirikan oleh daya kreatifitas
dan pelibatan langsungnya. Artinya, ia juga
memiliki intellectual capital.
Kebutuhan Dukungan
untuk Penyuluh Swadaya
Penelitian Indraningsih et al.
(2013: “Peran Penyuluh Swadaya Dalam Implementasi Undang–Undang Sistem Penyuluhan
Pertanian”) di tiga propinsi, dimana penulis
juga terlibat di dalamnya, mendapatkan bahwa bahwa kemampuan Penyuluh Swadaya relatif beragam, namun penguasaan dari
aspek teknis sudah memadai. Sebagian memperolehnya karena mengikuti
pelatihan dari pemerintah, dan sebagian lagi karena
belajar secara mandiri dari pengalaman yang sudah puluhan tahun di sawah dan
ladang. Selain menyuluh kepada petani di dalam kelompok tani se-desa, sebagian penyuluh
swadaya sudah ada yang memberikan penyuluhan sampai ke luar desa bahkan luar kabupaten.
Dari 32 orang responden penyuluh swadaya, tipologinya dapat dibedakan
atas empat tipe peran yang dijalankannya, yaitu: (1) penyuluh sebagai pendamping teknis, (2) sebagai penggerak komunitas khususnya dalam pengembangan organisasi petani, (3) sebagai pembaharu dengan memperkenalkan berbagai
komoditas dan bidang usaha yang baru ke petani sekitarnya, dan (4) penyuluh swadaya sebagai pelaku bisnis.
Penyuluh swadaya memiliki berbagai sisi keunggulan dibandingkan
penyuluh pemerintah dan swasta, dan ke
depan ia memiliki peran yang lebih strategis. Dalam prakteknya, ketiga jenis
penyuluh (penyuluh pemerintah, swadaya dan swasta) saling konvergen satu sama
lain dalam diri seorang “penyuluh swadaya”. Ia melayani, mengajari, sekaligus
mengembangkan bisnis petani secara proaktif. Tipe penyuluh swadaya seperti ini
diyakini akan lebih bertahan, karena memiliki motivasi ganda yang saling
menguatkan. ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar