Jumlah pe-longok :

Sabtu, 26 September 2015

Pendidikan Dan Latihan Untuk Penyuluh Pertanian

Garis Kebijakan
Pasal 21 UU 16 tahun 2006 tentang SP3 menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan kompetensi penyuluh PNS melalui pendidikan dan pelatihan, memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, dan peningkatan kompetensi penyuluh.
Untuk lebih menjamin penyelenggaraan penyuluhan yang lebih efektif, maka kepala Balai Penyuluhan minimal berpendidikan profesi penyuluh (level 7 KKNI), sementara Kepala Bapeluh minimal level 8 pada bidang profesi penyuluhan yang didukung dengan SKB antara Kementerian terkait dengan Kemendagri. Cakupan kompetensi bagi pimpinan kelembagaan penyuluhan di antaranya mencakup fungsi manajemen, manajemen resiko, manajemen resolusi konflik, manajemen kolaboratif, merit system, management by objektive, entrepreneurship, serta kemitraan sinergis sistem agribisnis.
Balai Penyuluhan menjadi tempat pokok bagi pengembangan kapasitas penyuluh, karena disinilah kegiatan pelatihan untuk penyuluh secara rutin dijalankan. Agar efektif, sarana dan prasarana bagi upaya pemberdayaan penyuluh di Balai Penyuluhan mencakup perihal organisasi dan kelembagaan, memenuhi kebutuhan shareholder penyuluhan, dan memenuhi prinsip self control dan efektif. Dalam konteks penyelenggaraan, dibutuhkan koordinasi demi penyelarasan antar kementerian terkait untuk pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga penyuluh.
Permasalahan yang Dihadapi
Untuk pelatihan, semua pihak mengeluhkan rendahnya kesempatan untuk mengikuti pelatihan, Sebagai contoh, di Jawa Timur ada beberapa lembaga pelatihan pertanian yakni BLPP Ketindan dan Songgoriti, serta juga Balai Pengkajian dan Penyuluhan Pertanian (BPTP). Namun, untuk para penyuluh di Malang yang jaraknya dengan tempat pelatihan tersebut sangat dekat, kesempatan untuk berlatih sangat jarang dan terbatas.
Kesempatan penyuluh mengikuti pelatihan alih jenjang dari penyuluh terampil ke penyuluh ahli sangat kurang. Demikian juga dengan latihan dasar penyuluh dan latihan sertifikasi untuk memperoleh profesi penyuluhan masih sangat terbatas.  Hal ini disebabkan masih terbatasnya anggaran yang tersedia untuk kegiatan pelatihan yang memenuhi standar. 
Kesempatan latihan bagi penyuluh THL sangat terbatas, karena posisi kepegawaiannya yang belum kuat. Padahal latar belakang dan kapasitasnya bervariasi dan masih sangat lemah. Sementara, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pertanian bagi penyuluh dan petani belum selektif dalam memilih calon peserta pendidikan dan pelatihan dengan bertumpu pada kebutuhan pengembangan dan perluasan fungsi kompetensi secara berkelanjutan. Pengulangan peserta pada orang yang sama masih terjadi.
Permasalahan lain adalah dimana Widyaiswara dan dosen STPP belum memiliki persepsi yang sama tentang sasaran, target dan paradigma penyuluhan pertanian. Juga tidak ada kejelasan mekanisme  tata kerja dukungan dalam kegiatan pelatihan, yakni antar elemen pelaku penyuluhan.  Khusus berkenaan dengan pelatihan komoditas utama dalam Upsus (padi, jagung, kedelai), belum ada kejalasan pembagian  peran supervisor,  inovator,  pendamping,  dan fasilitator, termasuk training  assesment  sesuai dengan kebutuhan spesifik lokal untuk menjadi  penguat efektivitas pelatihan bagi sumberdaya  manusia pertanian.
Upaya untuk Perbaikan
Penyuluhan pertanian mengandalkan tenaga penyuluh THL TBPP namun dengan kapasitas yang cenderung rendah. Karena itu, penguatan kompetensi dan kapasitas profesional penyuluh perlu disertai pendidikan profesi dan standarisasi profesi yang didukung asosiasi profesi. Perencanaan SDM penyuluhan yang berorientasi profesi, baik jangka pendek maupun jangka panjang yang disusun sesuai tuntutan kebutuhan pembangunan pertanian perlu menjadi acuan dan komitmen pengembangan SDM penyuluhan.
Pelatihan profesi penyuluh pertanian perlu memprioritaskan PNS calon penyuluh dan THL-TB Penyuluh Pertanian yang telah terbukti menunjukkan kinerja, minat, komitmen dan potensi sebagai penyuluh pertanian, dengan rekrutmen yang selektif dan akurat.  Waktu atau jumlah jam latihan bagi penyuluh juga harus memadai.
Materi pelatihan penyuluh pertanian juga harus mencakup sistem agribisnis, internet (Cyber Extension) dan SKKNI Penyuluh. Materi penyuluhan lain yang dibutuhkan antara lain adalah materi yang berkaitan dengan misi dan manajemen pembangunan pertanian dalam arti luas.
Disamping kebutuhan jumlah tenaga penyuluh pertanian yang masih kurang, perlu diupayakan terobosan sehingga penyuluh pertanian ahli dapat menjadi pelatih bagi penyuluh lainnya di Balai Penyuluhan. 
Diingatkan pula bahwa pada hakekatnya metoda pengembangan kompetensi penyuluh dapat ditempuh melalui METODA LAKUSUSI yang berkelanjutan, aktual, kontekstual, dan adaptif. Pelatihan bersifat TOT (Lanjut) di Balai-balai terkait yang diberikan oleh widyaiswara, pakar terkait (peneliti dan dosen), figur pelaku usaha sukses (mitra sinergis), dan figur pelaku utama sukses. Pelatihan dua mingguan mesti dijalankan dengan terstandar, terprogram, sistematis dan masif aktual/kontekstual. Materi mencakup pengetahuan dasar yakni berupa process area (metoda penyuluhan) dan content area (pengembangan inovasi). Pelatihan khusus juga dibutuhkan untuk penguatan profesi penyuluh, sedangkan pendidikan formal penyuluh profesional dapat dilakukan melalui pendidikan profesi.

******

Tidak ada komentar: