Jumlah pe-longok :

Rabu, 10 Februari 2016

Hasil-Hasil Penelitian Agroindustri

(Bagian dari Buku: PSEKP. 2013. “37 Tahun Penelitian PSEKP”)

BAB V. PENELITIAN AGROINDUSTRI

Pengertian agroindustri dekat dengan pengertian agribisnis, bahkan dalam GBHN 1993 kata agroindustri digabungkan dengan agribisnis. Pengertian agroindustri dapat dikategorikan menjadi dua, yakni agroindustri hulu dan hilir. Agroindustri hulu berkaitan erat dengan industri yang menghasilkan produk-produk berupa alat dan mesin pertanian, sarana produksi pertanian, dan bahan-bahan yang diperlukan oleh sektor pertanian. Sedangkan agroindustri hilir merupakan industri yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk akhir (finish product) maupun produk antara (intermediate product). Menteri Pertanian dalam Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-32 bulan Oktober 2012 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menyatakan bahwa  agroindustri penting diangkat ke permukaan karena kondisi pertanian kita kini masih terpusat di kegiatan hulu dengan daya saing komoditas primer yang relatif lemah. Tantangan ke depan adalah meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan ekspor komoditas pertanian di sektor hilir.
Selanjutnya berkembang konsep “agroindustri berkelanjutan” yang muncul bersamaan dengan banyaknya fenomena dimana usaha agroindustri yang baru didirikan sering tidak berumur panjang, terjadi baik pada skala usaha besar, menengah, maupun kecil. Pembangunan agroindustri berkelanjutan merupakan pembangunan agroindustri yang mendasarkan pada konsep berkelanjutan, serta dibangun dan dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek manajemen dan konservasi sumber daya alam. Teknologi yang digunakan serta kelembagaan yang terlibat dalam proses pembangunan diarahkan untuk memenuhi kepentingan manusia masa sekarang maupun masa yang akan datang. Pengembangan agroindustri terpadu dan berkelanjutan diperlukan untuk meningkatkan produksi, nilai tambah, dan daya saing komoditas pertanian untuk mewujudkan kemandirian pangan. Lebih lanjut, agroindustri mempunyai kontribusi penting dalam proses industrialisasi dan peningkatan pendapatan petani, terutama di wilayah perdesaan. Pengembangan agroindustri tidak saja ditujukan untuk peningkatan jumlah pangan dan jenis produk pangan di pasar, namun sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat dan ekonomi daerah.

Kajian-kajian tentang agroindustri pada umumnya dilakukan dengan dua pendekatan, yakni pendekatan makro dan mikro. Pendekatan mikro lebih menekankan pada pencapaian efisiensi, optimasi alokasi dan penggunaan sumber daya, serta memaksimalkan keuntungan atau kesejahteraan pelaku usaha. Di sisi lain, pendekatan makro lebih mendasarkan kajiannya pada hubungannya dengan ekonomi nasional, yakni hubungannya dengan produk domestik bruto, peningkatan pendapatan nasional, peningkatan kesempatan berusaha, pemerataan distribusi pendapatan, dan peningkatan ekspor serta hubungannya dengan komponen-komponen ekonomi makro lainnya.
Penelitian dengan topik agroindustri telah dilakukan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP) sejak kurun waktu 1980-an, baik kajian yang bersifat agroindustri hulu hingga hilir, namun dengan frekuensi yang semakin menurun dan jarang dilakukan. Terakhir kegiatan penelitian tentang agroindustri dilakukan oleh Supriyati et al. (2006) yang difokuskan pada pengembangan agroindustri untuk peningkatan nilai tambah.
Peran peneliti PSE-KP dalam kegiatan penelitian maupun kajian tentang agroindustri tidak hanya sebatas internal kegiatan penelitian di lingkup PSE-KP saja, namun juga berkontribusi dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh instansi/lembaga lainnya. Pada tahun 2008 misalnya, peneliti PSE-KP diminta sebagai narasumber oleh Bappenas dalam Kajian Penyusunan Strategi Pengembangan Industri Pertanian Melalui Peningkatan Sistem Pelayanan Agribisnis. Narasi berikut memaparkan hasil-hasil studi PSE-KP tentang agroindustri pada kurun waktu mulai tahun 1980-an hingga 2006.

5.1. Prospek dan Pengembangan Agroindustri

Penelitian awal tentang agroindustri oleh PSE-KP dimulai oleh Colter et al. (1985) yang menguraikan tentang prospek dan pengembangan industri pertanian. Studi ini mendapatkan bahwa perkembangan beberapa komoditas pertanian saat itu telah diikuti dengan pembangunan pabrik-pabrik pengolahan khususnya pada komoditas yang menunjang ekspor, sedangkan industri pengolahan hortikultura belum berkembang dan berproduksi di bawah kapasitas. Permasalahan yang dihadapi menyangkut manajemen perusahaan, kualitas bahan baku, dan terbatasnya pemasaran hasil, serta panjangnya rantai pemasaran.
Lokasi pengusahaan produksi buah-buahan dan sayuran masih menyebar sehingga sulit untuk memilih jenis dan lokasi pabrik pengolahan. Penanganan lepas panen tidak dilakukan oleh petani, dimana sebagian dilakukan oleh pelaku pemasaran sehingga keuntungan yang diperoleh petani sangat kecil. Masalah yang dihadapi petani adalah biaya pemasaran tidak efisien sehingga sebagian masih mengandalkan sistem penjualan ”tebasan”.
Dari studi ini disarankan bahwa produksi hortikultura masih perlu ditingkatkan terutama untuk kebutuhan bahan baku dan konsumsi masyarakat dalam bentuk segar. Hal tersebut perlu didukung dengan peningkatan penyebaran bibit unggul. Untuk pengembangan industri pengolahan diperlukan kerja sama antara pemerintah dengan swasta. Untuk pemasaran produk seharusnya lebih berorientasi pasar dengan pengawasan mutu sesuai permintaan luar negeri.
Objek studi yang relatif serupa dilakukan tahun berikutnya, sebagaimana terlihat dari penelitian Sugiarto et al. (1986) untuk komoditas hortikultura dan penelitian Waluyo et al. (1986) untuk tanaman palawija. Komoditas hortikultura yang dikaji oleh Sugiarto et al. (1986) difokuskan pada asparagus dan nenas. Komoditas asparagus belum banyak dikenal baik oleh petani maupun oleh konsumen karena memerlukan syarat tumbuh yang khusus dan relatif tidak dapat bertahan lama serta konsumsinya masih terbatas pada kalangan tertentu. Pengusahaan asparagus cukup menguntungkan dengan nilai B/C adalah 1,82. Permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan asparagus adalah pemasaran dan modal usaha, sehingga produksinya masih kecil. Disamping itu asparagus impor masih menjadi saingan berat dalam negeri.
Sementara pengusahaan nenas juga cukup menguntungkan dengan B/C sebesar 1,62 dan 2,31, berturut-turut untuk di Jawa Barat dan Jawa Timur. Pemasaran dalam negeri lebih banyak berupa nenas segar, sedangkan nenas kalengan untuk kebutuhan ekspor. Industri pengolahan nenas perlu ditingkatkan dengan mengusahaan nenas oleh pabrik pengolahan maupun dengan pola PIR dengan mengikutsertakan petani. Selain itu, pembinaan diperlukan bagi industri kecil dan rumah tangga karena masih berprospek tinggi.
Studi ini menyarankan agar dilakukan integrasi yang menyeluruh dari berbagai pihak yang telibat dalam sistem agroindustri tanaman holtikultura. Perlu pula dipertegas kebijakan ekpor dan impor, meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi, serta pembinaan dan bimbingan terutama bagi industri kecil dan meningkatkan pelayanan informasi. Industri pengolahan asparagus perlu pengembangan pasar, baik dalam dan luar negeri. Sedangkan industri nenas masih perlu pembinaan terutama bagi industri rumah tangga. Untuk pengadaan bahan baku industri kedua komoditas tersebut, dapat ditempuh penanaman pada lahan HGU atau pengembangan pola PIR.
Di sisi lain, penelitian Waluyo et al. (1986) dipusatkan pada pada integrasi antara usahatani di tingkat petani (bahan baku), pemasaran bahan baku, dan industri pengolahan bahan baku yang difokuskan pada komoditas jagung sebagai bahan baku industri makanan ternak. Provinsi Jawa Timur dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan sentra industri jagung, Jawa Barat sebagai sentra pabrik pengolahan dan sentra ternak unggas, sedangkan Provinsi Lampung dipilih karena lebih banyak berperanan sebagai pensuplai jagung ke Pulau Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum terlihat hubungan yang sehat antara petani jagung sebagai produsen bahan baku, dan industri pengolah jagung menjadi makanan ternak. Hal ini ditandai oleh besarnya peran pedagang jagung yang begitu berkuasa mengatur harga di tingkat petani. Penguasaan petani terhadap pasar masih rendah, dan petani tidak secara sadar memproduksi jagung untuk diarahkan bagi keperluan industri makanan ternak. Dengan kata lain, integrasi antara petani (“pertanian”) dan industri pengolahan (“industri”) belum menampakkan keserasian.
Penggunaan jagung sebagai bahan makanan pokok sudah jauh berkurang, tapi sebagai bahan baku industri makanan ternak, roti (kue), dan kopi justru meningkat. Telah diduga dari studi ini bahwa penggunaan jagung untuk industri-industri tersebut akan semakin pesat, terutama untuk makanan ternak. Namun hal ini belum diimbangi oleh usaha peningkatan produksi dan mutu mengingat jagung masih dianggap sebagai tanaman sekunder, setelah padi. Masalah efisien, alih teknologi, permodalan, dan manajemen masih merupakan kelemahan primer di tingkat usahatani jagung dan industri makanan ternak skala kecil/rumah tangga. Untuk itu, dalam rangka meletakkan usahatani jagung dalam sistem agroindustri, maka masalah peningkatan teknik budidaya, pengadaan benih unggul, sekaligus perbaikan pascapanen perlu mendapat perhatian yang seimbang. Hal ini berkaitan dengan besarnya potensi industri berbahan baku jagung untuk mendukung pengembangan komoditas nonmigas dan gizi masyarakat. Selain itu juga diperlukan pembinaan di bidang manajemen pemasaran. Hal ini dikaitkan dengan usaha mengintegrasikan peran petani dalam sistem agroindustri pengolahan jagung. Peran pemerintah dalam membina organisasi petani serta pihak lainnya seperti KUD, PUSKUD, Dolog, dan lainnya; perlu ditingkatkan kualitasnya untuk mendukung hubungan yang sehat antara petani dan industri pengolah berbahan baku palawija.

5.2. Kebijakan Agroindustri dan Mekanisasi Pertanian

Selanjutnya penelitian PSE-KP yang berkaitan dengan kebijakan industri pengolahan dan mekanisasi pertanian juga telah dilakukan, antara lain oleh Simatupang et al. (1988), Irawan et al. (1989) dan Hutabarat et al. (1990). Penelitian Simatupang et al. (1988) tentang kebijakan industri pengolahan tanaman pangan cukup menarik. Dari segi pembagian nilai tambah antara pekerja dan pemilik modal ternyata subsektor agroindustri lebih buruk dari subsektor lainnya pada sektor industri pengolahan. Hal ini disebabkan oleh karena sebagian besar produksi agroindustri dikuasai oleh perusahaan berukuran besar dan sedang, sedangkan penyerapan tenaga kerja justru paling banyak pada industri kecil. Oleh karena itu menjadi relevan untuk membatasi ukuran perusahaan agro industri.
Permintaan ubi kayu, jagung dan kacang kedelai oleh industri pengolahan diperkirakan akan terus meningkat. Namun, industri pengolahan belum terikat secara baik dengan petani penghasil bahan bakunya, baik dari segi harga maupun dari segi komoditas. Hal tersebut dapat menyebabkan pengembangan industri pengolahan tidak banyak manfaatnya bagi peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani penghasil bahan baku. Disamping itu, produksinya masih bersifat musiman karena ketergantungan terhadap iklim yang cukup tinggi dan kenyataan bahwa tanaman tersebut hanyalah tanaman prioritas kedua setelah padi.
Investasi pada industri pengolahan gaplek dan tapioka sangat dipengaruhi oleh ketersediaan kredit perbankan. Sedangkan kebijaksanaan harga yang paling efektif untuk mendorong investasi adalah dengan meningkatkan harga produk hasil olahan dan penurunan harga kapital. Namun, hal tersebut bertentangan dengan tujuan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, untuk mendorong penggunaan tenaga kerja dapat dilakukan dengan menurunkan harga bahan baku. Meskipun perlu dicermati bahwa kebijakan ini tentu bertentangan dengan usaha peningkatan pendapatan petani. Permintaan terhadap bahan baku lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding dengan penawaran hasil barang olahan, sehingga dampak penyesuaian investasi dari setiap perubahan harga ternyata cukup besar.
Kebijakan untuk meningkatkan harga produk hendaknya disertai dengan kebijakan kemudahan kredit dan penurunan tingkat bunga. Untuk meningkatkan stabilitas dan kontinuitas produksi dapat diusahakan dengan mengembangkan Pola Inti Rakyat (PIR) dan mendorong terjadinya spesialisasi produksi berdasarkan keuntungan komparatif menurut petani. Selain itu, mutu produksi palawija perlu ditingkatkan agar dapat dipakai secara langsung dalam industri pengolahan. Ukuran pabrik skala besar perlu dibatasi, sedangkan industri skala kecil perlu diarahkan dan ditata sedemikian rupa.
Penelitian Irawan et al. (1989) tentang agroindustri dan mekanisasi pertanian difokuskan pada komoditas palawija. Pada industri pengolahan ubi kayu, hasil penelitian menemukan bahwa pertumbuhan produksi ubi kayu di Provinsi Lampung dan Jawa Barat cenderung lambat, namun jumlah perusahaan tepung tapioka di Kabupaten Lampung Tengah, Ciamis, dan Bogor justru menunjukkan kenaikan. Pada umunya, profitabilitas usaha tersebut cukup rawan dan memiliki skala usaha ekonomi yang bersifat konstan. Selain itu, elastisitas permintaan masukan pada usaha tersebut pada umumnya bersifat elastis. Pada penawaran tepung tapioka, perubahan harga hasil produksi memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan pengaruh perubahan harga masukan. Umumnya perusahaan tepung tapioka belum berproduksi sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, yang terkendala oleh belum terpenuhinya volume, kontinyuitas, dan kualitas ubi kayu yang dihasilkan petani.
Industri pengolahan gaplek di Provinsi Lampung ternyata memiliki profitabilitas yang lebih baik dibandingkan industri tepung tapioka. Salah satu faktor pendorong berkembangnya gaplek pada kurun ini disebabkan oleh berkembangnya permintaan ekspor. Rantai pemasaran ubi kayu dari petani ke perusahaan tepung tapioka di Ciamis dan Bogor lebih pendek dibandingkan di Lampung Tengah. Demikian pula dengan jangkauan fasilitas kredit melalui bank yang lebih meluas di Kabupaten Ciamis dan Bogor dibanding Lampung Tengah.
Berdasarkan hasil studi tersebut untuk meningkatkan harga hasil produksi dapat dilakukan melalui pembinaan teknis yang dapat meningkatkan mutu produk yang dihasilkan. Kebijaksanaan untuk mengembangkan industri pengolahan gaplek perlu lebih digalakkan guna meningkatkan permintaan bahan baku ubi kayu. Untuk mempertahankan kontinuitas pengadaan ubi kayu bagi industri pengolahan, kemungkinan pengembangan tanaman ubi kayu dengan pola PIR perlu dikaji lebih mendalam. Melalui pendekatan tersebut mungkin dapat merubah perilaku petani yang memperlakukan ubi kayu sebagai tanaman sekunder. Perkembangan perusahaan tepung tapioka skala besar perlu lebih dikendalikan dan diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang tidak terlampau besar namun berlokasi lebih menyebar.
Untuk industri pengolahan kedelai, khususnya industri tahu dan tempe, dari waktu ke waktu cenderung meningkat dengan laju yang relatif tinggi, sehingga keuntungan industri tahu dan tempe masih berada pada kondisi yang mampu merangsang peningkatan produksi. Wadah pemasaran bersama dimaksudkan untuk memperluas jangkauan pemasaran produk, baik dari segi jarak maupun golongan pembeli. Industri ini menghadapi pentingnya alternatif kebijakan yang mampu mendorong peningkatan produksi sekaligus jumlah kedelai yang diolah perhari. Dalam jangka panjang pengurangan kedelai impor mutlak diperlukan tetapi harus disesuaikan dengan laju produksi kedelai dalam negeri dengan memperhatikan sisi penawaran dan kualitasnya. KOPTI harus mampu berperan sebagai ujung tombak dengan cara membiasakan anggotanya untuk lebih menggunakan kedelai lokal sebagai bahan baku. Apabila fluktuasi harga kedelai lokal diasumsikan mencerminkan naik turunnya suplai di pasaran, maka temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sisi penawaran kedelai lokal tidak stabil.
Di sisi lain, penelitian Hutabarat et al. (1990) yang dilakukan di Provinsi Jawa Barat, Lampung, dan Sumatera Utara fokus pada perkembangan mekanisasi pertanian di lokasi kajian, pola pemilikan alat mekanis, pengoperasian alat mekanis dan dampak mekanisasi. Alat mekanis yang berkembang pada ketiga provinsi tersebut umumnya adalah alat pengolahan tanah (traktor), terutama traktor tangan. Khusus di Provinsi Sumatera Utara, selain traktor juga berkembang alat mekanis pascapanen, yakni alat perontok. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat, alat mekanis pascapanen kurang berkembang. Di Provinsi Lampung, berkembangnya mekanisasi pertanian adalah karena kelangkaan tenaga kerja, berkembangnya irigasi berikut sistem pengelolaannya serta penerapan pola tanam serempak yang terkait dengan program Supra Insus.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa penggunaan traktor telah membantu mengatasi kelangkaan tenaga kerja, baik pengolahan tanah maupun pascapanen. Pendayagunaan alat mekanis, seperti traktor dirasakan cukup ekonomis dan hal ini dimungkinkan oleh keterbukaan antarwilayah dalam menerima kedatangan traktor dari luar wilayah dan didukung oleh perbedaan waktu pengolahan tanah antardaerah. Di sisi lain, berkembangnya mekanisasi telah pula memberikan kesempatan kerja di sektor pertanian. Dengan berkembangnya alat mekanis, terbuka pula kesempatan berdirinya perbengkelan dan usaha las di perdesaan. Berkaitan dengan kelembagaan perdesaan, tidak dijumpai dampak penggunaan traktor yang serius baik dari pola penguasaan lahan dan sistem gotong royong.
Dengan masuknya alat mekanis di perdesaan, terbentuk suatu lembaga baru, yakni perantara atau agen penyewaan traktor. Perantara ini bertanggung jawab terhadap pencarian lahan garapan traktor di lokasi di luar wilayah tempat tinggal pemilik traktor.
Pada program pengembangan alat mekanis, diperlukan strategi pengembangan yang dianggap tepat, diantaranya: (1) pengembangan alat mekanis harus dilakukan secara selektif menurut daerah yang memerlukan, mengingat beragamnya kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja antar daerah; dan (2) rancang bangun alat harus dibuat sederhana dan praktis.

5.3.    Pengembangan Agroindustri untuk Peningkatan Daya Saing dan Ekspor

Pengembangan agroindustri untuk peningkatan daya saing dan ekspor telah cukup banyak dikaji, antara lain oleh Drajat et al. (1995), Supriyati et al. (2006), Agustian et al. (2003), dan Malian et al. (2005). Penelitian Drajat et al. (1995) tentang agroindustri perkebunan menunjukkan bahwa pada tahun 1990-an ekspor kelapa sawit mampu menggeser ekspor minyak kedelai hingga tinggal 16 persen dari keseluruhan ekspor minyak nabati. Pertumbuhan pasar minyak kelapa sawit tersebut ditandai dengan lebih cepatnya pertumbuhan produksi dibandingkan konsumsi dan ekspor dibandingkan impor. Namun, pangsa pasar minyak kelapa sawit Indonesia masih belum mampu mengungguli minyak kelapa sawit Malaysia. Implikasi dari situasi persaingan di pasar impor tersebut adalah perlunya penyusunan strategi yang tepat dalam mengembangkan pasar ekspor minyak kelapa sawit Indonesia. Selain itu juga diperlukan strategi peningkatan daya saing pada kegiatan pemasaran.
Berkaitan dengan peranan agroindustri terhadap ekspor, Supriyati et al. (2006) menyatakan bahwa walaupun nilai ekspor sektor agroindustri lebih kecil dibandingkan dengan non agroindustri namun pangsanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian. Disamping itu, sektor agroindustri mempunyai keterkaitan ke belakang (ke sektor pertanian) yang lebih besar dibandingkan non-agroindustri. Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor agroindustri masih mempunyai peluang untuk lebih dikembangkan pada waktu yang akan datang.
Dalam Drajat et al. (1995) disarankan agar strategi peningkatan daya saing dan pengembangan pasar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak hanya mengacu pada peluang pasar yang dapat dimanfaatkan di pasar Internasional, tetapi harus juga memperhatikan situasi pasar domestik dan peranan pemerintah dalam mengendalikan pasar minyak kelapa sawit. Strategi peningkatan daya saing ditekankan pada upaya efisiensi biaya pemasaran dan peningkatan mutu produk dari minyak kelapa sawit kasar (CPO) menjadi minyak kelapa sawit olahan (PPO). Strategi pengembangan pasar perlu diikuti dengan melakukan riset pemasaran dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pasar dan pemasaran kelapa sawit.
Masih pada subsektor perkebunan, penelitian Agustian et al. (2003) tentang agroindustri perkebunan menyatakan bahwa sektor pertanian yang didukung subsektor agroindustri telah menunjukkan ketangguhan yang cukup baik di saat terjadinya krisis ekonomi. Peranan beberapa produk agroindustri perkebunan semakin menonjol terutama pada saat terjadinya krisis ekonomi. Pengembangan komoditas kopi di Lampung dapat ditempuh dari dua sisi, yaitu: (1) manajemen usahatani dengan perbaikan sistem usahatani, penggunaan pupuk yang berimbang dan penerapan teknologi pembibitan, dan (2) manajemen pascaproduksi yaitu peningkatan mutu di tingkat petani dan pengolahan kopi bubuk pada skala industri rumah tangga.
Permasalahan yang dihadapi petani dari sisi produksi adalah rendahnya harga biji kopi. Sedangkan pada sisi pascaproduksi adalah terkendala oleh pemasaran hasil produksi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kopi masih memiliki daya saing yang relatif lebih tinggi berdasarkan harga sosialnya. Ekspor produk olahan kopi menjadi salah satu jawaban untuk lebih meningkatkan volume sekaligus nilai ekspor dari komoditas kopi.
Kelapa merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran penting dalam menyumbang perolehan devisa ekspor nasional. Salah satu permasalahan penting yang dialami pada usahatani adalah sulitnya mendapatkan tenaga kerja untuk panen. Sementara itu, industri pengolahan kelapa yang potensial untuk dikembangkan antara lain industri pengolahan kopra, industri kelapa parut kering (DESCO), industri minyak kelapa (CCO), industri arang aktif, dan industri kecil nata de coco.
Kebijakan yang diperlukan untuk pengembangan agroindustri kopi, antara lain dengan dukungan kebijakan pemerintah dalam pengembangan baik pada level usaha tani maupun level pengolahan dan melaukan pembinaan perbaikan mutu produk. Upaya pengembangan produk industri pengolahan kelapa dilakukan dengan penganekaragaman melalui pengembangan teknologi, bantuan modal dan peralatan. Peningkatan daya saing komoditas tersebut merupakan bagian penting dalam peningkatan daya saing komoditas pertanian secara umum.
Sementara penelitian Malian et al. (2005) tentang prospek agroindustri menemukan bahwa untuk peningkatan produktivitas dan kualitas bahan baku produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh, diperlukan program peremajaan yang diarahkan pada peningkatan produktivitas dan kualitas bahan baku untuk industri. Untuk menggairahkan pengusaha dalam meningkatkan produksi dan ekspor produk agroindustri ketiga komoditas ini, maka pemerintah perlu memberikan insentif ekspor dalam bentuk keringanan dan pembebasan pajak (tax insantive). Salah satu cara untuk meningkatkan ekspor produk agroindustri berbasis lada, kelapa, dan teh di Indonesia adalah dengan melakukan promosi ekspor dalam bentuk diversifikasi negara ekspor. Selain itu, untuk meningkatkan ekspor produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh, pemerintah perlu mendorong peningkatan ekspor produk agroindustri yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi serta mengembangkan produk berdasarkan pohon industri.

5.4.    Agroindustri untuk Peningkatan Nilai Tambah dan Pengembangan Ekonomi Perdesaan

Pengembangan agroindustri untuk meningkatkan nilai tambah, menciptakan devisa dan pengembangan ekonomi perdesaan juga telah dilakukan oleh Sayaka et al. (2005) dan Supriyati et al. (2006). Sayaka et al. (2005) mengungkapkan bahwa bahan baku agroindustri berbasis pangan lokal tersedia dalam jumlah yang cukup di tiap wilayah penelitian (Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Papua) walaupun ada fluktuasi suplai antarmusim setiap tahun. Usahatani ubi kayu dan jagung masih menguntungkan walaupun nilainya agak kecil. Sedangkan penebangan sagu selain memberikan persediaan makanan pokok bagi rumah tangga, juga merupakan sumber penghasilan untuk membeli keperluan rumah tangga lain. Suplai bahan baku untuk agroindustri sagu dalam jangka panjang bisa berkurang jika jumlah usaha agroindustri meningkat atau skala usaha yang ada diperbesar. Penyebabnya adalah karena sagu hanya dipanen dari hutan, upaya budidaya sagu masih relatif sedikit, sedangkan permintaan untuk konsumsi penduduk sebagai makanan pokok masih tetap tinggi.
Sebagian besar rumah tangga mengkonsumsi ubi kayu dan jagung sebagai makanan pokok pencampur beras. Sementara itu, sagu dikonsumsi dalam bentuk tunggal. Jenis makanan olahan yang menggunakan bahan baku ubi kayu, jagung, dan sagu  yang dimasak oleh rumah tangga  sebagai makanan selingan relatif banyak, namun  cara masaknya masih bersifat tradisional (dikukus, direbus, digoreng) dan tidak ada jenis makanan baru yang diolah. Rumah tangga juga jarang membeli makanan olahan yang menggunakan bahan baku ketiga komoditas tersebut. Pada rumah tangga perkotaan telah terjadi perubahan preferensi konsumsi pangan pokok dari pangan lokal (ubi kayu, jagung dan sagu) ke beras yang didorong melalui mekanisme Raskin dan tunjangan beras PNS.
Secara nasional ragam produk olahan dari ubi kayu, jagung dan sagu cukup banyak, bahkan juga digunakan untuk industri nonpangan. Walaupun demikian bentuk olahan pangan lokal di wilayah penelitian relatif lebih sedikit dibanding potensi yang ada secara nasional. Hal ini terutama terkait dengan selera penduduk setempat. Produk agroindustri yang bisa digunakan sebagai makanan pokok adalah tiwul instan dari Trenggalek dan tepung sagu untuk membuat papeda dari Jayapura. Produk agroindustri lainnya dikonsumsi sebagai makanan tambahan.
Agroindustri berbasis pangan lokal sesungguhnya cukup menguntungkan tetapi sulit untuk ekspansi karena keterbatasan permintaan pasar. Persaingan antarprodusen dari kabupaten lain untuk agroindustri di Trenggalek, serta mahalnya biaya transportasi untuk produk agroindustri dari NTT dan Papua, membuat agroindustri berbasis pangan lokal sulit berkembang.
Teknologi pengolahan bahan pangan di tingkat rumah tangga merupakan teknologi yang bersifat tradisional. Demikian pula teknologi untuk pengolahan agroindustri masih banyak yang bersifat manual, dan hanya sedikit yang menggunakan peralatan mekanis. Skala produksi yang relatif kecil belum mendorong para pengusaha agroindustri untuk menggunakan teknologi moderen walaupun teknologi tersebut mudah diperoleh baik dari pemerintah maupun swasta.
Dari segi fluktuasi harga, fluktuasi harga ubi kayu, jagung dan sagu lebih besar daripada beras. Harga bahan pangan lokal, kecuali beras, sangat dipengaruhi mekanisme pasar sehingga jumlah suplai sangat mempengaruhi harga jual karena permintaannya relatif tetap. Agroindustri berbasis ubi kayu berada dalam posisi putar haluan, yaitu bagaimana caranya mengatasi kelemahan yang ada untuk memanfaatkan peluang yang tersedia. Sedangkan agroindustri jagung dan sagu berada dalam posisi defensif, yaitu bagaimana cara mengatasi kelemahan dan ancaman untuk bisa bertahan.
Penelitian Supriyati et al. (2006) menyatakan bahwa peranan sektor agroindustri dalam penciptaan nilai tambah dan devisa masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor non-agroindustri. Ada indikasi bahwa pertumbuhan output atau nilai tambah pada sektor agroindustri tidak diikuti oleh pertumbuhan penyerapan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa misi agroindustri sebagai salah satu peluang kesempatan kerja yang diharapkan mampu mengurangi beban penyerapan tenaga kerja sektor pertanian yang masih terlalu besar belum tercapai. Hal ini disebabkan karena agroindustri belum dianggap menjadi satu kesatuan sistem, sehingga belum ada kebijakan yang komprehensif dari penyediaan bahan baku sampai dengan pemasaran. Kebijakan juga masih terkotak-kotak menurut subsistem, dan kebijakan Departemen Perindustrian masih bias ke non-agroindustri.
Peranan menurut skala usaha pada usaha agroindustri menunjukkan bahwa industri skala besar yang jumlahnya kurang dari 1 persen, dengan tingkat  penyerapan tenaga kerja sekitar 19 persen, menguasai nilai tambah sekitar 84 persen. Hal ini menunjukkan bahwa industri skala besar bersifat padat modal. Sementara itu, industri skala sedang, kecil, dan rumah tangga yang penyerapan tenaga kerja mencapai 81 persen hanya mampu menciptakan nilai tambah sebesar 14 persen. Hal ini menunjukkan bahwa industri skala sedang, kecil, dan rumah tangga bersifat padat tenaga kerja.
Sektor agroindustri yang mempunyai perspektif untuk dikembangkan berdasarkan indikator penyerapan tenaga kerja disertai peranannya dalam penciptaan devisa, dan kemampuan menghela dan mendorong industri hilirnya adalah agroindustri kapuk bersih, benang dan tekstil; agroindustri daging, jeroan dan sejenisnya; agroindustri beras; agroindustri tembakau olahan dan rokok; agroindustri minyak hewani dan minyak nabati; agroindustri hasil pengolahan kedelai; agroindustri gula; agroindustri kopi giling dan kupasan; agroindustri pakan ternak; agroindustri roti, biskuit dan sejenisnya; agroindustri makanan lainnya; agroindustri minuman tak beralkohol; agroindustri mie, macaroni, dan sejenisnya. Namun, ada kompentensi usaha yang sama antara industri skala besar dengan industri sedang, kecil dan rumah tangga, terutama pada industri makanan dan industri makanan lainnya. Dalam konteks ini, industri skala sedang, kecil dan rumah tangga tentunya tidak mampu bersaing dengan industri skala besar.
Analisis kasus agroindustri kopi, pisang dan ITTARA menunjukkan bahwa nilai tambah ditemui pada semua mata rantai nilai, dari bahan baku sampai dengan pemasaran dengan banyak instansi yang terlibat. Namun, nilai tambah pada ketiga kasus tersebut belum optimal dan peranan instansi juga masih terbatas pada mata rantai nilai yang sesuai dengan mandatnya (tupoksinya). Belum terlihat koordinasi yang kuat antarlembaga dalam pengembangan agroindustri. Kecuali pada agroindustri kopi, dimana sudah berlangsung koordinasi antara kegiatan penelitian dan pengembangan, pemerintah daerah dan eksportir.
Simpul kritis agroindustri perdesaan berada pada aspek pemasaran. Akses petani rendah untuk mencarikan pasar bagi produknya, kecuali untuk agroindustri kopi dimana  pasar produk sudah jelas. Namun demikian, pelaku agroindustri kurang akses ke pasar tersebut. Ke depan, peningkatan nilai tambah agroindustri di perdesaan dapat dilakukan pada aspek: (1) permintaan pasar; (2) faktor produksi; (3) strategi, struktur dan persaingan usaha; (4) institusi dan industri pendukung; serta (5) kelembagaan pemerintah. Hal ini memerlukan keberpihakan yang kuat dari pemerintah, untuk menjadikan agroindustri sebagai kesatuan sistem yang perlu dikembangkan secara bersama-sama.
Untuk itu, apabila pemerintah menganggap agroindustri merupakan sektor yang akan dikembangkan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan kemiskinan, harus ada keberpihakan yang kuat dari pemerintah, dengan menempatkan agroindustri sebagai satu kesatuan sistem. Implikasi dari hal ini adalah pengembangan agroindustri memerlukan keterkaitan erat antarsentra produksi pertanian sebagai penyedia bahan baku, pusat-pusat yang ditetapkan sebagai pusat promosi dan pemasaran serta layanan bisnis sebagai kawasan inti, dan wilayah-wilayah sumber bahan baku dan penolong dari produk-produk hasil industri seperti pupuk, bibit, kemasan, BBM, dan alat dan mesin pertanian dan pengolahan hasil pertanian serta layanan bisnis lainnya. Disamping itu, selain harus memperhatikan hubungan pusat dan daerah, upaya peningkatan nilai tambah juga perlu dilakukan dalam kerangka kerja sama antarkawasan inti dalam upaya menjaga keseimbangan pembangunan antarwilayah dan upaya untuk mengembangkan jaringan pasar hingga internasional. 
Upaya peningkatan nilai tambah sesuai kerangka model yang telah disusun memerlukan rangkaian satu kesatuan sistem selain pentingnya kerja sama antarkawasan inti, kapasitas dan kemampuan lembaga  yang berperan sebagai fasilitator, mediator dan advokasi serta bimbingan teknis dan teknologis secara kontinyu, ciri khas produk dan citarasa yang dapat ditingkatkan melalui inovasi teknologi, konsistensi mutu dan kontinuitas produksi, perbaikan mutu olahan, cita rasa, kemasan dan merk serta jaringan kemitraan usaha antarpengusaha. Semua ini merupakan faktor kunci keberhasilan peningkatan nilai tambah komoditas pertanian. 
Adanya kompentensi usaha yang sama antara industri skala besar dengan industri skala lainnya serta penciptaan nilai tambah yang sangat timpang yang bias pada industri skala besar,  membutuhkan pengembangan kemitraan yang sinergis antara industri besar dan industri skala sedang, kecil, dan rumah tangga. Kemitraan ini ditujukan agar terjadi redistribusi nilai tambah yang proporsional antara industri skala besar  dengan industri skala lainnya. Pemerintah harus mampu merumuskan dengan tegas, pada tahap mana industri skala besar boleh beroperasi. Sebaiknya industri skala besar tidak boleh bergerak dalam pengolahan langsung dari bahan baku primer, namun mulai dari pengolahan bahan baku setengah jadi, yang dipasok oleh industri skala sedang, kecil dan rumah tangga. Pengembangan agroindustri perlu diprioritaskan pada industri makanan dan industri makanan lainnya yang menggunakan produk sektor pertanian lokal dan berlokasi di sentra produksi (perdesaan), pada skala sedang, kecil dan rumah tangga. Pengembangan agroindustri di perdesaan ini harus menjadi komitmen pemerintah, dalam bentuk dukungan penuh dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah.
Pemerintah dapat membantu para pengusaha mempercepat keberhasilan usaha sejumlah agroindustri di berbagai daerah. Usulan ini merupakan konsekuensi logis dari model pengembangan usaha dalam format klaster agroindustri. Klaster agroindustri yang berpijak pada pengelompokan sejumlah industri yang mempunyai misi dan tujuan yang sama ini saling bekerja sama dan berkolaborasi untuk mencapai keberhasilan yang lebih tinggi. Untuk keperluan tersebut, suatu organisasi antarinstansi perlu dibentuk dengan satu tujuan, yaitu mengawal berbagai instrumen kebijakan pengembangan agroindustri.
Dalam usaha agroindustri terdapat sejumlah kalangan yang berkaitan dan berkepentingan (stakeholders) yang kontribusinya sangat penting dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan. Oleh karena itu, organisasi yang diusulkan ini sebutlah namanya sebagai “forum klaster agroindustri”,  menjadi gudang pemikir dan pelaksana kebijakan di lapangan serta bertanggung jawab terhadap keberhasilan maupun kegagalan pelaksanaan kebijakan dimaksud. Dengan demikian, berhasil tidaknya pengembangan usaha agroindustri ini sangat erat kaitannya dengan kuat lemahnya keputusan dan kebijakan yang ditempuh. Direktorat Jenderal P2HP bekerja sama dengan Badan Litbang Pertanian dinilai sangat layak untuk menjadi pemrakarsa sekaligus pelaksana kebijakan pengembangan klaster agroindustri di Indonesia. 

5.5. Agroindustri dalam Perspektif Kelembagaan

Pada level makro untuk aspek kelembagaan, dalam rangka peningkatan nilai tambah, Supriyati et al. (2006) mengusulkan model pengembangan usaha dalam format klaster agroindustri. Sedangkan aspek kelembagaan di level mikro diungkapkan dalam penelitian Taryoto et al. (1994) tentang kelembagaan penunjang agroindustri di Provinsi Jawa Timur. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa untuk menghubungkan sektor pertanian dan sektor industri, harus ada bentuk-bentuk kelembagaan yang mampu memacu tumbuhnya agroindustri. Peluang pengembangan mangga di Jawa Timur (Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo) dari sisi permintaan untuk pasar mangga segar masih cukup menjanjikan. Dalam hal ini ada tiga pola pengusahaan dalam usahatani mangga, yaitu pola pekarangan, pola kebun perorangan, dan pola perkebunan.
Penanganan panen dan pascapanen mangga tidak lagi menjadi tanggung jawab petani pemilik mangga, karena pada umumnya mereka menjual dengan sistem tebasan. Di Jawa Timur belum ada pabrik pengolahan mangga karena harga mangga yang terlalu tinggi, sementara  teknik pengolahan mangga juga belum dikuasai untuk dapat menghasilkan produk dengan penampilan yang menarik. Demikian pula dengan nenas, agroindustri yang mengolah atau memanfaatkan nenas rakyat sebagai bahan baku utama belum ada. Selama ini nenas rakyat dipasarkan dalam bentuk segar semata. Agroindustri nenas yang selama ini ada hanya melakukan integrasi vertikal, dimana mulai dari usahatani, pengolahan, dan pemasarannya dilakukan oleh pihak perusahaan sendiri.
KUD sebagai titik simpul yang dapat berperan sebagai mata rantai tata niaga nenas mulai dari petani sampai ke pengolah, belum berfungsi secara baik. Dilain pihak, peran pedagang nenas terhadap ekonomi nenas Lampung sangat penting mengingat pedagang pengumpul ataupun pembeli di pasar lokal merupakan satu-satunya tujuan pemasaran nenas rakyat. Pada kasus mangga di Jawa Timur dan nenas di Lampung, peran Pemda masih terbatas karena belum dianggap sebagai komoditas yang diprioritaskan dan diunggulkan.
Secara keseluruhan, hasil-hasil kajian PSE-KP tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan agroindustri di atas menunjukkan bahwa pengembangan agroindustri mempunyai arti strategis bagi perekonomian rakyat karena diharapkan dapat memberikan peningkatan nilai tambah hasil pertanian melalui pemanfaatan teknologi pengolahan hasil dan mekanisasi pertanian, peningkatan daya saing dan ekspor, serta pengembangan ekonomi perdesaan. Namun demikian, kajian tentang pengembangan agroindustri yang terpadu dan berkelanjutan masih sangat jarang dilakukan oleh peneliti PSE-KP. Ke depan, hal ini perlu mendapat perhatian dengan porsi yang lebih besar.
*****

 

 

Tidak ada komentar: