Jumlah pe-longok :

Rabu, 10 Februari 2016

Hasil-Hasil Penelitian tentang Perdagangan Hasil Pertanian

(Bagian dari Buku: PSEKP. 2013. “37 Tahun Penelitian PSEKP”)

BAB III. PENELITIAN TENTANG PERDAGANGAN HASIL-HASIL PERTANIAN

Studi-studi tentang perdagangan di PSE-KP dimulai dari isu perdagangan lokal antardaerah di pasar domestik, sampai dengan perdagangan internasional dengan membahas aturan dan kesepakatan, serta dampak dan konsekuensi kerangka perdagangan yang ada. Disamping itu, dikaji juga aspek terkait di luar perdagangan, misalnya peraturan daerah dalam rangka otonomi. Studi tentang perdagangan domestik dimulai tahun 2003, pascapenerapan sistem otonomi daerah di Indonesia. Sementara, kajian perdagangan internasional dimulai pada tahun 2005 sejak ditandanganinya kesepakatan perdagangan bebas di kawasan ASEAN yang dikenal dengan AFTA.

Kajian terhadap perdagangan komoditas umumnya sehubungan dengan sifat komoditas yang strategis atau prospek pengembangannya. Disamping itu, kajian perdagangan komoditas juga dilakukan sebagai dampak dari implementasi peraturan atau kesepakatan yang tidak dikaji kelayakannya sebelumnya. Namun sayangnya, tindak lanjut dari berbagai hasil kajian ini agak sulit ditelusuri, meskipun kajian yang dilakukan sudah berdasarkan pada analisis data sekunder maupun primer yang dilakukan secara kuantitatif, kualitatif, dan deskriptif. Sampai saat ini isu perdagangan di tingkat domestik dan internasional terus berkembang, misalnya dengan semakin banyaknya pencapaian kesepakatan perdagangan di ranah internasional. Dengan demikian, tampaknya ke depan objek ini akan terus mendapat perhatian dan sangat menantang.

3.1. Perdagangan Domestik

Mengingat komoditas tembakau mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan menjadi sumber pendapatan petani, menyerap banyak tenaga kerja dari usahatani sampai dengan industrinya; maka dipandang penting mempelajari pola perdagangan tembakau antarwilayah untuk meningkatkan keragaan komoditas melalui pemahaman pembentukan harga. Disamping itu, karena sifatnya yang strategis, pola perdagangan kedelai antarwilayah juga telah dipelajari. Struktur produksi, konsumsi, dan pasar kedelai yang erat kaitannya dengan arus globalisasi juga telah dikaji, karena kedelai ketersediaannya lebih banyak didatangkan dari impor. Oleh karena itu, pada tahun 1993, Santoso et al. dan Zulham et al. masing-masing mengkaji pola perdagangan wilayah untuk tembakau dan kedelai.

Santoso et al. (1993) menyimpulkan bahwa pembentukan harga tembakau terjadi melalui transaksi implisit kontrak dan transaksi bebas. Kedua transaksi tersebut dilakukan melalui tata niaga yang panjang dimulai dari petani sampai dengan industri. Kontrak implisit dillakukan antara pemberi modal dengan proses tawar-menawar dengan pedagang besar, pedagang pengumpul, pengolah sampai dengan petani setelah dikurangi ongkos-ongkos pemasaran oleh setiap pelaku tata niaga. Transaksi bebas dilakukan oleh seluruh pelaku tata niaga dalam transaksi implisit tanpa disertai dokumen kontrak. Petani merupakan pihak dengan posisi tawar paling lemah diantara pelaku ekonomi lain. Guna membenahi permasalahan tersebut, direkomendasikan untuk mengatur luas areal tanam dan membatasi perdagangan daun tembakau segar (hijau). Pengaturan luas areal tanam bertujuan untuk menjaga stabilitas harga tembakau di pasar terutama tujuan ekspor. Disamping itu juga dibutuhkan perbaikan dan standarisasi mutu tembakau yang dihasilkan petani.

Sementara, penelitian kedelai oleh Zulham et al. (1993) menyimpulkan bahwa dalam dua dasawarsa terjadi kecenderungan yang berbeda. Selama 1970-1980 luas areal dan produksi cenderung meningkat karena faktor peningkatan produktivitas. Namun dalam periode 1980-1990 impor kedelai justru meningkat tajam. Hal ini mengindikasikan bahwa produksi domestik tidak mampu mencukupi permintaan di dalam negeri. Peningkatan produksi yang bertumpu pada perluasan areal tanam dinilai berdampak positif pada kuantitas penjualan kedelai antarwilayah, terutama dari Luar Jawa (surplus) ke Jawa (defisit). Guna mengantisipasi fluktuasi harga, pemerintah menyerahkan pengaturan distribusi kepada Bulog. Hal ini dilakukan karena petani masih enggan meningkatkan produktivitas meskipun harga yang diterima di atas biaya produksi.

Disarankan pula agar pada bulan November-Januari di setiap tahun direkomendasikan untuk mengantisipasi defisit yang besar. Khusus untuk bulan Mei-Juli perlu pengaturan surplus dengan memanfaatkan Jaringan Usaha Koperasi (JUK). Jaringan ini dapat dijadikan sumber informasi bagi pedagang kedelai antarwilayah dan meningkatkan intensitas ekonomi petani kedelai dan pedagang.

Perdagangan domestik antarwilayah memasuki babak baru semenjak era otonomi daerah yang efektif dilaksanakan per 1 Januari 2000. Mulai di saat itu bermunculan kebijakan perdagangan daerah sebagai respon pemberian keleluasaan pemerintah daerah mengurus potensi dan menyelesaikan permasalahan di daerah. Mayrowani et al. (2003) memberi fokus kajian pada kebijakan daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari berbagai sumber yang memungkinkan, termasuk dari aktivitas perdagangan komoditas pertanian yang mengalir melintasi antardaerah dengan peraturan yang beragam. Temuan lapangan mendapatkan bahwa efisiensi perdagangan dan dampak bagi produsen maupun konsumen tidak dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dalam menyusun berbagai kebijakan yang bertujuan terbatas untuk menghimpun PAD.

Hasil penelitian pada empat komoditas (kopi, ubi kayu, tembakau dan sapi potong) di dua provinsi (Lampung dan Jawa Timur) menunjukkan bahwa peraturan daerah yang mengatur perdagangan komoditas pertanian dalam era otonomi daerah banyak berdampak pada pedagang dan pengusaha skala besar. Peraturan saling tumpang tindih terutama dalam hal pungutan selama pengangkutan komoditas antarwilayah. Hal ini mengakibatkan biaya tinggi dan menekan daya saing komoditas dalam perdagangan antardaerah.

Lebih lanjut Mayrowani et al. (2003) menyebutkan bahwa ada hambatan dasar dalam perdagangan komoditas antardaerah, yaitu (1) keseimbangan penawaran dan permintaan akibat skala usaha yang tidak efisien, (2) restrukturisasi kelembagaan pascaotonomi daerah menurunkan pembinaan kualitas komoditas pertanian, (3) kebijakan ekonomi global, dan (4) iklim usaha yang tidak kondusif untuk investasi pascaimplementasi otonomi daerah. Pembenahan kebijakan otonomi daerah perlu dilakukan secara sistematis dan dikoordinasikan antarwilayah, sehingga dicapai perbaikan substansi peraturan terutama formula kebijakan. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari kesalahan dan perbedaan penafsiran peraturan, sehingga menimbulkan inefisiensi ekonomi di lapangan.

3.2. Dampak Kebijakan Perdagangan Internasional

Penelitian tentang perdagangan internasional condong pada analisis dampak atas kesepakatan perdagangan bilateral, regional, maupun internasional. Hadi et al. (2002) mengkaji perdagangan internasional komoditas pertanian pascakrisis ekonomi 1997 dan kesepakatan perdagangan dunia terhadap permintaan komoditas pertanian Indonesia yang mengalami penurunan daya saing karena diekspor secara tradisional dan bersifat substitusi impor. Dari studi ini ditemukan bahwa komoditas kelapa sawit merespon kenaikan harga ekspor akibat depresiasi rupiah terhadap dolar AS dan pascakrisis ekonomi dengan peningkatan luas areal tanam dan produksi minyak sawit. Volume dan nilai ekspor melonjak drastis sehingga pangsa ekspor Indonesia naik. Komoditas karet juga merespon kenaikan harga di pasar dunia dengan peningkatan luas areal, produksi serta volume dan nilai ekspor. Produk utama komoditas karet adalah SIR-20 yang dihasilkan dari crumb rubber.

Komoditas kopi pun menunjukkan kinerja yang sama sebagaimana minyak sawit dan karet. Kopi Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif namun mengalami kendala pada sisi produksi karena peningkatan harga input. Komoditas lada menunjukkan daya saing komparatif dan kompetitif pascakrisis ekonomi. Produksi lada tumbuh baik meskipun dengan dukungan pemerintah yang rendah, namun ke depan perlu dukungan dan bantuan dana untuk pengembangannya. Tidak berbeda dengan lada, tiga komoditas lain pun perlu didukung pemerintah dengan pemberian bantuan kredit dengan subsidi bunga bagi para petani. Dari sisi pascapanen petani perlu didampingi teknologi yang lebih baik untuk menghasilkan produk yang standar.

Tahun berikutnya, Hutabarat et al. (2003) mempelajari dampak liberalisasi perdagangan terhadap daya saing komoditas perkebunan dengan sampling di Lampung dan Jawa Tengah. Luasan tanam kopi yang ditanam petani lebih responsif dibandingkan perkebunan swasta maupun nasional. Namun dari sisi produksi, perkebunan swasta jauh lebih responsif dibandingkan perkebunan negara dan rakyat. Penguatan rupiah terhadap dolar AS berimbas pada peningkatan harga jual komoditas ekspor, sehingga mendorong pekebun memperluas tanamannya.

Khusus untuk komoditas tembakau, yang mempunyai rantai pemasaran yang panjang, petani tidak menikmati kenaikan harga dari kenaikan harga ekspor tembakau dan produk tembakau di pasar dunia. Karena respon produksi yang rendah ini, maka direkomendasikan penggunaan varietas komoditas unggul untuk meningkatkan produksi dan mendorong peningkatan pendapatan pekebun ketika terjadi kenaikan harga di pasar.

Tim penelitian Saliem et al. (2003) pada saat yang sama mendalami dampak liberalisasi perdagangan pada kinerja ketahanan nasional, berdasarkan tiga indikator kemandirian pangan. Berdasarkan ketersediaan pangan dalam bentuk energi disimpulkan bahwa pascaliberalisasi perdagangan kemandirian pangan nasional masih dalam kondisi aman. Kriteria aman diukur dari rasio ketergantungan impor pangan. Namun, rasio ketergantungan impor pangan cenderung akan naik dari waktu ke waktu. Hal ini ditunjukkan oleh kenaikan volume impor pangan yang meningkat setiap tahunnya selama peride analisis, sehingga perlu tindakan antisipatif untuk menangani ancaman ketergantungan impor pangan ini. Berdasarkan tingkat kerentanan, keragaman, dan stabilitas dalam jangka panjang; diketahui bahwa secara agregat keberlanjutan ketahanan pangan nasional stabil dan cukup terjamin dengan mengandalkan produksi dan ketersediaan pangan nasional.

Di lain pihak, apabila persentase penurunan harga beras, jagung dan kedelai di pasar dunia lebih besar daripada persentase kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, maka akan berdampak negatif pada derajat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan individu. Dampak negatif ini akan lebih besar apabila indeks keterkaitan antara pasar beras, jagung, dan kedelai domestik dengan dunia kuat. Hal ini menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan berdampak pada penurunan harga komoditas di pasar dunia, sehingga konsumen mengalami penambahan kesejahteraan karena harga lebih murah namun menurunkan kesejahteraan produsen. Sebaliknya, penguatan rupiah terhadap dolar AS dan pengendalian pasar yang kuat oleh pemerintah dalam era liberalisasi perdagangan akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen.

Dalam cakupan kawasan perdagangan yang lebih sempit, implementasi kesepakatan ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) dikaji oleh Hadi et al. (2003). Hasilnya menunjukkan bahwa nilai perdagangan baik ekspor maupun impor di internal kawasan ASEAN hanya mencapai 25 persen dari total perdagangan ASEAN dengan seluruh negara di dunia. Artinya, sebagian besar nilai perdagangan diperoleh dari ekspor dan impor antara negara anggota ASEAN dengan negara lain di dunia. Diantara 24 kelompok komoditas yang diperdagangkan, hanya enam kelompok komoditas dominan diperdagangkan dalam kerangka AFTA, yaitu minyak nabati dan hewani (terutama CPO); serealia (terutama beras); tembakau dan produk turunannya; produk perikanan; gula; serta kopi, teh dan rempah.

Pasca-AFTA, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang mempunyai daya saing positif setelah menurun dalam periode 1999-2001. Thailand dan Filipina berhasil memperbaiki daya saing produk pertaniannya dan berpotensi menjadi pesaing Indonesia disamping Vietnam dan Malaysia, sedangkan Vietnam justru sebaliknya menurun daya saingnya. Meskipun positif, namun Indonesia masih menghadapi permasalahan di tingkat usahatani, pengolahan, dan pemasaran yang berdampak pada inefisiensi.

Setelah mengkaji dampak liberalisasi pada dua komoditas ekspor, pada tahun 2005 tim penelitian Hutabarat et al. kembali mengkaji dampak kesepakatan perdagangan bebas regional dan multilateral serta modalitas perjanjian-perjanjian perdagangan tersebut. Dalam perdagangan bebas, skema yang selalu muncul adalah penurunan tarif. Oleh karena itu, Hutabarat et al. (2004) memberi perhatian lebih pada dampak pemberlakuan tarif nol persen dalam kerangka AFTA terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen komoditas pertanian di dalam negeri. Hutabarat et al. (2004) menunjukkan bahwa produsen komoditas ekspor utama kehilangan surplus pascaimplementasi AFTA, terutama produsen kelapa, minyak kelapa, cerutu, kakao dan jagung. Liberalisasi perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN hanya memberi keuntungan kepada konsumen di dalam negeri dan tidak efektif bagi peningkatan perekonomian Indonesia secara agregat. Hal ini memperkuat temuan Hadi et al. (2003) bahwa pasca-AFTA Indonesia menghadapi inefisiensi di tingkat usahatani, pengolahan, dan pemasaran. Negara yang meraih keuntungan dari liberalisasi perdagangan di kawasan ASEAN adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Jepang, dan Korea Selatan. Sementara, AFTA tidak berarti sama sekali bagi Laos, Thailand, dan Myanmar.

Lebih lanjut Hutabarat et al. (2004) menegaskan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan menyebabkan peningkatan harga dunia dengan tingkat perubahan harga yang cenderung sama, mengakibatkan kenaikan harga di negara pengimpor, termasuk Indonesia, dan hanya menguntungkan produsen yang berasal dari negara pengekspor. Oleh karena itu, tim studi ini merekomendasikan perbaikan kinerja perdagangan melalui peningkatan mutu dan jumlah produksi di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan impor pangan dan komoditas pertanian lain.

Lalu, tiga tahun berikutnya, Hutabarat et al. (2007) mengkaji dampak kesepakatan perdagangan Indonesia-China dan AFTA. Melalui analisis simulasinya tim ini menunjukkan bahwa implikasi AFTA adalah tarif nol persen untuk sebagian besar produk ekspor pertanian dari negara mitra. Apabila China dan semua negara ASEAN menerapkan pemotongan tarif secara bersamaan dengan besaran yang sama, maka akan berdampak positif terhadap produksi, ekspor bersih, PDB, dan kesejahteraan Indonesia. Namun, perdagangan bebas bilateral Indonesia-China memberi peningkatan jauh lebih besar daripada perdagangan bebas regional AFTA yang ditunjukkan oleh ekspor, tingkat kesejahteraan, PDB, dan bahkan impor. AFTA memberi peningkatan produksi yang lebih besar dibandingkan bilateral Indonesia-China. Secara agregat Indonesia memperoleh tambahan devisa dari ekspor komoditas pertanian unggulan. Disamping itu, Indonesia perlu memperhatikan pemenuhan kebutuhannya di dalam negeri. Gejolak harga dunia harus dijadikan patokan dalam memprakirakan komposisi ekspor dan konsumsi dalam negeri terhadap suatu produk, untuk menghindari gejolak pasar dalam negeri yang mengakibatkan peningkatan harga yang sangat tajam untuk kebutuhan-kebutuhan pokok.

Azas hati-hati perlu diterapkan dalam memberi rekomendasi komoditas yang diusulkan dalam skema penurunan atau penghapusan tarif, dan harus berdasar analisis pesaing lingkup ASEAN maupun kawasan lain; agar tidak membatasi ruang pengembangan ekspor komoditas dan pengembangan agroindustri di dalam negeri. Informasi berkelanjutan tentang keragaan perdagangan bebas bilateral antara Indonesia dengan mitra sangat diperlukan dalam pengambilan saran kebijakan dan keputusan posisi perundingan perdagangan bebas yang konsisten dan menguntungkan pihak Indonesia.

Menjawab lebih detail dampak perdagangan terhadap produsen utama komoditas pertanian di Indonesia yang umumnya petani dengan skala kecil, Hutabarat et al. (2008) mempelajari tentang respon usahatani skala kecil terhadap liberalisasi perdagangan. Dalam kajian ini Hutabarat et al. (2008) menemukan bahwa perubahan rezim perdagangan tidak berdampak langsung pada rantai pasok dan nilai jagung maupun sistem agribisnis jagung, karena bea masuk impor telah rendah dan sebagian besar produsen jagung adalah petani kecil.

Di lain pihak, pasar kakao dalam negeri merespon liberalisasi perdagangan dengan peningkatan volume sekaligus nilai ekspor, terutama dengan tujuan ke China dan negara-negara ASEAN, seperti Malaysia dan Singapura. Kebijakan insentif tidak dapat direspons secara maksimal karena petani kakao yang berskala kecil menghadapi kendala modal dan teknis, yaitu serangan hama penyakit. Demikian juga petani pisang Mas Kirana yang kesulitan menghadapi permintaan pasar domestik maupun ekspor. Mereka tidak menguasasi teknologi penghambat kematangan buah. Potensi pasar yang ada dipenuhi secara terbatas dengan produksi kakao maupun pisang yang dihasilkan dari teknologi yang ada. Di lain pihak, liberalisasi perdagangan yang berlangsung telah mampu mendekatkan produsen dengan konsumen dan mendorong petani untuk menghasilkan produk healthy food dari usahatani yang ada karena tuntutan standarisasi dan kualitas di pasar dunia.

3.3.    Penelitian untuk Penyusunan Strategi Ekonomi Nasional untuk Menghadapi Perdagangan Global

Sejak Indonesia bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO), banyak konsekuensi ekonomi dan sosial bagi sektor pertanian Indonesia secara keseluruhan, yaitu usahatani, pendapatan petani, serta terhadap pasar dan kesejahteraan konsumen. Sebagai anggota, Indonesia berkewajiban melakukan notifikasi dan usulan modalitas dalam Putaran Perundingan WTO yang telah memasuki masa kedua, yaitu Putaran Doha setelah Putaran Uruguay berakhir. Implikasi dari hasil-hasil penelitian ini menekankan betapa pentingnya penguatan dan peningkatan produksi dalam negeri, konsumsi produk domestik, maupun diversifikasi pangan.

Tim studi Hadi et al. (2004) mempelajari strategi dan kebijakan perdagangan pertanian pascakesepakatan pertanian dalam WTO terhadap beras dan tebu. Tim ini menyimpulkan bahwa penghapusan salah satu atau kedua kebijakan proteksi yang telah ditempuh pemerintah Indonesia untuk kedua komoditas ini berdampak negatif, yaitu menurunkan harga produsen, jumlah produksi, surplus produsen dan pendapatan petani, serta meningkatkan jumlah impor kedua komoditas tersebut secara signifikan. Penghapusan salah satu kebijakan, apalagi keduanya, akan menyebabkan usahatani padi dan tebu dan pabrik gula hancur, sehingga tingkat ketergantungan Indonesia pada pasar dunia yang tipis akan makin besar. Dampak pada komoditas gula akan lebih serius dibanding pada beras.

Khusus untuk kakao, kebijakan tarif saja atau kebijakan nontarif saja tampaknya tidak cukup untuk melindungi pertanian padi dan gula nasional. Ekspor kakao cenderung meningkat tetapi tetap didominasi oleh produk kakao biji, bukan kakao olahan. Ada kecenderungan pangsa volume ekspor kakao olahan meningkat tetapi belum siginifikan, sehingga perkembangan industri pengolahan (grinding) nasional juga lambat berkembang. Faktor penyebabnya adalah adanya eskalasi tarif impor di negara-negara tujuan ekspor dan adanya PPN 10 persen yang dikenakan terhadap kakao biji sebagai bahan baku industri pengolahan. Ini menyebabkan harganya menjadi mahal.

Strategi defensif dan strategi ofensif masih tetap perlu ditempuh oleh pemerintah Indonesia di masa depan. Strategi defensif diperlukan untuk melindungi pertanian dalam negeri yang masih lemah terhadap ancaman dari luar sekaligus memperkuat daya saing di pasar dalam negeri, sedangkan strategi ofensif diperlukan untuk memperkuat daya saing guna mendorong ekspor komoditas pertanian yang mempunyai keunggulan komparatif dan peluang pasar yang besar. Kebijakan yang diperlukan untuk pengembangan pertanian komoditas beras dan gula adalah dengan mempertahankan kebijakan proteksi yang selama ini ditempuh, yaitu pengenaan tarif impor sebesar Rp 430/kg untuk beras, Rp 550/kg untuk gula mentah, dan Rp 700/kg untuk gula putih. Ini perlu dikombinasikan dengan kebijakan non-tarif berupa pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor. Khusus untuk tebu dan gula, pemberian bantuan kredit kepada petani perlu dilanjutkan. Peningkatan efisiensi yang signifikan pada agribisnis beras dan gula akan dapat memperkuat daya saing kedua komoditas tersebut di pasar domestik guna menangkal serbuan produk impor. Kebijakan proteksi tidak mungkin dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang karena tuntutan globalisasi.

Pada tahun yang sama, Hutabarat et al. (2004) menyiapkan bahan advokasi yang lebih spesifik untuk perundingan perdagangan multilateral. Tujuannya agar pemerintah Indonesia menjadi tegas dalam berunding karena didasarkan atas hasil kajian dan analisis akademis yang kuat. Tim ini menyarankan mekanisme perlindungan dari serbuan impor. Apabila volume impor berada di atas nilai trennya atau harga berada di bawah nilai trennya, maka salah satu opsi dapat dipilih, yaitu: (1) bea masuk tambahan (surcharge) diberlakukan pada impor komoditas yang bersangkutan dan besarnya bea masuk tambahan ditetapkan paling tinggi sebesar 50 persen dari tarif yang berlaku; atau (2) besarnya volume yang dapat diimpor paling tinggi sebesar 50 persen dari rata-rata volume impor selama tiga periode di atas nilai tren volume impor. Sementara, apabila volume impor berada di bawah nilai trennya atau harga berada di atas nilai trennya, maka bea masuk tambahan atau pembatasan impor tidak perlu diberlakukan.

Selain itu, tim juga mengusulkan beberapa komoditas hasil penyaringan dengan menggunakan indeks Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan yang terkait dengan tenaga kerja di tiap sektor produk pangan. Hasilnya direkomendasikan ke dalam 10 kelompok produk yaitu daging, susu, beras, gula, jagung, buah-buahan dan sayur-sayuran, kedelai, makanan lainnya, unggas dan hasil-hasilnya, dan tepung lainnya. Kesepuluh produk ini perlu dilindungi dan diusulkan untuk mendapatkan perlakuan khusus dalam skema penurunan tarif. Indonesia disarankan agar tidak hanya memasukkan beras, gula, kedelai, dan jagung sebagai produk khusus yang perlu dilindungi.

Selain itu, kebijakan kuota tarif untuk beras dan gula direkomendasikan pula untuk memperbaiki neraca perdagangan. Sedangkan kuota tarif untuk susu kurang efektif karena cenderung merugikan konsumen selama impor susu masih tinggi. Indonesia disarankan tetap memakai Rumus Putaran Uruguay dalam menghitung besaran penurunan tarif di masing-masing kelompok tarif dam mengelompokan penurunan tarif berturut-turut 30 persen, 25 persen, 20 persen, dan 15 persen dan memilih alternatif dengan koefisien yang moderat, masing-masing sebesar 80; 65; 50; dan 35. Untuk produk khusus, koefisien cukup ditetapkan sebesar 95 atau paling rendah adalah 85.

Selanjutnya Malian et al. (2005) mendalami prospek pengembangan agroindustri di Provinsi Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Disimpulkan bahwa dalam sistem pemasaran lada putih, sistem informasi harga berlangsung satu arah dan petani hanya berperan sebagai penerima harga. Menghadapi pesaing Brazil dan India, kinerja ekspor lada Indonesia menunjukkan elastisitas harga positif dengan negara tujuan Singapura dan Belanda.

Sementara, untuk komoditas kelapa, produk agroindustri berbasis kelapa menunjukkan angka negatif untuk elastisitas harga, substitusi, dan pendapatan. Namun untuk tujuan ekspor Uni Emirat Arab,  diperoleh angka positif untuk elastisitas harga dan substitusi. Produk agroindustri berbasis teh hanya berelastisitas positif untuk harga dan pendapatan dengan negara tujuan Pakistan, sedangkan untuk tujuan ekspor lainnya bertanda negatif. Rekomendasi untuk pengembangan prospek ekspor agroindustri perkebunan ini adalah berupa pemberian insentif ekspor dalam bentuk keringanan dan pembebasan pajak (tax incentive).

Berbagai tantangan liberalisasi melatarbelakangi studi Hutabarat et al. (2006) yang  melakukan analisis notifikasi dalam kerangka modalitas perjanjian pertanian Indonesia dalam WTO. Berdasarkan hasil simulasi, diperoleh bahwa penurunan subsidi domestik negara maju sesuai dengan usulan yang diajukan kelompok negara 20, AS dan UE serta hasil Hongkong. Ditunjukkan pula bahwa harga-harga komoditas pertanian akan mengalami peningkatan, khususnya yang berasal dari negara maju, sehingga impor akan turun dan konsumen cenderung memilih komoditas domestik. Permintaan komoditas di tingkat rumah tangga juga akan turun terutama pada komoditas jenis biji-bijian yang mengandung minyak. Pemotongan tarif impor tidak serta-merta menunjukkan arah yang sama dampaknya terhadap produksi komoditas pertanian di Indonesia dan negara berkembang kelompok negara 33. Hampir semua produksi komoditas pertanian Indonesia akan turun. Akibat penurunan produksi ini, semua skenario penurunan tarif menunjukkan bahwa permintaan atau penggunaan masukan, terutama lahan, tenaga kerja tidak terdidik, dan modal akan menurun pula bagi komoditas-komoditas ini. Penurunan produksi beberapa komoditas pertanian di Indonesia menyebabkan defisit neraca perdagangan.

Tim ini merekomendasikan agar negara berkembang mendesak negara maju untuk memberi data yang sebenarnya, dan agar juga mendisiplinkan bantuan domestik agar tidak dengan mudah memindahkan subsidi dari satu kotak ke kotak yang lain. Penurunan bantuan domestik dan subsidi ekspor memiliki perbedaan dari berbagai macam akibat yang mencerminkan bahwa negara maju mudah melakukan tekanan-tekanan di berbagai sektor, sehingga pemerintah Indonesia harus waspada terhadap perubahan-perubahan usulan yang diinginkan kelompok negara maju. Seluruh skenario yang diusulkan mereka bermuara pada peningkatan produksi dalam negeri yang tidak berbasis pada kelayakan lahan, seperti gandum. Menghadapi ini, pemerintah dapat mensosialisasikan diversifikasi pangan lokal agar tidak tergantung dengan produk pangan impor. Hal ini tidak terletak pada tanggung jawab Kementerian Pertanian saja tetapi pada lintas kementerian yang dipimpin oleh Menteri Koordinator.

Lebih khusus, Sawit et al. (2006) merumuskan fleksibilitas penerapan mekanisme perlindungan khusus komoditas pertanian Indonesia apabila terjadi serbuan banjir impor, dan juga mengkaji ulang kebijakan bantuan domestik serta usulan produk khusus dalam kerangka WTO. Tim ini mengedepankan perlunya melindungi produk khusus di negara berkembang terutama karena skema penurunan tarif komoditas pangan dan masa penurunan tarif tidak mempertimbangkan bahwa produk khusus tersebut merupakan komoditas pangan yang kegiatan budidaya sampai dengan pascapanennya kuat kaitannya dengan pembangunan perdesaan, ketahanan pangan, dan ketahanan rumah tangga perdesaan.

Fleksibilitas bagi negara berkembang untuk menerapkan mekanisme perlindungan khusus dari sebuan impor adalah dua metode pendeteksi tekanan harga di pasar domestik sebagai akibat dari serbuan impor dan harga jatuh, yaitu pemicu volume (volume trigger) dan pemicu harga (price trigger). Usulan ini merupakan usulan Indonesia yang didasarkan pada kajian yang menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami serbuan impor dan kejatuhan harga dalam periode 1996-2005 untuk semua komoditas pangan terpilih tersebut.

Lonjakan impor yang besar terjadi pada komoditas beras (84%), jagung (72%), gula (50%), daging sapi (85%), pisang (161%), dan daging unggas (121%). Mekanisme perlindungan yang seharusnya diterapkan adalah menaikkan tingkat tarif sesuai dengan pengelompokan kejatuhan harga. Namun, tindakan atas lonjakan impor baru bisa dilakukan setelah terbukti terjadi serbuan impor tahun sebelumnya. Ini merupakan aksi yang sudah terlambat untuk mengatasi serbuan impor, sehingga harga pasti akan tertekan. Tindakan atas kejatuhan harga sebenarnya dapat lebih segera dilakukan, karena yang dilihat data bulanan. Pemakaian data harga lebih realistis, dan dapat terhindar dari data yang underestimate.

Perhitungan pengeluaran untuk Kotak Hijau (Green Box) sebagai bagian penting dari bantuan domestik Indonesia ternyata telah mengabaikan peran Pelayanan Umum (General Services/(GS). Padahal GS mampu membuat petani sempit dan miskin dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, sehingga membuat daya saing menjadi kuat. Pengeluaran GS jumlahnya terkonsentrasi pada bimbingan dan penyuluhan, dan hanya sedikit pengeluaran untuk infrastruktur, penelitian dan pengawasan serta promosi dan pemasaran. Pola yang sama juga dilakukan oleh Pemda. Data menunjukkan hanya 29 persen dana APBD yang dipakai untuk keperluan GS, dimana yang terbanyak dialokasikan untuk infrastruktur, bimbingan dan penyuluhan, serta promosi dan pemasaran.

Kebuntuan perundingan multilateral mendorong kesepakatan perdagangan kawasan yang lebih sempit secara regional atau bilateral. Hutabarat et al. (2009) melihat prospek kerja sama perdagangan pertanian Indonesia dengan Australia dan Selandia Baru. Disebutkan oleh tim ini bahwa produk pertanian yang dominan diekspor ke Australia dan Selandia Baru hampir sama, yaitu kopi, minyak kelapa sawit, kakao, dan karet. Pesaing utama Indonesia di kedua pasar tersebut juga sama, yaitu Malaysia dan Thailand. Indonesia menunjukkan kecenderungan untuk mengkonsentrasikan ekspor di Australia untuk industri pertanian, industri plastik dan karet, serta tekstil dan produk tekstil. Indonesia belum tampak mengonsentrasikan pada industri khusus di pasar Selandia Baru, tetapi kecenderungan yang terjadi mirip dengan konsentrasi industri di pasar Australia. Australia dan Selandia Baru merupakan sumber impor ternak dan produknya serta susu dan produk susu bagi Indonesia.

Kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru dan Indonesia-Australia-Selandia Baru memberi kesadaran baru bagi Indonesia bahwa ada potensi pasar domestik yang sangat besar dan prospektif bagi produsen susu segar domestik untuk digali lebih lanjut. Produksi domestik memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dari segi kesegaran dan jarak produksi-konsumsi yang menjadi faktor penting dalam mutu susu dan produk susu, dibandingkan dengan produksi yang berasal dari Australia dan Selandia Baru. Perdagangan dengan Australia dan Selandia Baru diperkirakan akan berdampak merugikan petani serta peternak domestik bila tidak dilakukan upaya pembatasan impor dan perlindungan. Ketergantung Indonesia terhadap impor produk pertanian dari Australia dan Selandia Baru tidak terlalu besar, masing-masing hanya 5 persen dan 0,6 persen dari impor total Indonesia dalam masa 1996-2007. Namun kedua negara tersebut semakin mendominasi sumber impor pangan Indonesia. Kedua negara tetangga ini tidak hanya paling dekat dengan Indonesia, tetapi juga mampu menghasilkan produk pangan yang bermutu dengan harga bersaing, didukung industri hilir yang kuat. Diperkirakan impor pangan dari kedua negara tersebut akan terus meningkat bila kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru dan Indonesia-Australia-Selandia Baru dijalankan.

3.4. Penentuan Komoditas Unggulan

Komoditas unggulan merupakan salah satu konsep strategi pengembangan agribisnis di Kementerian Pertanian. Komoditas dikembangkan berdasarkan prospek ekonomi dan dukungan agroekosistem dan unsur teknis komoditas. Penentuan komoditas unggulan di beberapa provinsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Siregar et al. (2003) melakukannya dengan sistem peringkat produksi dan volume perdagangan di pasar domestik. Sedangkan Syafa’at et al. (2005) dan Kustiari et al. (2009) melakukannya dengan teknik proyeksi permintaan dan penawaran komoditas. Hasil kajian ini berupa sekelompok komoditas yang mempunyai pangsa pasar domestik dan ekspor yang tinggi dan tidak mengalami defisit perdagangan luar negeri. Komoditas unggulan banyak didominasi oleh komoditas tanaman hortikultura, yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan.

Siregar et al. (2003) yang mengkaji komoditas unggulan menyebutkan bahwa lima peringkat tertinggi komoditas hortikultura unggulan nasional secara berturut-turut adalah bawang merah, kubis dan sejenisnya, kacang-kacangan, cabe merah, dan kentang. Kelima komoditas unggulan tersebut mempunyai wilayah sentra yang berbeda-beda. Komoditas bawang merah adalah Jawa Timur. Jawa Barat mempunyai beberapa sentra tanaman hortikultura unggulan, yaitu bawang merah, kubis, dan kentang di Kabupaten Bandung, serta kacang-kacangan dan cabe di Kabupaten Garut. Untuk Sumatera Utara adalah bawang merah dan kacang-kacangan di Kabupaten Simalungun, sedangkan untuk komoditas kubis dan sejenisnya, cabe, dan kentang adalah Kabupaten Karo.

Pengembangan komoditas sayuran di Jawa Barat menghadapi hambatan dalam aspek sumber daya manusia. Sedangkan di Sumatera Utara lima aspek bersifat mendukung pengembangan agribisnis, yaitu sumber daya manusia, teknologi, pemasaran, pelayanan pemerintah, dan koordinasi integrasi; sedangkan permodalan, kebijakan dan peraturan regional, serta pengadaan input bersifat membatasi.

Syafa’at et al. (2005) yang menggunakan model permintaan dan penawaran menemukan bahwa produksi padi (setara beras) diproyeksikan akan meningkat lebih tinggi dibandingkan konsumsi beras, sehingga memberi optimisme bahwa Indonesia akan mengalami surplus beras sepanjang tahun. Produksi jagung dan ubi kayu diproyeksikan akan tumbuh naik lebih cepat daripada tingkat konsumsi, sehingga akan dicapai surplus. Namun produksi kedelai diproyeksikan tumbuh 20 kali lebih rendah dibandingkan konsumsinya, sehingga defisit akan terus meningkat.

Komoditas bawang merah, kentang, dan pisang diproyeksikan meningkat lebih cepat daripada konsumsinya, sehingga diproyeksikan akan terjadi surplus dan tercapai swasembada. Namun cabai dan jeruk akan mengalami penurunan surplus. Produksi minyak kelapa sawit, kakao, kakao, kopi, dan teh pun diproyeksikan lebih tinggi dibandingkan konsumsinya, sehingga komoditas tersebut akan mengalami surplus. Namun, pertumbuhan produksi gula diproyeksikan lebih rendah daripada konsumsinya, sehingga terjadi peningkatan defisit dan perlu dilakukan penggunaan bibit unggul baru dengan produktivias tinggi, pemupukan, bongkar ratoon dan rehabilitasi pabrik-pabrik gula yang sudah tua.

Produksi daging sapi, daging ayam, dan daging kerbau diproyeksikan meningkat dengan laju lebih rendah daripada laju pertumbuhan konsumsi, sehingga ketiganya akan mengalami penurunan surplus. Namun, produksi daging babi dan telur ayam diproyeksikan akan meningkat lebih cepat daripada konsumsi, sehingga akan terjadi peningkatan surplus produksi.

Secara umum, komoditas pertanian utama mengalami surplus kecuali kedelai, gula, cabai, dan jeruk. Namun demikian hasil proyeksi tersebut masih di bawah angka target dalam Renstra Departemen Pertanian.

Kustiari et al. (2009) menggunakan proyeksi jangka pendek dan panjang model permintaan dan penawaran untuk komoditas yang telah dikaji Syafa’at et al. (2005) dan hasilnya masih konsisten dan sejalan dengan temuan sebelumnya. Kustiari et al. (2009) lebih menekankan bahwa dalam rangka ketahanan pangan, maka perlu swasembada berkelanjutan untuk bahan pangan utama. Khusus untuk kedelai diperkirakan mengalami kenaikan harga menjelang tahun 2014, sehingga cara mengatasinya adalah pengembangan areal dan produksi.

3.5. Penelitian Rantai Pasok

Mempelajari suatu komoditas tidak cukup hanya dari sisi keunggulan dan pasarnya, namun juga siapa saja yang terlibat dalam setiap mata rantai pemasaran dimulai dari petani sampai dengan konsumen akhir. Kuantitas dan bentuk barang yang diperdagangkan pun telah dikaji secara mendalam untuk komoditas unggulan daerah. Kelembagaan pemasaran, permodalan serta masalah dan faktor pendukung pengembangan komoditas lengkap disajikan dalam tiap temuan penelitian rantai pasok komoditas pertanian. Hasil kajian menunjukkan bahwa pola usaha kecil yang didominasi oleh rakyat menjadi pola umum dalam kelembagaan usaha tani dan ternak serta pemasarannya.

Saptana et al. (2006) mendalami rantai pasok hortikultura di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali yakni pola kemitraan perdagangan umum dan pola kontrak dalam pemasaran kentang. Tim ini menemukan struktur pasar kentang adalah monopsoni berhadapan dengan monopoli. Hal ini menimbulkan ketidakberdayaan petani kecil. Dalam rantai pasok semangka dan melon, harga dibentuk berdasarkan harga pasar tujuan utama pemasaran (induk). Pola kemitraan dengan pasar modern hanya menawarkan jenis transaksi penjualan kolektif, dimana posisi kelompok tani adalah sebagai “himpunan petani penjual”.

Rusastra et al. (2006) yang mempelajari rantai pasok komoditas peternakan menyimpulkan bahwa kelembagaan usaha ternak sapi potong ada dua jenis, yaitu rakyat dan perusahaan. Sedangkan untuk industri pengolahan berbahan baku daging sapi, ada tiga skala yaitu skala besar, sedang, dan skala rumahtangga. Semakin besar skala usahanya maka akan muncul dokumen kontrak tentang volume, ketepatan waktu, mutu, harga, dan persyaratan kesehatan. Keterkaitan fungsional maupun institusional kelembagaan terkait dengan industri pengolahan bersifat positif dan memberi keuntungan proporsional, sehingga tidak memerlukan kelembagaan baru. Peternakan unggas berpeluang dikembangkan melalui peningkatan produksi ayam ras pedaging. Namun, pembatasan lalulintas broiler untuk mencegah wabah flu burung telah mempersulit pengembangan usaha ternak broiler. Sementara, adanya surplus dan defisit tidak dapat dimanfaatkan untuk menjaga stabilitas harga antara daerah produsen dan konsumen.

Fluktuasi harga dalam perdagangan broiler hidup bersifat bulanan, mingguan, bahkan harian. Struktur pasar telur di pasar konvensional adalah persaingan sempurna antara para pelaku agribisnis. Pola usaha ternak ayam ras petelur sama seperti sapi potong, yaitu pola rakyat dan perusahaan.

 

****

Tidak ada komentar: