Jumlah pe-longok :

Rabu, 10 Februari 2016

Hasil-Hasil Penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS)

(Bagian dari Buku: PSEKP. 2013. “37 Tahun Penelitian PSEKP”) 

BAB XI. PENELITIAN PATANAS (PANEL PETANI NASIONAL) 

Penelitian Patanas merupakan penelitian berseri yang khas dari PSE-KP. Penelitian ini dijalankan dalam jangka panjang dan dengan jumlah sampel yang jauh lebih banyak dibandingkan riset-riset lainnya. Selain itu, variabel yang dikaji juga relatif tetap. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang lebih kuat, dan dalam konteks tertentu untuk melengkapi data pertanian nasional.

Beberapa variabel yang selalu dilihat dalam penelitian Patanas adalah penguasaan aset petani, produktivitas usahatani terutama komoditas utama, kesempatan kerja dan migrasi, upah dan pendapatan, serta konsumsi dan pengeluaran rumah tangga petani. Penelitian Patanas hampir tiap tahun dijalankan, namun pada paparan berikut ini hanya disampaikan hasil-hasil penelitian selama 10 tahun terakhir, yang disusun berdasarkan objek dan tahun penelitian. Dapat diinformasikan pula bahwa buku yang memuat hasil-hasil penelitian Patanas yang lebih lengkap akan segera disusun.

11.1. Struktur Sosial Ekonomi Perdesaan

Kondisi sosial ekonomi yang dihadapi menjadi struktur yang melingkupi sekelompok masyarakat, yang berperan sekaligus sebagai pemberi peluang (empower) namun juga sebagai penghambat  (constrain) perkembangan masyarakat tersebut.  Penelitian Hadi et al. (2003) menganalisis dinamika sruktur sosial-ekonomi masyarakat perdesaan sebagai bentuk re-Sensus Patanas. Dari data yang terkumpul diketahui bahwa di daerah yang berbasis tanaman pangan, penghasilan utama masyarakatnya berasal dari nonpertanian, dan mereka banyak bermigrasi ke luar desa. Sebaliknya di daerah yang berbasis tanaman nonpangan, penghasilan utama masyarakatnya berasal dari hortikultura dan tebu.

Dari sisi agraria, sistem penggarapan lahan berubah dari sistem yang lebih sosial menjadi agak komersial. Demikian juga dalam hal hubungan kerja.  Kebiasaan kerja gotong royong hampir hilang, dan berubah menjadi sistem borongan atau upah harian. Perubahan pola upah dan sistem panen merupakan indikator penting yang menunjukkan telah terjadinya perubahan mendasar dalam relasi sosial di perdesaan, dari bercorak komunalitas ke individualitas.

Sumber permodalan utama petani umumnya dari modal sendiri. Permodalan dari kredit perseorangan tersedia namun bunganya sangat tinggi. Walaupun berbunga tinggi, karena kemudahannya banyak petani memanfaatkan pinjaman semacam ini. Kondisi asset nonpertanian seperti rumah, sanitasi, dan penerangan semakin meningkat kualitasnya.

Sementara, teknologi pengusahaan lahan dan ternak belum banyak berubah. Karena itu, perlu digiatkan introduksi teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas pertanian, pemberian bantuan kredit dengan bunga rendah, serta pembangunan agroindustri yang berbasis bahan baku lokal. Mengingat tingginya suplai tenaga kerja di desa, maka seluruh teknologi yang ditawarkan diutamakan yang bersifat padat karya.

Tahun berikutnya, penelitian Nurmanaf et al.  (2004) juga tentang struktur sosial ekonomi masyarakat perdesaan. Sebagaimana sudah banyak disampaikan dari data statistik, sebagian lahan yang diusahakan petani bukan lahan milik. Petani menjadi menyakap, menyewa lahan petani lain, atau menggarap dengan status lainnya. Ditemukan pula semakin maraknya fenomena migrasi tenaga kerja yang sebagian besar ke sektor informal di perkotaan, akibat terbatasnya keterampilan dan permodalan.

Dari sisi kesempatan kerja, sektor pertanian masih merupakan sumber pendapatan yang dominan, akan tetapi perannya semakin tergeser oleh sektor nonpertanian. Ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga ditemukan terutama di desa-desa berbasis lahan sawah.  Ketimpangan ini diakibatkan oleh ketimpangan pemilikan lahan yang ditunjukkan besarnya angka Indeks Gini. Satu hal menarik, pengeluaran rumah tangga secara nominal lebih tinggi di desa-desa berbasis lahan kering dibandingkan di desa-desa berbasis sawah.

11.2. Besar dan Bentuk Penguasaan Aset Lahan Usaha

Struktur penguasaan aset petani mengalami perubahan baik dari sisi besaran maupun sifatnya. Penelitian Nurmanaf et al.  (2004) mendapatkan bahwa sebagian lahan yang diusahakan petani bukan lahan miliknya sendiri. Banyak petani yang sudah berstatus penyakap. Ironisnya, mereka menyakap di atas lahan yang dulu adalah miliknya pribadi. Penelitian Sayaka et al. (2004) di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan NTB menemukan data bahwa distribusi kempemilikan lahan relatif tidak ada ketimpangan yang besar.

Selanjutnya, penelitian Irawan et al. (2007) menunjukkan bahwa pemilikan lahan di Jawa lebih sempit dibandingkan dengan luar Jawa (0,524 ha vs 0,528 ha), namun rataan kepemilikan sawah di Jawa lebih luas dibandingkan dengan di Luar Jawa (0,451 ha vs 0,338 ha). Ketimpangan distribusi pengusaan sawah di Jawa lebih besar dibandingkan dengan luar Jawa. Di Jawa 17,6 persen petani menguasai 60 persen luasan sawah yang ada, sedangkan di luar Jawa 25 pesen petani menguasai 60 persen luas sawah yang tersedia. Penelitian ini dilakukan di bawah topik analisis indikator pembangunan pertanian dan perdesaan. Analisis dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dimana pengambilan berupa purposive sampling dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang tersebar berdasarkan luas penguasaan lahan.  Sebaran lasan lahan didasakan pada data blok-blok Sensus Pertanian 2003.

Berikutnya adalah penelitian Lokollo et al.  (2007) yang melakukan perbandingan antar Sensus Pertanian. Metode PPA (Participatory Prospective Analysis) digunakan untuk menganalisis dinamika sosial ekonomi perdesaan secara utuh dan memperkirakan kondisi di masa mendatang melalui alternatif-alternatif yang ada. Ditemukan bahwa ketimpangan distribusi pengusaan lahan meningkat cukup tinggi, yakni dari 0,5481 di tahun 1973 menjadi 0,7171 di tahun 2003. Petumbuhan petani gurem (pengusaan lahan <0,5 ha) meningkat sebesar 2,39 persen per tahun.

Tim penelitian ini menemukan pula bahwa kekhawatiran akan alih fungsi lahan pertanian cukup beralasan karena terjadi pada lahan pertanian produktif dan penggunaan di luar sektor pertanian, serta terjadi pada wilayah dengan infrastruktur baik. Dalam kompetisi global yang tinggi dan terbatasnya pilihan investasi sektor nonpertanian, eksistensi alih fungsi lahan pertanian tersebut tidak dapat dihindari. Pilihan kebijakan yang dapat dipertimbangkan untuk mengantisipasi permasalahan tersebut diantaranya adalah: (1) pengembangan usahatani bernilai ekonomi tinggi (khususnya di Jawa) dengan aplikasi teknologi dan manajemen modern untuk mencapai produktivitas dan efisiensi yang tinggi; (2) pengembangan sistem irigasi secara bertahap dan pemanfaatan potensi sistem irigasi yang ada secara maksimal; dan (3) pengembangan lahan pertanian baru di luar Jawa.

Khusus untuk desa berbasiskan palawija dan sayuran di lahan kering, penelitian Kustiari et al. (2008) mengambil sampel 12 desa dari 50 desa Patanas. Agak berbeda dengan temuan lain, studi ini mendapatkan bahwa sebagian besar petani menggarap lahan yang dikuasai. Petani palawija menggarap 95 persen dari lahan yang dikuasai, sedangkan petani sayuran menggarap 91 persen. Luasan pemilikan lahan terbesar berada pada kelas pengusaaan lahan 0,01-0,25 ha yakni sebanyak 39 persen, kelas 0,26-0,50 ha sebanyak 17 persen, kelas 0,51-1,00 ha sebanyak 21 persen, dan sisanya pada kelas di atas 1,00 ha.

Dalam konteks yang relatif serupa, penelitian Susilowati et al. (2008) juga mempelajari karakteristik sosial ekonomi petani khususnya tentang penguasaan lahan dan tenaga kerja. Mereka mendapatkan bahwa struktur pemilikan lahan oleh rumah tangga terkonsentrasi pada kelas luas lahan kurang dari 0,25 ha.  Hal ini umum dijumpai pada agroekosistem sawah dan lahan kering berbasis tanaman pangan. Selama periode 1995-2007 pemilikan lahan cenderung menurun, terutama terjadi di Jawa.  Penurunan luas kepemilikan lahan seiring dengan konversi lahan yang semakin meningkat. Perubahan struktur pemilikan lahan berpengaruh terhadap perubahan pola hubungan kerja yang diterapkan, dimana sistem gotong royong semakin tidak populer.

Ditemukan pula bahwa luas penguasaan rumah tangga perdesaan di Pulau Jawa tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan, sedangkan di Luar Jawa berpengaruh nyata. Hal ini terkait dengan peranan sektor nonpertanian dalam struktur pendapatan rumah tangga.

Penelitian yang lebih baru dilakukan oleh Susilowati et al.  (2009) dengan topik yang sama yaitu mempelajari indikator pembangunan pertanian dan perdesaan. Desa contoh dari studi ini merupakan sub-set desa contoh Patanas terdahulu yang merupakan contoh desa komoditas kakao, kelapa sawit, karet, dan tebu.

Pada desa-desa sampel ini, lebih dari 80 petani merupakan petani pemilik-penggarap. Sudah banyak berkembang pola sewa, sakap, dan gadai. Jika dibandingkan antarkomoditas, kepemilikan luas lahan petani karet adalah yang terbesar (2,7-3,1 ha/KK), diikuti petani kelapa sawit (2,3-2,7 ha) dan terakhir petani tebu (0,3-0,6 ha). Angka Indeks Gini menunjukkan ketimpangan lahan yang rendah untuk karet, ketimpangan sedang untuk komoditas kakao dan kelapa sawit, dan ketimpangan tinggi untuk komoditas tebu.

Terakhir, penelitian Susilowati et al. (2010) dengan topik sama yang dijalankan pada 14 kabupaten di Provinsi Sumut, Jabar, Jatim, dan Sulsel, dengan cakupan analisis untuk periode tahun 2007 sampai 2010.  Ditemukan bahwa pemilikan lahan cenderung mengarah ke polarisasi dan distribusi pemilikan semakin timpang. Polarisasi ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan luas pemilikan lahan pada kelompok luas di bawah 0,5 ha dan di atas 1,25 ha.

11.3.  Penggunaan Teknologi, Produksi, dan Produktivitas Usahatani

Penelitian Irawan et al.  (2003) dijalankan untuk mengetahui  penyebab perlambatan produksi komoditas tanaman utama di Indonesia. Komoditas yang dikaji dalam penelitian ini meliputi padi sawah, padi ladang, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar. Kajian dilakukan di Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Komoditas yang mengalami perlambatan laju poduksi umumnya terjadi di Luar Jawa dan terjadi pada empat komoditas yaitu padi sawah, kedelai, kacang tanah, dan ubi kayu. Perlambatan laju produksi padi disebabkan oleh perlambatan laju produktivitas, mutu usahatani, dan kelelahan lahan. Perlambatan laju luas lahan bukan karena peralihan perubahan pola tanam dari padi ke komoditas lain. Dengan kondisi ini, disarankan untuk memindahkan sentra produksi dari Jawa ke luar Jawa. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang mempertimbangkan apakah daerah tersebut daera sentra dan penyangga, dan perlunya pula memanfaatkan lahan tidur yang potensinya sangat besar. Saran dari penelitian ini akhirnya direalisasikan salah satunya dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Relatif serupa dengan ini adalah penelitian Sayaka et al. (2004) tentang penurunan dan ketidakstabilan produksi padi. Ketidakstabilan produksi nasional dan regional diestimasi dengan koefisien Gini, sementara kesenjangan hasil padi diukur dengan metode ALES (Automated Land Evaluation System), dan efisiensi produksi didekati dengan fungsi produksi frontier.

Data yang terkumpul menunjukkan telah terjadi pelandaian total produksi padi. Usahatani padi masih mendatangkan keuntungan dengan kisaran antara Rp 1,2 juta sampai Rp 2,9 juta per ha, dimana efisiensi teknis rata-rata sebesar 67,5 persen.  IP padi berkisar antara 100 sampai dengan 140 persen. Direkomendasikan bahwa peningkatan produksi di lahan sub optimal dapat ditempuh dengan meningkatkan efisiensi dan menambah indeks pertanaman padi. Pemerintah tidak perlu terlibat langsung dalam penyaluran sarana produksi, yang lebih diperlukan adalah membuat iklim usaha yang lebih baik.

Satu penelitian lain, oleh Irawan et al. (2007) menemukan bahwa indeks pertanaman padi umumnya mencapai 200-300 persen. Penggunaan benih sebagian besar menggunakan benih sendiri atau merupakan benih tanpa label.  Varitas padi yang dominan di lapangan adalah Ciherang dan IR-64. Penggunaan Alsintan pada umumnya hanya untuk pengolahan tanah dan panen (untuk merontok gabah), sedangkan untuk yang lainnya masih menggunakan tenaga manusia. Keuntungan usahatani padi sangat menarik, dimana nilai R/C padi mencapai 3,03.

Untuk teknologi yang lain, hampir semua petani menggunakan pupuk pabrikan, terutama urea. Ke depan, untuk peningkatan produktivitas padi, pemerintah perlu memberikan benih gratis yang berguna selain meringankan petani adalah untuk mempercepat adopsi teknologi baru, melakukan pengendalian harga gabah, disertai dengan peningkatan jumlah penyuluh pertanian.

Sementara, tim penelitian Lokollo et al. (2007) menemukan bahwa adopsi teknologi oleh petani bervariasi menurut komoditas.  Penggunaan benih padi, jagung, dan kedelai yang berasal dari pembelian cenderung meningkat. Pupuk urea masih mendominasi jenis penggunaan pupuk, dibandingkan pupuk TSP/SP36 dan KCl.  Namun  demikian, ada indikasi ke penggunaan pupuk yang semakin berimbang.

Pada sektor peternakan, penggunaan pakan pabrikan masih mendominasi, walaupun demikian penggunaan pakan hijauan juga ada peningkatan. Secara umum, pemanfaatan kredit untuk pemenuhan modal usaha selama periode 30 tahun terakhir cenderung meningkat, sedangkan pemanfaatan pegadaian cenderung menurun.

Relatif sejalan dengan temuan ini, petani sesungguhnya telah  memahami semua tentang standard dan anjuran  teknologi usahatani. Kondisi ini ditemukan  di setiap wilayah studi, namun belum semua petani  menerapkan anjuran tersebut (Susilowati et al., 2009).  Kendalanya adalah pada harga dan ketersediaan teknologi di level petani yang belum optimal.

11.4. Kesempatan Kerja, Upah, dan Pendapatan RT

Dari beberapa penelitian dengan topik ini, yang disusun berdasarkan tahun kegiatan, penelitian Rusastra et al. (2004) tentang ketenagakerjaan menemukan bahwa sektor pertanian di daerah sampel masih merupakan sumber kesempatan kerja dominan. Indikator pembangunan SDM (HDI) dan indikator kemiskinan (HPI) merupakan indikasi kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Keterkaitan  HDI dengan kesempatan kerja dan HPI di tingkat nasional dan regional lokasi penelitian (Jateng dan Sulsel) menunjukkan tidak adanya pembedaan yang berarti pada indikator HDI secara regional (kabupaten dan provinsi). Perbedaan kinerja kesempatan kerja dan PDB nampak terkait dengan masalah ketersediaan dan akses ekonomi serta iklim investasi. Konsekwensinya, pengembangan kemampuan SDM (HDI) harus bersifat komplemen dengan pengembangan investasi dan sektor riil. Ragam kesempatan kerja dan pendapatan yang lebih baik di Jawa, ternyata diikuti oleh indek kemiskinan yang lebih rendah.

Perekonomian nasional didominasi oleh sektor pertanian dan sektor informal dengan kelembagaan pasar tenaga kerja yang relatif longgar dan bersifat adaptif. Sektor pertanian dengan sifatnya yang akomodatif menampung tenaga kerja melebihi kapasitasnya, dengan beban pengangguran terselubung yang tinggi. Disamping pengangguran yang bersifat terbuka yang besarnya sekitar 9 juta orang, proporsi setengah pengangguran di sektor pertanian (2000-2003) mencapai sekitar 31,14 persen. Hal ini berdampak terhadap rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian.

Tidak dijumpai konvergensi upah antarsektor (pertanian, manufktur, dan jasa) dan wilayah. Pasar tenaga kerja ditentukan oleh akses ekonomi wilayah, jenis komoditas yang diusahakan, dan dinamika kelembagaan lokal. Dinamika kelembagaan sistem pengupahan menunjukkan kecenderungan pergeseran ke sistem borongan dan harian. Kecuali kegiatan tanam dan menyiang di Selli (Bone, yang basis padi), sistem pengupahan harian dan borongan merupakan pola umum yang sedang berkembang. Sistem pengupahan menjadi semakin formal dengan antisipasi akan semakin menurunnya fleksibilitas pasar tenaga kerja. Namun, masuk pasar tenaga kerja pertanian tetap bersifat terbuka.

Usahatani padi bersifat padat tenaga kerja dengan kecenderungan menurun pangsa biaya tenaga kerjanya, sedangkan usahatani jagung dan kentang bersifat padat modal. Respon tenaga kerja terhadap produksi untuk padi, jagung, dan kentang bersifat inelastis. Secara umum elastisitas tenaga kerja yang padat modal nilainya lebih baik. Ini menunjukkan bahwa involusi pertanian masih berlangsung.

Berikutnya adalah penelitian Malian et al. (2004) dengan objek pada aset, kesempatan kerja, dan pendapatan rumah tangga. Mereka menemukan bahwa luasan kepemilikan lahan semakin menurun, yakni dari 1,05 ha per rumah tangga pada tahun 1963 menjadi 0,86 ha per rumah tangga pada tahun 1983. Petani penyakap semakin bertambah, sehingga usaha peningkatan pendapatan petani semakin sulit, karena bagian yang didapatkan lebih kecil jika dibandingkan dengan milik sendiri. Penggunaan Alsintan cenderung menggunakan alat yang lebih kecil, karena harga yang lebih murah dan lebih mudah pengoperasiannya.

Selama periode 1985-2003, perubahan pangsa pekerja sektor pertanian relatif kecil yang hanya berkisar antara 40-55 persen. Jumlah pekerja pertanian dan pertanian terkonsentrasi di Indonesia bagian barat, dimana 90 persen  pekerja yang masuk ke Sumatera berasal dari Jawa, dan sebaliknya sebanyak 68,8 persen pekerja yang masuk ke Jawa berasal dari Sumatera. Lebih dari 80 persen sumber pendapatan rumah tangga petani di Indonesia berasal dari usahatani, 12 persen dari berburuh tani dan sisanya (8%) berasal dari kegiatan nonusahatani.

Selama 1975-2000 telah terjadi kesenjangan upah dan gaji antara rumah tangga pertanian dan nonpertanian. Sebelum krisis (1997) rasio pendapatan golongan nonpertanian dengan buruh tani berkisar antara 6 sampai 8.

Penelitian Saliem et al. (2005), mendapatkan hal yang sama bahwa sektor pertanian masih merupakan penyedia lapangan kerja terbesar, dimana yang paling dominan adalah pada subsektor padi, subsektor tanaman sayuran, dan buah–buahan. Meskipun kontribusi sektor pertanian dalam penyediaan lapangan kerja masih dominan, tetapi kontribusinya dalam penciptaan nilai tambah bruto menurun. Ketimpangan kompensasi terhadap tenaga kerja antarsektor dilihat dengan cara membagi total gaji dan upah pada masing-masing sektor tersebut dengan jumlah tenaga kerja yang diserap disektor lain. Dari penelitian ini dihasilkan kesimpulan bahwa peningkatan kompensasi tenaga kerja di sektor pertanian sangat kecil dan lebih rendah dari sektor lain.

Hasil analisis menunjukkan bahwa ragam kegiatan ekonomi semakin meningkat. Namun separuh dari rumah tangga petani berpendapatan di bawah 5 juta rupiah per tahun. Dan dinamika kependudukan dan perekonomian di tingkat desa relatif searah dengan perkembangan di tingkat wilayah yang lebih tinggi. Perubahan struktur pendapatan rumah tangga bervariasi tidak hanya menurut lokasi (desa-kota), tetapi juga menurut kelas pendapatan, sumber mata pencaharian utama KK maupun agroekosistem wilayah. Terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendapatan semakin rendah pangsa pendapatan yang berasal dari sektor pertanian. Analisis indeks entropy di tingkat rumah tangga mengindikasikan diversifikasi sumber pendapatan rumah tangga bervariasi menurut lokasi (desa-kota), kelompok pendapatan, sumber mata pencaharian utama KK, maupun daerah.

Hasil penelitian Irawan et al. (2007) menyebutkan bahwa tingkat pengangguran di Jawa lebih rendah dibandingkan dengan di Luar Jawa (21  vs 34 persen). Alokasi tenaga kerja untuk kegiatan usahatani hanya berkisar 30-40 persen, dan sisanya untuk usaha nonpertanian. Artinya, kesempatan kerja di perdesaan tidak lagi bergantung sepenuhnya pada kegiatan di pertanian, karena telah berkembang pula kesempatan lain. Sementara, dari sisi sistem pengupahan, upah borongan (60 persen) lebih mendominasi dibanding bentuk pengupahan yang lain yakni upah harian dan sambatan. Sumber pendapatan utama petani reponden adalah dari pertanian, yakni sekiar 59-98 persen.

Sejalan dengan ini, penelitian Lokollo et al.  (2007) juga mendapatkan bawa sumber pendapatan yang dominan pada responden masih dari sektor pertanian, secara rata-rata mencapai 60,49 persen. Penelitian ini mendapatkan bahwa proporsi petani menurun, tapi proposi buruh tani dan nonpertanian meningkat.  Subsektor tanaman pangan ternyata lebih mendominasi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dibanding yang lain. Penduduk usia muda tampaknya kurang tertarik berprofesi di sektor pertanian, yang ditunjukkan oleh penurunan jumlah tenaga kerja umur muda di sektor pertanian, di lain pihak pekerja usia lanjut cenderung meningkat.

Selama periode 20 tahun (1983-2003) secara umum akses petani ke sarana kesehatan cenderung stabil.  Petani di Jawa lebih dominan memakai pelayanan praktek umum, sedangkan di Luar Jawa lebih memanfaatkan rumah sakit.

Penggunaan metode Participatory Prospective Analysis (PPA) untuk melihat keadaan tahun 2020 menghasilkan tiga skenario.  Secara umum ketiga skenario tersebut dengan kondisi di mana peran pemerintah masih sangat diperlukan untuk pembangunan pertanian dan perdesaan. Peran pemerintah yang diperlukan baik dalam menciptakan kondisi yang kondusif terhadap kebijakan, investasi, pembangunan infrastruktur, konservasi lahan dan air, serta melakukan lobi pada negara-negara anggota WTO untuk melakukan perlawanan terhadap negara-negara maju, dalam rangka menciptakan keadaan yang kondusif untuk mencapai efesiensi produksi pertanian dan pembangunan perdesaan. Untuk meningkatkan pendapatan sektor pertanian, agar sektor ini tidak diberi beban yang besar untuk menyerap tenaga kerja perdesaan yang pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah (unskilled-labor). Dukungan pemerintah terhadap sektor tersebut seharusnya lebih dapat dioptimalkan terutama untuk penyediaan infrastruktur perdesaan. 

Dapat pula ditambahkan bahwa dari studi Susilowati et al.  (2008), tingkat pendapatan rumah tangga petani di agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan secara umum lebih tinggi dibanding agroekosistem lain. Hal ini karena penguasaan lahan yang lebih luas per rumah tangga petani. Secara  umum, luas penguasaan rumah tangga perdesaan di Jawa tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan, sedangkan di Luar Jawa berpengaruh nyata. Hal ini terkait  dengan peranan sektor nonpertanian dalam struktur pendapatan rumah tangga.

Ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga yang tertinggi terdapat pada komoditas padi sawah dan ketimpangan terendah terdapat di komoditas perkebunan. Terdapat pengaruh nyata distribusi pemilikan lahan terhadap distribusi pendapatan rumah tangga petani. Dengan kata lain, distribusi pemilikan lahan merupakan determinan distribusi pendapatan rumah tangga petani. Sementara, distribusi pemilikan lahan dan pendapatan tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas usahatani, namun lebih pada harga gabah dan tingkat intensifikasi usahatani. 

Partisipasi kerja rumah tangga cenderung berubah dari kegiatan usahatani ke nonpertanian. Pekerja muda dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, atau pada petani dengan pemilikan lahan lebih sempit; cenderung bekerja campuran dengan mengkombinasikan pekerjaan di pertanian dengan di luar pertanian. Banyak pula yang mengandalkan di sektor luar pertanian. Sementara, petani dengan tingkat pendidikan rendah (di bawah 3 tahun), lebih banyak terlibat di kegiatan buruh tani dan usahatani. 

Terdapat fenomena “aging farmer”  yakni semakin menuanya umur petani. Namun, umur yang tua tidak berpengaruh nyata dalam produktivitas usahatani, bahkan terdapat indikasi (meskipun lemah) bahwa petani yang lebih tua mampu menghasilkan produktivitas lebih karena faktor kapabilitas manajerial dan pengalaman yang tinggi. Faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi peluang petani bermigrasi untuk buruh migran adalah faktor yang melekat pada individu, sedangkan bagi pengusaha migran lebih banyak dipengaruhi oleh faktor penciri rumah tangga.

Penelitian Haeruman et al. (2008) mempelajari dampak diversifikasi usahatani terhadap ketahanan pangan dan pendapatan petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani cenderung semakin terdiversifikasi pada lahan dengan ketersediaan air cukup.  Ketersediaan lahan dengan air yang cukup diperlukan dalam melakukan diversifikasi agar tanaman memiliki peluang besar untuk menghasilkan. Diversifikasi berpengaruh positif terhadap pendapatan maupun ketahanan pangan walaupun dengan derajat pengaruh yang kecil.  Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengintegrasikan usaha diversifikasi dengan pengembangan pasar. 

Terakhir, penelitian Kusnadi et al. (2008) tentang marketable surplus beras. Secara umum studi ini menunjukkan bahwa berdasarkan besaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketable surplus telah terjadi perubahan orientasi petani dalam mengusahakan padi dari subsisten ke arah komersial sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat dan ketersediaan infrastruktur. Namun demikian, ciri-ciri subsistensi masih tetap melekat pada komoditas padi.

Marketable surplus di agroekosistem sawah rata-rata lebih besar dibandingkan dengan di agroekosistem nonsawah. Nilai marketable surplus juga lebih besar di Pulau Jawa dibandingkan dengan marketable surplus di Luar Jawa. Perbedaan ini disebabkan karena usahatani padi sawah di Pulau Jawa lebih terspesialisasi, proporsi pendapatan usahatani padi lebih besar; perbedaan pasar tenaga kerja di Pulau Jawa lebih kompetitif dan semakin sulit dan cara penjualan dengan tebasan lebih banyak. Selain itu, luas lahan yang dimiliki di luar Jawa lebih merata, sehingga walau pengaruhnya ada namun tidak begitu nyata.

Sebagian besar petani pada agroekosistem sawah  pada MH dan MK di Jawa dan Luar Jawa menjual hasil gabahnya secara sekaligus kemudian diikuti dengan cara bertahap dan tebasan. Alasan  melakukan penjualan secara sekaligus  karena butuh uang tunai, mengurangi risiko, dan  kekurangan sarana untuk pengeringan dan penyimpanan. Jika dipilah berdasarkan daerah Jawa dan Luar Jawa, alasan utamanya sama, namun besarannya yang berbeda. Pada agroekosistem sawah, bentuk gabah yang penjualannya sekaligus sebagian besar berupa gabah kering panen (GKP); sedangkan pada cara penjualan bertahap bentuk gabah yang dijual umumnya dalam bentuk GKS dan sebagian berupa GKP. Pada agroekosistem nonsawah, keterbatasan produksi menyebabkan gabah yang dihasilkan sebagian digunakan untuk konsumsi. Sisa untuk konsumsi dijual dengan cara bertahap. Karena itu pada lokasi ini banyak petani yang menjual secara bertahap dalam bentuk GKS.

Karakterisitik sosial ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap marketable surplus adalah jumlah anggota keluarga dan pendapatan total rumah tangga.  Semakin besar jumlah keluarga maka marketable surplus semakin kecil, dan sebaliknya. Variabel lain, yaitu luas lahan dan proporsi penggunaan tenaga kerja luar keluarga, secara statistik tidak berpengaruh nyata.  Namun ada kecenderungan makin luas lahan usahatani yang dikuasai petani marketable surplus makin besar. Sebaliknya, makin besar proporsi jumlah penggunaan tenaga kerja luar keluarga, marketable surplus makin kecil. Perbaikan harga gabah cenderung lebih efektif dirasakan petani pada agroekosistem sawah dibandingkan dengan agroekosistem nonsawah. Namun tidak banyak mempengaruhi pengelolaan usahatani akibat kepemilikan lahan yang sempit, fasilitas irigasi yang terbatas, dan harga pupuk yang makin mahal.

Sementara, penelitian Kustiari et al. (2008) menyimpulkan bahwa dari sisi tenaga kerja, tenaga kerja berumur di atas 15 tahun menduduki porsi terbessar yaitu sebesar 74 persen. Pendidikan tenaga kerja yang dominan hanya sampai tingkat SD. Apabila dibandingkan antardaerah palawija dan sayuran, tenaga kerja di daerah palawija yang lulus SMP keatas lebih sedikit (27 %) sedangkan di daerah sayuran sekitar 50 persen. Lalu, 14 persen dari tenaga kerja yang ada di desa contoh melakukan migrasi.  Dari jumlah tersebut, yang lulus SD mencapai 45 persen, selebihnya berturut-turut 26 persen, 17 persen, dan 5 persen untuk SMP, SMA dan lainnya.

Sebagian rumah tangga contoh mempunyai sumber penghasilan lebih dari dua.  Kegiatan pertanian merupakan sumber penghasilan utama. Pendapatan sektor pertanian dan sektor nonpertanian berkorelasi rendah, kecuali bagi petani yang berlahan luas (>1 ha). Hal ini karena hasil dari pertanian diinvestasikan untuk sektor nonpertanian. Pendapatan usaha tani merupakan sumber pendapatan dominan bagi petani sayuran, akan tetapi hal sebaliknya terjadi bagi petani palawija. Buruh tani rata-rata bekerja selama setahun hanya 100 hari.  Rendahnya jumlah hari kerja dalam setahun menyebabkan kemiskinan.

Index Gini di desa palawija menunjukkan kategori rendah sampai sedang, sedangkan di desa sayuran mengindikasikan ketimpangan sedang. Hukum Engle, yang menyatakan makin tinggi pengeluaran rumah tangga akan makin rendah porsi untuk pengeluaran pangan, tidak ditemukan di desa sampel.

Dari penelitian ini pula, hanya 32 peresn petani palawija yang mampu membeli pupuk urea sesuai jumlah yang diinginkan. Biaya produksi palawija didominasi oleh biaya tenaga kerja, sedangkan biaya produksi sayuran didominasi oleh biaya input produksi. Modal untuk pengadaan pupuk dan obat-obatan  merupakan kendala utama bagi sebagian besar petani.  Untuk memenuhi kebutuhan tersebut petani meminjam ke pedagang sarana produksi.

Khusus untuk petani pekebun, tingkat partisipasi kerja secara rataan sebesar 66,9 persen, dimana partisipasi tertinggi terdapat pada petani tebu dan terendah pada petani kakao. Pada intinya, sektor pertanian masih merupakan sumber pekerjaan utama menyerap yang 77,4 persen kesempatan kerja di perdesaan (Susilowati et al., 2009). Dari penelitian ini juga didapatkan bahwa pangsa pendapatan pertanian memberikan kontribusi berkisar antara 43-80 persen dari total pendapatan. Distribusi pendapatan yang tertimpang terdapat pada komoditas sawit dan kakao dengan indeks gini 0,52, diikuti oleh komoditas tebu (0,41), dan yang paling merata adalah komoditas karet (0,32). Nilai tukar petani (NTPRP) lebih besar dari 1 di seluruh lokasi, yang mengindikasikan bahwa seluruh rumah tangga berada dalam kondisi sejahtera, menurut indikator tersebut.

Pada penelitian yang paling akhir, Susilowati et al. (2010), kontribusi pendapatan dari sektor pertanian menyumbang lebih dari 50 persen terhadap pendapatan rumah tangga di perdesaan. Pendapatan rumah tangga selaras dengan luas penguasaan lahan pertanian. Distribusi pendapatan pertanian menunjukkan kesenjangan yang semakin lebar.

11.5. Tingkat dan Ragam Konsumsi Rumah Tangga

Ada beberapa penelitian Patanas atau yang menggunakan responden “petani sampel Patanas” yang mempelajari konsumsi rumah tangga petani. Dari tim penelitian Irawan et al. (2007) disimpulkan bahwa alokasi pengeluaran dari pendapatan total rumah tangga untuk pangan di Luar Jawa lebih besar jika dibandingkan dengan di Jawa, yakni 55 vs 50-52 persen. Pola asupan pangan yang dominan berupa karbohidrat yang berasal dari beras, sedangkan asupan protein (lauk-pauk) tampak  masih kurang.

Selanjutnya, penelitian Harianto et al. (2008) tentang konsumsi dan pengeluaran rumah tangga, membandingkan kondisi tahun 1999 dengan 2005. Secara umum selama periode ini, telah terjadi perubahan pola pengeluaran dan pola konsumsi rumah tangga di Indonesia. Perubahan tersebut mengarah ke perbaikan dan peningkatan kesejahteraan rumah tangga dengan besaran perubahan bervariasi menurut karakteristik sosial ekonomi.  Namun demikian, pangsa pengeluaran untuk pangan masih dominan dalam struktur pengeluaran rumah tangga. Di antara kelompok pangan, pangsa pengeluaran untuk beras lebih dominan terhadap struktur pengeluaran rumah tangga.

Kondisi tahun 2007–2008 menunjukkan bahwa kenaikan harga pangan yang dipicu oleh kenaikan harga BBM tahun 2005 telah menimbulkan dampak negatif terhadap pola konsumsi, yakni menurunnya kualitas konsumsi dan kegiatan usahatani. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola konsumsi, sebelum dan setelah kenaikan harga BBM, tidak berbeda nyata.  Pangan dengan sumber protein tinggi peka terhadap perubahan harga dan perubahan pendapatan.

Beras masih merupakan sumber karbohidrat yang dominan.  Konsumsi per kapita cenderung menurun dengan meningkatnya pendapatan rumah tangga, dan diversifikasi pangan terkait erat dengan tingkat pendapatan.  Makin membaik pendapatan rumah tangga maka sumber kalori makin beragam pula. Rumah tangga yang masuk dalam kategori pendapatan tinggi makin mengurangi konsumsi kalori yang bersumber dari beras, sebaliknya makin meningkatkan konsumsi dari mie, terigu, telur, daging ayam, dan susu.

Konsumsi terbesar rumah tangga petani di desa contoh adalah untuk kelompok padi-padian sebagai sumber karbohidrat, berikutnya adalah pangan hewani, sayuran, serta untuk tembakau dan sirih (Kustiari et al., 2008). Pengeluaran bukan pangan terbesar dibelanjakan untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga, kemudian diikuti oleh pendidikan.  Untuk kedua komponen tersebut nilainya mencapai 60 persen dari seluruh pengeluaran nonpangan.

Terakhir, dari penelitian Susilowati et al. (2009) dijumpai bahwa pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga berkisar pada 61-65 persen. Pangsa pengeluaran terendah ditemui di wilayah agroekosistem berbasis kakao dan yang tertinggi di wilayah karet. Pengeluaran pangan untuk pangan pokok berkisar 16.2-32 persen.  Kelompok pengeluaran yang cukup tinggi untuk pangan hewani dan rokok, sedangkan untuk sayuran dan buah-buahan tergolong rendah. Pengeluaran nonpangan tertinggi untuk BBM, kedua untuk pendidikan, dan selanjutnya untuk kegiatan sosial.

Tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai 100 persen, kecuali di wilayah berbasis kakao dan tebu masing-masing 95 dan 97,5 persen. Partisipasi konsumsi kedua terbesar adalah untuk mie instant yang mencapai 79-90 persen. Secara kuantitas, konsumsi energi rata-rata sudah di atas standar kecukupan, akan tetapi komposisi sumbangan dari jenis bahan yang dikonsumsi belum ideal.  Konsumsi beras dan gula berlebih masing-masing sebesar 8,8  dan 2,5 persen dari standar ideal yang dianjurkan.

*****

 

 

Tidak ada komentar: