Jumlah pe-longok :

Rabu, 10 Februari 2016

PANGAN DAN KETAHANAN PANGAN

(Bagian dari Buku: PSEKP. 2013. “37 Tahun Penelitian PSEKP”)

BAB IV. PENELITIAN PANGAN DAN KETAHANAN PANGAN

Pangan adalah kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumber daya manusia bangsa dan stabilitas sosial politik suatu negara. Di negara dimana pangsa pengeluaran pangan penduduknya tergolong besar, selalu dijumpai potensi masalah kekurangan pangan. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ketahanan pangan memiliki kaitan erat dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasional.

Dengan peranan yang sangat strategis tersebut, topik “ketahanan pangan” selalu menjadi isu yang menarik untuk dikaji. Kajian tentang ketahanan pangan nasional  dalam sudut pandang makro di PSE-KP dimulai pada tahun 1992 di bawah judul “Penelitian tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah”. Pada tahun-tahun sebelumnya, kajian terkait ketahanan pangan lebih bersifat parsial terutama pada kinerja konsumsi di daerah perdesaan (1985), permintaan pangan dan pola konsumsi (1987) dan juga pola konsumsi dan profil rumah tangga  dengan konsumsi energi di bawah standar (1988, 1989, 1990) bekerja sama dengan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan. Seiring dengan dinamika lingkungan strategis baik di tataran domestik maupun internasional, kajian tentang ketahanan pangan pada tahun-tahun berikutnya (terutama tahun 2000-an) lebih banyak dikaitkan dengan antisipasi maupun adaptasi terhadap sejumlah isu strategis seperti perdagangan global, otonomi daerah, krisis pangan, ekonomi, dan finansial dan isu lainnya.

Pada hakekatnya, penelitian tentang pangan di PSE-KP berkait erat dengan beberapa topik khusus di antaranya adalah ragam dan nilai konsumsi pangan,  ketahanan pangan, dan kerawanan pangan. Persoalan pangan juga dikaitkan dengan kemiskinan, perdagangan, dan bagaimana kebijakan pemerintah dalam penanganannya. Dalam konteks yang terakhir ini, dinamika peran Bulog begitu penting sebagai salah satu pelaku dan instrumen pemerintah dalam mengendalikan harga dan stok pangan pokok nasional.

Peranan Bulog diawali tahun 1969 saat Bulog diberi tugas pokok melakukan stabilisasi harga beras, serta sebagai pengelola cadangan pangan (buffer stock) dalam rangka mendukung upaya nasional untuk meningkatkan produksi pangan.  Dua tahun berikutnya, tugas Bulog diperluas dan ditunjuk menjadi importir tunggal gula pasir dan gandum dan distributor gula pasir serta tepung terigu. Tahun-tahun berikutnya tanggung jawab Bulog diperluas lagi dengan tambahan untuk mengelola beberapa komoditas pangan yaitu untuk daging, mengawasi impor kedelai, menerapkan kebijaksanaan harga dasar untuk jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau.  Berikutnya, tahun 1978, tugas pokok Bulog adalah membantu persediaan dalam rangka mengendalikan harga gabah, beras, gula pasir, tepung terigu, dan bahan pangan lainnya.  Bahkan tahun 1993, tanggung jawab Bulog diperluas mencakup koordinasi pembangunan pangan dan meningkatkan mutu gizi pangan.  Perubahan penting terjadi tahun 2003, dimana berdasarkan PP No. 7 tahun 2003 Bulog yang semula Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum). Dalam status sebagai BUMN, Bulog diharapkan menjadi andalan ketahanan pangan dan tetap menyelenggarakan tugas pelayanan publik sesuai kebijakan pangan nasional, disamping kegiatan usaha yang dilaksanakannya.  Terakhir, tahun 2012 peran Bulog kembali diwacanakan untuk diperluas untuk berbagai komoditas pangan penting sekaligus, yakni setidaknya untuk beras, gula, jagung, kedelai, dan minyak goreng.

4.1. Membangun Data Dasar Konsumsi Pangan

Penelitian awal tentang pangan dijalankan oleh Hermanto et al. (1985) dengan judul “Pola Konsumsi di Daerah Perdesaan Jawa Timur” yang merupakan bagian dari penelitian Patanas. Tujuan penelitian adalah: (1) melihat pola konsumsi masyarakat perdesaan, kaitannya dengan perilaku rumah tangga petani dalam mengalokasikan sumber pendapatan yang terbatas seoptimal mungkin, (2) menghitung elastisitas konsumsi bahan makanan terhadap harga dan pendapatan, dan (3) menghitung elastistias konsumsi komoditas penting, subtitusi, dan komplemen serta tingkat pendapatan rumah tangga. Selanjutnya Hadi et al. (1987) melakukan kajian dengan judul “Prospek Permintaan Pangan dan Pola Konsumsi Rumah Tangga di Perdesaan Jawa Barat”. Walaupun tujuan penelitian ini masih  seputar pola konsumsi dan menghitung elastistas beberapa komoditas pangan utama, namun sudah berusaha mengidentifikasi faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap konsumsi tersebut.

Lebih lanjut, tiga tahun berturut-turut , yaitu tahun 1988, 1989, dan 1990; dilakukan kerja sama penelitian dengan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan.  Judul Profil Rumah Tangga dengan Konsumsi Kalori dan Protein di Bawah Kecukupan dijalankan tahun 1988, lalu dilanjutkan Pola Konsumsi Pangan, Proporsi dan Ciri Rumah Tangga dengan Konsumsi Energi di Bawah Standar Kebutuhan (1989), dan Studi Pengkajian Pola Konsumsi Rumah Tangga Defisit Energi dan Protein (1990).  Kajian pada tahun 1988 dan 1989 memiliki tujuan yang sama yaitu: (1) memperkirakan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi energi dan protein kurang dari 80 dan 60 persen dari waktu ke waktu, (2) mempelajari karakteristik sosial ekonomi dan demografis rumah tangga dari kelompok tersebut, dan (3) mencari alternatif garis kemiskinan. Sementara kajian tahun 1990, masih berkaitan dengan identifikasi ciri-ciri rumah tangga defisit energi dan protein dan perubahan pola konsumsi tetapi berdasarkan klasifikasi fungsional. Disamping itu,  juga dikaji tentang batas pengeluaran berbagai jenis kebutuhan dasar dan konsumsi jenis pangan tertentu untuk tingkat konsumsi energi pada batas kecukupan minimal.

Penelitian lebih makro dilakukan Pakpahan et al. (1992) yang mengkaji tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah di Jawa Tengah (Sragen dan Cilacap) dan NTB (Lombok Tengah). Kajian ini dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan, data dan informasi tentang ketahanan masyarakat berpendapatan rendah dan berbagai lembaga yang berperan dalam pemenuhan pangan. Dilihat dari sumber perolehannya, konsumsi pangan rumah tangga contoh sebagian besar diperoleh dari dibeli (60-80%). Hal ini karena pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, pemilikan aset produktifnya (lahan) terbatas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak dapat dipenuhi dari hasil pertanian rumah tangga. Masyarakat  berpendapatan rendah yang diamati ternyata tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan pangan sepanjang tahun. Usaha yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan meningkatkan penggunaan tenaga kerja, meminjam, menjual, menggadaikan harta kekayaan, dan mencari barang di alam bebas.

Dalam mengatasi masalah kekurangan pangan, pemerintah telah berupaya untuk menangani masalah konsumsi ini dengan mengembangkan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Sistem ini diharapkan memberikan isyarat dini terhadap pemerintah untuk mengetahui daerah-daerah yang diduga akan mengalami kasus rawan pangan. Penanganan lain yaitu melalui Departemen Transmigrasi, Bulog, Depnaker, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, dan LSM.

4.2. Gambaran Makro Konsumsi Pangan

Peran beras yang sangat dominan dalam pola konsumsi penduduk Indonesia, mendorong Erwidodo et al. (1996) secara khusus mengkaji tentang Telaahan Trend Konsumsi Beras di Indonesia dengan menggunakan data Susenas tahun 1990 dan 1993. Temuan yang cukup menarik adalah bahwa di provinsi dimana beras secara tradisional telah merupakan sumber utama karbohidrat, khusus untuk tahun 1993, tingkat konsumsi per kapita di daerah perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Sebaliknya, di provinsi dimana beras secara tradisional bukan sumber utama karbohidrat, tingkat konsumsi beras per kapita di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Hasil kajian juga memperkirakan bahwa secara nasional tingkat konsumsi  beras per kapita di masa mendatang akan semakin menurun. Namun diperkirakan juga bahwa produk mi merupakan sumber karbohidrat penting setelah beras dalam diet masyarakat Indonesia.

Perkiraan ini semakin kuat terbukti dari waktu ke waktu. Pada tahun 2012 ini, konsumsi mi instan masyarakat Indonesia menduduki posisi kedua di dunia setelah negara Korea, dimana diperkirakan total konsumsi Indonesia 15 milyar bungkus, sementara tahun 2011 mencapai 12 milyar bungkus. Artinya, rata-rata setiap orang mengkonsumsi 60 bungkus mi instan per tahun, belum termasuk produk mi yang lain.

Masih dengan menggunakan data Susenas, kajian konsumsi yang lebih spesifik terkait sumber protein hewani juga menjadi fokus penelitian Erwidodo et al (1998) yang melihat Perubahan Pola Konsumsi Sumber Protein Hewani di Indonesia. Selama 1987-1993 perubahan pangsa pengeluaran pangan hewani terhadap pengeluaran pangan relatif kecil. Ini merupakan kemajuan, karena secara agregat pangan hewani menduduki prioritas kedua setelah makanan pokok (karbohidrat).

Pangsa konsumsi sumber protein hewani sangat jelas dipengaruhi oleh wilayah serta kelompok pendapatan. Pada kelompok berpendapatan rendah dan wilayah desa, ikan merupakan jenis pangan hewani yang pangsanya meningkat paling cepat. Sementara pada masyarakat kota dan penduduk berpendapatan sedang dan tinggi, jenis pangan hewani yang dominan adalah telur dan susu.  Secara umum terlihat bahwa tingkat konsumsi pangan hewani meningkat seiring dengan semakin tingginya pendapatan. Perbedaan musin (panen/paceklik) juga sangat berpengaruh terhadap konsumsi pangan hewani, dimana pada musin panen konsumsi pangan hewani meningkat, dan sebaliknya di musim paceklik.

Kajian dengan penggunaan data Susenas dilanjutkan kembali pada tahun 1999 oleh Erwidodo et al. dengan judul “Pengkajian Diversifikasi Konsumsi Pangan Utama di Indonesia. Dari hasil kajian diungkapkan bahwa tingkat diversifikasi konsumsi rata-rata rumah tangga kota lebih tinggi daripada di desa. Selain itu, semakin tinggi pendapatan akan semakin beragam pola konsumsinya.  Pencapaian skor PPH di perkotaan mencapai 79,5 persen (dari skor ideal 93), sementara di perdesaan mencapai 74,6 persen. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap diversifikasi konsumsi  pangan adalah tingkat pendapatan rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga dan karakteristik wilayah (desa-kota). Pendapatan RT berpengaruh positif terhadap diversifikasi konsumsi, jumlah anggota RT berpengaruh negatif, sementara  tingkat diversifikasi konsumsi RT perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan.

Pada tahun 2000, Ariani et al. melakukan kajian tentang “Analisis Kebijaksanaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan Rendah di Perdesaan”. Kajian ini dilatarbelakangi oleh kejadian krisis moneter tahun 1997/98, yang mengakibatkan harga pangan dan nonpangan menjadi mahal, tingkat pengangguran meninggi, dan jumlah penduduk miskin dan rawan pangan meningkat. Walaupun dampak krisis dialami oleh berbagai segmen rumah tangga, namun diduga dampak terberat dialami oleh rumah tangga berpendapatan rendah dan menengah.

Hasil kajian menunjukkan bahwa krisis ekonomi telah menurunkan ketahanan pangan rumah tangga berpendapatan rendah. Indikasi penurunan terlihat minimal dari 2 hal yaitu: (1) menurunnya konsumsi pangan dan pangan (baik kuantitas maupun kualitas), dan (2) penurunan pendapatan rumah tangga sehingga daya beli melemah. Jumlah rumah tangga yang tahan pangan menurun baik di kota maupun di desa yang berarti terjadi peningkatan kerawanan pangan. Sebagai gambaran, di Jawa Tengah dari 86,7 menjadi 63,3 persen (di kota) dan dari 85 menjadi 70 persen (di desa).

Namun demikian, kategori apa yang disebut dengan “Tahan Pangan” lebih fokus pada pemenuhan pangan pokok beras. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa kuatnya peran beras sebagai pangan pokok, sehingga menjadi indikator ketahanan pangan.

4.3. Kinerja dan Permasalahan Ketahanan Pangan

Selanjutnya Saliem et al. (2001) melakukan kajian dengan judul “Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga  dan Regional”. Kajian ini berangkat dari hipotesis bahwa persediaan pangan yang cukup secara nasional tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah tangga atau individu.  Hasil kajian menunjukkan bahwa walaupun di tingkat regional status ketahanan pangan wilayah (provinsi) tergolong tahan pangan, namun di masing-masing provinsi yang dianalisis (Kalbar, Lampung, D.I.Y, dan Sulut) masih ditemukan rumah tangga tergolong rawan pangan yang cukup besar yaitu 21-33 persen dari total rumah tangga. Aspek distribusi dan akses (ekonomi) rumah tangga terhadap pangan menjadi faktor kunci di tingkat rumah tangga. Pendapatan rumah tangga untuk bisa akses secara ekonomi terhadap pangan merupakan faktor dominan penentu ketahanan pangan rumah tangga.

Aspek manajemen ketahanan pangan dianggap cukup penting terutama dengan terjadinya perubahan status tata kelola pemerintahan yang sudah dilimpahkan ke daerah melalui Otda  dan berubahnya status Bulog menjadi Perum. Untuk melihat dinamika terebut, Saliem et al. (2004) melakukan kajian dengan judul “Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog”. Secara umum tujuan penelitian ini adalah menganalisis kebijakan pengelolaan ketahanan pangan (khususnya beras) dikaitkan dengan era otonomi daerah dan perubahan lembaga penyangga pangan nasional dari Bulog menjadi Perum Bulog. Sementara aspek kajian meliputi instrumen kebijakan stabilisasi harga, kinerja pengelolaan cadangan pangan, alternatif program untuk kondisi darurat pangan, serta sejauh mana koordinasi antarinstansi pusat-daerah dalam pengelolaan cadangan pangan dan kajian  model peranan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan stok beras.

Hasil kajian menunjukkan bahwa Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP)  sebagai instrumen pokok kebijakan stabilisasi  harga masih efektif dalam menopang stabilisasi harga jual gabah produsen, walaupun efektifitasnya menurun dengan melemahnya kontrol pemerintah terhadap pasar beras. Namun denikian, dalam perspektif peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, kebijakan HDPP tersebut tidak efektif dengan argumen: (1) ada tekanan faktor eksternal penurunan harga beras dunia, (2) depresiasi rupiah, dan (3) infrastruktur produksi dan pemasaran yang kurang memadai yang mengakibatkan disparitas harga sehingga margin yang diterima petani relatif rendah.

Tradisi masyarakat petani melakukan cadangan pangan secara kolektif dalam bentuk lumbung pangan cenderung melemah. Sementara koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan cadangan pangan masih sangat terbatas, karena hanya berupa penyaluran stok beras untuk keadaan darurat. Belum ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan cadangan pangan, baik ditinjau dari jenis bahan pangan maupun jenis stok berasnya. Untuk itu, disarankan pemerintah pusat tetap mengelola cadangan beras, sedangkan pemerintah daerah mengelola cadangan pangan nonberas yang disesuaikan dengan makanan pokok masyarakat setempat. Program Raskin dengan beberapa penyempurnaan masih valid untuk dijadikan salah satu instrumen penting dalam mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, utamanya dalam penanganan kelompok rawan pangan kronis maupun akut.

Kajian ketahanan pangan dari aspek yang agak berbeda dilakukan Saliem et al. (2005), melakukan penelitian tentang “Analisis Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Kemiskinan”. Kajian ini melihat pada tingkat makro terkait perubahan diversifikasi usaha dan struktur perekonomian wilayah. Pada ranah mikro, studi ini bertujuan (1) menganalsis struktur, distribusi, dan ragam sumber pendapatan rumah tangga, (2) menganalisis keterkaitan antara diversifikasi usaha rumah tangga, ketahanan pangan, pendapatan, dan kemiskinan, serta (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat diversifikasi pertanian dan usaha rumah tangga. Hasil kajian secara makro menunjukkan bahwa perkembangan diversifikasi kegiatan ekonomi pada sektor pertanian lebih rendah dibandingkan dengan sektor nonpertanian. Hal ini disebabkan secara umum karena sektor pertanian memiliki kaitan ke depan dan ke belakang (backward and forward lingkage) yang lebih rendah dibanding nonpertanian. Walaupun demikian, sektor pertanian masih merupakan penyedia lapangan kerja terbesar, meskipun kemampuan penyediaan lapangan kerja cenderung menurun sejak tahun 1991.

Telah terjadi perubahan struktur pendapatan rumah tangga yang cukup bervariasi tidak hanya menurut lokasi (desa-kota), tetapi juga menurut kelas pendapatan, sumber mata pencaharian utama KK maupun agrosistem wilayah. Di semua kelompok pendapatan terlihat bahwa indeks diversifikasi pendapatan di desa lebih tinggi dibandingkan kota. Disamping itu, rumah tangga dengan mata pencaharian utama kepala keluarganya di sektor pertanian, juga cenderung memiliki ragam sumber pendapatan yang lebih tinggi dibanding kelompok lainnya. Karena rendahnya tingkat pendapatan RT dari pertanian, mendorong petani melakukan diversifikasi usaha. Sementara itu, selain tingkat pendapatan, peubah penting yang mempengaruhi peluang diversifikasi usaha adalah pekerjaan utama KK, tingkat pendidikan KK, umur KK, serta jumlah anggota RT. Tingkat diversifikasi lebih tinggi terjadi pada RT yang pekerjaan utama kepala keluarganya adalah petani, dengan tingkat pendidikan relatif tinggi, berumur muda, dan anggota RT yang semakin sedikit.

Dengan adanya krisis finansial di beberapa negara tahun 2008,  Rusastra et al. (2009),  melakukan kajian tentang “Kebijakan Mengantisipasi Dampak Krisis Pangan-Energi-Finansial (PEF) terhadap Ketahanan Pangan dan Kemiskinan”. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara makro dampak negatif krisis PEF terhadap ketahanan pangan nasional ternyata mampu ditanggulangi yang diindikasikan oleh positifnya arah laju peningkatan produksi, ketersediaan, dan konsumsi pangan rumah tangga. Tingkat ketergantungan pangan terhadap impor untuk jenis-jenis pangan strategis secara proporsi mengarah ke perbaikan. Khusus untuk konsumsi terigu, perlu mendapat perhatian ekstra mengingat ketidakseimbangan laju peningkatan konsumsi dengan kapasitas domestik untuk menghasilkan bahan pangan tersebut.  Walaupun dari sisi ketersediaan mampu dilakukan namun dalam jangka panjang hal ini akan makin menguras devisa negara.

Pada tataran wilayah provinsi dan di empat kabupaten penelitian,  dampak negatif krisis PEF terhadap produksi pangan strategis juga dapat diredam yang ditunjukkan oleh laju peningkatan produksi beberapa komoditas pangan utama yang positif. Bahkan untuk komoditas tertentu seperti padi gogo, jagung, dan kedelai; meningkat cukup signifikan terutama didukung oleh peningkatan luas areal panen.  Perkembangan harga komoditas pangan pada selang waktu 2007-2009 relatif stabil, namun demikian terjadi ketidaksempurnaan dalam transmisi harga di tingkat pedagang besar dengan harga di tingkat petani.  Hal ini ditunjukkan oleh laju trend perubahan harga komoditas di tingkat petani yang relatif kecil dibanding laju perubahan harga di tingkat pedagang besar.

Antisipasi kebijakan global yang ditawarkan dalam merespon dampak krisis tersebut adalah pengembangan pertanian skala kecil dalam perspektif pertumbuhan dan pemerataan yang mencakup tiga aspek kebijakan sebagai berikut: (a) pemantapan stabilitas makro ekonomi dan anggaran pembangunan sektor pertanian dan pengembangan infrastruktur perdesaan; (b) pengembangan produksi  berbasis potensi pasar yang dipadukan dengan perbaikan  sistem dan efisiensi pemasaran produk pertanian; dan (c) pengembangan inovasi kelembagaan dan sistem insentif dalam mendukung ketersediaan dan akses sarana produksi utama dan jasa pelayanan pengembangan usahatani skala kecil.

Dukungan inovasi teknologi terhadap ketahanan pangan menjadi salah satu kajian Kustiari et al. (2010) dengan judul ”Akselerasi Sistem Inovasi Teknologi Pengolahan Hasil dan Alsintan dalam Mendukung Ketahanan Pangan”.   Dari kajian ini ada beberapa temuan yang perlu mendapat perhatian seluruh stakeholder, diantaranya: (1) Selain introduksi teknologi inovasi pengolahan hasil dan Alsintan masih rendah, bantuan yang diberikan pemerintah sering tidak digunakan. Kendalanya bersifat teknis, yakni belum terampil mengoperasikan dan tidak sesuai dengan kondisi setempat, serta bantuan yang bersifat parsial. (2) Kendala dalam proses akselerasi inovasi teknologi pengolahan hasil dan Alsintan adalah keterbatasan bahan baku, keterbatasan teknologi dan alsintan, ketersediaan modal, dan pemasaran. Akibatnya, keuntungan dari kegiatan pengolahan hasil rendah.  (3) Untuk mengakselerasi inovasi teknologi pengolahan hasil disarankan kepada pemerintah melalui instansi terkait untuk memperkuat struktur permodalan dan akses industri pengolah hasil pertanian di perdesaan terhadap sumber modal, meningkatkan penguasaan teknologi di tingkat rumah tangga atau industri kecil, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam industri pengolah hasil pertanian agar dapat menjadi pengrajin produk pertanian yang tangguh.

4.4. Kerawanan Pangan                                           

Penelitian Ariani et al. (2006) tentang “Analisis Wilayah Rawan Pangan dan Gizi serta Alternatif Penanggulangannya”, melakukan pengelompokkan 100 Kabupaten Rawan Pangan dan Gizi  Kronis. Temuan penelitian ini cukup penting, dimana disebutkan bahwa pengelompokan kabupaten rawan pangan dan gizi kronis dalam kuintil berdasarkan 10 indikator tidak menunjukkan pola sebaran nilai yang unik (khas). Indikator yang digunakan untuk memetakan rawan pangan dan rawan gizi kronis yang dilakukan oleh Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Program masih mengandung kelemahan yang perlu disempurnakan.

Catatan penting dari studi ini adalah mengingatkan kalangan birokrasi untuk memperhatikan dua hal, yaitu: (1) penggunaan istilah “rawan pangan” tampaknya kurang tepat karena indikator yang digunakan lebih luas kearah konsep kemiskinan; (2)  ketersediaan pangan hanya menghitung produksi padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar, namun belum memasukkan sagu atau keladi yang banyak dikonsumsi oleh rumah tangga Kawasan Timur Indonesia; (3) indikator yang digunakan seharusnya mencerminkan potensi wilayah secara komprehensif; (4) perlu fleksibilitas pengukuran indikator disesuaikan dengan potensi wilayahnya; dan (5) diperlukan peningkatan keakuratan data dan perhitungannya. Khusus untuk mengukur ketersediaan pangan, selain menerapkan perhitungan rasio normatif, seharusnya  penjumlahan serealia tidak dalam kuantitas kilogram tetapi dalam bentuk zat gizi (energi) dan dibagi dengan energi dari beras.

Disarankan agar indikator yang digunakan untuk pemetaan rawan pangan dan gizi kronis tingkat kecamatan disesuaikan dengan ketersediaan data dan potensi wilayahnya, sehingga akan berbeda untuk masing-masing wilayah. Penggunaan indikator tersebut lebih mampu mendeteksi kecamatan rawan pangan dan gizi secara baik.

Diingatkan juga bahwa pemecahan masalah ketahanan pangan dan kemiskinan tidak dapat hanya ditangani oleh sektor pertanian, walaupun jumlah penduduk miskin dan rawan pangan umumnya berada di perdesaan. Upaya pemantapan ketahanan pangan atau mengatasi kerawanan pangan dan penanggulangan kemiskinan memerlukan kerja sama, koordinasi, dan sinergitas dari berbagai dinas dan instansi terkait, lembaga swadaya masyarakat, swasta dan partisipasi aktif masyarakat setempat.

Dari dana penelitian Kementerian Ristek, PSE-KP melakukan kajian terkait pangan, baik yang menyangkut sistem kelembagaan cadangan pangan maupun aspek diversifikasi konsumsi.  Rachmat et al. (2010) melakukan kajian dengan judul “Sistem Kelembagaan Cadangan Pangan Masyarakat Perdesaan untuk Mengurangi 25 Persen Risiko Kerawanan Pangan”. Lokasi studi di 6 kabupaten di provinsi Banten, Kalbar, dan NTT.  Dari kajian ini ditemukan sejumlah informasi menarik, di antaranya bahwa secara umum, terkikisnya eksistensi lumbung pangan di tingkat masyarakat merupakan akibat dari ekspansi ekonomi pasar serta kebijakan pemerintah yang melemahkan daya hidup kolektif hidup berkomunitas masyarakat. Pada saat penelitian ditemukan bahwa keberadaan lumbung kolektif dan lumbung desa masih pada tingkatan sederhana dan berorientasi sosial, dan hanya lumbung modern yang sudah berorientasi bisnis

Selain itu, keberadaan lumbung terbukti mampu berperan mengatasi kerawanan pangan khususnya di wilayah dengan aksesibilitas terbatas dan sumber daya kurang. Dengan demikian, melihat kemampuan dan dukungan potensinya lebih jauh,  lumbung desa harus dikembangkan menjadi lumbung modern yang mampu memainkan peran sebagai lembaga ekonomi perdesaan.

4.5. Perdagangan Pangan

Dengan semakin intensifnya arus liberalisasi perdagangan dunia, yang juga memasuki ranah  pangan, maka tim penelitian Saliem et al.  (2003) mempelajari dampak liberalisasi perdagangan terhadap ketahanan pangan nasional. Tujuan studi adalah mengkaji kinerja ketersediaan dan kemandirian pangan nasional, menganalisis dampak liberalisasi perdagangan terhadap kinerja ketahanan pangan nasional, dan merumuskan alternatif kebijakan dalam upaya pemantapan ketahanan pangan nasional. Hasil kajian mengungkapkan bahwa kinerja ketersediaan pangan nasional (secara agregat) yang diukur dalam satuan energi (Kkal/kap/hari) selama tiga dekade (1969-2001), menunjukkan peningkatan dengan laju pertumbuhan sebesar 4,3 persen per  tahun. Demikian juga kinerja ketersediaan pangan dari masing-masing kelompok komoditas (tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perikanan) yang juga menunjukkan pertumbuhan positif. Disimpulkan juga bahwa tingkat kemandirian pangan nasional masih tergolong aman. Namun yang perlu dicatat bahwa walaupun secara persentase rasio ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap pangan impor secara umum relatif rendah, tetapi ada kecenderungan adanya peningkatan dari waktu ke waktu.  Dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar, berarti ketergantungan impor bangan secara kuantitas cukup besar sehingga perlu diantisipasi penanganannya.

Dampak negatif penurunan maupun kenaikan harga beras, jagung maupun kedelai  di pasar dunia terhadap derajat ketahanan pangan khususnya di tingkat  rumah tangga dan individu akan terasa dampaknya jika: Pertama, persentase penurunan harga beras, jagung, maupun kedelai di pasar dunia jauh lebih tinggi dibandingkan persentase kenaikan nilai tukar (persentase depresiasi nilai tukar) atau persentase kenaikan beras, jagung, maupun kedelai di pasar dunia jauh lebih tinggi dibandingkan persentase penurunan  nilai tukar (persentase apresiasi  nilai tukar).

Kedua, indeks keterkaitan antara pasar beras, jagung dan kedelai dunia dengan pasar domestik masuk ke dalam kategori agak kuat atau kuat. Sementara itu, peningkatan tarif impor beras mampu meningkatkan kemandirian pangan beras. Ini merupakan hal yang menguntungkan dilihat dari aspek ketahanan pangan nasional.  Sementara itu, liberalisasi perdagangan berdampak pada penurunan kemandirian pangan beras. Dengan demikian, dilihat dari aspek ketahanan pangan, kondisi ini tidak menguntungkan.

Kajian pangan yang dihubungkan dengan aspek perdagangan pangan dilakukan lagi oleh Saliem et al. (2010) dengan judul ”Kajian Keterkaitan Produksi, Perdagangan dan Konsumsi Ubi Jalar untuk Meningkatkan 30 Persen Partisipasi Konsumsi Mendukung Program Keanekaragaman Pangan dan Gizi”. Studi dilakukan di provinsi Jawa Barat dan Papua. Dari kegiatan penelitian ini diperoleh informasi sebagai berikut: Pertama, Hasil analisis data produksi menunjukkan, rata-rata nilai LQ ubi jalar pada periode tahun 1999-2009 jauh lebih tinggi di provinsi Papua (19,98 – 55,94)  dibandingkan dengan Jawa Barat (1,35 – 1,57). Wilayah yang memiliki nilai LQ besar di Papua adalah Kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo, sedangkan di Jabar adalah Kabupaten Kuningan dan Banding.

Kedua, tingkat partisipasi konsumsi ubi jalar umumnya lebih rendah pada masyarakat kota dan berpendapatan tinggi. Namun, tingkat partisipasi di Kabupaten Jayawijaya mencapai 100 persen dan di Kuningan 63,3 persen. Ketiga, faktor kunci untuk mendorong peningkatan konsumsi ubi jalar ke depan adalah peningkatan produksi serta pendapatan riil per kapita, yang disinergikan dengan peningkatan promosi dan edukasi, serta advokasi tentang keunggulan-keunggulan yang dikandung ubi jalar.

****

Tidak ada komentar: