Jumlah pe-longok :

Senin, 17 Maret 2008

Emang Pertanian ga ada Matinya!!

Dari berbagai media, kita dapat menemukan beberapa fakta berikut yang menunjukkan posisi pertanian kita akhir-akhir ini. Silakan simak!

- Produksi padi nasional tahun 2007 naik 4,76 persen. Ini merupakan peningkatan tertinggi, yang terjadi selama 15 tahun terakhir.

- Ekspor pertanian juga terus meningkat. Tahun 2007 naik 4,3 persen, biasanya tidak lebih 3 persen. Selamat.Surplus perdagangan juga terus diraih, dengan rata-rata meningkat 30,3 persen.

- Investasi juga naik tinggi. Selama 2007, PMDN naik 56 persen lebih, dan PMA 48 persen lebih.

- Sesuai data BPS, pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2007 yang 6,5 persen (kuartal ketiga), 1,3 persennya datang dari pertanian. Yang tertinggi adalah perkebunan, yang naik 33,7 persen. Sumbangan pertanian ini melebihi sektor industri dan perdagangan. Apalagi kalau pengolahan hasil pertanian dimasukkan sebagai sumbangan sektor pertanian, maka angka ini akan lebih tinggi lagi.

- *****

Rabu, 12 Maret 2008

Sektor pertanian terus tumbuh dan berperan nyata

Meskipun jarang diberitakan, apalagi menjadi headline, sesungguhnya dunia pertanian kita terus tumbuh, berkembang, dan senyatanya menjadi pelaku ekonomi yang riel di lapangan, dan penyumbang ekonomi nasional yang penting. Dari sisi PDB, sektor pertanian terus meningkat sejak tahun 2005. Pada tahun 2007, secara kumulatif sektor pertanian tumbuh 2,44 persen (Triwulan II, 2005 – 2007, BPS 2007, berdasar harga konstan tahun 2000). Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh subsektor perkebunan (2,80 %), diikuti oleh peternakan (2,41 %) dan tanaman bahan makanan (2,30 %). Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional pada tahun 2007 mencapai 10,98 persen, dengan kontribusi terbesar dari subsektor tanaman bahan makanan sebesar 6,96 persen, diikuti oleh subsektor perkebunan 2,31 persen dan subsektor peternakan 1,70 persen.

Sementara dari sisi kesejahteraan petani dan penduduk pedesaan, dengan variabel Nilai Tukar Petani (NTP); nilai NTP secara nasional terus meningkat dari 96,93 pada tahun 2000 (Tahun dasar 1993 = 100) menjadi 116,63 pada tahun 2003. Pada tahun 2005 NTP kembali mengalami penurunan menjadi 100,66, disebabkan terutama oleh kenaikan harga BBM. Namun rata-rata NTP pada tahun 2006 petani kembali meningkat menjadi 102,49, dengan kecenderungan yang terus membaik. NTP bulanan juga menunjukkan adanya pencapaian yang cukup tinggi seperti pada bulan Januari 2007 yang mencapai 108,29.

Dari sisi produktivitas tenaga kerja, nilai PDB per tenaga kerja di sektor pertanian berdasarkan data resmi BPS, pada harga konstan 2000, setelah menurun pada tahun 1998-1999, pendapatan tenaga kerja pertanian meningkat konsisten selama periode tahun 2000-2004. Rata-rata pendapatan tenaga kerja pada pada tahun 2003 sebesar Rp 5,09 juta dan meningkat menjadi Rp 5,49 juta pada tahun 2004 atau meningkat sebesar 7,8 persen. Pada tahun 2005 dan 2006 rata-rata pendapatan tenaga kerja pertanian meningkat lagi menjadi masing-masing Rp 6,09 juta dan Rp 6,55 juta. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan petani selama periode 2003-2006 telah meningkat secara signifikan.

Sektor pertanian masih menjadi andalan dalam penyerapan tenaga kerja. Kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mencapai sekitar separuh dari angkatan kerja nasional. Pada tahun 2004 tenaga kerja yang terserap pada sektor pertanian tercatat sebesar 40,61 juta orang, tahun 2005 mencapai 41,81 juta orang, dan tahun 2006 sebesar 40,14 juta orang. Angka-angka ini menunjukkan besarnya kapasitas sektor pertanian didalam menyerap tenaga kerja, terutama di pedesaan. Meskipun tidak menjanjikan pendapatan yang besar, namun bagaimanapun mereka telah dapat bertahan hidup dari pertanian. *****

Kita sering merasa bahwa pertanian Indonesia selalu suram

Pendapat seperti ini tidak berdasar. Dari sisi neraca perdagangan (balance of trade) komoditas pertanian (diluar kehutanan dan perikanan), sesungguhnyaa terus mengalami peningkatan secara konsisten. Nilai ekspor selalu lebih tinggi dari impor, dan peningkatan ekspor juga lebih tinggi dibandingkan impor. Bukankah hal ini perlu diapresiasi?

Pada periode 2004-2006 sebagai contoh, nilai ekspor komoditas pertanian yang tahun 2004 sebesar US$ 9,9 milyar, meningkat menjadi US$ 11,6 milyar pada tahun 2005, dan meningkat lagi menjadi US$ 14,9 milyar pada tahun 2006. Sementara nilai impor komoditas pertanian dalam periode yang sama hanya mengalami peningkatan yang relatif kecil yaitu dari US$ 5,0 milyar tahun 2004 menjadi US$ 5,1 milyar tahun 2005, dan menjadi US$ 6,0 milyar tahun 2006.*****

Pemerintah sering dicap tidak memperhatikan kebutuhan modal petani

Sebenarnya semenjak dahulu pemerintah telah menggelontorkan banyak sekali bentuk pendanaan ke petani. Yang paling marak adalah KUT, mulai dari era Bimas. Terakhir, bulan Maret 2008 ini pemerintah menghapuskan tunggakan KUT yang masih Rp. 5 trilyun lebih.

Tahun 2006-2007 ini, Deptan menggulirkan berbagai bentuk skim pembiayaan lain. Yang paling utama adalah Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3) senilai Rp 635 miliar, dan KKP-E senilai Rp. 10,86 triliun. Kegiatan yang telah berjalan dua tahun ini guna membantu petani yang tak memiliki agunan (collateral) untuk akses ke perbankan. Dari penempatan dana sebesar Rp 255 miliar tahun 2006 saja, telah tersalur kredit sekitar Rp. 295 miliar. Sasaran penyediaan kredit mencapai lima kali lipat. Untuk tahun 2007 dan selanjutnya, dana SP3 yang sudah dianggarkan dirubah sistem penjaminannya menjadi penjaminan oleh PT ASKRINDO dan Perum Sarana Pengembangan Usaha (PSPU). Disamping SP3, mulai tahun 2007 ini telah tersedia fasilitas Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yang meningkat dari Rp. 2,4 triliun menjadi Rp 10,86 triliun.

Pola SP3 ini sekarang lalu dikembangkan menjadi Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang mulai digulirkan tahun 2008. Kegiatan ini bertolak dari Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMK). Program ini berupaya mengintegrasikan berbagai program penjaminan kredit untuk UMK dan koperasi (UMKdan K) yang selama ini tersebar di berbagai departemen dan instansi.

Tujuan kegiatan KUR adalah untuk mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMK dan K, meningkatkan aksesnya terhadap lembaga keuangan, dan dalam konteks penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja. Pada hakekatnya, KUR adalah kredit modal kerja dan kedit ivestasi yang diberikan kepada unit usaha produktif yang didukung melalui program penjaminan, termasuk usaha di sektor pertanian yang umumnya belum bankable.

Peserta KUR dapat berupa individu, kelompok, atau koperasi dengan besar kredit maksimum Rp. 500 juta per nasabah. Sumber dana sepenuhnya dari Bank Pelaksana dengan
suku bunga maksimum 16 persen per tahun, sedangkan prosentase jumlah penjaminan 70 persen dari total kredit yang diberikan bank. Jangka waktu kredit untuk kategori kredit modal kerja maksimum 3 tahun, sedangkan untuk kredit investasi maksimum 5 tahun. Untuk kegiatan agribisnis, bidang-bidang usaha yang dapat dibiayai mulai dari sektor hulu yaitu untuk pengadaan sarana produksi dan alsintan, sektor on-farm, dan sektor hilir baik untuk pengolahan maupun pemasaran hasil pertanian.

Sampai Januari tahun 2008, realisasi penyaluran KUR sebesar Rp. 1,397 trilyun yang diberikan oleh Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, Bank BNI, Bank BTN, dan Bank Syariah Mandiri. Diharapkan kegiatan ini akan terus berkembang, karena pelaksanaan SP-3 sebelumnya yang dilakukan dengan strategi yang sama terbukti memuaskan baik bagi petani dan pelaku usaha maupun perbankan. *****

Senin, 10 Maret 2008

Siapa bilang Indonesia pengimpor pangan terbesar

Kita sangat sering membaca tulisan di surat kabar misalnya, bahwa Indonesia adalah negara pengimpor pangan terbesar. Pendapat ini keliru. Ini karena mereka tidak pernah mencermati data-data yang dikeluarkan lembaga resmi, misalnya BPS, FAO, dan lain-lain.

Saat krisis ekonomi 1998-1999 memang kita sempat mengimpor sampai 2,9 dan 4,7 juta ton beras. Tapi semenjak itu terus menurun. Bahkan tahun 2005 kita mampu mengekpor beras sebanyak 42,3 ribu ton. Ini jelas sebuah prestasi. Apa ada yang memberitakan ini?

Tahun 2007 kita hanya mengimpor 380 ribu ton beras. Dibandingkan dengan produksi total kita yang 32 juta ton, itu hanya 1,2 persen. Sangat kecil. FAO memberi batasan 10 persen untuk sebutan negara berswasembada. Deptan bahkan bertekad lebih ketat lagi, yaitu hanya 5 persen. Jadi, kita di tahun 2007 berswasembada, dan juga beberapa tahun terakhir. Tahun 1984 yang disebut-sebut sebagai "tahun swasembada", bahkan kita masih mengimpor 390 ribu ton. Jadi, jangan keliru. Impor bukan berarti tidak swasembada, asal jumlahnya masih di bawah batas.

Lalu siapa sesungguhnya negara pengimpor pangan terbesar? Mari lihat data FAO. Untuk periode 2001-2005, pengimpor beras terbesar di Asia adalah Filipina yaitu 8,86 persen dari kebutuhannya. Di level dunia, negara pengimpor beras terbesar adalah Nigeria, pengimpor terbesar jagung adalah Jepang, pengimpor terbesar kedelai adalah China, dan gula adalah Belgia. Sekali lagi, Indonesia bukan negara pengimpor pangan terbesar di dunia. Anda tidak percaya, silahkan periksa data FAO. *****

Siapa bilang Indonesia pengimpor pangan terbesar

Media massa paling senang menulis sesuatu yang mereka tidak paham. Seperti kata Wapres kita, mereka senang sekali menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Kalau faktanya benar sih silahkan saja. Mereka menjelekkan, karena memang senang menjelekkan, tanpa mencari tahu dulu bagaimana sih kondisi sebenarnya. Berkali-kali diberitakan bahwa Indonesia adalah negara pengimpor pangan terbesar. Ini jelas keliru.

Tahun 1998 dan 1999, saat krisis, memang kita mengimpor beras sampai 2,9 dan 4,7 juta ton. Namun, semenjak itu terus turun. Tahun 2005 hanya 42,3 ribu ton. Terakhir, tahun 2007, hanya 380 ribu ton. Dibandingkan dengan produksi total beras kita yang 32juta, maka itu hanya 1,2 persen. Sangat kecil. Angka itu menunjukkan kita telah swasembada, karena menurut ketentuan FAO, jika masih di bawah 10 persen kebutuhan nasional, maka negara tersebut disebut "swasembada". Deptan telah bertekad untuk menggunakan ukuran yang lebih ketat, yaitu batasan maksimal 5 persen saja.

Ini yang orang sering salah paham. Tahun 1984 yang disebut-sebut sebagai tahun swasembada, di tahun itu kita impor beras 390 ribu ton. Jadi, bukan tidak impor di tahun itu. Ada impor, tapi tetap dikategorikan sebagai swasembada.

Jika kita lihat situasi dunia, sepanjang 2001-2005, berdasarkan data FAO, negara pengimpor pangan terbesar di Asia, yaitu rasio impor dengan produksi nasionalnya masing-masing; adalah Filipina untuk beras (8,86 persen), Jepang untuk jagung (20,08 persen), China untuk kedelai (44,32 persen), dan Rusia untuk gula (13,17 persen). Untuk level dunia, negara pengimpor beras terbesar adalah Nigeria, untuk jagung adalah Jepang, kedelai untuk China dan gula adalah Belgia. Sekali lagi, Indonesia bukan pengimpor pangan terbesar. Jika Anda tidak percaya, silahkan cek sendiri data FAO. ****