Jumlah pe-longok :

Rabu, 04 November 2015

UU No 23 tahun 2014 akan memperkuat Penyuluhan Pertanian Daerah

(dimuat dalam Koran "PADANG EKPRES" 31 oKTOBER 2015)
Keluarnya UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejak akhir tahun lalu berimplikasi luas terhadap kelembagaan penyuluhan nasional termasuk di daerah. Namun, sesungguhnya inilah kesempatan untuk memperkokoh keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian daerah. Pembentukan kelembagaan nantinya menggunakan indikator dan penilaian yang sistematis dan berbasiskan data riel secara kuantitatif. Ini untuk menggantikan Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Pengalaman Sumatera Barat yang membutuhkan waktu panjang dalam memperjuangkan keberadaan Bakorluh propinsi akan lebih kuat nantinya. Pada hakekatnya, UU 23 ini akan memperkuat keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian, karena sejalan dengan UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dengan kata lain, kebijakan ini pada hakekatnya sejalan dan harmonis satu sama lain.
Modernisasi penyuluhan
Undang-Undang No 16 tahun 2006 berupaya mendorong lahirnya modernisasi penyuluhan pertanian. Paradigma baru dalam UU terlihat dari lima hal berikut. Pertama, mendepankan asas demokrasi dan partisipasi.  Pasal 2 menyebutkan bahwa “Penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat”. Artinya, seluruh ide dan sikap positif pembangunan telah diadopsi dalam kalimat ini.
Kedua, penyuluhan tidak lagi pada sekedar peningkatan produksi pertanian, namun pada manusianya. Pasal 3 menyebut bahwa tujuan penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial. Dicakupnya objek “modal sosial” disini bermakna bahwa penyuluh pertanian Indonesia harus mempunyai fokus lebih luas dari sekedar individu petani (pengetahuan-sikap-ketrampilan), namun juga pada organisasi petani dan berbagai jaringan sosial yang terbentuk di masyarakat. Tujuan mulia ini dicapai dengan memberdayakan petani melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi.
Ketiga, menerapkan manajemen yang terintegratif yang tidak lagi terpasung ego sektoral. Pada Pasal 6 terbaca bahwa penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Keempat, pelibatan masyarakat petani, dan menjadikan petani sebagai subjek penyuluhan. Maka, pemerintah mengakui keberadaaan penyuluh swadaya, yang berasal dari para kontak tani dan petani maju di wilayahnya masing-masing.
Kelima, penyuluhan tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah. Selain penyuluh swadaya, kita juga akan memobiliasi para penyuluh swasta. Dengan UU ini pula dilahirkan Komisi Penyuluhan Pertanian sebagai organisasi independen yang dibentuk pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Unsurnya terdiri atas para pakar, akademisi, dan praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan dan pembangunan perdesaan.
Kongkurensi urusan penyuluhan
Kelembagaan penyuluhan pertanian yang ditata secara kongkurensi sesuai UU 23 tahun 2014 sangat sejalan dengan konsep otonomi daerah. Prinsipnya adalah demi mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani yang tersebar dengan tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang beragam. Artinya, desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan.

Indonesia telah bertekad untuk mengimplementasikan otonomi daerah, yang secara resmi disampaikan dengan bertolak atas UU No 22 tahun 1999 yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 2000. Tujuan otonomi daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaaan, dan kekhususan daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada 2 Oktober 2014 yang lalu, telah ditetapkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.  UU ini sangat strategis karena mengatur pembagian urusan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam semua aspek penyelenggaraan pemerintahan. Ini untuk menyempurnakan UU sebaelumnya, dimana dalam pembagian urusan misalnya, konsep negara kesatuan yang desentralistis belum sepenuhnya tergambar dalam pengaturan dan norma-norma yang ada sehingga seringkali masih dijumpai ketidakharmonisan hubungan antar kementrian dan lembaga dengan daerah, antar provinsi dan kabupaten/kota, dan antar daerah.
Ketidakjelasan pengaturan sering membuat kerjasama antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dan antar daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah belum dapat dilakukan secara optimal. Juga menyebabkan sulitnya menciptakan sinergi antara pembangunan pusat dengan daerah dan antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi tersebut. Kebijakan ini belum mampu mempercepat perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah.
Otonomi daerah dijalankan dengan 3 asas yaitu asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dengan basis ini,  pemerintahan daerah berkesempatan luas meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintahan daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat. Demikian pula untuk pemerintahan kabupaten/kota.
Namun, implementasi UU 23 tahun 2014 masih menunggu banyak kelengkapan. Misalnya ada 54 pasal yang mengamanatkan pembentukan PP. Untuk kelembagaan penyuluhan, ada 3 pasal penting yang berhubungan, yakni Pasal 15 berkenaan dengan perubahan terhadap  pembagan urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah, Pasal 18 tentang SPM, dan Pasal 21 berisi pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren.
Dalam pasal 15 UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah secara jelas disebutkan bahwa penyuluhan pertanian merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah, atau dilaksanakan secara konkurensi. Hal ini berimplikasi kepada pengelolaan sistem penyuluhan dalam hal peningkatan kompetensi, pengembangan profesionalitas dan juga karir penyuluh pertanian.
Penyuluhan Pertanian tidak menjadi bagian dalam lampiran UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dengan kata lain, penyuluhan pertanian tetap dijalankan dengan berpedoman kepada UU No 16 tahun 2006 tentang SP3K. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah sehingga tidak ada alasan untuk tidak memperhatikan kelembagaan dan operasionalisasi penyuluhan pertanian.
Karena proses ini membutuhkan waktu, dimana diberikan batasan maksimal 2 tahun yaitu semenjak UU No 23 tahun 2014 diundangkan, yakni sampai dengan 2 Oktober 2016, maka keberadaan kelembagaan penyuluhan di daerah tidak dirubah. Hal ini sudah diperjelas dengan Surat Edaran Mendagri tanggal 16 Januari 2015 yang intinya adalah untuk tidak melakukan perubahan dalam kelembagaan Badan Koordinasi dan Badan Pelaksana Penyuluhan di daerah.
Langkah Menteri Pertanian juga sangat tepat, dengan menyampaikan surat Nomor: 02/SM.600/M/1/2015 kepada Gubernur seluruh Indonesia perihal Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Inti dari pokok surat tersebut adalah bahwa sambil menunggu berbagai kelengkapan pertauran, maka penyelenggaraan urusan penyuluhan pertanian tetap dilaksanakan sesuai UU No. 16 tahun 2006 karena tidak bertentangan dengan  UU No 23 tahun 2014.
Untuk Sumatera Barat, dapat dikatakan bahwa apa yang sudah berlangsung saat ini sejalan dengan garis kebijakan pusat. Penyuluhan telah ditata secara konkurensi dan juga sejalan dengan prinsip otonomi daerah. Terbangunnya kelembagaan penyuluhan pertanian ini memiliki landasan teoritis  yang kuat karena didukung Komisi Penyuluhan Pertanian Daerah yang di dalamnya banyak dari kalangan akademisi dan juga praktisi, dimana ciri penyuluhan modern juga mulai diterapkan yakni berazaskan partisipatif, terbuka, dan demokratis.
(DR. Syahyuti: anggota Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional 2014-2019)

******