Jumlah pe-longok :

Minggu, 27 Desember 2015

Apa sih PENYULUHAN MODERN ?

Kritik terhadap penyuluhan klasik

Mahal, menghabiskan anggaran pemerintah
Tidak efisien dalam penggunaan anggaran dibandingkan dengan bidang
profesi lain di pemerintahan
Organisasinya besar , lamban, dan kaku
One way communication
Menurut Qamar (2005):
“The fact remains, however, that modernization and reforms are needed
in the existing national extension systems as a result of the many
global forces that are changing socio- economic and political
conditions in the world, creating new challenges and learning needs
for farmers in developing countries”.
Mengapa perlu moderniasi penyuluhan?
Menurut Swanson et al. (Swanson, Burton E.; Robert P. Bentz; and
Andrew J. Sofranko (eds). 2004: Improving Agricultural Extension: A
Reference Manual. www.fao.org):
1. Agroekologi: materi penyuluhan harus mampu merespon kebutuhan
teknologi yang sangat bergantung pada zona agroekologi yang berbeda
(agroecological zones), tidak lagi seragam sebagaimana revolusi hijau.
2. Political-economic: pengaruh dari tahap perkembangan negara (stage
of economic development), berapa besar investasi pemerintah dalam
kegiatan penyuluhan pertanian: seberapa besar ketergantungan ekonomi
nasional kepada sektor pertanian? Berapa warga negara yang masih
bergantung pada pertanian?
3. Sociocultural: perbedaaan kultural antar petani, language
differences and illiteracy, proporsi keterlibatan perempuan dan
laki-laki, pola agraria, struktur penguasaan lahan.
4. Kebijakan nasional: berkenaan dengan ketahanan pangan, berapa
surplus pangan mau diproduksi, market Intervention, infrastructure,
institutional factors, Research, Education and Training, Input Supply,
Credit, Farmer Organizations and NGO
Agricultural Extension Needed Paradigm Shift (Baldeo Singh, 2009):
1. Information now has real, measurable value
2. Public extension services are no more solesource of information
3. Essential shift from “provider mentality” to “user mentality”
4. Required shift from broadcasting to narrow casting
5. Instance Performance
6. Demand driven and customized information 6
Kondisi yang melatarbelakangi perlunya  PENYULUHAN MODERN:
- Karena itu kita membutuhkan suatu perubahan mendasar (revolution in
information technology).
INTINYA:
- Dunia penyuluhan menghadapi new people and new institutions (Rivera, 1997).
Tantangan baru dunia penyuluhan:
(Menurut M. Kalim Qamar. 2005. Modernizing National Agricultural
Extension Systems: A Practical Guide For Policy-Makers Of Developing
Countries. Senior Officer (Agricultural Training & Extension). Fao,
Rome. Http://Www.Fao.Org/.....)
• sustainable development
• rural improvement and agricultural advancement
• globalization
• market liberalization
• decentralization
• privatization and democratization
• new learning requirements for subsistence and commercial farmers in
developing countries.
• revolution in information technology

Tujuan modernisasi penyuluhan pertanian:
 “To make the national extension system demand- driven, gender
sensitive, participatory, bottom- up, and a relatively lean
organization, which could efficiently respond to farmers’ extension
and training needs emerging as a result of globalization, market
liberalization, decentralization, and democratization, making use of
information technology tools as far as possible”.
Apa kunci new professionalism in extension?
Menurut Roche (1992), Pretty and Chambers (1993), dan Pretty (1995) adalah:

1. Pendekaan partisipatif. “These participatory methods and approaches
represent an opportunity to build better linkages between the various
actors and to increase the learning from each other”.
2. New systems of participatory learning
3. New learning environments for professionals and local people
4. New institutional settings
5. Menciptakan organisasi penyuluhan yang bercirikan organissasi
pembelajar (learning organizations).

*****

Senin, 07 Desember 2015

Saat ini, khususnya pada paruh kedua tahun 2015 berlangsung perdebatan tentang bagaimana semestinya keberadaan penyuluhan pertanian di daerah. Pemahaman yang berkembang dapat dikelompokkan atas dua golongan pemikiran, yakni yang optimis dan MENDUKUNG serta sebaliknya yang pesimis dan MENOLAK keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah. Namun, yang mendukung posisinya lebih kuat.

Pemahaman Yang Optimis Dan Mendukung
Pihak yang mendukung pembentukan kelembagaan pertanian di daearah berlandaskan kepada UU 16 tahun 2006 dan UU no 19 tahu 2013, serta kepada landasan teoritis prinsip-prinsip penyuluhan pertanian modern yang sedang diperjuangkan di Indonesia. Beberapa alasan pokok adalah sebagai berikut:
Pertama, pendirian kantor penyuluhan pertanian di daerah sesungguhnya telah didukung kebijakan yang kuat, karena penyuluhan pertanian telah memiliki UU sendiri yakni UU No 16 tahun 2006. Dalam konteks perbandingan hukum seperti ini, UU no 16 tahun 2006 merupakan lex specialist artinya lebih tinggi dibandingkan UU 23 tahun 2014 yang lex generalis. Pada Pasal 63 ayat (2) KUHP  disebutkan bahwa “Lex specialis derogat legi generali” adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Hal ini juga didukung oleh UU 23 tahun 2014 tentang Pemda yang juga mendukung azas hukum ini. Pasal 231 berbunyi: “Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan memerintahkan pembentukan lembaga tertentu di Daerah, lembaga tersebut dijadikan bagian dari Perangkat Daerah yang ada setelah dikonsultasikan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan bidang pendayagunaan aparatur negara”.
Aturan lain yang sangat penting adalah Peraturan Presiden No 154 tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pada Pasal 2 dijelaskan bahwa kelembagaan penyuluhan mencakup mulai dari pusat sampai kecamatan. Azasnya adalah konkurensi. Lalu, pada Pasal 12 terbaca bahwa di tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan.
Kedua, UU 19 tahun 2013 yang sangat mendukung keberadaan penyuluhan di daerah, karena penyuluhan merupakan salah satu komponen untuk melakukan pemberdayaan petani. Hal ini setidaknya disampaikan dalam Pasal 1, 7, 46, dan 47. Kementerian Pertanian berpegang kuat kepada UU ini karena dilahirkan dan disusun untuk kepentingan pembangunan pertanian secara lebih khusus.
Ketiga,  Pasal 15 UU No 23 tahun 2014 yang secara jelas disebutkan bahwa penyuluhan pertanian merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah, atau dilaksanakan secara konkurensi. Hal ini berimplikasi kepada pengelolaan sistem penyuluhan dalam hal peningkatan kompetensi, pengembangan profesionalitas dan juga karir penyuluh pertanian.
Selengkapnya, Pasal 15 berbunyi: (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini, (2) Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pelaksanaan secara kongkurensi ini tentu sangat sejalan dengan konsep otonomi daerah, dengan berbasiskan prinsip demi mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani yang tersebar luas dengan tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang beragam. Artinya, desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan. Pendapat ini juga diperkuat oleh Pasal 345, dimana: (1) Pemerintah Daerah wajib membangun manajemen pelayanan publik dengan mengacu pada asas-asas pelayanan publik, dan (2) Manajemen pelayanan publik meliputi salah satunya adalah penyuluhan kepada masyarakat (ayat 2 point e).

Pemahaman yang Pesimis dan Menolak
Sebaliknya, kalangan yang tergolong menolak keberadaan penyuluhan di daerah berpandangan bahwa kata “penyuluhan pertanian” sama sekali tidak ada dalam UU 23 tahun 2014 ini. Dalam konteks Kementerian Pertanian hanya memasukkan urusan pemerintahan bidang ketahanan pangan serta pertanian. Pada Lampiran AA yakni “Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanian” terdiri atas 7 sub urusan yakni: sarana pertanian, prasarana pertanian, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian, perizinan usaha pertanian, karantina pertanian dan varietas pertanian. Sedangkan urusan pangan terdapat pada lampiran I yakni “Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pangan” terdiri atas 4 sub urusan yaitu: penyelenggaraan pangan berdasarkan kedaulatan dan kemandirian, penyelenggaraan ketahanan pangan, penanganan kerawanan pangan, dan keamanan pangan.
Pola fikir yang hanya berbasiskan bahwa penataan kelembagaan di daerah semata-mata berdasarkan kepada lampiran dalam UU ini tentu akan memaknai bahwa seolah-olah penyuluhan pertanian akan “dihilangkan” di daerah.

*****

Rabu, 04 November 2015

UU No 23 tahun 2014 akan memperkuat Penyuluhan Pertanian Daerah

(dimuat dalam Koran "PADANG EKPRES" 31 oKTOBER 2015)
Keluarnya UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejak akhir tahun lalu berimplikasi luas terhadap kelembagaan penyuluhan nasional termasuk di daerah. Namun, sesungguhnya inilah kesempatan untuk memperkokoh keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian daerah. Pembentukan kelembagaan nantinya menggunakan indikator dan penilaian yang sistematis dan berbasiskan data riel secara kuantitatif. Ini untuk menggantikan Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Pengalaman Sumatera Barat yang membutuhkan waktu panjang dalam memperjuangkan keberadaan Bakorluh propinsi akan lebih kuat nantinya. Pada hakekatnya, UU 23 ini akan memperkuat keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian, karena sejalan dengan UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dengan kata lain, kebijakan ini pada hakekatnya sejalan dan harmonis satu sama lain.
Modernisasi penyuluhan
Undang-Undang No 16 tahun 2006 berupaya mendorong lahirnya modernisasi penyuluhan pertanian. Paradigma baru dalam UU terlihat dari lima hal berikut. Pertama, mendepankan asas demokrasi dan partisipasi.  Pasal 2 menyebutkan bahwa “Penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat”. Artinya, seluruh ide dan sikap positif pembangunan telah diadopsi dalam kalimat ini.
Kedua, penyuluhan tidak lagi pada sekedar peningkatan produksi pertanian, namun pada manusianya. Pasal 3 menyebut bahwa tujuan penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial. Dicakupnya objek “modal sosial” disini bermakna bahwa penyuluh pertanian Indonesia harus mempunyai fokus lebih luas dari sekedar individu petani (pengetahuan-sikap-ketrampilan), namun juga pada organisasi petani dan berbagai jaringan sosial yang terbentuk di masyarakat. Tujuan mulia ini dicapai dengan memberdayakan petani melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi.
Ketiga, menerapkan manajemen yang terintegratif yang tidak lagi terpasung ego sektoral. Pada Pasal 6 terbaca bahwa penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Keempat, pelibatan masyarakat petani, dan menjadikan petani sebagai subjek penyuluhan. Maka, pemerintah mengakui keberadaaan penyuluh swadaya, yang berasal dari para kontak tani dan petani maju di wilayahnya masing-masing.
Kelima, penyuluhan tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah. Selain penyuluh swadaya, kita juga akan memobiliasi para penyuluh swasta. Dengan UU ini pula dilahirkan Komisi Penyuluhan Pertanian sebagai organisasi independen yang dibentuk pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Unsurnya terdiri atas para pakar, akademisi, dan praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan dan pembangunan perdesaan.
Kongkurensi urusan penyuluhan
Kelembagaan penyuluhan pertanian yang ditata secara kongkurensi sesuai UU 23 tahun 2014 sangat sejalan dengan konsep otonomi daerah. Prinsipnya adalah demi mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani yang tersebar dengan tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang beragam. Artinya, desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan.

Indonesia telah bertekad untuk mengimplementasikan otonomi daerah, yang secara resmi disampaikan dengan bertolak atas UU No 22 tahun 1999 yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 2000. Tujuan otonomi daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaaan, dan kekhususan daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada 2 Oktober 2014 yang lalu, telah ditetapkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.  UU ini sangat strategis karena mengatur pembagian urusan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam semua aspek penyelenggaraan pemerintahan. Ini untuk menyempurnakan UU sebaelumnya, dimana dalam pembagian urusan misalnya, konsep negara kesatuan yang desentralistis belum sepenuhnya tergambar dalam pengaturan dan norma-norma yang ada sehingga seringkali masih dijumpai ketidakharmonisan hubungan antar kementrian dan lembaga dengan daerah, antar provinsi dan kabupaten/kota, dan antar daerah.
Ketidakjelasan pengaturan sering membuat kerjasama antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dan antar daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah belum dapat dilakukan secara optimal. Juga menyebabkan sulitnya menciptakan sinergi antara pembangunan pusat dengan daerah dan antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi tersebut. Kebijakan ini belum mampu mempercepat perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah.
Otonomi daerah dijalankan dengan 3 asas yaitu asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dengan basis ini,  pemerintahan daerah berkesempatan luas meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintahan daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat. Demikian pula untuk pemerintahan kabupaten/kota.
Namun, implementasi UU 23 tahun 2014 masih menunggu banyak kelengkapan. Misalnya ada 54 pasal yang mengamanatkan pembentukan PP. Untuk kelembagaan penyuluhan, ada 3 pasal penting yang berhubungan, yakni Pasal 15 berkenaan dengan perubahan terhadap  pembagan urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah, Pasal 18 tentang SPM, dan Pasal 21 berisi pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren.
Dalam pasal 15 UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah secara jelas disebutkan bahwa penyuluhan pertanian merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah, atau dilaksanakan secara konkurensi. Hal ini berimplikasi kepada pengelolaan sistem penyuluhan dalam hal peningkatan kompetensi, pengembangan profesionalitas dan juga karir penyuluh pertanian.
Penyuluhan Pertanian tidak menjadi bagian dalam lampiran UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dengan kata lain, penyuluhan pertanian tetap dijalankan dengan berpedoman kepada UU No 16 tahun 2006 tentang SP3K. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah sehingga tidak ada alasan untuk tidak memperhatikan kelembagaan dan operasionalisasi penyuluhan pertanian.
Karena proses ini membutuhkan waktu, dimana diberikan batasan maksimal 2 tahun yaitu semenjak UU No 23 tahun 2014 diundangkan, yakni sampai dengan 2 Oktober 2016, maka keberadaan kelembagaan penyuluhan di daerah tidak dirubah. Hal ini sudah diperjelas dengan Surat Edaran Mendagri tanggal 16 Januari 2015 yang intinya adalah untuk tidak melakukan perubahan dalam kelembagaan Badan Koordinasi dan Badan Pelaksana Penyuluhan di daerah.
Langkah Menteri Pertanian juga sangat tepat, dengan menyampaikan surat Nomor: 02/SM.600/M/1/2015 kepada Gubernur seluruh Indonesia perihal Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Inti dari pokok surat tersebut adalah bahwa sambil menunggu berbagai kelengkapan pertauran, maka penyelenggaraan urusan penyuluhan pertanian tetap dilaksanakan sesuai UU No. 16 tahun 2006 karena tidak bertentangan dengan  UU No 23 tahun 2014.
Untuk Sumatera Barat, dapat dikatakan bahwa apa yang sudah berlangsung saat ini sejalan dengan garis kebijakan pusat. Penyuluhan telah ditata secara konkurensi dan juga sejalan dengan prinsip otonomi daerah. Terbangunnya kelembagaan penyuluhan pertanian ini memiliki landasan teoritis  yang kuat karena didukung Komisi Penyuluhan Pertanian Daerah yang di dalamnya banyak dari kalangan akademisi dan juga praktisi, dimana ciri penyuluhan modern juga mulai diterapkan yakni berazaskan partisipatif, terbuka, dan demokratis.
(DR. Syahyuti: anggota Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional 2014-2019)

******

Sabtu, 26 September 2015

Kebutuhan Grand Design Penyuluhan Pertanian Nasional


Sistem Penyuluhan Indonesia sesungguhnya membutuhkan suatu GRAND DESIGN penyuluhan yang berjangka panjang, yang penyusunan dan pelaksanaannya nanti membutuhkan keterlibatan dan keikutsertaan aktif semua pihak, terutama di kalangan internal Kementerian Pertanian. MASTERPLAN PENYULUHAN pertanian tersebut harus mampu mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan faktor-faktor berkenaan dengan figur dan profil dan kompetensi petani masa depan, profil usahatani dan pengusahaan pertanian, figur dan profil penyuluh pertanian masa depan, dinamika dan profil sumberdaya lahan pertanian, serta kebutuhan Diklat Pertanian untuk meningkatkan kompetensi penyuluh pertanian  masa depan.
Secara jujur harus diakui, apresiasi dan persepsi pihak terkait terhadap penyuluhan pertanian belum optimal, bahkan termasuk pada kalangan Direktorat Jenderal teknis di lingkup Kementan. Sampai saat ini, urusan penyuluhan seolah ekslusif hanya menjadi tanggung jawab BPPSDMP.
Satu hal mendasar yang membutuhkan perjuangan berkenaan dengan redefinisi KONSEP DAN CAKUPAN PENYULUHAN PERTANIAN. Kegiatan penyuluhan pada hakekatnya berupaya meningkatkan kecerdasan bangsa, khususnya petani dan keluarganya. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan nasional, sebagaimana amanat pada pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, semestinya penyuluhan pertanian tidak akan kekurangan perhatian dari pemerintah.
Selain itu, secara konseptual, penyuluhan pertanian adalah kegiatan PENDIDIKAN NONFORMAL terhadap sasaran penyuluhan yakni petani dan keluarganya. Dengan dasar ini, maka semestinya penyuluhan pertanian bisa memperoleh alokasi dari porsi anggaran Kemendiknas yang besarnya sangat memadai yakni 20 persen dari total APBN.

*****

ANGGARAN dan PEMBIAYAAN PENYULUHAN

Garis Kebijakan:
UU 16 tahun 2006 secara khusus membahas aspek pembiayaan pada Bab IX. Dalam Pasal 32 terbaca bahwa untuk penyelenggaraan penyuluhan yang efektif dan efisien diperlukan pembiayaan yang memadai, dimana sumber pembiayaan disediakan melalui APBN dan APBD, juga bahkan secara sektoral maupun lintas sektoral, maupun sumbersumber lain yang sah dan tidak mengikat.
APBN menanggung pembiayaan penyuluhan yang berkaitan dengan tunjangan jabatan fungsional dan profesi, biaya operasional penyuluh PNS serta sarana dan prasarana. Sedangkan APBD bertanggung jawab untuk PENYELENGGARAAN PENYULUHAN di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Pemerintah juga harus membantu penyuluhan yang diselenggarakan oleh penyuluh swasta dan penyuluh swadaya.
Lebih detail hal ini diatur dalam Permentan No 43 tahun 2009 tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan. Permentan ini sebagai amanat dari pasal 33 dan 34 UU SP3. Pada Pasal 3 Permentan ini terbaca bahwa Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota mengalokasikan anggaran pembiayaan penyuluhan berdasarkan tugas dan kewenangannya sesuai kemampuan keuangan masing-masing.
Pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan meliputi: biaya operasional kelembagaan penyuluhan, biaya operasional penyuluh PNS, biaya pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana; dan biaya tunjangan profesi penyuluh. Biaya operasional mesti mencakup biaya operasional (Pasal 5) untuk kelembagaan penyuluhan dari pusat sampai desa yang meliputi badan penyuluhan, badan koordinasi penyuluhan, badan pelaksana penyuluhan, balai penyuluhan, dan pos penyuluhan.
Permasalahan yang Dihadapi
Secara umum, biaya yang disediakan untuk penyuluhan kecil dan tidak memadai. Secara tidak langsung hal ini mengakibatkan melemahnya semangat kerja penyuluh pertanian, dan efektivitas penyuluhan. BOP penyuluhan yang kurang disebabkan karena keterbatasan besaran dana terutama di daerah yang relatif terpencil dan kerumitan birokrasi pemerintah daerah. Minimnya alokasi anggaran sangat terasa pada masa menunggu lahirnya Perpres Kelembagaan yakni Perpres No 154 tahun 2014.
KOMITMEN PIMPINAN DAERAH terhadap pengembangan kualitas dan kuantitas penyuluh kurang. Penyebab secara tidak langsung misalnya adalah karena kelembagaan penyuluh yang di beberapa wilayah belum terpisah dan sendiri dalam Bapeluh. Selain itu, adalah karena kekeliruan memaknai kegiatan pertanian sebagai “urusan pilihan” yang boleh dinomorduakan.
Demikian pula untuk penyuluh THL TBPP, dimana ada daerah yang bahkan tidak menyediakan tambahan honor 2 bulan, karena yang disediakan pusat hanya 10 bulan. Besar BOP untuk penyuluh juga sangat variatif, demikian pula pembiayaan untuk pembangunan dan operasional kantor Balai Penyuluhan. Lemahnya anggaran penyuluhan secara nasional disebabkan belum adanya penyamaan persepsi tentang pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga penyuluh di tingkat BPPSDMP dan lingkup Kementerian.
Upaya Perbaikan Ke Depan
Karena kecilnya alokasi anggaran, maka diingatkan tentang keseriusan  komitmen dalam politik anggaran di APBD. Untuk itu, perlu dilakukan pendekatan khusus kepada direktorat penyusunan PBD di Kemendagri, sehingga alokasi anggaran untuk penyuluhan dapat lebih terjamin.
Kesulitan pembiayaan yang disebabkan oleh birokrasi perlu diatasi dengan kejelasan kelembagaan penyuluhan sebagai bagian yang harus dibiayai dari APBD daerah, sebagaimana tercantum jelas dalam Perpres No 154 tahun 2014 tentang Kelembagaan.
Kebijakan anggaran penyuluhan ke depan dapat mempertimbangkan insentif dan disinsentif dalam kinerja dan prestasi kelembagaan penyuluhan. Hal ini tentu perlu diawali oleh sikap Pemda untuk memprioritaskan sektor pertanian dan pangan. Prioritas pembiayaan yang pokok adalah untuk keberfungsian sarana prasarana dan pelayanan penyuluhan. Karena dana dari pihak luar dimungkinkan, maka KPPN menyarankan agar didorong pula peningkatan kemampuan untuk memanfaatkan (networking) sumber daya lain yang tersedia misalnya dari program CSR dari perusahaan-perusahaan di wilayah masing-masing.  
Selain ini semua, perlu digarisbawahi bahwa secara konseptual penyuluhan pertanian adalah kegiatan PENDIDIKAN NONFORMAL terhadap sasaran penyuluhan yakni petani dan keluarganya. Dengan dasar ini, maka menjadi relevan memaknai kegiatan penyuluhan sebagai bagian dari tanggung jawab sektor pendidikan nasional. Jika hal ini disepakati, maka kegiatan penyuluhan akan mendapat dukungan pendanaan yang sangat kuat, karena sektor pendidikan nasional mendapat minimal jatah anggaran yang sangat besar yakni 20 persen dari APBN.
Kebijakan anggaran penyuluhan perlu mempertimbangkan hal-hal berikut, yakni berupa skema insentif dan disinsentif sesuai prestasi dan pelayanan penyuluhan, serta memprioritaskan  pada pertanian, pangan, dan keberfungsian sarana prasarana dan pelayanan penyuluhan.

*****

PENYELENGGARAAN PENYULUHAN

Programa, Metode, dan Evaluasi

Penyelenggaraan penyuluhan yang dimaksud dalam bab ini mencakup mulai dari penyusunan programa, pelaksanaan penyuluhan, dan evaluasi kinerjanya.
Garis Kebijakan
Dalam Permentan No 52 tahun 2009 tentang Metode Penyuluhan Pertanian, Metode Penyuluhan pertanian adalah “cara atau teknik penyampaian materi penyuluhan agar petani tahun, mau, dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya sebagai usaha untuk meingkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan dan kesejahteraannya, serta kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup”.
Metode dalam hal teknik komunikasi dapat berupa pertemuan langsung dan tidak langsung, sementara dalam hal sasaran dapat berupa perorangan, kelompok dan juga massal. Dalam pelaksanaannya penyuluh juga dapat memilih metode temu wicara, temu karya, temu lapang dan temu usaha; serta juga kaji terap, karya wisata, kunjungan (rumah dan usaha), kursus tani, magang, mimbar sarasehan, pemutaran film, borsur, leaflet, dan lain-lain. Intinya, metode yang tersedia sangat terbuka dan variatif.
Bagaimana memilih metode yang sesuai? Dasar pertimbangan yang perlu diperhatikan terutama berkaitan dengan tahapan dan kemampuan adopsi inovasi sasaran. Tahapan adopsi inovasi terdiri atas tahap penumbuhan perhatian, penumbuhan minat, tahap menilai, tahap mencoba, dan tahap menetapkan. Pasal 26 UU SP3 telah mengingatkan agar penyuluhan dilakukan dengan menggunakan PENDEKATAN PARTISIPATIF melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha.
Lebih jauh berkenaan dengan programa, Permentan No 25 tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian, disebutkan agar programa penyuluhan dapat merespon secara lebih baik ASPIRASI PELAKU UTAMA DAN PELAKU USAHA di perdesaan. Programa disusun dengan memperhatikan keterpaduan dan kesinergian programa penyuluhan pada setiap tingkatan. Keterpaduan mengandung maksud bahwa programa penyuluhan pertanian disusun dengan memperhatikan programa pertanian penyuluhan tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan tingkat nasional. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kesinergian yaitu bahwa programa penyuluhan pertanian pada tiap tingkatan mempunyai hubungan yang bersifat saling mendukung. Penyusunan programa penyuluhan dimulai dari tahapan perumusan keadaan, lalu penetapan tujuan, penetapan masalah, penetapan rencana kegiatan, rencana monev, dan berakhir dengan revisi programa penyuluhan.
UU 16 tahun 2006, yakni Bab VII tentang PENYELENGGARAAN, pada Pasal 23 berkenaan dengan Programa penyuluhan disebutkan bahwa Programa penyuluhan dimaksudkan untuk memberikan arah, pedoman, dan alat pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan penyuluhan. Programa penyuluhan terdiri atas programa penyuluhan desa/kelurahan atau unit kerja lapangan, programa penyuluhan kecamatan, programa penyuluhan kabupaten/kota, programa penyuluhan provinsi, dan programa penyuluhan nasional. Programa penyuluhan disusun dengan memperhatikan keterpaduan dan kesinergian programa penyuluhan pada setiap tingkatan. Pasal 24 telah mengingatkan agar Programa penyuluhan JANGAN NORMATIF dan ABSTRAK, namun harus terukur, realistis, bermanfaat, dan dapat dilaksanakan serta dilakukan secara partisipatif, terpadu, transparan, demokratis, dan bertanggung gugat.
Pada hakekatnya, UUU No 16 tahun 2006 telah memuat berbagai pemikiran dan relatif sejalan dengan paradigma baru penyuluhan pertanian. Hal ini terlihat dari: Pertama, pada Bab Asas, Tujuan, Dan Fungsi, yakni Pasal 2 disebutkan bahwa “Penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat”. Dapat dikatakan, hampir seluruh ide dan sikap positif pembangunan telah diadopsi dalam kalimat ini, utamanya pada asas demokrasi dan partisipasi.
Kedua, penyuluhan tidak lagi pada sekedar peningkatan produksi pertanian, namun pada manusianya. Pasal 3 menyebut bahwa tujuan penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial. Dicakupnya objek “modal sosial” disini bermakna bahwa penyuluh pertanian Indonesia harus mempunyai fokus lebih luas dari sekedar individu petani (pengetahuan-sikap-ketrampilan), namun juga ORGANISASI PETANI dan berbagai jaringan sosial yang terbentuk di masyarakat.
Tujuan mulia ini dicapai dengan memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi (point b).
Ketiga, menerapkan manajemen yang TERINTEGRATIF, tidak lagi terpasung ego sektoral. Pada Pasal 6 terbaca bahwa penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan. Lalu pada Pasal 7 disebutkan “Dalam menyusun strategi penyuluhan, pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan kebijakan penyuluhan dengan melibatkan pemangku kepentingan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan”.
Keempat, pelibatan masyarakat petani, dan menjadikan petani sebagai subjek penyuluhan. Pada point b pasal 6 disebutkan: “penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkat administrasi pemerintahan”. Semangat ini dikuatkan oleh Pasal 29, dimana pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong peran serta pelaku utama dan pelaku usaha dalam pelaksanaan penyuluhan.
Kelima, penyuluhan tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah, dengan diakuinya keberadaan penyuluh swadaya yang  berasal dari petani dan penyuluh swasta. Dengan UU ini dilahirkan pula Komisi Penyuluhan Pertanian sebagai organisasi independen yang dibentuk pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang terdiri atas para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan perdesaan. Selain ini, juga dibentuk wadah koordinasi penyuluhan nasional yang bersifat nonstruktural.
Selanjutnya, Permentan No 91 tahun 2013 Tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyuluh Pertanian, menyebutkan bahwa EVALUASI KINERJA Penyuluh Pertanian adalah “suatu kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan untuk mengukur tingkat keberhasilan berdasarkan parameter kinerja Penyuluh Pertanian dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya”. Indikator penilaian kinerja mencakup mulai dari persiapan sampai pelaksanaan, serta evaluasi dan pelaporan. Pada aspek Persiapan Penyuluhan Pertanian adalah: (1) Membuat data potensi wilayah dan agro ekosistem, (2) Memandu (pengawalan dan pendampingan) penyusunan RDKK, (3) Penyusunan programa penyuluhan pertanian desa dan kecamatan, dan (4) Membuat Rencana Kerja Tahunan Penyuluh Pertanian (RKTPP).
Sedangkan pada pelaksanaan penyuluhan mencakup bagaimana pelaksanaan penyebaran materi penyuluhan,  penerapan metoda penyuluhan, peningkatan kapasitas petani, menumbuhkan dan mengembangkan kelembagaan petani secara kuantitas dan kualitas, serta bagaimana keberhasilan peningkatan produktivitas usaha tani petani.  
Evaluasi  kinerja  dilakukan  mulai bulan Oktober sampai dengan Desember tahun berjalan, dimana metodenya dilakukan secara  Mandiri  oleh  Penyuluh Pertanian dengan menggunakan instrumen penilaian  Formulir 1.A dan 1.B. Hasil Evaluasi Kinerja secara Mandiri akan diverifikasi oleh Tim Evaluasi Kinerja secara berjenjang di wilayahnya.
Dalam Permentan No 45 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluh Pertanian telah ditetapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang penyuluhan pertanian dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 43 Tahun 2013. SKKNI tersebut merupakan acuan sertifikasi profesi Penyuluh Pertanian. Melalui sertifikasi profesi diharapkan terwujud Penyuluh Pertanian yang profesional sehingga penyelenggaraan penyuluhan dapat terjamin mutunya dan mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai penerima manfaat.  Uji kompetensi direncanakan dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat menjamin bahwa semua persyaratan dilakukan secara objektif dan sistematis dengan bukti-bukti yang terdokumentasi.
Sertifikasi profesi Penyuluh Pertanian memiliki banyak manfaat yaitu: (1) melindungi profesi Penyuluh Pertanian dari praktik yang tidak kompeten yang dapat merusak citra profesi Penyuluh Pertanian, (2) melindungi masyarakat dari praktik penyuluhan pertanian yang tidak bertanggung jawab, dan sekaligus (3) menjamin mutu penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
Pada Bab II Prosedur Sertifikasi Profesi, disebutkan bahwa Lembaga Pelaksana  adalah Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian selaku LSPP- 1 PP PNS. LSP yang mendapatkan lisensi dari BNSP berhak melaksanakan sertifikasi profesi bagi Penyuluh Pertanian Swasta dan Penyuluh Pertanian Swadaya. LSP dimaksud dibentuk atas dasar komitmen bersama antara pihak Pemerintah (Kementerian Pertanian), Asosiasi Profesi Penyuluh Pertanian, dan pemangku kepentingan lainnya.
Ruang lingkup dan Metode Uji Kompetensi mencakup unit kompetensi sesuai dengan kerangka kualifikasi profesi Penyuluh Pertanian seperti yang telah ditetapkan dalam SKKNI bidang penyuluhan pertanian. Metode uji kompetensi dilaksanakan melalui tes tertulis, wawancara, portofolio dan unjuk kerja. Uji ini berlaku untuk PPL PNS, swadaya dan swasta dengan prosedurnya masing-masing.
Permasalahan yang Dihadapi
Berbagai permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan programa penyuluhan pertanian antara lain adalah:
(1) Belum tertibnya penyusunan programa penyuluhan pertanian di semua tingkatan;
(2) Naskah programa penyuluhan pertanian belum sepenuhnya dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian;
(3) Keberadaaan penyuluh pertanian tersebar pada beberapa dinas/instansi, baik di provinsi maupun kabupaten/kota;
(4) Programa penyuluhan pertanian kurang mendapat dukungan dari dinas/instansi terkait; dan
(5) Penyusunan programa penyuluhan pertanian masih didominasi oleh petugas (kurang partisipatif).
Programa yang disusun masih sebatas kewajiban administratif yang belum sungguh-sungguh dijadikan acuan dalam operasional penyuluhan sehari-hari. Materi di dalamnya juga cenderung NORMATIF, ABSTRAK, dan KUALITATIF.
Upaya Perbaikan Ke Depan
Penyelenggaraan penyuluhan merupakan elemen yang keberhasilannya bergantung kepada banyak elemen lain dari sistem penyuluhan. Untuk itu, sesuai prinsip partisipatif, maka kegiatan penyuluhan mesti bersifat INKLUSIF dimana setiap orang dapat berperan dalam penyuluhan, misalnya dengan mengoperasikan Sistem Pertanian Terpadu (SITANDU)  yang didukung Cyber Extension.
Efektivitas penyuluhan bisa ditingkatkan bila apresiasi terhadap kelembagaan penyuluhan pertanian sebagai ujung tombak pembangunan pertanian ditingkatkan. Indikatornya adalah adanya dukungan dinas dan instansi terkait layaknya program BIMAS dahulu. Implementasi tata kerja antara kelembagaan pembangunan pertanian harus didasari pemahaman peran badan pelaksana penyuluhan sebagai lembaga koordinasi yang berpotensi mampu mengurangi egosektoral dalam upaya penguatan keterpaduan pembangunan pertanian. Validasi data pertanian di lapangan dapat dilakukan melalui pemanfaatan Cyber Extension oleh penyuluh dalam menginput perkembangan data pertanian (waktu tanam, waktu panen, penggunaan benih, hasil, luas lahan, luas tanam, potensi wilayah, alih fungsi lahan, dll).
Keragaman nama, fungsi, dan struktur organisasi, serta pengorganisasian penyuluhan meningkatkan kompleksitas dan kendala dalam penyelenggaraan penyuluhan. Karena itu, rapat koordinasi antar kelembagaan merupakan celah masuk yang penting bagi kelancaran dan optimalisasi penyelenggaraan penyuluhan.
Kesenjangan informasi dan inovasi teknologi bagi para penyuluh terjadi karena kelemahan akses terhadap teknologi informasi, dan kekurangan inovasi teknologi. Lebih jauh lagi, insentif materi yang disediakan tidak merata akibat keterbatasan dukungan pendanaan ditingkat kecamatan dan desa. Terobosan-terobosan inovasi teknologi dimungkinkan sejalan dengan pendekatan penyuluhan partisipatif dan terintegrasi, untuk mengangkat temuan terobosan teknologi di tingkat petani maupun yang bersumber dari instansi terkait.
Pihak BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) di bawah Badan Litbang Pertanian melaporkan bahwa kedepan para peneliti dan penyuluh di BPTP diwajibkan lebih intensif berinteraksi dengan Balai Penyuuhan, dan akan menjadikan pelatihan disana sebagai tugas mereka. Peningkatan sinergitas materi, metode, dan penyuluhan, melalui cyber extension dan harmoni partisipasi peneliti, penyuluh, dan sasaran penyuluhan.
Pembangunan pertanian tidak bisa diseragamkan di seluruh wilayah pembangunan, dengan demikian perlu ada tipologi guna membedakan penanganan dalam pembinaannya, termasuk dalam kelembagaan dan penyelengaraan penyuluhan. Sistem penyuluhan perlu mendorong pengembangan sistem perkreditan,  pembiayaan, dan asuransi pertanian, serta memperjuangkan kemitraan sinergis antara petani lahan sempit dengan pelaku pertanian korporat dan pelaku yang lebih profesional, maupun koperasi pertanian. Guna meningkatkan kegiatan penyuluhan, diperlukan komitmen pimpinan dalam hal-hal mengatasi kendala biaya penyuluhan, dan penguatan insentif berupa penghargaan terhadap kiprah penyuluhan.

*****

PRASARANA dan SARANA PENYULUHAN

Balai Penyuluhan dan POSLUHDES
Aspek parasana dan sarana merupakan faktor penentu keefektifan penyelenggaraan penyuluhan, terutama pada level Balai Penyuluhan (BP) dan Posluhdes. Namun, secara umum dapat dikatakan dukungan terhadap hal ini masih lemah.
Garis Kebijakan
UU No 16 Tahun 2006 Pasal 8 dan Pasal 15 mengamanatkan pembentukan Balai Penyuluhan di tingkat kecamatan. Dasarnya adalah bahwa Balai Penyuluhan merupakan tempat Satuan Administrasi Pangkal (SATMINKAL) bagi Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Peran pokok balai ini adalah mengkoordinasikan, mensinergikan, dan menyelaraskan kegiatan pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan di wilayah kerja Balai. Balai Penyuluhan biasanya diberi nama “Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)” atau “Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Khutanan (BP3K)”.
Lalu, Permentan Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengelolaan Balai Penyuluhan, pada Bab II menyebutkan bahwa tugas BP ada 6 yakni: (1) menyusun programa penyuluhan pada tingkat kecamatan sejalan dengan programa penyuluhan kabupaten/kota; (2) melaksanakan penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan; (3) menyediakan dan menyebarkan informasi teknologi, sarana produksi, pembiayaan dan pasar; (4) memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama; (5) memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan; dan (6) melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usaha bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Sedangkan fungsi BPP adalah sebagai tempat pertemuan untuk MEMFASILITASI pelaksanaan tugas Balai sebagaimana diamanatkan Pasal 15 ayat (2) UU No 16 tahun 2006.
Pada intinya, peran BPTP adalah memfasilitasi mulai dari penyusunan programa, pelaksanaan penyuluhan, penyediaan dan penyebaran informasi, pemberdayaan dan    penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku  usaha, peningkatan kapasitas penyuluh, pelaksanaan proses pembelajaran melalui percontohan, dan model usaha tani.
Untuk menjalankan peran ini, maka telah disusun sarana minimal yang harus tersedia di Balai Penyuluhan. Sarana dimaksud meliputi sarana keinformasian, alat bantu penyuluhan, peralatan administrasi, alat transportasi, perpustakaan, dan perlengkapan ruangan.  Juga telah digariskan standar minimal Prasarana Lingkungan dan Prasarana Penunjang, dimana mesti ada rumah dinas, air baku, listrik PLN mimimal 2.200 watt dan 1 unit genset cadangan, Jalan lingkungan minimal menggunakan pengerasan pasir dan batu, pagar halaman, dan lahan balai minimal 1 ha. Dalam hal lokasi, persyaratan lokasi bangunan BPP mestilah mudah dilihat oleh masyarakat, mempunyai akses jalan, listrik dan telepon, mudah dikunjungi, dan letaknya di sentra produksi pertanian.
Untuk menyiapkan informasi yang diperlukan bagi petani, Balai Penyuluhan melakukan pengumpulan data dan informasi dengan cara mengakses Cyber Extension, pengumpulan data lapangan/survey, melaksanakan kaji terap, kaji tindak, dan konsultasi dengan instansi teknis.
Khusus berkaitan dengan tata hubungan kerja, hubungan kerja BPP dengan UPT/UPTD lingkup teknis dan camat adalah HUBUNGAN KOORDINATIF pelaksanaan penyuluhan dalam rangka pelaksanaan tugas Balai Penyuluhan. Sedangkan, hubungan kerja Balai Penyuluhan di Kecamatan dengan pos penyuluhan desa kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha di desa adalah hubungan yang bersifat PENDAMPINGAN dan KEMITRAAN.
Berikutnya, Permantan No 51 tahun 2009 Tentang Pedoman Standar Minimal Dan Pemanfaatan Sarana Dan Prasarana Penyuluhan Pertanian dikeluarkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal sarana dan prasarana penyuluhan pertanian, dan mengoptimalkan pemanfaatan sarana dan prasarana penyuluhan pertanian.  Pedoman diuraikan untuk kebutuhan mulai dari pusat sampai ke kecamatan. Sebagi contoh, untuk kecamatan sarana yang semestinya tersedia untuk Pusat Informasi mencakup komputer, display, kamera digital, Handycam, serta telepon  dan mesin fax. Lalu alat transportasi setidaknya tersedia kendaraan operasional roda dua.  Sedangkan untuk ruangan mesti tersedia ruang pimpinan, administrasi/TU, Kelompok Jabatan Fungsional, aula atau ruang rapat, perpustakaan, data dan system informasi, juga rumah dinas, sarana prasarana pendukung, sumber air bersih, penerangan PLN dan genset, jalan lingkungan, pagar dan lahan percontohan.
Permasalahan yang Dihadapi
Saat ini, bangunan dan kelengkapan BP belum standar. Kondisi kantor banyak yang tidak memadai, lahan pertanian banyak yang tidak ada, juga tidak ada listrik dan telepon. Kelengkapan BP sangat bergantung kepada komitmen dan dukungan anggaran dari dana APBD. Masih cukup banyak BP yang belum memiliki kantor sendiri.
Berbagai program pengembangan BP yang telah dijalankan tidak berjalan mulus, misalnya pengembangan cyber extension. Penyebabnya banyak, mulai dari kekurangan SDM, peralatan dan anggaran.
Secara umum pengelolaan BP masih kurang optimal, bahkan untuk BPP yang tergolong sebagai “BPP Model”. Dari kunjungan ke BP3K Pakisaji di Kabupaten Malang misalnya, terungkap bahwa biaya operasional BPP sangat minim, hanya ada anggaran untuk ATK sebesar Rp 2,5 juta per tahun. Akibatnya, untuk bayar listrik, air, dan bahkan memasang teralis kantor harus iuran antar kepala BP dan penyuluh.
Selain itu, banyak kepala Balai Penyuluhan merangkap sebagai kepala UPT Dinas Pertanian, sehingga beban pekerjaan menjadi berat. Pekerjaan sebagai kepala UPT jauh lebih menyita waktu, karena berupa pekerjaan-perkerjaan administrasi yang sangat banyak dan beragam.

Upaya Perbaikan
Dari permasalahan yang ditemui, agar standarisasi pelayanan disesuaikan dengan konteksnya melalui pemetaan kelembagaan BP sesuai klasternya. Jangkauan pelayanan penyuluh perlu dikaji yakni berapa rasio penyuluh-hamparan atau jumlah petani yang ideal. Hal ini akan menentukan pola manajemen di BP.
Untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan maupun standar kinerja kelembagaan penyuluhan, maka BP perlu difasilitasi sedemikian rupa sehingga bisa diposisikan sebagai pos simpul koordinasi kegiatan program pembangunan pertanian di kecamatan oleh lintas sektor. Karena itu, standar sarana dan prasarana sebagaimana sudah digariskan agar dipenuhi.
Implementasi Balai Penyuluhan sebagai pos simpul koordinasi kegiatan program pembangunan pertanian dan lintas sektor memerlukan adanya langkah-langkah operasional yang terukur dalam bentuk program dan kegiatan. Untuk itu, Kementerian Pertanian perlu secara periodik mengevaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan di Balai Penyuluhan. Optimalisasi anggaran disarankan dengan menggali sumber dana dari APBN, APBD maupun kemitraan dengan pihak swasta.
Peningkatan kapasitas balai penyuluhan juga disarankan dengan penguatan aktualisasi data dan cyber extension. Pengembangan cyber extension perlu didukung sepenuhnya oleh Kementerian Pertanian karena merupakan upaya yang tepat untuk mendekatkan dan memenuhi kebutuhan inovasi yang layak dikembangkan oleh para penyuluh. Upaya Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian dalam mengembangkan cyber extension perlu didukung dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai dan pelatihan dalam penggunaan akses internet. Perlu segera dikembangkan pada semua Balai Penyuluhan (BPK atau BP3K) kelengkapan perangkat komputer dan jaringan koneksi internet  yang baik. Untuk ini, agar dibangun link atau kerjasama untuk saling melengkapi  dan berbagi informasi dengan berbagai pihak yang menyediakan informasi inovasi pertanian termasuk dengan cyber extension dan Green TV yang dikembangkan oleh IPB misalnya.
Untuk memperkuat BP dalam pembangunan pertanian  disarankan ditempuh pola reward and punishment  untuk pimpinan daerah bersangkutan. Sementara, untuk di level pusat, karena posisi sentral BP mendukung program swasembada padi, jagung dan kedelai; maka perlu dijembatani  koordinasi dan sinergi lintas kementerian  dan lintas eselon I di lingkup Kementan. Revitalisasi BPTP sebagai bagian lembaga penyuluhan (sebagaimana BIP di masa lalu) diperlukan untuk meningkatan efektivitasnya dalam menggali inovasi tepat guna, melakukan uji lokasi terhadap teknologi tepat guna sesuai dengan potensi lokal.
Media komunikasi kebijakan pembangunan pertanian dan pemberdayaan sistem penyuluhan, serta pemberdayaan petani (seperti Majalah Ekstensia dan Cyber Extension), perlu ditingkatkan statusnya dan dikembangkan kualitasnya. Media komunikasi mitra Kementerian Pertanian (seperti Sinar Tani) perlu dipertahankan eksistensinya dengan meningkatkan penyaringan iklan di dalamnya.
Dibutuhkan kelengkapan sarana dan dukungan pengembangan BPP model. Bantuan sarana dan pembiayaan yang didukung pemerintah daerah mampu meningkatkan gairah penyuluh sehingga penyelenggaraan penyuluhan menjadi lebih optimal.
BPP perlu dilengkapi dengan sarana dan prasarana diseminasi inovasi yang kondusif bagi penggerakan Posluhdes, dan didampingi oleh penyuluh, sehingga di masa depan dapat menjadi fokus pengembangan penyuluhan pertanian. Keragaman nama, fungsi, dan struktur organisasi, serta pengorganisasian penyuluhan meningkatkan kompleksitas kendala dalam penyelenggaraan penyuluhan. Rapat koordinasi antar kelembagaan merupakan celah masuk yang penting bagi kelancaran dan optimalisasi penyelenggaraan penyuluhan.

*****

Pendidikan Dan Latihan Untuk Penyuluh Pertanian

Garis Kebijakan
Pasal 21 UU 16 tahun 2006 tentang SP3 menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan kompetensi penyuluh PNS melalui pendidikan dan pelatihan, memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, dan peningkatan kompetensi penyuluh.
Untuk lebih menjamin penyelenggaraan penyuluhan yang lebih efektif, maka kepala Balai Penyuluhan minimal berpendidikan profesi penyuluh (level 7 KKNI), sementara Kepala Bapeluh minimal level 8 pada bidang profesi penyuluhan yang didukung dengan SKB antara Kementerian terkait dengan Kemendagri. Cakupan kompetensi bagi pimpinan kelembagaan penyuluhan di antaranya mencakup fungsi manajemen, manajemen resiko, manajemen resolusi konflik, manajemen kolaboratif, merit system, management by objektive, entrepreneurship, serta kemitraan sinergis sistem agribisnis.
Balai Penyuluhan menjadi tempat pokok bagi pengembangan kapasitas penyuluh, karena disinilah kegiatan pelatihan untuk penyuluh secara rutin dijalankan. Agar efektif, sarana dan prasarana bagi upaya pemberdayaan penyuluh di Balai Penyuluhan mencakup perihal organisasi dan kelembagaan, memenuhi kebutuhan shareholder penyuluhan, dan memenuhi prinsip self control dan efektif. Dalam konteks penyelenggaraan, dibutuhkan koordinasi demi penyelarasan antar kementerian terkait untuk pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga penyuluh.
Permasalahan yang Dihadapi
Untuk pelatihan, semua pihak mengeluhkan rendahnya kesempatan untuk mengikuti pelatihan, Sebagai contoh, di Jawa Timur ada beberapa lembaga pelatihan pertanian yakni BLPP Ketindan dan Songgoriti, serta juga Balai Pengkajian dan Penyuluhan Pertanian (BPTP). Namun, untuk para penyuluh di Malang yang jaraknya dengan tempat pelatihan tersebut sangat dekat, kesempatan untuk berlatih sangat jarang dan terbatas.
Kesempatan penyuluh mengikuti pelatihan alih jenjang dari penyuluh terampil ke penyuluh ahli sangat kurang. Demikian juga dengan latihan dasar penyuluh dan latihan sertifikasi untuk memperoleh profesi penyuluhan masih sangat terbatas.  Hal ini disebabkan masih terbatasnya anggaran yang tersedia untuk kegiatan pelatihan yang memenuhi standar. 
Kesempatan latihan bagi penyuluh THL sangat terbatas, karena posisi kepegawaiannya yang belum kuat. Padahal latar belakang dan kapasitasnya bervariasi dan masih sangat lemah. Sementara, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pertanian bagi penyuluh dan petani belum selektif dalam memilih calon peserta pendidikan dan pelatihan dengan bertumpu pada kebutuhan pengembangan dan perluasan fungsi kompetensi secara berkelanjutan. Pengulangan peserta pada orang yang sama masih terjadi.
Permasalahan lain adalah dimana Widyaiswara dan dosen STPP belum memiliki persepsi yang sama tentang sasaran, target dan paradigma penyuluhan pertanian. Juga tidak ada kejelasan mekanisme  tata kerja dukungan dalam kegiatan pelatihan, yakni antar elemen pelaku penyuluhan.  Khusus berkenaan dengan pelatihan komoditas utama dalam Upsus (padi, jagung, kedelai), belum ada kejalasan pembagian  peran supervisor,  inovator,  pendamping,  dan fasilitator, termasuk training  assesment  sesuai dengan kebutuhan spesifik lokal untuk menjadi  penguat efektivitas pelatihan bagi sumberdaya  manusia pertanian.
Upaya untuk Perbaikan
Penyuluhan pertanian mengandalkan tenaga penyuluh THL TBPP namun dengan kapasitas yang cenderung rendah. Karena itu, penguatan kompetensi dan kapasitas profesional penyuluh perlu disertai pendidikan profesi dan standarisasi profesi yang didukung asosiasi profesi. Perencanaan SDM penyuluhan yang berorientasi profesi, baik jangka pendek maupun jangka panjang yang disusun sesuai tuntutan kebutuhan pembangunan pertanian perlu menjadi acuan dan komitmen pengembangan SDM penyuluhan.
Pelatihan profesi penyuluh pertanian perlu memprioritaskan PNS calon penyuluh dan THL-TB Penyuluh Pertanian yang telah terbukti menunjukkan kinerja, minat, komitmen dan potensi sebagai penyuluh pertanian, dengan rekrutmen yang selektif dan akurat.  Waktu atau jumlah jam latihan bagi penyuluh juga harus memadai.
Materi pelatihan penyuluh pertanian juga harus mencakup sistem agribisnis, internet (Cyber Extension) dan SKKNI Penyuluh. Materi penyuluhan lain yang dibutuhkan antara lain adalah materi yang berkaitan dengan misi dan manajemen pembangunan pertanian dalam arti luas.
Disamping kebutuhan jumlah tenaga penyuluh pertanian yang masih kurang, perlu diupayakan terobosan sehingga penyuluh pertanian ahli dapat menjadi pelatih bagi penyuluh lainnya di Balai Penyuluhan. 
Diingatkan pula bahwa pada hakekatnya metoda pengembangan kompetensi penyuluh dapat ditempuh melalui METODA LAKUSUSI yang berkelanjutan, aktual, kontekstual, dan adaptif. Pelatihan bersifat TOT (Lanjut) di Balai-balai terkait yang diberikan oleh widyaiswara, pakar terkait (peneliti dan dosen), figur pelaku usaha sukses (mitra sinergis), dan figur pelaku utama sukses. Pelatihan dua mingguan mesti dijalankan dengan terstandar, terprogram, sistematis dan masif aktual/kontekstual. Materi mencakup pengetahuan dasar yakni berupa process area (metoda penyuluhan) dan content area (pengembangan inovasi). Pelatihan khusus juga dibutuhkan untuk penguatan profesi penyuluh, sedangkan pendidikan formal penyuluh profesional dapat dilakukan melalui pendidikan profesi.

******

PENYULUH PERTANIAN SWADAYA DAN SWASTA


Pengakuan kepada penyuluh swadaya dan swasta lahir dari semangat partisipatif UU 16 tahun 2006 tentang SP3. Sesungguhnya penyuluh ini lah yang dapat menjadi solusi kelangkaan tenaga penyuluh. Namun, sayangnya perhatian untuk pengangkatan, mobilisasi dan manajemen penyuluh swadaya dan swasta sangat minim.
Garis Kebijakan
Keberadaan penyuluh swadaya dan swasta lahir karena prinsip PENYULUHAN PARTISIPATIF dalam UU No 16 tahun 2006. Sesuai dengan UU 16 tahun 2006 Penyuluh swasta adalah “penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan”, sedangkan Penyuluh Swadaya adalah “pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh”.
Berkaitan dengan ini, secara khusus telah diterbitkan Permentan 61 tahun 2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya Dan Penuyuh Pertanian Swasta. Tujuan Permentan ini adalah meningkatkan fungsi dan  peran Penyuluh Pertanian Swadaya dan Swasta dalam penyelenggaraan penyuluhan, meningkatkan motivasi mereka, menciptakan mekanisme kerja kemitraan dengan penyuluh pemerintah, serta meningkatkan kinerja dan profesionalisme mereka. Kedudukan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Swasta adalah sebagai MITRA Penyuluh Pertanian pemerintah, dimana keberadaan nya bersifat MANDIRI dan INDEPENDEN.
Fungsi yang dijalankan penyuluh swadaya dan swasta mencakup: menyusun rencana kerja, melaksanakan kegiatan penyuluhan, melaksanakan pertemuan koordinasi dengan penyuluh lain, mengikuti kegiatan rembug dan pertemuan-pertemuan lain, serta menyusun laporan kegiatan penyuluhan. Secara substansial, fungsi yang juga harus dijalankannya adalah menumbuhkembangkan kelembagaan petani, menjalin kemitraan usaha dengan pihak terkait, menumbuhkembangkan jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan petani, menyampaikan informasi dan teknologi, melaksanakan proses pembelajaran secara partisipatif.
Dukungan dan keberadaan penyuluh swadaya saat ini cukup besar, meskipun mobilisasinya di lapangan belum optimal. Sebagai contoh, dari sisi jumlah, jumlah penyuluh per Juli 2011 sebanyak 52.428 orang, terdiri dari penyuluh PNS 27.961 orang, penyuluh honorer 1.251 orang, THL-TB 23.216 orang,  Penyuluh Swadaya sebanyak 8.107 orang (Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDMPertanian, 2013). 
Permasalahan:
Permasalahan pokoknya adalah sudah hampir 10 tahun semenjak diundang tahun 2006, mobilisasi penyuluh swadaya dan swasta masih sangat terbatas. Permasalahan yang dihadapi Penyuluh swadaya dan swasta sebagaimana dalam Permentan No. 61 tahun 2008 adalah:
1. pembinaan terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluhan bagi penyuluh pertanian swadaya dan swasta belum memiliki arah yang jelas.
2. belum didayagunakan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha.
3. masih lemahnya fungsi dan peran penyuluh swadaya dalam penyelenggaraan penyuluhan,
4. masih rendahnya motivasi kerja
5. belum terciptanya mekanisme kerja antara ketiga jenis penyuluh, dan
6. belum terciptanya kinerja dan profesionalisme penyuluh swadaya. 
Dari hasil kunjungan kerja ke Jawa Timur tahun 2014 diperoleh informasi bahwa keberadaan penyuluh pertanian swadaya dan swasta sama sekali belum memperoleh perhatian dari jajaran penyuluhan. Program FEATI telah berhasil menseleksi dan mengangkat penyuluh swadaya masing-masing  dua orang per desa dimana program FEATI diimplementasikan. Namun, di luar program ini, pemerintah daerah tidak menargetkan pengangkatan penyuluh swadaya, karena masih ada ketidakjelasan bagaimana prosedur pengangkatan, mekanisme, pembinaan nantinya, termasuk kekuatiran terhadap implikasin pembiayaannya.
Khusus untuk penyuluh swasta, belum ada aktivitas apapun yang sudah dilaksanakan. Meskipun sehari-hari penyuluh dan petani telah berinteraksi dengan para pelaku swasta (suplier benih dan obat-obatan, dll), namun belum ada kerjasama yang konstruktif dan sistematis.
Rekomendasi untuk Mengoptimalkan Penyuluh Swadaya dan Swasta
Dalam hal penyuluh swadaya, pelibatan petani sebagai pendukung dan pelaku langsung dalam kegiatan penyuluhan telah berlangsung cukup lama dengan berbagai pendekatan. Di Indonesia, hal ini dimulai dari pelibatan kontak tani pada era Bimas sampai Supra Insus, lalu pendekatan “penyuluhan dari petani ke petani” (farmer to farmer extension) di P4S, serta pengangkatan penyuluh swakarsa (tahun 2004), dan terakhir penyuluh swadaya (sejak tahun 2008). Jumlah penyuluh swadaya sampai tahun 2014 lebih kurang 8.000 orang.
PENYULUH SWADAYA sangat strategis karena memiliki berbagai keunggulan, di antaranya adalah pengetahuan dan keterampilan teknologi lebih kuat meski spesifik karena mereka adalah pelaku langsung pertanian di lapangan. Karena ia hidup sehari-hari di tengah komunitasnya, maka penyuluh swadaya lebih mampu menciptakan penyuluhan yang partisipatif, lebih mampu mengorganisasikan masyarakat (Community-Organizing Role), mampu menjadi penghubung (change agent) yang lebih powerfull, dan Memiliki nilai lebih pada kepemilikan modal sosial.
Mereka juga menjadi agen bisnis yang potensial karena umumnya berlatar belakang pelaku usaha yang sukses. Penyuluh swadaya dapat disebut sebagai sosok yang lengkap. Jenis penyuluh ini melakukan kegiatan penyuluhan dengan motivasi sosial, pelayanan, namun sekaligus bisnis. Banyak penyuluh swadaya yang memiliki bisnis berupa penyedia sarana produksi, serta menampung dan memasarkan hasil pertanian. Sehingga, penyuluh swadaya sesungguhnya menyuluhkan teknologi baru kepada mitra bisnisnya sendiri. Jadi, dalam prakteknya, sosok penyuluh PNS dan swasta saling konvergen dalam diri penyuluh swadaya.
Berkenaan dengan PENYULUH SWASTA, mereka dapat berasal dari: (1) Perusahaan swasta (Private Bisnis) yakni sebagai penyedia input, perusahaan pengolahan, dan pemasaran; (2) Dari kalangan Non Profit Sector yakni perguruan tinggi, NGO, dan lain-lain; serta (3) Penyuluh berbayar (pay for service) yang dibayar oleh organisasi petani, bisa Gapoktan, atau asosiasi komoditas, atau oleh petani secara individual.
Perguruan tinggi memiliki potensi yang sangat besar dan dapat menjadi solusi dunia penyuuhan yang konstruktif. Selain anggaran yang besar (20 persen dari APBN), perguruan tinggi memiliki SDM yang sangat memadai yang terdiri atas dosen, mahasiswa, maupun staf teknis.   Praktek kerja lapangan (PKL) mahasiswa  atau magang juga dapat menjadi alternatif mengisi kekurangan jumlah penyuluh.
Dalam hal pembagian peran antar ketiga jenis penyuluh, belum ada sistem kerja yang jelas, misalnya pembagian jenis pekerjaan, wilayah kerja, pola kerjasaman, dan tanggung jawab administratif. Penyuluh PNS memiliki basis kerja pelayanan dan administrasi, sedangkan penyuluh swasta pada pelayanan dan mencari keuntungan.
Sesuai kemampuannya, penyuluh swadaya dan swasta akan lebih cenderung monovalent, bahkan spesifik hanya pada 1-2 komoditas bidangnya.  Untuk wilayah kerja, jika penyuluh PNS bertanggung jawab pada 1 sampai 3 desa, penyuluh swadaya lebih fokus di desa tempatnya berdomisili, sedangkan areal kerja penyuluh swasta lebih luas mencakup kawasan satu atau lebih kecamatan.
Karena target “satu penyuluh satu desa” semakin sulit dicapai, sesungguhnya penyuluh swadaya dan swasta dapat menutupi kekurangan ini. Karena itu, pemerintah nasional dan daerah semestinya menjadikan ini sebagai suatu solusi pemenuhan ketenagaan penyuluh yang selalu kurang. Pemanfaatan penyuluh swadaya untuk mengatasi keterbatasan jumlah penyuluh PNS perlu diperkuat dengan pelatihan atau upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi penyuluh.
Dari hasil kajian diperoleh bahwa penyuluh pertanian swadaya apabila dibandingkan dengan penyuluh pertanian PNS maupun THL-TB relatif lebih baik dalam menularkan informasi teknologi untuk berusahatani. Penyuluh pertanian swadaya lebih mampu mengorganisasikan masyarakat karena ketokohannya, lebih mudah dalam menjalankan fungsi penghubung.  UU No. 16 Tahun 2006 tidak hanya mengamanatkan penyuluh PNS saja, namun juga harus mulai dibina penyuluh swasta dan swadaya oleh karena itu perlu dipikirkan sistem pembinaannya.  Pensiunan penyuluh pertanian PNS juga dapat dimobilisasi menjadi penyuluh swadaya.

*******