BAB X. PENELITIAN TENTANG KEMISKINAN
10.1. Dinamika Topik Penelitian Kemiskinan
Tidak banyak informasi hasil penelitian yang menguak masalah kemiskinan
di Indonesia sebelum tahun 1970-an. Penelitian dalam skala terbatas dilakukan
beberapa universitas sebagai bagian dari topik kajian lain, semisal kajian
tentang gerakan intensifikasi tanaman padi ada bagian yang membahas isu
kemiskinan. Demikian juga kajian tentang pembangunan perdesaan yang
menyampirkan beberapa potret kemiskinan di perdesaan. Baru pada tahun 1970-an
penelitian dan analisis kemiskinan serta distribusi pendapatan secara makro
dilakukan oleh Sayogyo, Penny, Singarimbun, F. Poli, dan Hendra Esmara. Biro
Pusat Statistik (BPS) baru tahun 1984 mulai melakukan analisis masalah
kemiskinan dan mempublikasikannya pada Publikasi “Jumlah dan Persentase
Penduduk Miskin di Indonesia 1976-1981” (terbit tahun 1984). Sejak masa itu,
secara berkelanjutan BPS melakukan analisis kemiskinan dan distribusi
pendapatan, yaitu setiap tiga tahun, sesuai dengan ketersediaan data tentang
tingkat pengeluaran dan konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Komite Penanggulangan Kemiskinan Repulik Indonesia, 2002).
Pusat Penelitian Agro Ekonomi, dalam skala besar mulai memberikan
perhatian pada isu kemiskinan ini sejak awal tahun 1990-an. Diawali dengan
kajian dalam skala terbatas pada beberapa daerah dengan topik khusus, maka pada
tahun 1991-1992 dilakukan penelitian dengan topik “Identifikasi Wilayah Miskin
dan Upaya Penanggulangannya”. Kegiatan ini dilanjutkan pada tahun 1992-1993 dengan topik “Program
Penelitian Sumber Daya Alam dan Kapital: Identifikasi Wilayah Miskin dan
Alternatif Upaya Penanggulangannya”. Entah suatu kebetulan atau memang mengait
erat, secara politis masalah kemiskinan di Indonesia baru mendapat perhatian
cukup luas sejak tahun 1993, yaitu sejak Presiden Suharto mengungkapkan masalah
ini dalam pidatonya di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perhatian publik
semakin besar setelah pemerintah memperkenalkan program Inpres Desa Tertinggal
(IDT) pada tahun 1994.
Kajian oleh tentang kemiskinan ini berlanjut pada tahun 1993-1994 dengan
pelaksanaan penelitian tentang “Identifikasi dan Evaluasi Program/Proyek
Penanggulangan Kemiskinan”. Penekanan
penelitian ini lebih pada upaya mengevaluasi berbagai program penanggulangan kemiskinan
yang dijalankan lingkup Departemen Pertanian. Selain di laksanakan di 21
Provinsi, penelitian ini juga dikembangkan dalam tujuh penelitian terfokus,
yaitu: (1) Proyek Pembinaan Peningkatan Petani-Nelayan Kecil; (2) Subsektor
Tanaman Pangan; (3) Subsektor Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus; (4) Subsektor
Peternakan; (5) Sub Sektor Perikanan khususnya Usaha Penangkapan; (6) Proyek
Pengembangan Diversifikasi Pangan dan Gizi, dan (7) Proyek Pertanian dan Lahan
Kering.
Selain tiga penelitian besar diatas, pada tahun 1991-1992, dilaksanakan
penelitian dengan topik khusus, diantaranya “Penanggulangan Kemiskinan Melalui
Pengembangan Wilayah Lahan Kering; Kasus Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah”. Pada tahun 1993 dilakukan penelitian tentang
“Studi Komparasi Peranan Wanita dalam Penanggulangan Kemiskinan: Kasus P4K,
KUM, dan LSM ”. Kajian khusus ini dilanjutkan pada tahun 1994-95 dengan topik
“Studi Tentang Model Penanggulangan Kemiskinan Melalui Usahatani Terpadu”. Dari
hasil kajian ini dihasilkan empat buku mengenai kemiskinan yang terdiri dari
empat subjudul buku, yaitu: (1) Metodologi dan Review Model Penanggulangan
Kemiskinan, (2) Analisis Ekonomi Regional, (3) Agro Ekosistem Lahan Kering, dan
(4) Agro Ekosistem Pantai.
Setelah tahun 1995-an, kembali isu kemiskinan menghilang dalam berbagai
topik penelitian PSE-KP. Terjadinya krisis ekonomi akut pada awal tahun 1998
dan berlanjut dengan pergantian rezim pemerintahan dan kondisi kehidupan yang
sulit di masyarakat, telah mendongkrak jumlah penduduk miskin dan ini membuat
perhatian berbagai pihak terhadap isu kemiskinan kembali membesar. Menghadapi
kondisi ini, pada tahun 2000 topik kemiskinan kembali muncul dalam agenda
penelitian PSE-KP dengan topik penelitian “Identifikasi dan Penanggulangan
Kemiskinan Petani sebagai Akibat Krisis Ekonomi”.
Penelitian tentang kemiskinan berlanjut pada tahun 2002 dan 2003 dengan
topik penelitian “Strategi Penanggulangan Kemiskinan dalam Pembangunan
Partisipatif di Wilayah Agroekosistem Marjinal” dan “Kebijakan Sistem Usahatani
dan Program Kemiskinan dalam Mendukung Pengentasan Kemiskinan Petani”. Terakhir
pada tahun 2010 PSE-KP melaksanakan
penelitian dengan topik “Evaluasi Dampak Program Penanggulangan
Kemiskinan di Sektor Pertanian di Tingkat Rumah Tangga dan Wilayah Perdesaan”.
Dari berbagai hasil penelitian tersebut, berikut disarikan berbagai
temuan penting yang dikelompokkan atas tiga bagian, yakni tentang karakteristik
wilayah miskin, karakteristik penduduk miskin dan upaya penanggulangannya, dan
refleksi penelitian dan program kemiskinan.
10.2. Karakteristik Kemiskinan Wilayah
Karakteristik wilayah miskin untuk Indonesia awalnya dilakukan secara
parsial oleh berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Beberapa contoh
adalah penelitian yang dilakukan Penny
dan Singarimbun, yang dibukukan dengan judul
Penduduk dan Kemiskinan Kasus Srihardjo di Perdesaan Jawa (1976),
menilisik secara mendalam kemiskinan di perdesaan Jawa serta berbagai faktor
yang menjadi penyebabnya. Untuk skala yang lebih luas, pengkajian tentang
karakteristik wilayah miskin ini dilakukan oleh BPS pada awal tahun 1990-an.
BPS menyebut desa miskin ini dengan istilah “desa tertinggal”. Penentuan desa tertinggal didasarkan atas
data potensi desa yang dikumpulkan oleh Biro Pusat Statistik pada tahun 1993.
Dari informasi yang dikumpulkan, dilakukan uji statistik untuk memilih variabel
yang mempunyai korelasi dengan pendapatan penduduk, dimana diperoleh 25
variabel untuk daerah perkotaan dan 27 variabel untuk daerah perdesaan.
Variabel-variabel tersebut terdiri dari 10 variabel potensi dan
fasilitas desa, 8 variabel perumahan dan lingkungan, serta 7 variabel keadaan
dan potensi penduduk, disamping 2 variabel yang hanya berlaku untuk daerah
perdesaan. Variabel yang digunakan antara lain ketersediaan jalan utama desa,
lapangan usaha bagi mayoritas penduduk, fasilitas pendidikan, fasilitas
kesehatan, fasilitas komunikasi, kepadatan penduduk per kilometer persegi,
sumber air minum, sumber bahan bakar, persentase penggunaan listrik dan
persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian, serta jumlah penduduk
yang masuk kategori miskin.
Ketika awalnya data ini dirilis banyak daerah yang menunjukan keberatan,
karena berkaitan dengan kinerja pemerintah di suatu daerah. Dalam
perkembangannya, adanya program khusus yang diluncurkan pemerintah untuk
menangani wilayah tertinggal ini, yang dikenal dengan Inpres Desa Tertinggal
(IDT). Program ini membuat keadaan menjadi berbalik, dimana daerah berlomba
memperbanyak desanya yang masuk kategori miskin, dengan harapan akan mendapat
kucuran dana bagi pembangunan desa. Pada saat itu setiap desa tertinggal diberi
dana bergulir sebesar Rp 20 juta per tahun selama tiga tahun.
Pada tahun 1994, untuk pelaksanaan
program IDT tahun 1995/96, metodologi penentuan desa tertinggal ini
dikaji ulang dan dihasilkan penyempurnaan variabel menjadi 17 variabel untuk
daerah perkotaan (4 variabel potensi dan fasilitas desa, 5 variabel perumahan
dan lingkungan, serta 8 variabel keadaan dan potensi penduduk). Sementara untuk
daerah perdesaan digunakan 18 variabel (6 variabel potensi dan fasilitas desa,
3 variabel perumahan dan lingkungan, serta 9 variabel keadaan dan potensi
penduduk).
Penelitian “Identifikasi Wilayah Miskin dan Upaya Penanggulangannya” dilakukan PSE-KP secara serempak di 19
provinsi di Indonesia pada tahun 1991, dengan tujuan untuk mengetahui peta
wilayah miskin sampai dengan satuan wilayah kecamatan. Penelitian berupaya
mengidentifikasi karakteristik utama wilayah miskin dan penyebabnya, serta
memberikan rekomendasi alternatif upaya penanggulangan kemiskinan.
Penentuan wilayah miskin menggunakan tiga indikator yaitu Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB); indikator Kualitas Hidup Fisik (KHF) yang
meliputi tingkat kematian bayi, prosentase penduduk yang buta huruf dan status
gizi; dan indikator Kualitas Kenyaman Hidup
(KKH) yang meliputi konsumsi listrik,
pemilikan barang elektronik (TV), kualitas rumah, presentase pemakaian air
bersih, dan kepemilikan jamban/WC yang baik. Ketiga indikator tersebut
dianalisis dengan menggunakan analisis komponen utama (principle component analysis).
Hasil analisis secara umum menunjukkan bahwa wilayah miskin memiliki
tingkat KHF, KKH, dan PDRB yang rendah. Penduduk yang miskin sebagian besar
bermata pencaharian sebagai petani atau buruh tani dan tinggal di perdesaan
yang terisolir. Karakteristik wilayah miskin lainnya adalah: kurangnya sarana
dan prasarana seperti jalan yang rusak dan terbatasnya air, baik untuk irigasi
maupun air bersih untuk kebutuhan keluarga. Penyebab kemiskinan antara lain
tingkat pendidikan yang rendah dan tingginya angka buta huruf, terbatasnya
penguasaan teknologi khususnya teknologi pertanian dan sistem usahatani yang
tradisional, keterbatasan modal petani, kepemilikan lahan yang sempit atau
tidak memiliki lahan sama sekali.
Pemecahan masalah kemiskinan yang sangat kompleks ini harus bersifat
holistik dan terkoordinasi dengan memadukan empat faktor utama, yaitu:
kebijakan pemerintah, sistem pendukung yang efektif dan efisien, penerapan
teknologi yang kontinyu, dan partisipasi masyarakat dan swasta dalam
pengentasan kemiskinan. Beberapa rekomendasi yang dihasilkan sebagai alternatif
penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan program, antara lain: (1)
peningkatan sumber daya manusia melalui
pendidikan dan pembinaan mental masyarakat serta mempercepat adopsi teknologi
budidaya pertanian; (2) pengembangan potensi sumber daya alam melalui
pemanfaatan lahan pertanian dan pekarangan, pendayagunaan lahan kritis; dan (3)
Peningkatan sarana dan prasanara seperti jalan, jembatan, dan ketersediaan air
bersih.
“Program Penelitian Sumber Daya
Alam dan Kapital: Identifikasi Wilayah Miskin dan Alternatif Upaya
Penanggulangannya” merupakan
penelitian lanjutan untuk menggali informasi lebih dalam mengenai wilayah
miskin di perdesaan Indonesia yang belum diketahui secara lengkap. Penelitian
ini dilaksanakan di 26 provinsi, termasuk 19 provinsi yang telah diteliti pada
periode sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini tidak jauh beda dari
penelitian sebelumnya, yaitu memperoleh informasi mengenai lokasi wilayah
miskin, karakteristik wilayah miskin, penyebab utama kemiskinan, dan alternatif
penanggulangannya dari masing-masing provinsi.
Menentukan karakteristik wilayah miskin merupakan langkah awal dari
analisis penyebab kemiskinan. Pada penelitian ini karakteristik wilayah miskin
di bagi dalam lima karakter, yaitu: (1) sumber daya manusia, meliputi tingkat
pendidikan dan pengetahuan penduduk yang rendah, kultur masyarakat yang kurang
kondusif dalam penanggulangan kemiskinan, serta keterampilan dan penguasaan
teknologi penduduknya rendah; (2) sumber daya alam, meliputi kesuburan tanah
yang rendah, kondisi lahan yang rawan erosi, topografi bermasalah
(bergunung-gunung, terjal), memiliki curah hujan rendah, (3) penguasaan
teknologi pertanian masih sangat rendah, (4) infrastruktur sarana dan prasarana
sangat kurang seperti transportasi, pengadaan air bersih, dan ketersediaan
pasar; serta (5) kelembagaan formal dan informal untuk mendukung perkembangan
ekonomi di wilayah miskin umumnya kurang berkembang.
Hasil penelitian ini merumuskan penyebab utama kemiskinan, yaitu: Pertama, sumber daya alam yang rendah
atau belum berkembang dan didayagunakan secara optimal. Kedua, aksesibilitas rendah seperti sarana prasarana transportasi,
komunikasi dan daerah terisolir. Ketiga, keterbatasan prasarana,
sarana dan permodalan seperti air bersih maupun air untuk irigasi, ketersediaan
listrik, keterbatasan modal usahatani. Keempat,
rendahnya kualitas sumber daya manusia sehingga membentuk sikap kurang
responsif terhadap inovasi dan cenderung membentuk sikap apatis, lamban dan
kurang produktif. Kelima, rendahnya
penerapan teknologi pertanian sebagai akibat dari lemahnya pembinaan dari
penyuluh yang sangat sedikit jumlahnya. Dan keenam, sistem pemerintahan dan lembaga perekonomian seperti
Koperasi Unit Desa (KUD) belum berfungsi secara optimal.
Penyusunan alternatif model penanggulangan kemiskinan dirancang khusus
untuk dapat diterapkan pada kelompok dan sasaran tertentu. Namun secara garis
besar, usulan program dapat dikelompokkan kedalam tiga bentuk yakni: (1)
rekayasa dan pengembangan teknologi, (2) rekayasa dan pengembangan kelembagaan,
dan (3) investasi untuk meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana.
Penanggulangan kemiskinan membutuhkan kemauan politik pemerintah untuk
mendukung program pengentasan kemiskinan dan menjadikannya sebagai prioritas
utama dalam pembangunan.
Pada tahap lanjutan, penelitian tentang karakteristik wilayah miskin ini
banyak dilakukan Agusta (2007).
Penentuan desa tertinggal didasarkan data Potensi Desa (Podes) tahun 2003,
dengan mengambil variabel tipe LKMD atau lembaga yang setara, jalan utama, pola
nafkah, dan pengusahaan lahan pertanian. Selain itu, digunakan pula variabel
jarak desa ke kecamatan, serta fasilitas pendidikan, kesehatan, komunikasi, dan
pasar. Variabel lainnya menilai kondisi perumahan dan pemukiman penduduk, yang
terdiri atas kepadatan penduduk, sumber air minum, kejadian wabah penyakit,
bahan bakar, penerangan umum, dan kondisi jamban. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Agusta (2007),
jumlah desa miskin sesuai data tahun 2003 di Indonesia diperkirakan 11.258 desa
dari sekitar total 70 ribuan desa yang ada di Indonesia. Hasil penelitian ini
diacu pemerintah dalam Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM)
pada tahun 2005.
10.3.
Karakteristik
Kemiskinan Rumah Tangga dan Upaya Penanggulangannya
Penelitian tentang kemiskinan rumah tangga atau individu anggota rumah
tangga serta upaya penanggulangannya, merupakan topik yang banyak jadi
perdebatan. Angka jumlah penduduk miskin menjadi bahan perdebatan politik dalam
menilai kinerja pemerintah. Perhitungan tentang jumlah rumah tangga miskin atau
anggota rrumah tangga miskin umumnya diawali dengan pengukuran garis
kemiskinan, yang menjadi dasar untuk menghitung kemiskinan mutlak di suatu
wilayah.
Batasan dan perhitungan
tentang angka kemiskinan mutlak
ini diinisiasi oleh dua ilmuwan India yaitu N. Rath dan V.M. Dandekar (lihat
publikasi mereka pada Rath and Dandekar, 1977). Mereka mematok angka 4,19 US
Dolar untuk pengeluaran per individu
dalam sebulan menurut nilai tukar saat itu di India, sebagai garis kemiskinan.
Berdasarkan batasan itu, pada awal tahun 1960-an sekitar 40 persen penduduk perdesaan
dan 50 persen penduduk perkotaan India masuk kategori miskin. Di negara maju
semacam Amerika Serikat, perhitungan tentang angka kemiskinan mulai diinsiasi pada masa pemerintahan Lyndon Johnson (1963-1969).
Satu seri kajian tentang penentuan garis kemiskinan dilakukan oleh
Orshansky (1965), yang menghitung pengeluaran pangan rumah tangga. Berdasarkan
kajian Orshansky ini diperkirakan sekitar 20 persen penduduk Amerika Serikat termasuk kategori
miskin. Program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan Lyndon Johnson dapat
mengurangi angka kemiskinan mutlak ini menjadi 12 persen pada tahun 1968.
Untuk Indonesia, bila berbicara tentang garis kemiskinan maka semua akan
mengait dengan Sayogyo (1926-2012), sebagai Bapak Sosiologi Perdesaan
Indonesia. Dibesarkan dalam tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dari
pertanian, Sajogyo menyoal ekologi,
pangan, gizi, tanah, agraria, yang kesemuanya berada dalam konteks agri-culture (pembudidayaan), serta
relasi antara natura dan humana
(Wikipedia, 2012). Pada tahun 1972, Departemen Kesehatan memintanya memimpin
Survei Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Berjalan selama dua tahun, survey
ini melibatkan peneliti-peneliti berbagai perguruan tinggi, bekerja sama dengan
Bappenas, dan UNICEF.
Dari riset UPGK ini pulalah, pada tahun 1977 ia merumuskan pengukuran
garis kemiskinan, apa yang kemudian dikenal dengan “Garis Kemiskinan Sajogyo”,
melalui tulisannya berjudul “Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan”.
Pengukurannya didasarkan pada konsumsi pangan dalam nilai tukar setara beras
(desa-kota). Menurutnya, kelompok miskin adalah mereka rumah tangga yang
mengonsumsi pangan “kurang dari nilai tukar 240 kg beras setahun perkepala di perdesaan”
atau “369 kg di perkotaan”. Dari penghitungan ini diperoleh angka kecukupan
pangan 2.172 kalori orang/hari, sehingga dibawah angka ini dinyatakan miskin.
Hasil perhitungan Sajogyo ini terus dikembangkan oleh berbagai pihak
terutama Biro Pusat Statistik (BPS). Dengan memperhatikan perhitungan lembaga
lain, terutama Bank Dunia yang menggunakan mata uang dollar Amerika Serikat untuk
dekade 1980; standar pengeluaran untuk makanan adalah 50 dolar AS untuk perdesaan
dan 75 dolar AS untuk per kapita per tahun. BPS mengadopsi ukuran Bank Dunia ini dengan melakukan penyesuaian
dengan pola dasar konsumsi pada tahun 1971, dan kemudian disesuikan dengan
kenaikan harga (inflasi) dari bahan makanan pokok.
BPS baru mulai melakukan analisis masalah kemiskinan sejak Publikasi
“Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia 1976-1981” yang diterbitkan
tahun 1984. Sejak itu secara berkelanjutan BPS melakukan analisis kemiskinan
dan distribusi pendapatan, yakni setiap tiga tahun, sesuai dengan ketersediaan
data tentang tingkat pengeluaran dan konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas). Dengan tersedianya data hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) –type Desember 1998, banyak pembahasan serius atas inisiatif
berbagai pihak yang menaruh perhatian sangat besar pada masalah kemiskinan,
seperti UNDP, Bank Dunia, UGM melalui proyek SIAGA, Bappenas dan BPS sendiri,
serta beberapa LSM terkemuka lainnya. Namun, masalah metodologi belum
sepenuhnya terselesaikan, walau tingkat kemiskinan absolut itu sendiri sudah
tidak banyak dipermasalahkan (Komite Penanggulangan Kemiskinan Republik
Indonesia, 2002).
Standar kemiskinan tahun 1996 versi BPS menyebutkan, standar minimum
makanan adalah pengeluaran untuk makanan yang menjamin perolehan energi sebesar
2.100 kalori per kapita per hari, yang diukur dari nilai pengeluaran 52 komoditas
makanan. Dalam standar kemiskinan tahun 1998, BPS melakukan beberapa
penyempurnaan. Pengeluaran untuk biaya
sekolah, yang dalam standar 1996 hanya meliputi pengeluaran sampai SD, telah
disempurnakan mencakup pengeluaran sampai SLTP. Pengeluaran untuk transportasi,
perumahan, kesehatan, dan lain-lain juga direvisi dengan memperluas cakupannya
agar ukuran kemiskinan yang dihasilkan dapat lebih mencerminkan tingkat
kemiskinan secara baik (Komite Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia,
2002). Dengan menggunakan berbagai pendekatan di atas secara reguler Badan
Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan angka kemiskinan di Indonesia setiap
tahunnya, yang dipilah menurut perdesaan dan perkotaan.
Terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan, berbagai program dan
kegiatan telah dilakukan pemerintah. Upaya terpusat dimulai dengan Inpres Desa
Tertinggal (IDT), dan dilanjutkan dengan beragam program dan proyek yang
bersifat terpusat dibawah koordinasi Bappenas dan Kantor Wakil Presiden, sampai
yang bersifat sektoral. Di lingkup Kementerian Pertanian juga ada beragam
program dan kegiatan, yang berdasarkan hasil identifikasi dan evaluasi yang
dilakukan PSE-KP, dapat dirunut mulai dari tahun 1993-1994.
Pada tahun 1993-1994 dilakukan penelitian “Identifikasi dan Evaluasi Program/Proyek
Penanggulangan Kemiskinan” yang dilaksanakan di 21 provinsi. Pada waktu itu ada
lima proyek penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh Departemen
Pertanian yaitu: (1) Proyek Pengembangan
Sentra Buah-Buahan (P2SB); (2) Proyek Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus
(P2WK); (3) Proyek Penanggulangan Peternak Berpendapatan Rendah (P2BR); (4)
Proyek Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), dan (5) Proyek Peningkatan Produksi
Perikanan (P4). Pada pelaksanaannya, tidak semua program tersebut
diimplemantasikan ke seluruh daerah dan hanya disesuaikan dengan potensi sumber
daya dan luas bidang yang diusahakan oleh petani/nelayan kecil.
Penelitian ini secara khusus juga mengidentifikasi dan mengevaluasi
program atau proyek penanggulangan kemiskinan berdasarkan subsektor dan proyek,
antara lain subsektor pengembangan perkebunan wilayah khusus, subsektor tanaman
pangan, subsektor peternakan, subsektor perikanan (usaha penangkapan), proyek
pertanian lahan kering, proyek pembinaan peningkatan pendapatan petani-nelayan
kecil, dan proyek pengembangan diversifikasi pangan dan gizi. Adapun temuan penelitian
tersebut akan diuraikan berdasarkan pendekatan proyek maupun per subsektor,
sebagai berikut:
a.
Subsektor Tanaman Pangan.
Pengembangan sistem agribisnis perdesaan merupakan strategi yang
dipandang mampu mengentaskan kemiskinan. Dalam pengembangan tersebut untuk
mencapai tujuan dan sasarannya perlu memperhatikan tiga dimensi, yaitu: dimensi
kemarjinalan, dimensi kelestarian lahan dan dimensi sumber daya manusia.
Sedangkan dalam pelaksanaannya dilakukan dengan lima jenis kegiatan (proyek)
khusus, yaitu: usahatani terpadu di lahan marjinal, pengembangan sentra
produksi buah-buahan, usahatani konservasi, usahatani di wilayah khusus, dan usahatani
tanaman pangan di daerah transmigrasi.
Hasil evaluasi pelaksanaan program menunjukkan bahwa ketepatan sasaran
menunjukkan secara umum kelompok sasaran dan lokasi sasaran sudah sesuai dengan
kriteria. Kelemahan dari proyek ini adalah karena hanya diberikan sekali saja
(setahun) dan bahkan beberapa program dilaksanakan langsung secara
besar-besaran (seluas 1.000 Ha). Oleh karena itu, diperlukan bantuan dan
pembinaan yang berkelanjutan serta pelaksanaan proyek yang secara bertahap untuk
menekan kegagalan proyek. Meskipun realisasi luas proyek dapat tercapai 100
persen, namun pertumbuhan tanaman tidak sesuai yang diharapkan karena ada
hambatan teknis seperti: (1) masalah bibit (mutu bibit, kerusakan bibit, kemurnian
klon, dan waktu pengadaan yang kurang tepat), dan ada bibit padi yang diberikan
kurang sesuai dengan agro-ekosistem setempat; (2) bencana berupa kekeringan,
kebakaran, dan kebanjiran; (3) hama dan penyakit; (4) keterbatasan tenaga kerja
dan modal; dan (5) partisipasi peserta yang rendah.
Permasalahan lain yang dijumpai adalah keterbatasan sarana, prasarana,
dan dana bagi kegiatan pembinaan mengingat luasnya jangkauan petugas lapang.
Selain itu masih sering terjadi tumpang tindih bantuan proyek kepada petani, sehingga
penyebaran proyek tidak merata. Perlu pengkajian lebih lanjut mengenai
kemampuan program ini dalam merubah pola pikir petani kearah wawasan usahatani
agribisnis serta tingkat efektifitas dan efisiensi pelaksanaan program ini.
b.
Subsektor Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK).
Program ini bertujuan untuk mewujudkan pendapatan petani dan pusat
pertumbuhan baru di wilayah pengembangan usahatani sehamparan dengan
pengembangan tanaman perkebunan sebagai cabang usahatani pokok. Dilaksanakan sejak
tahun 1990-1991 di 19 provinsi seluas 51.252 Ha, dan pada tahun 1992-1993 telah
menjangkau 26 provinsi dengan luas 58.936 Ha. Hasil evaluasi program P2WK menemukan
bahwa pemberian paket program kurang memperhatikan kualitas, paket bantuan yang
rendah, tingkat adopsi teknologi yang rendah, dan kejelasan sifat paket (hibah,
kredit dan bergulir) juga tidak jelas. Pelaksanaan program ini terkendala oleh
keterbatasan sarana dan prasarana transportasi untuk menjangkau sebagian desa
terpencil dan fasilitas pergudangan di tingkat kabupaten. Selain itu, pembinaan
aparat pelaksana belum mencukupi.
Pada umumnya, program P2WK telah berhasil menyentuh sebagian wilayah
miskin tetapi belum berhasil dengan baik membidik sasaran kelompok miskin. Hal
ini disebabkan aturan yang telah ditetapkan dalam kerangka operasional yang
mensyaratkan petani peserta memiliki luas lahan minimal 0,5 Ha. Padahal pada
umumnya, petani miskin hanya memiliki luas lahan pertanian sebesar < 0,25 Ha
atau tidak punya sama sekali. Ironi seperti ini bahkan terjadi sampai sekarang,
misalnya Program PNPM Mandiri yang sejatinya dirancang untuk kelompok miskin,
namun justeru meminggirkan mereka dari sasaran kegiatan.
c.
Subsektor Peternakan
Penanggulangan kemiskinan subsektor peternakan dilaksanakan melalui
Program Penanggulangan Peternak Berpendapatan Rendah (PPBR). Tujuan program ini
adalah untuk menjangkau petani-ternak atau buruh tani yang berpendapatan rendah
di perdesaan dengan melakukan penyebaran paket ternak yang disesuaikan dengan
kelompok sasaran dan ekosistem wilayah yang bersangkutan. Jenis-jenis ternak
yang telah dibagikan pada umumnya adalah ayam buras, itik, kambing, serta sapi,
dan babi dengan jumlah terbatas.
Kendala utama dalam pelaksanaan program terletak pada pengadaan ternak
dalam jumlah besar, dan teknologi budidaya yang belum memadai. Disamping itu,
masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang berpengaruh terhadap keberhasilan
program. Penyimpangan tersebut antara lain adalah waktu pengembalian ternak
yang tidak teratur, tidak sesuainya spesifikasi ternak dalam pengadaan dan
penyebaran akibat dari tidak adanya sumber bibit, paket ternak dibagikan dalam
bentuk uang, vaksinasi tidak dilakukan sama sekali, dan jumlah ternak per KK
tidak sesuai dengan pedoman.
Pada umumnya program ini mendapat respon yang baik dan bermanfaat
sebagai penambahan pendapatan serta peningkatan pengetahuan tentang peternakan
bagi peserta program. Program penanggulangan kemiskinan melalui subsektor peternakan
ini memerlukan waktu yang lama untuk menunjukkan hasilnya. Dan bagi masyarakat
miskin, pengelolaan ternak memerlukan penanganan yang cukup serius.
d.
Subsektor Perikanan (Usaha Penangkapan)
Penanggulangan kemiskinan subsektor perikanan dilaksanakan melalui
Program Peningkatan Produksi Perikanan (P4) yang dilaksanakan di 27 provinsi di
Indonesia. Kegiatan program berupa peningkatan produksi melalui penangkapan
ikan laut dan peningkatan produksi melalui budidaya ikan di air tawar dan di
laut. Pembinaan dan pemberian paket bantuan kepada nelayan dan petani ikan
miskin melalui dana APBN murni dan bantuan Overseas
Ecomonic Cooperation Funds (OECF). Bantuan paket diberikan untuk sektor penangkapan,
perikanan budidaya, dan pengolahan.
Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa karakteristik dan penyebab utama
kemiskinan nelayanan adalah: kurangnya sarana prasarana penunjang pembangunan, rendahnya
penerapan teknologi perikanan, lemahnya kelembagaan masyarakat, dan lemahnya sumber daya keluarga nelayan. Sumber
daya keluarga yang rendah ditunjukkan oleh minimnya pemilikan aset, peralatan
yang masih tradisional, tingkat pendidikan yang rendah, keterampilan yang
terbatas, dan produktifitas yang rendah dan konstan.
Dengan adanya program ini, peserta program memperoleh manfaat seperti
peningkatan konsumsi ikan sehingga dapat memperbaiki gizi keluarga dan
peningkatan pendapatan nelayan. Sedangkan bagi nonpeserta program, manfaat yang
diperoleh antara lain memberikan kesempatan kerja bagi buruh nelayan dan pengetahuan baru tentang teknik
penangkapan. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan model penanggulangan
kemiskinan dengan usaha perikanan rakyat terpadu dan model pengembangan usaha
perikanan di desa miskin sebagaimana sudah ditunjukkan dari kegiatan ini.
e.
Proyek Pertanian Lahan Kering (P2LK).
Proyek pertanian lahan kering (P2LK) merupakan program penyuluhan dengan
pendekatan partisipatif dan ditunjang dengan pengembangan kelembagaan
agribisnis secara terpadu. Proyek ini memiliki tujuan ganda yaitu konservasi
lahan dan sekaligus pengentasan kemiskinan. Disamping itu, proyek ini juga
memberikan paket bantuan dan pembinaan kepada petani. Pelaksanaan program P2LK
menemui banyak kendala seperti penetapan sasaran yang didasarkan pada blok
hamparan (sekitar 10 Ha) sehingga memungkinkan bercampurnya antara pemilik
lahan dari keluarga miskin dengan yang bukan. Pemberian bantuan dan pembinaan yang
tidak optimal menjadi peluang kegagalan proyek tersebut. Selain itu teknologi
konservasi yang diperkenalkan sangat mahal dan tentu tidak sesuai untuk petani
miskin. Disisi lain, pelaksanaan proyek mengalami kelambatan dari jadwal yang
direncanakan, karena terlambatnya penyampaian bibit dan waktu penanaman.
Hasil pengamatan lapang menemukan bahwa salah satu penyebab proyek P2LK
belum berhasil adalah karena singkatnya pelaksanaan P2LK tersebut, dan tidak adanya
kontinyuitas. Salah satu implikasi kebijakan yang direkomendasikan oleh tim agar
efektif adalah melalui “Program Transmigrasi Berwawasan Agribisnis”.
f.
Proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan
Petani-Nelayan Kecil (P4K)
P4K merupakan program awal penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang
tergolong berhasil. Pendekatan program dilakukan dengan pendidikan partisipatif
dalam mengelola usaha bersama (kelompok) dan ekonomi rumah tangga. Selain
kursus dan bimbingan manajemen usaha, program ini juga memberikan kemudahan
permodalan (kredit) secara bertahap, mengikat (wajib nabung) dan harus dapat
dipertanggung jawabkan (bunga dan pokok harus kembali).
Hasil evaluasi dan pengamatan menunjukkan bahwa pelaksanaan program P4K
masih kurang efektif. Hal ini disebabkan karena usaha yang dikembangkan
merupakan usaha sampingan, besaran bantuan
modal yang kecil, serta beban suku bunga yang tinggi. Secara umum program ini
sangat berhasil dan bermanfaat dalam meningkatkan pendapatan keluarga
pesertanya, namun belum cukup efektif mengangkat keluarga miskin keluar dari
kemiskinannya.
g.
Proyek Pertanian Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG).
DPG bertujuan untuk perbaikan pangan dan gizi keluarga, khususnya yang
bersumber dari lahan pekarangan. Oleh karena itu, program ini tidak secara
eksplisit bertujuan meningkatkan pendapatan petani ataupun mengentaskan
kemiskinan. Pada pelaksanaannya banyak ditemukan masalah-masalah dan hambatan
seperti penetapan peserta tidak sesuai dengan ketentuan, penyaluran paket yang
terlambat, dan permasalah budidaya ternak yang diberikan. Mengingat pada tahun
tersebut program ini baru berjalan, maka keberhasilan program belum dapat
diukur secara nyata.
10.4.
Format
Penelitian Kemiskinan dan Upaya
Penanggulangannya Ke Depan
Untuk melihat bagaimana sebaiknya kegiatan penelitian kemiskinan ke
depan dilakukan, ada baiknya dilihat beberapa temuan pokok dari penelitian
PSE-KP tentang kemiskinan, yang dilakukan pada awal tahun 1990an, dan yang
dilakukan selama tahun 2000an sampai dengan yang terakhir.
Penelitian Darmawan et al.
(1993) tentang peranan wanita pada program P4K, KUM dan LSM menyimpulkan bahwa
tidak ditemukan perbedaan antara istri peserta program dan nonprogram. Satu sisi
positif dari kegiatan ini adalah dimana wanita di perdesaan telah mampu untuk
duduk sebagai pengurus suatu organisasi formal meskipun dari golongan yang
kurang mampu. Setelah mengikuti program pada umumnya terjadi peningkatan usaha
dan pendapatan serta peningkatan kegiatan kelompok. Program penanggulangan
kemiskinan juga dapat mengikatkan potensi wanita dalam pengambilan keputusan di
bidang pemasaran.
Berikutnya, studi Hermanto et al.
(1995) tentang model penanggulangan
kemiskinan melalui sektor pertanian menyimpulkan bahwa program revolusi hijau sesungguhnya
merupakan upaya tidak langsung untuk menekan penduduk miskin melalui adopsi
inovasi teknologi baru ke pertanian, terutama pertanian sawah. Namun,
disarankan agar bentuk bantuan hendaknya fleksibel sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat, misalnya mengkombinasikan antara hibah murni, kredit
bergulir, dan kredit berbunga rendah. Sementara, dari sisi jenis usaha,
hendaknya usaha yang dikembangkan bersifat komplemen dengan usaha yang telah
ada dan melibatkan anggota keluarga utama.
Model penanggulangan kemiskinan yang diterapkan pemerintah telah
berupaya menyusun perencanaan program dari bawah sehingga aspirasi masyarakat
miskin tertampung. Selain itu, juga diupayakan desentralisasi kewenangan baik
perencanaan maupun pengambilan keputusan. Dilihat dari pelaksanaan program,
perlu adanya identifikasi kelompok sasaran yang lebih obyektif, perlunya
pembinaan kelompok sasaran sebelum program, mengedepankan pendekatan kelompok, melibatkan sebanyak mungkin partisipasi
masyarakat, serta berbasiskan kemitraan
yang saling menguntungkan dengan swasta dan pelaku pasar.
Dari penelitian Nurmanaf et al.
(2000) berjudul “Identifikasi dan Penanggulangan Kemiskinan Petani Sebagai
Akibat Krisis Ekonomi”, yang dilakukan di Lampung dan Jawa Timur; ditemukan
bahwa program pengentasan kemiskinan untuk menanggulangi krisis ditempuh untuk
penyelamatan (rescue) dan pemulihan (recovery) melalui program Jaring
Pengaman Sosial (JPS). Secara garis besar, JPS dikelompokkan ke dalam empat
program, yaitu program ketahanan pangan, program padat karya, program
perlindungan sosial, dan program pemberdayaaan ekonomi rakyat. Partisipasi
masyarakat umumnya tinggi dan terbesar adalah pada program Operasi Pasar Khusus
(OPK). Pekerjaan di bidang pertanian merupakan andalan bagi keluarga miskin, sementara
pilihan lain masih sangat terbatas.
Berikutnya, penelitan Nurmanaf et
al. (2002) di wilayah marjinal mendapatkan bahwa keikutsertaan dalam
program pengentasan kemiskinan hanya terbatas menerima program saja. Pemberdayaan
belum diraih, namun malah yang terjadi adalah ketergantungan. Disarankan agar
program anti kemiskinan menggunakan format yang lebih mengutamakan kebutuhan
dari bawah. Pemilihan jenis-jenis bantuan yang diberikan hendaknya terkait
dengan kegiatan yang biasa dilakukan dan sesuai dengan kebutuhan komunitas
tersebut.
Temuan bahwa dampak program kemiskinan yang sudah dijalankan kurang berhasil
mengentaskan kemiskinan juga ditemukan dalam penelitian Yusdja et al. (2003). Karena sebagian besar anggota
keluarga miskin masih dalam usia produktif, namun berpendidikan rendah serta semakin
sedikitnya jumlah anggota keluarga yang terlibat di pertanian; maka diperlukan
peningkatan teknologi alat dan mesin pertanian serta peningkatan citra
pertanian sehingga diminati oleh generasi baru.
Usahatani yang dikelola secara individual sangat tidak efisien
dibandingkan jika para petani malakukan manajemen bersama dalam penggunaan
faktor produksi. Jika petani bersedia melakukan manajemen bersama, maka petani
dapat saling menutupi kekurangan masing-masing tanpa ada penggurangan
faktor-faktor produksi, dan pengelolaan dan pemilikan lahan garapan bahkan
mempunyai peluang memperoleh keuntungan tambahan lebih dari 50 persen dari yang
biasa mereka peroleh. Pemerintah harus merubah cara pendekatan pada petani dengan
lebih memperhatikan perbedaan spesifik diantara petani.
Penelitian Nurmanaf et al.
(2003) dengan judul “Pemberdayaan Kelembagaan Tradisional Ketenagakerjaan
Pertanian Di Perdesaan dalam Pengentasan Kemiskinan”, mendapatkan bahwa sektor
non pertanian lebih dominan berperan dalam proporsi sumber-sumber pendapatan
rumah tangga dari pada sektor pertanian. Kelembagaan tradisional tenaga kerja
masih berperan dalam kehidupan masyarakat pertanian di perdesaan dalam arti
memberikan manfaat bagi anggotanya, baik sosial maupun ekonomi. Ini merupakan adaptasi
terhadap dinamika perekonomian secara nasional.
Meskipun dari penelitian di atas sektor pertanian tidak menjadi
penyumbang utama pendapatan, namun penelitian Saliem et al. (2005) mendapatkan bahwa sektor pertanian masih merupakan
penyedia lapangan kerja terbesar, terutama dari komoditas padi, serta sayuran,
dan buah-buahan. Meskipun kontribusi sektor pertanian dalam penyediaan lapangan
kerja masih dominan, tetapi kontribusinya dalam penciptaan nilai tambah bruto
menurun. Ketimpangan kompensasi terhadap tenaga kerja antarsektor dilihat
dengan cara membagi total gaji dan upah pada masing-masing sektor tersebut
dengan jumlah tenaga kerja yang diserap disektor lain. Dari penelitian ini
dihasilkan kesimpulan bahwa peningkatan kompensasi tenaga kerja di sektor
pertanian sangat kecil dan lebih rendah dari sektor lain.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ragam kegiatan ekonomi semakin
meningkat. Namun separuh dari rumah tangga petani berpendapat di bawah 5 juta
rupiah per tahun. Selain itu, dinamika kependudukan dan perekonomian di tingkat
desa relatif searah dengan perkembangan di tingkat wilayah yang lebih tinggi.
Perubahan struktur pendapatan rumah tangga bervariasi tidak hanya menurut
lokasi (desa-kota), tetapi juga menurut kelas pendapatan, sumber mata
pencaharian utama KK dan agroekosistem wilayah. Terdapat kecenderungan dimana semakin
tinggi tingkat pendapatan, maka semakin rendah pangsa pendapatan yang berasal
dari sektor pertanian. Analisis indeks entropy di tingkat rumah tangga
mengindikasikan diversifikasi sumber pendapatan rumah tangga bervariasi menurut
lokasi (desa-kota), kelompok pendapatan, sumber mata pencaharian utama KK,
maupun daerah.
Terakhir penelitian Rachman et al.
(2010) mempelajari dampak program
Desa Mandiri Pangan, P4MI dan FEATI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga
program cukup mampu memberikan pemberdayaan terhadap rumah tangga petani
meskipun dalam skala terbatas, namun masih lemah dalam pengembangan ekonomi
wilayah. Program Demapan digulirkan sebagai upaya koreksi terhadap pendekatan
penanggulangan kemiskinan selama ini yang cenderung parsial, sektoral, dan
individual. Namun, keberlanjutan program terancam karena lemahnya dukungan
Pemda yang tidak mampu menyediakan sharing
dana yang memadai. Khusus untuk P4MI, peningkatan infrastruktur pertanian
terutama penyediaan air juga telah mampu meningkatkan areal tanam, intensitas
tanam, serta produksi dan produktivitas berbagai komoditas pertanian.
Memperhatikan beberapa temuan pokok dari penelitian di atas, terlihat
bahwa kondisi kemiskinan pada hakekatnya bersifat spesifik lokasi, sehingga saran
penanggulangannya juga bersifat spesifik lokasi. Selain itu, dari pemetaan yang
dilakukan belum sepenuhnya dapat menganalisis akar penyebab kemiskinan di suatu
wilayah atau pada tataran rumah tangga. Demikian juga berbagai program atau
kegiatan yang dilakukan, belum sepenuhnya dapat memperbaiki keadaan rumah
tangga miskin, malahan dalam beberapa kasus makin memperbesar ketergantungan
terhadap bantuan pemerintah.
Ke depan penelitian kemiskinan tidak dapat dilakukan sebagai suatu
kegiatan yang terpisah dari upaya pengembangan wilayah. Karena kemiskinan yang
terjadi bukan disebabkan oleh satu penyebab, tetapi merupakan satu rangkaian
penyebab yang saling mengait. Kemiskinan di wilayah perdesaan dengan basis
kegiatan pertanian misalnya, umumnya disebabkan karena sempitnya penguasaan
lahan, atau malahan tidak mempunyai lahan sama sekali. Selain itu kemiskinan juga disebabkan produktivitas usahatani yang
masih rendah dan petani belum mendapatkan harga jual yang layak untuk produk
yang dihasilkannya. Persoalan lainnya terkait dengan minimnya infrastruktur
dasar seperti jalan dan prasarana pertanian, di beberapa tempat malahan terisolir
melalui hubungan darat, akibatnya petani menghadapi ekonomi biaya tinggi.
Terbatasnya akses terhadap teknologi serta berbagai persoalan budaya, juga menyebabkan kegiatan pertanian di wilayah perdesaan dalam
banyak kasus identik dengan kemiskinan.
Pemecahan masalah kemiskinan di wilayah perdesaan
yang berbasis kegiatan pertanian memerlukan pengembangan pusat ekonomi terpadu
berbasis inovasi melalui pendekatan komoditas, pewilayahan (cluster), atau agro ekosistem. Selain
itu dalam pendekatan pembangunannya menempatkan wilayah setingkat kecamatan
atau kabupaten sebagai ujung tombak, dengan dukungan penuh secara terintegrasi antar
Kementerian dan lembaga terkait. Ketersediaan teknologi atau inovasi dijadikan
modal dasar dalam memecahkan kebuntuan yang ada, dengan dukungan pendanaan
antarsektor dan subsektor secara terpadu, serta dukungan anggaran pemerintah
daerah (APBD) yang signifikan dan berkesinambungan. Selain itu, pelaksanaan
kegiatan disusun secara terencana dalam berbagai tahapan serta time frame yang
jelas dan tuntas. Setiap tahapan kegiatan diharapkan dapat mengidentifikasi adanya
peningkatan nilai tambah. Pelaksanaan kegiatan diawali dengan penelitian yang
komprehensif oleh peneliti dari beragam bidang keahlian dan dilanjutkan dengan pilot
project pada skala terbatas. Pada tahap lanjutan replikasi dilakukan
melalui pendampingan yang intensif dengan melibatkan partisipasi pemangku
kepentingan dan masyarakat sejak dini.
*****