Pengakuan kepada penyuluh
swadaya dan swasta lahir dari semangat partisipatif UU 16 tahun 2006 tentang
SP3. Sesungguhnya penyuluh ini lah yang dapat menjadi solusi kelangkaan tenaga
penyuluh. Namun, sayangnya perhatian untuk pengangkatan, mobilisasi dan
manajemen penyuluh swadaya dan swasta sangat minim.
Garis Kebijakan
Keberadaan penyuluh swadaya dan swasta
lahir karena prinsip PENYULUHAN PARTISIPATIF dalam UU No 16 tahun 2006. Sesuai
dengan UU 16 tahun 2006 Penyuluh swasta adalah “penyuluh yang berasal dari dunia usaha
dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan”,
sedangkan Penyuluh Swadaya adalah “pelaku
utama yang berhasil dalam
usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan
mampu menjadi penyuluh”.
Berkaitan dengan ini, secara
khusus telah diterbitkan Permentan 61 tahun 2008 tentang Pedoman
Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya Dan Penuyuh Pertanian Swasta.
Tujuan Permentan ini adalah meningkatkan fungsi dan peran Penyuluh Pertanian Swadaya dan Swasta
dalam penyelenggaraan penyuluhan, meningkatkan motivasi mereka, menciptakan mekanisme
kerja kemitraan dengan penyuluh pemerintah, serta meningkatkan kinerja dan
profesionalisme mereka. Kedudukan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Swasta adalah
sebagai MITRA Penyuluh Pertanian pemerintah, dimana keberadaan nya bersifat
MANDIRI dan INDEPENDEN.
Fungsi yang dijalankan penyuluh
swadaya dan swasta mencakup: menyusun rencana kerja, melaksanakan kegiatan
penyuluhan, melaksanakan pertemuan koordinasi dengan penyuluh lain, mengikuti
kegiatan rembug dan pertemuan-pertemuan lain, serta menyusun laporan kegiatan
penyuluhan. Secara substansial, fungsi yang juga harus dijalankannya adalah
menumbuhkembangkan kelembagaan petani, menjalin kemitraan usaha dengan pihak
terkait, menumbuhkembangkan jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan petani,
menyampaikan informasi dan teknologi, melaksanakan proses pembelajaran secara
partisipatif.
Dukungan
dan keberadaan penyuluh swadaya saat ini cukup besar, meskipun mobilisasinya di
lapangan belum optimal. Sebagai contoh, dari sisi jumlah, jumlah penyuluh per
Juli 2011 sebanyak 52.428 orang, terdiri dari penyuluh PNS 27.961 orang,
penyuluh honorer 1.251 orang, THL-TB 23.216 orang, Penyuluh Swadaya sebanyak 8.107 orang (Badan
Penyuluhan dan Pengembangan SDMPertanian, 2013).
Permasalahan:
Permasalahan
pokoknya adalah sudah hampir 10 tahun semenjak diundang tahun 2006, mobilisasi
penyuluh swadaya dan swasta masih sangat terbatas. Permasalahan yang dihadapi
Penyuluh swadaya dan swasta sebagaimana dalam Permentan No. 61 tahun 2008
adalah:
1. pembinaan
terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluhan bagi penyuluh pertanian swadaya dan
swasta belum memiliki arah yang jelas.
2. belum
didayagunakan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan pelaku
usaha.
3. masih
lemahnya fungsi dan peran penyuluh swadaya dalam penyelenggaraan penyuluhan,
4. masih
rendahnya motivasi kerja
5. belum
terciptanya mekanisme kerja antara ketiga jenis penyuluh, dan
6. belum
terciptanya kinerja dan profesionalisme penyuluh swadaya.
Dari hasil kunjungan kerja ke
Jawa Timur tahun 2014 diperoleh informasi bahwa keberadaan penyuluh pertanian
swadaya dan swasta sama sekali belum memperoleh perhatian dari jajaran
penyuluhan. Program FEATI telah berhasil menseleksi dan mengangkat penyuluh
swadaya masing-masing dua orang per desa
dimana program FEATI diimplementasikan. Namun, di luar program ini, pemerintah
daerah tidak menargetkan pengangkatan penyuluh swadaya, karena masih ada
ketidakjelasan bagaimana prosedur pengangkatan, mekanisme, pembinaan nantinya,
termasuk kekuatiran terhadap implikasin pembiayaannya.
Khusus untuk penyuluh swasta,
belum ada aktivitas apapun yang sudah dilaksanakan. Meskipun sehari-hari
penyuluh dan petani telah berinteraksi dengan para pelaku swasta (suplier benih
dan obat-obatan, dll), namun belum ada kerjasama yang konstruktif dan
sistematis.
Rekomendasi untuk Mengoptimalkan Penyuluh Swadaya dan
Swasta
Dalam hal
penyuluh swadaya, pelibatan petani sebagai pendukung dan
pelaku langsung dalam kegiatan penyuluhan telah berlangsung cukup lama dengan
berbagai pendekatan. Di Indonesia, hal ini dimulai dari pelibatan kontak tani
pada era Bimas sampai Supra Insus, lalu pendekatan “penyuluhan dari petani ke
petani” (farmer to farmer extension) di P4S, serta pengangkatan penyuluh
swakarsa (tahun 2004), dan terakhir penyuluh swadaya (sejak tahun 2008). Jumlah penyuluh
swadaya sampai tahun 2014 lebih kurang 8.000 orang.
PENYULUH
SWADAYA sangat strategis karena memiliki berbagai keunggulan, di antaranya
adalah pengetahuan dan keterampilan teknologi lebih kuat meski spesifik karena
mereka adalah pelaku langsung pertanian di lapangan. Karena ia hidup
sehari-hari di tengah komunitasnya, maka penyuluh swadaya lebih mampu
menciptakan penyuluhan yang partisipatif, lebih mampu mengorganisasikan
masyarakat (Community-Organizing Role),
mampu menjadi penghubung (change agent)
yang lebih powerfull, dan Memiliki
nilai lebih pada kepemilikan modal sosial.
Mereka juga
menjadi agen bisnis yang potensial karena umumnya berlatar belakang pelaku
usaha yang sukses. Penyuluh swadaya dapat disebut sebagai
sosok yang lengkap. Jenis penyuluh ini melakukan kegiatan penyuluhan dengan
motivasi sosial, pelayanan, namun sekaligus bisnis. Banyak penyuluh swadaya
yang memiliki bisnis berupa penyedia sarana produksi, serta menampung dan
memasarkan hasil pertanian. Sehingga, penyuluh swadaya sesungguhnya menyuluhkan
teknologi baru kepada mitra bisnisnya sendiri. Jadi, dalam prakteknya, sosok
penyuluh PNS dan swasta saling konvergen dalam diri penyuluh swadaya.
Berkenaan
dengan PENYULUH SWASTA, mereka dapat berasal dari: (1) Perusahaan swasta (Private Bisnis) yakni sebagai penyedia
input, perusahaan pengolahan, dan pemasaran; (2) Dari kalangan Non Profit Sector yakni perguruan
tinggi, NGO, dan lain-lain; serta (3) Penyuluh berbayar (pay for service) yang dibayar oleh organisasi petani, bisa
Gapoktan, atau asosiasi komoditas, atau oleh petani secara individual.
Perguruan
tinggi memiliki potensi yang sangat besar dan dapat menjadi solusi dunia
penyuuhan yang konstruktif. Selain anggaran yang besar (20 persen dari APBN),
perguruan tinggi memiliki SDM yang sangat memadai yang terdiri atas dosen,
mahasiswa, maupun staf teknis. Praktek
kerja lapangan (PKL) mahasiswa atau
magang juga dapat menjadi alternatif mengisi kekurangan jumlah penyuluh.
Dalam hal pembagian
peran antar ketiga jenis penyuluh, belum ada sistem kerja yang jelas, misalnya
pembagian jenis pekerjaan, wilayah kerja, pola kerjasaman, dan tanggung jawab
administratif. Penyuluh PNS memiliki basis kerja pelayanan dan administrasi,
sedangkan penyuluh swasta pada pelayanan dan mencari keuntungan.
Sesuai
kemampuannya, penyuluh swadaya dan swasta akan lebih cenderung monovalent, bahkan
spesifik hanya pada 1-2 komoditas bidangnya. Untuk wilayah kerja, jika penyuluh PNS
bertanggung jawab pada 1 sampai 3 desa, penyuluh swadaya lebih fokus di desa
tempatnya berdomisili, sedangkan areal kerja penyuluh swasta lebih luas
mencakup kawasan satu atau lebih kecamatan.
Karena target “satu penyuluh
satu desa” semakin sulit dicapai, sesungguhnya penyuluh swadaya dan swasta
dapat menutupi kekurangan ini. Karena itu, pemerintah nasional dan daerah
semestinya menjadikan ini sebagai suatu solusi pemenuhan ketenagaan penyuluh yang
selalu kurang. Pemanfaatan penyuluh swadaya untuk mengatasi
keterbatasan jumlah penyuluh PNS perlu diperkuat dengan pelatihan atau upaya
peningkatan kapasitas dan kompetensi penyuluh.
Dari
hasil kajian diperoleh bahwa penyuluh pertanian swadaya apabila dibandingkan
dengan penyuluh pertanian PNS maupun THL-TB relatif lebih baik dalam menularkan
informasi teknologi untuk berusahatani. Penyuluh pertanian swadaya lebih mampu
mengorganisasikan masyarakat karena ketokohannya, lebih mudah dalam menjalankan
fungsi penghubung. UU No. 16 Tahun 2006
tidak hanya mengamanatkan penyuluh PNS saja, namun juga harus mulai dibina
penyuluh swasta dan swadaya oleh karena itu perlu dipikirkan sistem pembinaannya. Pensiunan penyuluh pertanian PNS juga dapat
dimobilisasi menjadi penyuluh swadaya.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar