Garis
Kebijakan
Pasal 21 UU 16 tahun 2006 tentang SP3
menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan kompetensi penyuluh
PNS melalui pendidikan dan pelatihan, memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, dan peningkatan kompetensi
penyuluh.
Untuk
lebih menjamin penyelenggaraan penyuluhan yang lebih efektif, maka kepala Balai
Penyuluhan minimal berpendidikan profesi penyuluh (level 7 KKNI), sementara Kepala
Bapeluh minimal level 8 pada bidang profesi penyuluhan yang didukung dengan SKB
antara Kementerian terkait dengan Kemendagri. Cakupan kompetensi bagi pimpinan
kelembagaan penyuluhan di antaranya mencakup fungsi manajemen, manajemen
resiko, manajemen resolusi konflik, manajemen kolaboratif, merit system, management by
objektive, entrepreneurship, serta
kemitraan sinergis sistem agribisnis.
Balai
Penyuluhan menjadi tempat pokok bagi pengembangan kapasitas penyuluh, karena
disinilah kegiatan pelatihan untuk penyuluh secara rutin dijalankan. Agar
efektif, sarana dan prasarana bagi upaya pemberdayaan penyuluh di Balai
Penyuluhan mencakup perihal organisasi dan kelembagaan, memenuhi kebutuhan shareholder penyuluhan, dan memenuhi
prinsip self control dan efektif.
Dalam konteks penyelenggaraan, dibutuhkan koordinasi demi penyelarasan antar
kementerian terkait untuk pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga penyuluh.
Permasalahan
yang Dihadapi
Untuk pelatihan, semua pihak
mengeluhkan rendahnya kesempatan untuk mengikuti pelatihan, Sebagai contoh, di
Jawa Timur ada beberapa lembaga pelatihan pertanian yakni BLPP Ketindan dan
Songgoriti, serta juga Balai Pengkajian dan Penyuluhan Pertanian (BPTP). Namun,
untuk para penyuluh di Malang yang jaraknya dengan tempat pelatihan tersebut
sangat dekat, kesempatan untuk berlatih sangat jarang dan terbatas.
Kesempatan
penyuluh mengikuti pelatihan alih jenjang dari penyuluh terampil ke penyuluh
ahli sangat kurang. Demikian juga dengan latihan dasar penyuluh dan latihan
sertifikasi untuk memperoleh profesi penyuluhan masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan masih terbatasnya anggaran
yang tersedia untuk kegiatan pelatihan yang memenuhi standar.
Kesempatan
latihan bagi penyuluh THL sangat terbatas, karena posisi kepegawaiannya yang
belum kuat. Padahal latar belakang dan kapasitasnya bervariasi dan masih sangat
lemah. Sementara, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pertanian bagi penyuluh dan
petani belum selektif dalam memilih calon peserta pendidikan dan pelatihan
dengan bertumpu pada kebutuhan pengembangan dan perluasan fungsi kompetensi
secara berkelanjutan. Pengulangan peserta pada orang yang sama masih terjadi.
Permasalahan lain adalah dimana
Widyaiswara dan dosen STPP belum memiliki persepsi yang sama tentang sasaran,
target dan paradigma penyuluhan pertanian. Juga tidak ada kejelasan
mekanisme tata kerja dukungan dalam
kegiatan pelatihan, yakni antar elemen pelaku penyuluhan. Khusus berkenaan dengan pelatihan komoditas
utama dalam Upsus (padi, jagung, kedelai), belum ada kejalasan pembagian peran supervisor, inovator,
pendamping, dan fasilitator,
termasuk training assesment
sesuai dengan kebutuhan spesifik lokal untuk menjadi penguat efektivitas pelatihan bagi
sumberdaya manusia pertanian.
Upaya untuk Perbaikan
Penyuluhan
pertanian mengandalkan tenaga penyuluh THL TBPP namun dengan kapasitas yang
cenderung rendah. Karena itu, penguatan kompetensi dan kapasitas profesional
penyuluh perlu disertai pendidikan profesi dan standarisasi profesi yang
didukung asosiasi profesi. Perencanaan SDM penyuluhan yang berorientasi
profesi, baik jangka pendek maupun jangka panjang yang disusun sesuai tuntutan
kebutuhan pembangunan pertanian perlu menjadi acuan dan komitmen pengembangan
SDM penyuluhan.
Pelatihan
profesi penyuluh pertanian perlu memprioritaskan PNS calon penyuluh dan THL-TB
Penyuluh Pertanian yang telah terbukti menunjukkan kinerja, minat, komitmen dan
potensi sebagai penyuluh pertanian, dengan rekrutmen yang selektif dan
akurat. Waktu atau jumlah jam latihan
bagi penyuluh juga harus memadai.
Materi
pelatihan penyuluh pertanian juga harus mencakup sistem agribisnis, internet (Cyber Extension) dan SKKNI Penyuluh.
Materi penyuluhan lain yang dibutuhkan antara lain adalah materi yang berkaitan
dengan misi dan manajemen pembangunan pertanian dalam arti luas.
Disamping
kebutuhan jumlah tenaga penyuluh pertanian yang masih kurang, perlu diupayakan
terobosan sehingga penyuluh pertanian ahli dapat menjadi pelatih bagi penyuluh
lainnya di Balai Penyuluhan.
Diingatkan
pula bahwa pada hakekatnya metoda pengembangan kompetensi penyuluh dapat
ditempuh melalui METODA LAKUSUSI yang berkelanjutan, aktual, kontekstual, dan
adaptif. Pelatihan bersifat TOT (Lanjut) di Balai-balai terkait yang diberikan oleh
widyaiswara, pakar terkait (peneliti dan dosen), figur pelaku usaha sukses
(mitra sinergis), dan figur pelaku utama sukses. Pelatihan dua mingguan mesti
dijalankan dengan terstandar, terprogram, sistematis dan masif
aktual/kontekstual. Materi mencakup pengetahuan dasar yakni berupa process area (metoda penyuluhan) dan content
area (pengembangan inovasi). Pelatihan khusus juga dibutuhkan untuk
penguatan profesi penyuluh, sedangkan pendidikan formal penyuluh profesional dapat
dilakukan melalui pendidikan profesi.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar