Jumlah pe-longok :

Minggu, 27 Desember 2015

Apa sih PENYULUHAN MODERN ?

Kritik terhadap penyuluhan klasik

Mahal, menghabiskan anggaran pemerintah
Tidak efisien dalam penggunaan anggaran dibandingkan dengan bidang
profesi lain di pemerintahan
Organisasinya besar , lamban, dan kaku
One way communication
Menurut Qamar (2005):
“The fact remains, however, that modernization and reforms are needed
in the existing national extension systems as a result of the many
global forces that are changing socio- economic and political
conditions in the world, creating new challenges and learning needs
for farmers in developing countries”.
Mengapa perlu moderniasi penyuluhan?
Menurut Swanson et al. (Swanson, Burton E.; Robert P. Bentz; and
Andrew J. Sofranko (eds). 2004: Improving Agricultural Extension: A
Reference Manual. www.fao.org):
1. Agroekologi: materi penyuluhan harus mampu merespon kebutuhan
teknologi yang sangat bergantung pada zona agroekologi yang berbeda
(agroecological zones), tidak lagi seragam sebagaimana revolusi hijau.
2. Political-economic: pengaruh dari tahap perkembangan negara (stage
of economic development), berapa besar investasi pemerintah dalam
kegiatan penyuluhan pertanian: seberapa besar ketergantungan ekonomi
nasional kepada sektor pertanian? Berapa warga negara yang masih
bergantung pada pertanian?
3. Sociocultural: perbedaaan kultural antar petani, language
differences and illiteracy, proporsi keterlibatan perempuan dan
laki-laki, pola agraria, struktur penguasaan lahan.
4. Kebijakan nasional: berkenaan dengan ketahanan pangan, berapa
surplus pangan mau diproduksi, market Intervention, infrastructure,
institutional factors, Research, Education and Training, Input Supply,
Credit, Farmer Organizations and NGO
Agricultural Extension Needed Paradigm Shift (Baldeo Singh, 2009):
1. Information now has real, measurable value
2. Public extension services are no more solesource of information
3. Essential shift from “provider mentality” to “user mentality”
4. Required shift from broadcasting to narrow casting
5. Instance Performance
6. Demand driven and customized information 6
Kondisi yang melatarbelakangi perlunya  PENYULUHAN MODERN:
- Karena itu kita membutuhkan suatu perubahan mendasar (revolution in
information technology).
INTINYA:
- Dunia penyuluhan menghadapi new people and new institutions (Rivera, 1997).
Tantangan baru dunia penyuluhan:
(Menurut M. Kalim Qamar. 2005. Modernizing National Agricultural
Extension Systems: A Practical Guide For Policy-Makers Of Developing
Countries. Senior Officer (Agricultural Training & Extension). Fao,
Rome. Http://Www.Fao.Org/.....)
• sustainable development
• rural improvement and agricultural advancement
• globalization
• market liberalization
• decentralization
• privatization and democratization
• new learning requirements for subsistence and commercial farmers in
developing countries.
• revolution in information technology

Tujuan modernisasi penyuluhan pertanian:
 “To make the national extension system demand- driven, gender
sensitive, participatory, bottom- up, and a relatively lean
organization, which could efficiently respond to farmers’ extension
and training needs emerging as a result of globalization, market
liberalization, decentralization, and democratization, making use of
information technology tools as far as possible”.
Apa kunci new professionalism in extension?
Menurut Roche (1992), Pretty and Chambers (1993), dan Pretty (1995) adalah:

1. Pendekaan partisipatif. “These participatory methods and approaches
represent an opportunity to build better linkages between the various
actors and to increase the learning from each other”.
2. New systems of participatory learning
3. New learning environments for professionals and local people
4. New institutional settings
5. Menciptakan organisasi penyuluhan yang bercirikan organissasi
pembelajar (learning organizations).

*****

Senin, 07 Desember 2015

Saat ini, khususnya pada paruh kedua tahun 2015 berlangsung perdebatan tentang bagaimana semestinya keberadaan penyuluhan pertanian di daerah. Pemahaman yang berkembang dapat dikelompokkan atas dua golongan pemikiran, yakni yang optimis dan MENDUKUNG serta sebaliknya yang pesimis dan MENOLAK keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah. Namun, yang mendukung posisinya lebih kuat.

Pemahaman Yang Optimis Dan Mendukung
Pihak yang mendukung pembentukan kelembagaan pertanian di daearah berlandaskan kepada UU 16 tahun 2006 dan UU no 19 tahu 2013, serta kepada landasan teoritis prinsip-prinsip penyuluhan pertanian modern yang sedang diperjuangkan di Indonesia. Beberapa alasan pokok adalah sebagai berikut:
Pertama, pendirian kantor penyuluhan pertanian di daerah sesungguhnya telah didukung kebijakan yang kuat, karena penyuluhan pertanian telah memiliki UU sendiri yakni UU No 16 tahun 2006. Dalam konteks perbandingan hukum seperti ini, UU no 16 tahun 2006 merupakan lex specialist artinya lebih tinggi dibandingkan UU 23 tahun 2014 yang lex generalis. Pada Pasal 63 ayat (2) KUHP  disebutkan bahwa “Lex specialis derogat legi generali” adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Hal ini juga didukung oleh UU 23 tahun 2014 tentang Pemda yang juga mendukung azas hukum ini. Pasal 231 berbunyi: “Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan memerintahkan pembentukan lembaga tertentu di Daerah, lembaga tersebut dijadikan bagian dari Perangkat Daerah yang ada setelah dikonsultasikan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan bidang pendayagunaan aparatur negara”.
Aturan lain yang sangat penting adalah Peraturan Presiden No 154 tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pada Pasal 2 dijelaskan bahwa kelembagaan penyuluhan mencakup mulai dari pusat sampai kecamatan. Azasnya adalah konkurensi. Lalu, pada Pasal 12 terbaca bahwa di tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan.
Kedua, UU 19 tahun 2013 yang sangat mendukung keberadaan penyuluhan di daerah, karena penyuluhan merupakan salah satu komponen untuk melakukan pemberdayaan petani. Hal ini setidaknya disampaikan dalam Pasal 1, 7, 46, dan 47. Kementerian Pertanian berpegang kuat kepada UU ini karena dilahirkan dan disusun untuk kepentingan pembangunan pertanian secara lebih khusus.
Ketiga,  Pasal 15 UU No 23 tahun 2014 yang secara jelas disebutkan bahwa penyuluhan pertanian merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah, atau dilaksanakan secara konkurensi. Hal ini berimplikasi kepada pengelolaan sistem penyuluhan dalam hal peningkatan kompetensi, pengembangan profesionalitas dan juga karir penyuluh pertanian.
Selengkapnya, Pasal 15 berbunyi: (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini, (2) Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pelaksanaan secara kongkurensi ini tentu sangat sejalan dengan konsep otonomi daerah, dengan berbasiskan prinsip demi mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani yang tersebar luas dengan tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang beragam. Artinya, desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan. Pendapat ini juga diperkuat oleh Pasal 345, dimana: (1) Pemerintah Daerah wajib membangun manajemen pelayanan publik dengan mengacu pada asas-asas pelayanan publik, dan (2) Manajemen pelayanan publik meliputi salah satunya adalah penyuluhan kepada masyarakat (ayat 2 point e).

Pemahaman yang Pesimis dan Menolak
Sebaliknya, kalangan yang tergolong menolak keberadaan penyuluhan di daerah berpandangan bahwa kata “penyuluhan pertanian” sama sekali tidak ada dalam UU 23 tahun 2014 ini. Dalam konteks Kementerian Pertanian hanya memasukkan urusan pemerintahan bidang ketahanan pangan serta pertanian. Pada Lampiran AA yakni “Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanian” terdiri atas 7 sub urusan yakni: sarana pertanian, prasarana pertanian, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian, perizinan usaha pertanian, karantina pertanian dan varietas pertanian. Sedangkan urusan pangan terdapat pada lampiran I yakni “Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pangan” terdiri atas 4 sub urusan yaitu: penyelenggaraan pangan berdasarkan kedaulatan dan kemandirian, penyelenggaraan ketahanan pangan, penanganan kerawanan pangan, dan keamanan pangan.
Pola fikir yang hanya berbasiskan bahwa penataan kelembagaan di daerah semata-mata berdasarkan kepada lampiran dalam UU ini tentu akan memaknai bahwa seolah-olah penyuluhan pertanian akan “dihilangkan” di daerah.

*****