Jumlah pe-longok :

Sabtu, 21 November 2020

Apa KP, apa KEP, korporasi petani?

Q dan A tentang Korporasi Petani (#2)

Secara istilah sebenarnya begini, sesuai UU 19-2013, dan saya gabung dengan sedikit teori:


(1) Kelembagaan petani (KP) = badan usaha petani TIDAK berbadan hukum. Yaitu kelompok tani, P3A, UPJA, Gapoktan, Gabungan kelompok tani, KWT, Taruna Tani, Bumdes. Gapoktan tidak berbadan hukum. Memang ada yang mengaku punya akta dari notaris, namun mohon periksa apa hanya sekedar mendaftar sebagai organisasi sosial atau organisasi kemasyarakatan. Cek dulu sertifikat dari notarisnya

(2) Kelembagaan ekonomi petani (KEP) disebut juga BUMP (Badan Usaha Milik Petani) = badan usaha petani yang BERBADAN HUKUM. Secara UU Perdata, yang berbadan hukum selain individu (orang) hanya ada tiga, yakni Yayasan, perusahaan (CV, PT, NV, UD, dll), dan koperasi.

Selanjutnya, KEP/BUMP ini ada dua level pula: 

(1) individual organization = organisasi ekonomi yg anggota nya individual, yakni orang. Kalau koperasi, ia koperasi primer. Kalo perusahaan ia perusahaan biasa, bisa PT, CV dll

(2) secondary level organization = organisasi ekonomi yg anggota nya "individual organization". Jika koperasi ia berbentuk koperasi sekunder (Induk, Gabungan, Pusat). Kalau perusahan, ia berupa HOLDING (induknya beberapa perusahaan). Ini lah dia KORPORASI tersebut. 

Jadi, korporasi = ketika sudah terbentuk koperasi sekunder (yg membawahi beberapa kop primer) atau holding (yg membawahi beberapa perusahaan2). Ini korporasi dalam makna sebagai “benda/aktor”

(catatan: Gapoktan sesungguhnya adalah “secondary level organization” yang anggotanya kelompok2 tani + UPJA + P3A + KWT + taruna tani. Anggota nya BUKAN ORANG. Selama ini banyak yg keliru)

Nah, Korporasi (dalam bahasa Indonesia) sebenarnya berasal dari dua makna:

SATU, Sebagai kata SIFAT (dari “corporative”) = ini lah yang dimaksud dengan "mengkorporasikan petani" yang sering disebut-sebut pa Presiden. Yakni ketika semua nilai tambah pertanian, dari on farm dan dari off farm, semua digabung, lalu semua dinikmati petani. Indikasinya adalah pada sifat memaksimalkan pendapatannya, mengoptimalkan sumberdaya nya, dst. Bahasa sederhana nya adalah ketika sifat “gau mau ruginya” dan “kepengen kayanya” petani keluar. Serombongan petani yang ga mau berbagi ke orang lain. Semua yang kira-kira mendatangkan duit diolah dan diambilnya. Ya, ketika SIFAT KAPITALISNYA keluar.

Jadi, Korporasi petani secara SIFAT = koperasi primer/perusahaan benih + koperasi primer/perusahaan pupuk + koperasi primer/perusahaan pengelola Alsintan + koperasi primer/perusahaan pengolahan RMU + koperasi primer/perusahaan pemasaran.

DUA, sebagai kata BENDA (dari “corporation”) = yakni ketika sudah ada badan usaha besar sebagai pengelola utama yang menjalankan semua bisnis dalam satu kawasan. Itulah dia ketika sudah terbentuk INDUK Koperasi atau INDUK perusahaan (HOLDING).

Jadi, Korporasi petani secara BENDA = koperasi primer/perusahaan benih + koperasi primer/perusahaan pupuk + koperasi primer/perusahaan pengelola Alsintan + koperasi primer/perusahaan pengolahan RMU + koperasi primer/perusahaan pemasaran + KOPERASI SEKUNDER/HOLDING yang “memayungi” semua.

Lalu, mengapa harus “badan usaha berbadan hukum”?

Kita mendorong pembentukan korporasi petani, agar petani-petani punya badan usaha berbadan hukum. Ada banyak keuntungan jika petani memiliki badan usaha berbadan hukum. Setidaknya adalah: 

1. Ia menjadi entitas hukum, sehingga berbagai pelanggaran bisa diminimalisir. Misalnya fenomena hilangnya asset bantuan, atau bantuan “dikuasai ketua”. Aparat hukum bisa mengawasi jalannya organisasi, dalam arti positif ya. Juga bisa dibawa ke ranah hukum. Lebih tertata.  

2. Bisa memiliki asset secara resmi. Jika Gapoktan misalnya punya duit semilyar, mau beli tanah atas nama Gapoktan: tidak bisa. Karena ia tak berbadan hukum. Koperasi/perusahaan bisa.

3. Bisa berhubungan dengan lembaga permodalan. Kelompok tani datang ke bank ga akan dianggap. Buka rekening saja ga bisa, apalagi mau minjam. Koperasi/perusahaan bisa.


4. Bisa duduk sejajar dengan entitas bisnis lain. Bisa bikin perjanjian resmi dengan mitra. Jadi eksportir pun bisa. 


Kira-kira demikian, mohon maaf. Semoga manfaat. 


****

Senin, 16 November 2020

Banyak UU mendukung Penyuluhan Pertanian

 

Dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemda, penyuluhan perikanan dikembalikan ke pusat, penyuluhan kehutanan ke provinsi, sedangkan penyuluhan pertanian menjadi tanggung jawab semua level secara kongkurensi. Prinsip kongkurensi ini sejalan dengan kebijakan Perpres Nomor 154 Tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluhan  Pertanian, Perikanan  dan Kehutanan. Peluang pembuatan kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah didasarkan atas urusan kongkurensi dalam UU No 23 tahun 2014, yaitu Pasal 15 berkenaan dengan perubahan terhadap  pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah, Pasal 18 tentang SPM, dan Pasal 21 berisi pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren. Pasal 15 menyebutkan bahwa penyuluhan pertanian merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah, atau dilaksanakan secara konkurensi.

 

UU SP3K dan UU Pemda sesungguhnya sejalan belaka. Urusan Penyuluhan Pertanian yang tidak menjadi bagian dalam lampiran UU No 23 tahun 2014, bermakna bahwa penyuluhan pertanian tetap dijalankan dengan berpedoman kepada UU No 16 tahun 2006.  Hal ini  menjadi dasar diterbitkannya Surat Menteri Pertanian Nomor: 02/SM.600/M/1/2015 kepada Gubernur seluruh Indonesia perihal Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian, yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan penyuluhan pertanian tetap dilaksanakan sesuai UU No. 16 tahun 2006 karena tidak bertentangan dengan  UU No 23 tahun 2014.

Namun demikian, dalam perkembangannya Pemerintah Daerah tidak sepenuhnya mengacu kepada surat dimaksud, sehingga kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah ditempatkan pada eselonering yang lebih rendah dari sebelumnya. Kondisi ini secara nyata telah melemahkan kegiatan penyelenggaraan penyuluhan secara keseluruhan.

 

Selain UU tentang SP3K, ada beberapa regulasi lain yang sesungguhnya mendukung keberadaan penyuluhan pertanian. UU 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menyebutkan bahwa penyuluhan merupakan salah satu komponen untuk melakukan pemberdayaan petani. Pasal 1 menjelaskan bahwa pemberdayaan petani dicapai melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan … dst. Lalu, Pasal 7 ayat 3 point b menyebutkan bahwa strategi pemberdayaan petani dilakukan melalui penyuluhan dan pendampingan.

 

Demikian pula, Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa penyuluhan merupakan komponen yang melekat dalam pembangunan pedesaan, dimana desa memiliki nuansa pertanian yang kental.  Penyebutan “penyuluhan” secara langsung terdapat dalam Pasal 112 ayat (3), dimana: “Pemerintah memberdayakan masyarakat desa …. melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan”.

 

Terakhir, Undang-Undang No 22 tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan juga mendukung keberadaan penyuluhan pertanian. Pasal 91 menyebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan diseminasi informasi. Pasal 101 menambahkan pula bahwa:  pengembangan SDM diselenggarakan melalui penyuluhan pertanian”. Lalu, ayat 3: Penyelenggaraan penyuluhan Pertanian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

 

*****

Kondisi Empiris Penyuluhan Pertanian

Keluarnya Undang Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah berimplikasi luas terhadap keberadaan kelembagaan penyuluhan di daerah, yang menyebabkan tidak optimalnya penyelenggaraan penyuluhan pertanian di daerah, dengan hilangnya Bakorluh di propinsi dan Bapeluh di Kabupaten/Kota. Penghapusan kelembagaan penyuluhan ini merupakan pemahaman yang tidak tepat dalam memaknai UU No 16 tahun 2006 tentang SP3K dan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemda. Meskipun sesungguhnya Undang-Undang tentang SP3K bersifat lex specialis dan oleh sebagian pihak dipandang lebih kuat, namun prakteknya UU ini telah diposisikan tidak sama pentingnya dengan UU tentang Pemerintahan Daerah.

 

Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa, umumnya penyuluhan pertanian berada di level eselon III dan IV, sebagian sebagai UPTD dan sebagian lainnya pada Kelompok Jabatan Fungsional (KJF). Dari sisi kelembagaan, kondisi terakhir menunjukkan bahwa dari total 34 propinsi di Indonesia, 23 penyuluhan ada di level Bidang (eselon III), 9 ada di Seksi (eselon IV), 9 sebagai UPTD, dan 3 bahkan hanya pada Kelompok Jabatan Fungsional (KJF).  Demikian pula di level kabupaten, dari total 530 kabupaten/kota, 184 lembaga penyuluhan berada di level Bidang, 317 berada di Seksi, 6 di UPTD, dan 7 ada di KJF. Sementara dari sisi ketenagaan, semakin berkurangnya penyuluh ASN yang memasuki usia pensiun sehingga perlu dirancang strategi pemenuhannya

Kondisi ini berimplikasi kepada lemahnya perhatian dan dukungan pemerintah daerah terhadap kegiatan penyuluhan, baik dari sisi anggaran, prasarana dan sarana, serta ketenagaan sehingga pada gilirannya, berbagai konsep dan target penyuluhan pertanian dari pusat tidak dapat dijalankan secara efektif.

Kebijakan penyuluhan pertanian di Indonesia mengalami perubahan yang cukup dinamis dari waktu ke waktu. Semenjak dikembangkannya kegiatan penyuluhan pertanian pada awal 1970-an, kelembagaan penyuluhan baru mulai tertata dengan baik di era otonomi daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Salah satu poin penting dalam UU ini adalah perlunya membangun kelembagaan penyuluhan di daerah pada level propinsi maupun kabupaten/kota. Besar harapan bahwa dengan undang-undang ini penyuluhan tidak lagi sekedar proses alih teknologi, namun lebih kepada  tercapainya kemandirian petani (Sadono, 2008), serta kelembagaan penyuluhan yang tertata dengan baik dan terorganisasi (Setiawan, 2005).

Namun, meskipun sudah memiliki landasan hukum, pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang panjang dalam memperjuangkan keberadaan Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) di tingkat propinsi dan Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh) di tingkat kabupaten/kota. Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional (2015) melaporkan bahwa keberadaan kantor penyuluhan di daerah lemah dan memiliki nomenklatur yang tidak seragam terutama di level kabupaten/kota. Sebagian wilayah telah membentuk Bapeluh sendiri atau menggabungkan dengan BKP, namun masih banyak yang menempatkan penyuluh terpisah-pisah di bawah dinas teknis masing-masing sesuai komoditas, sehingga efektivitas penyuluhan rendah dan kurang terkoordinasi.  Margono dan Sugimoto (2011) menemukan belum optimalnya relasi antara pemerintah dengan petugas penyuluhan.

Pada tahun 2014 diterbitkan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak mengakomodasi secara jelas keberadaan kelembagaan penyuluhan di daerah, sehingga mengakibatkan penyelenggaraan penyuluhan tidak lagi mengikuti UU No 16 tahun 2016. Pada dasarnya, UU No.23 tahun 2014 diterbitkan untuk menggantikan Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah yang lebih subjektif. Secara yuridis, UU 23 tahun 2014 seharusnya akan memperkuat keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian, karena sejalan dengan UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dengan kata lain, kebijakan ini pada hakekatnya sejalan dan harmonis satu sama lain.

Aspek kelembagaan menjadi faktor penentu dan berimplikasi kuat kepada elemen lain dalam sistem penyuluhan pertanian secara keseluruhan. Efektivitas penyuluhan akan terjamin hanya dengan pendirian kantor penyuluhan di daerah, karena akan berimplikasi kepada jaminan penyelenggaraan penyuluhan yang lebih baik, penyediaan ketenagaan, pengalokasian biaya, serta efektivitas monitoring dan evaluasi, serta aspek-aspek manajemen lainnya. Penelitian Shahbaz and Ata (2014) misalnya, menemukan adanya peningkatan efektivitas penyuluhan pertanian di Pakistan  setelah pelaksanaan desentraliasi (era post devolution) kepada pemerintah lokal, yang dimulai sejak tahun 2001.

 ******