Jumlah pe-longok :

Senin, 16 November 2020

Kondisi Empiris Penyuluhan Pertanian

Keluarnya Undang Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah berimplikasi luas terhadap keberadaan kelembagaan penyuluhan di daerah, yang menyebabkan tidak optimalnya penyelenggaraan penyuluhan pertanian di daerah, dengan hilangnya Bakorluh di propinsi dan Bapeluh di Kabupaten/Kota. Penghapusan kelembagaan penyuluhan ini merupakan pemahaman yang tidak tepat dalam memaknai UU No 16 tahun 2006 tentang SP3K dan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemda. Meskipun sesungguhnya Undang-Undang tentang SP3K bersifat lex specialis dan oleh sebagian pihak dipandang lebih kuat, namun prakteknya UU ini telah diposisikan tidak sama pentingnya dengan UU tentang Pemerintahan Daerah.

 

Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa, umumnya penyuluhan pertanian berada di level eselon III dan IV, sebagian sebagai UPTD dan sebagian lainnya pada Kelompok Jabatan Fungsional (KJF). Dari sisi kelembagaan, kondisi terakhir menunjukkan bahwa dari total 34 propinsi di Indonesia, 23 penyuluhan ada di level Bidang (eselon III), 9 ada di Seksi (eselon IV), 9 sebagai UPTD, dan 3 bahkan hanya pada Kelompok Jabatan Fungsional (KJF).  Demikian pula di level kabupaten, dari total 530 kabupaten/kota, 184 lembaga penyuluhan berada di level Bidang, 317 berada di Seksi, 6 di UPTD, dan 7 ada di KJF. Sementara dari sisi ketenagaan, semakin berkurangnya penyuluh ASN yang memasuki usia pensiun sehingga perlu dirancang strategi pemenuhannya

Kondisi ini berimplikasi kepada lemahnya perhatian dan dukungan pemerintah daerah terhadap kegiatan penyuluhan, baik dari sisi anggaran, prasarana dan sarana, serta ketenagaan sehingga pada gilirannya, berbagai konsep dan target penyuluhan pertanian dari pusat tidak dapat dijalankan secara efektif.

Kebijakan penyuluhan pertanian di Indonesia mengalami perubahan yang cukup dinamis dari waktu ke waktu. Semenjak dikembangkannya kegiatan penyuluhan pertanian pada awal 1970-an, kelembagaan penyuluhan baru mulai tertata dengan baik di era otonomi daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Salah satu poin penting dalam UU ini adalah perlunya membangun kelembagaan penyuluhan di daerah pada level propinsi maupun kabupaten/kota. Besar harapan bahwa dengan undang-undang ini penyuluhan tidak lagi sekedar proses alih teknologi, namun lebih kepada  tercapainya kemandirian petani (Sadono, 2008), serta kelembagaan penyuluhan yang tertata dengan baik dan terorganisasi (Setiawan, 2005).

Namun, meskipun sudah memiliki landasan hukum, pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang panjang dalam memperjuangkan keberadaan Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) di tingkat propinsi dan Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh) di tingkat kabupaten/kota. Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional (2015) melaporkan bahwa keberadaan kantor penyuluhan di daerah lemah dan memiliki nomenklatur yang tidak seragam terutama di level kabupaten/kota. Sebagian wilayah telah membentuk Bapeluh sendiri atau menggabungkan dengan BKP, namun masih banyak yang menempatkan penyuluh terpisah-pisah di bawah dinas teknis masing-masing sesuai komoditas, sehingga efektivitas penyuluhan rendah dan kurang terkoordinasi.  Margono dan Sugimoto (2011) menemukan belum optimalnya relasi antara pemerintah dengan petugas penyuluhan.

Pada tahun 2014 diterbitkan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak mengakomodasi secara jelas keberadaan kelembagaan penyuluhan di daerah, sehingga mengakibatkan penyelenggaraan penyuluhan tidak lagi mengikuti UU No 16 tahun 2016. Pada dasarnya, UU No.23 tahun 2014 diterbitkan untuk menggantikan Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah yang lebih subjektif. Secara yuridis, UU 23 tahun 2014 seharusnya akan memperkuat keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian, karena sejalan dengan UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dengan kata lain, kebijakan ini pada hakekatnya sejalan dan harmonis satu sama lain.

Aspek kelembagaan menjadi faktor penentu dan berimplikasi kuat kepada elemen lain dalam sistem penyuluhan pertanian secara keseluruhan. Efektivitas penyuluhan akan terjamin hanya dengan pendirian kantor penyuluhan di daerah, karena akan berimplikasi kepada jaminan penyelenggaraan penyuluhan yang lebih baik, penyediaan ketenagaan, pengalokasian biaya, serta efektivitas monitoring dan evaluasi, serta aspek-aspek manajemen lainnya. Penelitian Shahbaz and Ata (2014) misalnya, menemukan adanya peningkatan efektivitas penyuluhan pertanian di Pakistan  setelah pelaksanaan desentraliasi (era post devolution) kepada pemerintah lokal, yang dimulai sejak tahun 2001.

 ******

Tidak ada komentar: