KEBUTUHAN,
STRATEGI MEMOBILISASI, DAN POLA KERJASAMA PENYULUH PERTANIAN PEMERINTAH, SWADAYA,
DAN SWASTA
Syahyuti
(Dalam buku Bunga Rampai: "Investasi dan Perdagangan dalam Perspektif Transformasi Pertanian: Penguatan Usaha Pertanian dan Revitalisasi Petani". IAARD Press, 2019)
PENDAHULUAN
Dunia pertanian Indonesia membutuhkan
penyuluhan pertanian modern. Meskipun sejak belasan tahun lalu UU No 16 tahun
2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan telah
mengamanatkan untuk melibatkan penyuluh pertanian swadaya dan swasta, namun
sampai saat ini mobilisasi dan optimalisasi penyuluh nonpemerintah tidak
bergerak. Pengetahuan dan program tentang penyuluhan pertanian Indonesia jalan
di tempat semenjak era pendampingan Bank Dunia berakhir di ujung tahun 1990 an.
Kalangan ahli penyuluhan telah lama
mengkritik pendekatan penyuluhan klasik karena mahal sehinggga menghabiskan anggaran pemerintah, tidak
efisien dalam penggunaan anggaran dibandingkan dengan bidang profesi lain, organisasinya
besar sehingga lamban dan kaku, serta
pola komunikasinya cenderung searah (one way communication). Karena itulah Qamar (2005) menyatakan:
“The fact remains, however, that modernization
and reforms are needed in the existing national extension systems as a
result of the many global forces that are changing socio-economic and political
conditions in the world, creating new challenges and learning needs for farmers
in developing countries”. Demikian pula Singh (2009) yang menyatakan “Public
extension services are no more solesource of information”
Moderniasi penyuluhan salah satunya
didorong oleh aspek political-economic,
yaitu pengaruh dari tahap perkembangan negara (stage of economic development),
berapa besar investasi pemerintah dalam kegiatan penyuluhan pertanian: seberapa
besar ketergantungan ekonomi
nasional kepada sektor pertanian? Berapa warga negara yang masih bergantung pada pertanian? (Swanson et
al. 2004).
Penyuluhan pertanian baru (new
professionalism in extension) menuntut
berbagai pendekatan (Roche 1992; Pretty 1995), yakni pendekaan
partisipatif, sistem baru (new systems of
participatory learning), lingkungan pembelajar yang baru (new learning environments for professionals
and local people), lingkungan kelembagaan baru (new institutional settings), serta menciptakan organisasi penyuluhan yang bercirikan organisasi
pembelajar (learning organizations). Badan Penyuluhan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Pertanian (1999): "Paradigma Penyuluhan Pertanian pada abad ke-21” pun
sudah menggariskan kebijakan perlunya penyuluhan pertanian sebagai sesuatu yang
lebih berfokus pada pemberdayaan
masyarakat desa dari pada sekadar penyampaian teknologi. Penyuluhan pertanian diharapkan tidak hanya membuat petani
mampu berproduksi, tetapi harus berproduksi
secara mandiri, dan sekaligus mampu mencapai kesejahteraan
keluarganya.
Pengalaman negera-negara lain (FAO 1990)
misalnya menyebutkan pemerintah Costa Rica memberikan extension voucher ke petani untuk mendapatkan layanan penyuluhan,
sedangkan di Inggris penyuluhan swasta sudah lama berperan dan terbukti mampu
mengefisienkan penggunaan staf pemerintah. Sementara di Holland, 60% biaya
penyuluhan dari petani dan hanya 40% yang ditanggung pemerintah. Nicaragua menerapkan
desentralisasi dan semi private-extension,
dan Estonia menerapkan public extension advisory service untuk petani
lemah, dan penyuluh swasta untuk yang kuat. Sementara di Pakistan (Shahbaz and
Ata 2014), desentraliasai penyuluhan
dimulai semenjak 2001 saat pemerintah menjalankan desetralisasi kepada
pemerintah lokal. Penyuluh swasta di Pakistan bergerak dalam berbagai bidang
mencakup proteksi tanaman oleh perusahaan pestisida, introduksi benih oleh
perusahaan benih, pabrik gula, perusahaan rokok untuk tembakau, perusahaan
pengolah untuk jagung, dan peternakan oleh perusahan peternakan nasional.
Tulisan ini berupaya menggambarkan
“senja kala” kondisi penyuluhan pertanian Indonesia sehingga sangat membutuhkan
terobosan-terobosan dalam berbagai sisinya. Bahan tulisan berasal dari berbagai
sumber teori maupun laporan, serta dukungan data statistik sumber daya
pertanian utamanya tenaga penyuluh pertanian.
PERMASALAHAN
SDM PENYULUHAN INDONESIA
Kenyataan yang dihadapi dunia penyuluhan
Indonesia adalah SDM penyuluh pertanian pemerintah yang terus berkurang dan
berumur tua, beban kerja semakin bertambah, rasio beban kerja semakin berat, sedangkan
pengangkatan PNS sengat dibatasi. Solusinya adalah pada mobilisasi dan
optimalisasi pelibatan penyuluh pertanian swadaya dan swasta. Penyuluh pertanian swadaya sesunggunya telah terlibat semenjak
dahulu, dapat dipandang sebagai bentuk penyuluhan yang Sali (genuine extension worker) saat belum ada
penyuluh pemerintah. Penyuluh swadaya sangat berpotensi dikembangkan karena
memiliki berbagaia keunggulan dibandingkan yang lain. Demikian pula dengan PPL
swasta, dimana potensi perguruan tinggi di Indonesia sebagai penyuluh swasta
sangat besar, serta termasuk NGO dan asosiasi-asosiasi petani.
Sepanjang tahun 2013-2017, dari ketiga jenis tenaga penyuluh
(PNS/THL-TB, Swadaya dan Swasta), ditemukan trend yang meningkat. Khusus untuk
Penyuluh Pertanian Pemerintah (PNS) selama ini selalu berkurang dari tahun ke
tahun, namun khusus untuk tahun 2017 mendapat tambahan yang sangat besar,
dengan pengangkatan sebanyak 6.033 orang THL-TB Penyuluh Pertanian menjadi
CPNS. Hal ini mengakibatkan berkurangnya secara drastis tenaga penyuluh THL-TB
Penyuluh Pertanian, sehingga hanya tersisa 12 ribu lebih, meskipun pada
waktunya pernah mencapai 27 ribu orang (KPPN 2018).
Total
tenaga Penyuluh Pertanian sampai dengan tahun 2017 adalah 67.781 orang, belum
mencukup untuk skema “satu penyuluh untuk satu desa” sesuai amanat
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang SP3K dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2013 Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Kekurangan tenaga Penyuluh Pertanian
pemerintah berlangsung terus setiap tahun, terutama karena banyak yang pensiun,
namun tidak digantikan dengan pengangkatan baru. Pangangkatan THL-TB Penyuluh
Pertanian menjadi Penyuluh Pertanian PNS cukup membantu kekurangan tersebut,
meskipun belum memadai.
Badan
Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP 2013) telah melakukan berbagai upaya untuk
memenuhinya, yakni dengan mengangkat SDM yang sudah berpengalaman (9-11 tahun)
dari THL-TB Penyuluh Pertanian yang berusia di bawah 35 tahun menjadi CPNS dan
di atas 35 tahun menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Selain itu, sudah dilakukan pengangkatan Penyuluh Pertanian melalui proses
impassing dan pengusulan kepada Menpan dan RB untuk memperpanjang proses
inpassing tenaga Penyuluh Pertanian tersebut sampai tahun 2021.
Tabel 1. Jumlah SDM dan kelembagaan penyuluhan
pertanian di Indonesia, 2013-2017
Aspek |
Tahun |
Rata-rata (% per th) |
||||
2013 |
2014 |
2015 |
2016 |
2017 |
||
Jumlah BPP |
5.016 |
5.251 |
5.430 |
5.430 |
5.515 |
2,41 |
Jumlah PPL PNS |
27.476 |
27.153 |
25.713 |
25.290 |
30.621 |
3,24 |
Jumlah THL TBPP |
21.249 |
20.814 |
20.197 |
19.084 |
12.584 |
(3,51) |
Jumlah PPL swadaya |
13.169 |
16.596 |
24.981 |
23.797 |
24.471 |
18,66 |
Jumlah PPL swasta |
92 |
92 |
92 |
92 |
105 |
3,53 |
TOTAL PPL |
61.986 |
64.655 |
70.983 |
68.263 |
67.781 |
2,39 |
Jumlah kelompok tani |
318.453 |
322.390 |
422.770 |
531.287 |
561.791 |
13,51 |
Jumlah gapoktan |
37.632 |
37.632 |
57.272 |
62.163 |
63.120 |
12,56 |
Jumlah KEP |
13.230 |
13.230 |
13.230 |
12.584 |
12.546 |
0,11 |
Sumber: KPPN (2018)
Dengan
kondisi demikian, rasio penyuluh pertanian terhadap jumlah petani sesungguhnya
tidak berubah drastis, kecuali pada beban penyuluh pertanian swadaya. Rasio
jumlah petani per tenaga penyuluh pertanian terlihat menurun, akan tetapi pada
tahun 2016 ke tahun 2017 sedikit mengalami peningkatan baik pada penyuluh pertanian
PNS dan swadaya,
dari 557 orang menjadi 585 orang petani per
penyuluh pertanian.
Untuk kelompok tani, rasio per penyuluh pertanian memperlihatkan peningkatan untuk penyuluh pertanian PNS, yakni dari 11,59 unit kelompok menjadi 18,35 unit kelompok per seorang tenaga penyuluh pertanian PNS. Angka ini terlihat cukup besar, namun jika dikomparasikan dengan total tenaga penyuluh pertanian, angkanya hanya dari 5,14 kelompok per penyuluh pertanian tahun 2013, meningkat menjadi 8,29 kelompok tani per penyuluh pertanian di tahun 2017 (Tabel 2). Peningkatan ini terjadi karena peningkatan jumlah kelompok tani yang meningkat cukup tinggi (13,51%/tahun) dibandingkan dengan peningkatan tenaga Penyuluh Pertanian yang meningkat hanya 2,39%/tahun.
Tabel 2. Rasio beban kerja penyuluh pertanian di Indonesia, 2013
- 2017
Aspek |
Tahun |
||||
2013 |
2014 |
2015 |
2016 |
2017 |
|
Desa/PPL PNS |
2,67 |
2,58 |
2,72 |
2,77 |
2,29 |
Desa/PPL total |
1,19 |
1,09 |
0,99 |
1,03 |
1,03 |
Desa/PPL swadaya |
5,58 |
4,23 |
2,80 |
2,94 |
2,86 |
Keltani/PPL PNS |
11,59 |
11,87 |
16,44 |
21,01 |
18,35 |
Keltani/PPL total |
5,14 |
4,99 |
5,96 |
7,78 |
8,29 |
PENYULUHAN
PERTANIAN MODERN MEMBUTUHKAN PPL SWASTA DAN SWADAYA
Bagaimana mewujudkan penyuluhan
pertanian Indonesia yang modern? Namun sebelumnya perlu difahami bahwa ciri penyuluhan pertanian modern adalah
(Rivera 1997; Qamar 2005):
1.
Penanggung
jawab penyuluhan tidak semata-mata pemerintah nasional, namun dapat dijalankan oleh beragam pihak dan pada berbagai level.
2.
Organisasi penyuluhan berbentuk “learning organization”, pelaksana
penyuluhan tidak lagi terstruktur secara ketat, namun ada kesempatan terus
menerus untuk melakukan penyesuaian misi, pelayanan, produk, kultur, dan
prosedur organisasi.
3.
Fungsi
penyuluhan lebih luas dari sekedar mentranfer teknologi, namun
juga mencakup upaya untuk memobilisasi, mengorganisasikan, dan sekaligus
mendidik petani.
4.
Penyuluhan sebagai sistem pengetahuan
yang komprehensif, tidak terpisah antara penemuan teknologi dengan transfernya.
5.
Model transfer teknologi lebih
realistik, siklis, dan dinamis (antara petani, peneliti, penyuluh dan guru)
6.
Desain penyuluhan memungkinkan untuk
mengembangkan learning model dengan melibatkan para stakeholders
utama.
7.
Pendekatan penyuluhan lebih pada pemecahan masalah, melibatkan
teknologi informasi eksperimental, mengaitkan penelitian, manajer penyuluhan,
dan organisasi petani.
8.
Jenis penyuluh tidak terbatas hanya
pegawai pemerintah, namun juga penyuluh swadaya (dari petani) dan penyuluh
swasta.
9.
Posisi petani tidak hanya sebagai objek
penyuluhan, namun sebagai objek sekaligus subjek penyuluhan.
Sesungguhnya paradigma penyuluhan pertanian modern sudah termuat
dalam UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Demokrasi dan
partisipasi, sebagaimana terdapat dalam Pasal 2
yakni: “penyuluhan diselenggarakan berasaskan
demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja
sama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan
bertanggung gugat”.
2.
Penyuluhan tidak pada sekedar
peningkatan produksi pertanian, namun pada manusianya. Hal ini tercantum dalam Pasal 3: “tujuan penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya manusia dan
peningkatan modal sosial”.
3.
Menerapkan manajemen yang terintegratif, tidak lagi terpasung
ego sektoral. Hal ini termuat dalam Pasal 6: “penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem
pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan”; serta Pasal 7: “Dalam
menyusun strategi penyuluhan, pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan
kebijakan penyuluhan dengan melibatkan pemangku kepentingan di bidang
pertanian, perikanan, dan kehutanan”.
4.
Pelibatan masyarakat petani, dan
menjadikan petani sebagai subjek penyuluhan,
sebagaimana termuat dalam Pasal 6 (b) : “penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama
dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah
daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan
secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkat administrasi
pemerintahan”; serta Pasal 29: “pemerintah
dan pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong peran serta pelaku utama dan
pelaku usaha dalam pelaksanaan penyuluhan”.
5.
Penyuluhan tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah, dengan diakuinya keberadaan penyuluh swadaya dan
swasta; serta Komisi Penyuluhan sebagai
organisasi independen di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
KEBUTUHAN
TERHADAP PPL SWADAYA DAN SWASTA
Mengenal
Sosok Penyuluh Swadaya dan Swasta
Sesuai dengan UU No 19 tahun 2013, penyuluh pertanian swadayaadalah “pelaku
utama yang berhasildalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yangdengan
kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadiPenyuluh”.SedangkanPenyuluh pertanian
swasta adalah “penyuluh yang berasal dari duniausaha dan/atau lembaga
yang mempunyai kompetensidalam bidang penyuluhan”.
Namun,
batasan ini belum terlalu jelas menerangkan siapakah penyuluh pertanian swasta. Menurut Schwartz (1994): “The Role Of The Private Sector In
Agricultural Extension: Economic Analysis And Case Studies”; penyuluh pertanian swasta mencakup perguruan tinggi, public, contract farming schemes, input supply companies (private
extension as part of commercial firm activities), serta NGO. Berbeda sedikit dengan ini, menurut Qamar (2005: Modernizing National Agricultural Extension Systems A Practical
Guide for Policy-Makers of Developing Countries), penyuluh swasta adalah perusahaan swasta (private companies), NGO, asosiasi petani, organisasi
komunitas petani (rural community organizations), perguruan tinggi (agricultural
academic institutions), serta kantor penelitian pertanian.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penyuluh
swasta mencakup tiga jenis yaitu private bisnis (penyedia input, perusahaan pengolahan, dan perusahaan pemasaran), nonprofit
sector (perguruan tinggi, NGO, dan asosiasi petani, sertapay for service extension yakni
penyuluh individual baik dengan skema fee based atau pun production based.
Potensi penyuluh swasta dari kalangan
NGO sangat besar di Indonesia. Setidaknya saat ini ada 180 organisasi NGO
pertanian di Indonesia yang sangat potensial (http://www.smeru.or.id/en/ content/ngo-database). Salah satu di antaranya
adalah Yayasan Bina Ketrampilan Pedesaan
Indonesia (BITRA Indonesia), Yayasan Insan Tani (YIT), Bina Desa, Yayasan
Pengembangan Ekonomi dan Teknologi Rakyat Selaras Alam (Petrasa), Yayasan
Sejahtera Tani (Yaseni), Lembaga Pengabdian dan Pengembangan Kompetensi Anak
Nagari (LPPKAN), Sumatra Sustainable Support Pundi Sumatra (SSS Pundi
Sumatra), Yayasan Pengembangan
Masyarakat Transmigrasi (YP-Matra), Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Desa
(Kemasda), Aliansi Petani Indonesia (API), Aliansi Organik Indonesia (AOI).
Salah satu NGO yang sudah cukup lama
berperan dan berskala luasa adalah PISAgro
(Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture). LSM yang lahir dari World
Economic Forum (WEF) ini memiliki misi mengembangkan kerja sama antara pihak pemerintah, swasta dan organisasi
internasional. Mereka memiliki berbagai target
berkenaan dengan peningkatan produksi, pengurangan emisi CO2, pengurangan
kemiskinan. Komoditas prioritasnya adalah kedelai, beras, kelapa sawit,
kentang, kakao, dan jagung.
Sementara untuk perusahaan, ada sejumlah
perusahaan pertanian 7.229 unit
meliputi seluruh subsistem agribisnis,
yakni: 65 perusahaan di subsektor tanaman pangan, 322 perusahaan hortikultura,
1.877 perusahaan perkebunan, 2.408 perusahaan peternakan, 1.791 perusahaan
perikanan, dan 799 perusahaan kehutanan. Beberapa contoh perusahaan pertanian terkemuka adalah Bayer (no 1 pestisida
terbesar dunia, no 7 perusahaan benih se dunia), Syngenta (nomor 2 perusahaan pestisida dunia, perusahaan benih ke
3 dunia), Monsanto (salah satu
perusahaan benih terbesar dunia, nomor 5 sebagai perusahaan pestisida dunia),
dan Dupont (no 2 perusahaan
benih sedunia, no 6 sebagai perusahaan pestisida dunia). Sementara untuk
perusahaan benih jagung adalah PT BISI International Tbk, PT Dupont
Indonesia, PT Monsanto Indonesia, dan PT
Syngenta Indonesia.
Contoh
perusahaan swasta yang menonjol misalnya adalah Danone and Cargill. Mereka bergerak dalam hal nutrisi ternak dan HKSP (Dairy Farmers Cooperative at West Jawa with
700 cattles). Aktivitasnya mencakup pelatihan, affordable feed supplement, peningkatan produksi susu, peningkatan
kandungan protein (protein content
increased), serta akses konsumen pada susu yang yang lebih baik dan
berkualitas. Peternak memperoleh peningkatan pendapatan, sedangkan Cargill mendapatkan
perluasan pasar.
Strategi untuk Memobilisasi Penyuluh Swadaya dan Swasta
Kebutuhan untuk memobilisasi penyuluh
pertanian swasta berbeda-beda. Satu, untuk perguruan tinggi sebagai lembaga resmi dibutuhkan
kesepakatan nasional mulai dari level atas. Setelah itu dibutuhkan perjanjian
kerja dengan pihak perguruan tinggi satu per satu sesuai wilayah kerja yang
akan dikelolanya. Bagaimana jenis penyuluhan dan seluas apa wilayah kerjanya
sangat bergantung kepada jumlah dan kapabilitas staf yang ditugaskan, namun
program penyuluhan yang akan dijalankan mesti menginduk kepada perencanaan
pembangunan pertanian kabupaten/kota. Selain itu, dukungan untuk pelatihan PPL
pemerintah dan swadaya.
Dua, untuk perusahaan
input pertanian yang selama ini sudah sering terlibat, dibutuhkan terlebih
dahulu perjanjian kerja dengan pihak manajemen perusahaan, serta perjanjian
untuk menyerahkan dan mempublikasikan pelaksanaan Demplot. Tiga, untuk perusahaan swasta yang bergerak di bidang
pengolahan dan pemasaran, perjanjian kerja dengan perusahaan, dan kualitas mutu
yang dibutuhkan. Pendampingan sejak dari budi daya petani sangat dibutuhkan.
Empat, untuk penyuluh komersial individu (payment extension services), perjanjian kerja dan jasa harus dibuat
antara kelompok petani dengan individu profesional tersebut. Berbagai model
pembayaran dapat diterapkan misalnya berbasis hasil produksi, peningkatan
hasil, luas cakupan, jumlah kunjungan, dan lain-lain. Lima, untuk NGO dibutuhkan perjanjian kerja dengan lembaga
bersangkutan, termasuk kebutuhan data staf dan rencana aktivitas pendampingan
ke petani.
KERJASAMA
PENYULUH PEMERINTAH, SWADAYA, DAN SWASTA
Untuk mewujudkan penyuluhan pertanian
modern, dibutuhkan konfigurasi dan kerjasama PPL pemerintah, swadaya dan swasta
secara tepat. Konfigurasi tersebut harus bertolak dari perbedaan kategorial PPL
pemerintah, swadaya dan swasta yang cukup berbeda satu sama lain.
Penyuluhan
pemerintah kelebihannya adalah jaringan dan
cakupan luas, menangani pertanian secara luas, dan sistem transfer teknologi
beragam. Namun kelemahannya adalah fokus perhatian sempit (PAJALE), kurang feed back dari petani, kemampuan teknis
rendah, lemah kaitan research-extesion-market,
dan kekurangan SDM dan anggaran. Untuk penyuluh
swasta, kelebihannya memiliki layanan bagus untuk high value crops dan mampu menangani value chain. Namun, PPL swasta
memiliki cakupan terbatas, jaringan terbatas, dan petani miskin tidak dicakup.
Penyuluh swadaya sesungguhnya memiliki karakter yang lengkap dalam dirinya,
karena melakukan ”bisnis dalam pelayanan” (Indraningsih et al. 2013).
Berkenaan dengan kebijakan satu penyuluh
untuk satu desa sebagaimana diamanatkan dalam UU No 16 tahun 2006 dan Permentan
No 61 tahun 2008, sesungguhnya sulit dipenuhi dan juga tidak memiliki
justifikasi yang kuat. Penetapan beban kerja penyuluh tidak cukup hanya pada
unit desa karena jumlah petani per desa dan luas lahan per desa tidak sama. Selain itu, luas geografis desa serta sarana
transportasi dan komunikasi pun tidak sama. Secara logika, pengetahuan, sikap
dan keterampilan petani akan meningkat dari hari ke hari; sehingga kebutuhan
mereka terhadap penyuluh juga akan berubah. Bahkan, sebagaimana ditemukan saat
ini, akan lahir petani-petani maju yang bisa menjadi penyuluh swadaya. Alexandratos
(1995) mendapatkan bahwa di AS, Canada dan Eropa, satu penyuluh mampu melayani 400
orang petani, sedangkan di negara berkembang rata-rata 2500 petani.
Setiap penyuluh memiliki karakter yang
berbeda dari sisi basis kerjanya, sosoknya, serta peran dan tanggung jawab kewilayahannya.
Konfigurasi ke depan yang ideal adalah, dimana penyuluh pemerintah akan fokus
pada pelayanan dan administrasi, dengan sosok polivalent atau monovalent, dan berperan utamanya pada motivator dan
komunikator. Ke depan, keberadaan PPL pemerintah cukup untuk satu kawasan,
sehingga misalanya 1 orang penyuluh cukup untuk 3 sampai 5 desa.
Penyuluh
swadaya adalah kontak tani, petani maju, dan pengurus
organisasi petani yang fokus kerjanya pada pelayanan, pendampingan, dan bisnis.
Sesuai dengan latar belakangnya, mereka akan lebih tepat memiliki sosok yang
kemampuannya spesialis atau monovalent
yakni spesifik komoditas atau bidang, misalnya pemupukan, pengolahan, atau
pengendalian hama tertentu. PPL ini memiliki kemampuan yang sempit dalam hal
teknis dibandingkan PPL pemerintah, namun memiliki soso pembaharu, motivator,
organisator komunitas, dan pemimpin lapang yang sudah bekerja di lingkungannya.
Karena kemampuannya yang khas, maka wilayah kerjanya tidak dapat dibatasi satu
desa, namun bisa difokuskan untuk satu wilayah kecamatan.
Terakhir, penyuluh swasta cukup variatif
sosoknya, karena terdiri atas pihak-pihak dan latar belakang yang berbeda. Sesuai
dengan referensi, PPL swasta mencakup kalangan perguruan tinggi, peneliti,
asosiasi komoditas, pegawai perusahaan swasta, NGO, atau penyuluh berbayar (payment extension service). Dengan
demikian sosok PPL swasta sangat beragam, mulai dari yang sifatnya charity sampai dengan bisnis. Mereka yang tergolong charity
melakukan pelayanan (perguruan tinggi, peneliti, NGO dan asosiasi) dan mencari
keuntungan (perusahaan swasta dan penyuluh berbayar). Dengan demikian, PPL swasta
cenderung memiliki kemampuan yang monovalent dan bahkan cenderung spesifik
komoditas dan bidang. Sama seperti PPL swadaya
wilayah kerja mereka tidak dapat dibatasi pada satu desa.
Dalam konteks penyuluhan berdasarkan
kebutuhan spesifik wilayah (extension by
demand), maka kebutuhan tenaga penyuluh berbeda jumlah maupun jenisnya.
Matrik berikut (Tabel 4) memberikan opsi bagaimana menetapkan
kebutuhan penyuluh berdasarkan tiga tipe wilayah berdasarkan tingkat
ketersediaan prasarana fisik, tingkat penerapan teknologi dan kemajuan petani (Mosher 1978). Tingkat
penerapan teknologi diindikasikan oleh tingkat produktivitas rata-rata yang
bisa dicapai, sedangkan kemajuan petani diukur misalnya dari tingkat
pengetahuan dan kemandirian dalam mengakses informasi.
Tabel 4. Tingkat kemajuan wilayah penyuluhan dan
kebutuhan jenis tenaga penyuluh
Tipe Wilayah |
Tingkat ketersediaan prasarana
fisik |
Tingkat penerapan teknologi |
Kemajuan petani |
Pilihan komposisi penyuluh |
Tipe 1 |
Rendah |
Rendah |
Rendah |
PPL pemerintah dan
swadaya |
Tipe 2 |
Tinggi |
Sedang |
Tinggi |
PPL
swadaya dan swasta |
Tipe 3 |
Tinggi |
Tinggi |
Tinggi |
PPL swasta dan swadaya |
Indonesia perlu melakukan terobosan
dengan menggunakan pendekatan penyuluhan sesuai dengan kebutuhan (penyuluhan by demand), dengan karakteristik kecamatan sebagai basis untuk menentukan
berapa dan apa jenis tenaga penyuluh yang dibutuhkan. Misalnya dengan mempertimbangkan kemajuan teknologi yang
diindikasikan oleh produkstivitas padi di wilayah tersebut, dan beban kerja
berupa luas sawah dan hambatan geografis (misalnya sebaran hamparan sawah).
Setiap indikator lalu dikelompokkan atas kategori rendah sampai tinggi. Dari
nilai tersebut lalu ditetapkan jumlah penyuluh.
Untuk wilayah dibagi atas yang dekat dan
jauh. Untuk yang dekat dengan perguruan tinggi pertanian, dapat seluruh kawasan
kabupaten/kota bisa diserahkan secara penuh kepada mereka. Perguruan tinggi
adalah salah satu penyuluh pertanian swasta. Sedangkan untuk yang jauh
dibutuhkan komposisi tenaga penyuluh yang berbeda. Untuk tanaman komersial,
membutuhkan keterlibatan PPL swasta, sedangkan pada tanaman pangan rakyat
mengutamakan PPL pemerintah dan swadaya.
PENUTUP
Trend dunia penyuluhan adalah menuju market led-extension, dimana motivasi dan mekanisme pasar menjadi basis
dalam pertanian yang akan membentuk bagaimana penyuluhan akan berjalan. Intinya
adalah ketiga jenis penyuluh tetap dapat bekerjasama, tidak berkompetisi dan saling
meniadakan; meskipun eksistensi PPL
swasta (private sector extension) semakin mendominasi.
Dalam perspektif mewujudkan penyuluhan
pertanian modern, khususnya perlunya memobilisasi penyuluh swadaya dan swasta,
agenda yang dibutuhkan ke depan berkenaan dengan riset (policy research untuk level kebijakan dan level lapang), pengembangan
organisasi (pembagian peran
antara penyuluh yang lebih sesuai, dengan ciri learning organization), dukungan kebijakan, komitmen, dan anggaran.
Terkait dengan
aspek riset, agenda yang dibutuhkan adalah merumuskan policy research untuk merumuskan pola yang lebih sesuai di Indonesia,pada level kebijakan
dan level lapang. Sementara untuk konteks organisasi, bagaimana merumsukan pembagian peran antara penyuluh
yang lebih sesuai dengan semangat modernisasi dengan dimensi tingkat kemajuan
pembangunan pertanian, wilayah, dan waktu. Membangun struktur keorganisasian
penyuluhan yang efektif dengan ciri learning organization
Selanjutnya
dibutuhkan basis kebijakan yang kuat yang
dijalankan dengan komitmen, yakni menyamakan persepsi dan langkah antar
stakeholders (internal Kementan, eksternal Kementan, dan daerah).
DAFTAR PUSTAKA
[BPPSDMP] Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pertanian. 2013. Data penyuluh pertanian swadaya sampai dengan Juli 2011. [Internet].
[cited 2013 Feb 27]. Available from: http://cybex.
deptan.go.id/page/penyuluh-swadaya.
[BPPSDMP] Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pertanian. 1999. Paradigma penyuluhan pertanian pada abad ke-21. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian.
[FAO] Food
and Agriculture Organization of the United Nations. 1990. Report of the global
consultation on agricultural extension. Rome (IT): Food and Agriculture
Organization of the United Nations.
[FAO] Food
and Agriculture Organization of the United Nations. 1997. Improving
agricultural extension. Rome (IT): Food and Agriculture Organization of the
United Nations.
Indraningsih
KS, Syahyuti, Sunarsih, Ar-Rozi AM, Suharyono S, Sugiarto. 2013. Peran penyuluh
swadaya dalam implementasi Undang–Undang Sistem Penyuluhan Pertanian. Laporan
Hasil Penelitian. Bogor (ID): Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian.
[KPPN] Komisi
Penyuluhan Pertanian Nasional. 2018. Outlook penyuluhan pertanian Indonesia
2018-2022. Buku. Jakarta (ID): Badan Penyuluhan dan Sumber Daya Pertanian,
Kementerian Pertanian.
Mosher AT. 1978. Menggerakkan dan membangun pertanian. Cetakan ke-12. Jakarta (ID): CV
Yasaguna.
Peraturan
Menteri Pertanian nomor 61/Permentan/ OT.140/11/2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh
Pertanian Swadaya Dan Penyuluh Pertanian Swasta.
Pretty J.
1995. Participatory learning for sus-tainable agriculture. World Development
23(8): 1247-1263.
Qamar MK.
2005. Modernizing national agricultural extension systems: a practical guide
for policy-makers of developing countries Rome (IT): Food and Agriculture
Organization of the United Nations, Extension and Training Division
Rivera WM.
1997. Agricultural extension into the next decade. Eur J Agr Educ Ext. 4(1):
29-38.
Roche C.
1992. Operationality in Turbulence.: The Need for Change. London (UK): ACORD.
Schwartz LA.
1994. The role of the private sector in agricultural extension: economic
analysis and case studies. Agricultural Administration (Research and
Extension) Network Paper 48. London (UK): Overseas Development Institute.
Shahbaz B,
Ata S. 2014. Enabling agricultural policies for benefiting smallholders in
dairy, citrus and mango industries of Pakistan Project No. ADP/2010/091.
Backgroud Paper (2014/1).
Singh B.
2009. Partnership in agricultural exten-sion: needed paradigm shift. Indian
Research Journal of Extension and Education 9(3).
Swanson BE,
Rajalahti R. 2010. Strengthening agricultural extension and advisory systems:
procedures for assessing, trans-forming, and evaluating extension systems. Agriculture
and Rural Development Discussion Paper 44. Washington DC (US): The
International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Kehutanan dan Perikanan.
Lampiran 1. Jumlah Perguruan Tinggi pertanian di
Indonesia per propinsi, 2018
Propinsi |
Politeknik, Sekolah Tinggi, atau
Akademi |
Universitas atau Institut |
Jumlah |
NAD |
6 |
3 |
9 |
Sumut |
5 |
7 |
12 |
Sumbar |
2 |
2 |
4 |
Bengkulu |
1 |
2 |
3 |
Riau |
2 |
3 |
5 |
Kepri |
0 |
1 |
1 |
Jambi |
0 |
1 |
1 |
Sumsel |
5 |
2 |
7 |
Lampung |
5 |
1 |
6 |
Kep Babel |
1 |
1 |
2 |
DKI Jakarta |
1 |
1 |
2 |
Jabar |
5 |
9 |
14 |
Banten |
0 |
3 |
3 |
Jateng |
12 |
8 |
20 |
DIY |
4 |
7 |
11 |
Jatim |
7 |
13 |
20 |
Kalteng |
1 |
1 |
2 |
Kalsel |
5 |
1 |
6 |
Kaltim |
2 |
1 |
3 |
Kalbar |
4 |
1 |
5 |
Bali |
0 |
2 |
2 |
NTT |
2 |
3 |
5 |
NTB |
0 |
2 |
2 |
Sulbar |
1 |
1 |
2 |
Sulut |
0 |
6 |
6 |
Sulteng |
3 |
2 |
5 |
Sulsel |
6 |
4 |
10 |
Sultra |
2 |
3 |
5 |
Gorontalo |
1 |
2 |
3 |
Maluku |
0 |
1 |
1 |
Papua |
3 |
2 |
5 |
PapuaBarat |
2 |
1 |
3 |
TOTAL |
88 |
97 |
185 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar