Saat ini, khususnya pada paruh kedua tahun 2015 berlangsung perdebatan
tentang bagaimana semestinya keberadaan penyuluhan pertanian di daerah.
Pemahaman yang berkembang dapat dikelompokkan atas dua golongan pemikiran,
yakni yang optimis dan MENDUKUNG serta sebaliknya yang pesimis dan MENOLAK keberadaan
kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah. Namun, yang mendukung posisinya lebih kuat.
Pemahaman Yang
Optimis Dan Mendukung
Pihak yang mendukung pembentukan kelembagaan pertanian di daearah
berlandaskan kepada UU 16 tahun 2006 dan UU no 19 tahu 2013, serta kepada
landasan teoritis prinsip-prinsip penyuluhan pertanian modern yang sedang
diperjuangkan di Indonesia. Beberapa alasan pokok adalah sebagai berikut:
Pertama, pendirian kantor penyuluhan pertanian di daerah sesungguhnya
telah didukung kebijakan yang kuat, karena penyuluhan pertanian telah memiliki
UU sendiri yakni UU No 16 tahun 2006. Dalam konteks perbandingan hukum seperti ini,
UU no 16 tahun 2006 merupakan lex
specialist artinya lebih tinggi dibandingkan UU 23 tahun 2014 yang lex generalis. Pada Pasal 63 ayat (2)
KUHP disebutkan bahwa “Lex specialis derogat legi generali”
adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum
yang bersifat umum (lex generalis).
Hal ini juga didukung oleh UU 23 tahun 2014 tentang Pemda yang
juga mendukung azas hukum ini. Pasal 231 berbunyi: “Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan memerintahkan
pembentukan lembaga tertentu di Daerah, lembaga tersebut dijadikan bagian dari
Perangkat Daerah yang ada setelah dikonsultasikan kepada Menteri dan menteri
yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan bidang pendayagunaan aparatur
negara”.
Aturan lain yang sangat penting adalah Peraturan Presiden No 154
tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pada Pasal 2 dijelaskan bahwa
kelembagaan penyuluhan mencakup mulai dari pusat sampai kecamatan. Azasnya
adalah konkurensi. Lalu, pada Pasal 12 terbaca bahwa di tingkat kabupaten/kota
berbentuk badan pelaksana penyuluhan.
Kedua, UU 19 tahun 2013 yang sangat mendukung keberadaan penyuluhan di
daerah, karena penyuluhan merupakan salah satu komponen untuk melakukan
pemberdayaan petani. Hal ini setidaknya disampaikan dalam Pasal 1, 7, 46, dan
47. Kementerian Pertanian berpegang kuat kepada UU ini karena dilahirkan dan
disusun untuk kepentingan pembangunan pertanian secara lebih khusus.
Ketiga, Pasal 15 UU No 23 tahun
2014 yang secara jelas disebutkan bahwa penyuluhan pertanian merupakan urusan
bersama antara pemerintah pusat dan daerah, atau dilaksanakan secara
konkurensi. Hal ini berimplikasi kepada pengelolaan sistem penyuluhan dalam hal
peningkatan kompetensi, pengembangan profesionalitas dan juga karir penyuluh
pertanian.
Selengkapnya, Pasal 15 berbunyi: (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini, (2) Urusan
pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-Undang ini
menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya
menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pelaksanaan secara kongkurensi ini
tentu sangat sejalan dengan konsep otonomi daerah, dengan berbasiskan prinsip demi
mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani yang tersebar luas dengan
tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang beragam. Artinya,
desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan. Pendapat ini juga
diperkuat oleh Pasal 345, dimana: (1) Pemerintah Daerah wajib membangun
manajemen pelayanan publik dengan mengacu pada asas-asas pelayanan publik, dan
(2) Manajemen pelayanan publik meliputi salah satunya adalah penyuluhan kepada
masyarakat (ayat 2 point e).
Pemahaman yang
Pesimis dan Menolak
Sebaliknya, kalangan yang tergolong menolak keberadaan penyuluhan
di daerah berpandangan bahwa kata “penyuluhan pertanian” sama sekali tidak ada
dalam UU 23 tahun 2014 ini. Dalam konteks Kementerian Pertanian hanya
memasukkan urusan pemerintahan bidang ketahanan pangan serta pertanian. Pada
Lampiran AA yakni “Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanian” terdiri atas
7 sub urusan yakni: sarana pertanian, prasarana pertanian, kesehatan hewan dan
kesehatan masyarakat veteriner, pengendalian dan penanggulangan bencana
pertanian, perizinan usaha pertanian, karantina pertanian dan varietas
pertanian. Sedangkan urusan pangan terdapat pada lampiran I yakni “Pembagian
Urusan Pemerintahan Bidang Pangan” terdiri atas 4 sub urusan yaitu: penyelenggaraan
pangan berdasarkan kedaulatan dan kemandirian, penyelenggaraan ketahanan
pangan, penanganan kerawanan pangan, dan keamanan pangan.
Pola fikir yang hanya berbasiskan
bahwa penataan kelembagaan di daerah semata-mata berdasarkan kepada lampiran
dalam UU ini tentu akan memaknai bahwa seolah-olah penyuluhan pertanian akan
“dihilangkan” di daerah.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar