(dimuat dalam Koran "PADANG EKPRES" 31 oKTOBER 2015)
Keluarnya UU No 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sejak akhir tahun lalu berimplikasi luas terhadap kelembagaan
penyuluhan nasional termasuk di daerah. Namun, sesungguhnya inilah kesempatan
untuk memperkokoh keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian daerah.
Pembentukan kelembagaan nantinya menggunakan indikator dan penilaian yang
sistematis dan berbasiskan data riel secara kuantitatif. Ini untuk menggantikan
Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi
Perangkat Daerah.
Pengalaman
Sumatera Barat yang membutuhkan waktu panjang dalam memperjuangkan keberadaan Bakorluh
propinsi akan lebih kuat nantinya. Pada hakekatnya, UU 23 ini akan memperkuat
keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian, karena sejalan dengan UU No 16
tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dengan
kata lain, kebijakan ini pada hakekatnya sejalan dan harmonis satu sama lain.
Modernisasi penyuluhan
Undang-Undang
No 16 tahun 2006 berupaya mendorong lahirnya modernisasi penyuluhan pertanian.
Paradigma baru dalam UU terlihat dari lima hal berikut. Pertama, mendepankan asas demokrasi dan partisipasi. Pasal 2 menyebutkan bahwa “Penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan,
keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan,
berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat”. Artinya, seluruh
ide dan sikap positif pembangunan telah diadopsi dalam kalimat ini.
Kedua, penyuluhan tidak lagi pada sekedar peningkatan
produksi pertanian, namun pada manusianya. Pasal 3 menyebut bahwa tujuan
penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal
sosial. Dicakupnya objek “modal sosial” disini bermakna bahwa penyuluh
pertanian Indonesia harus mempunyai fokus lebih luas dari sekedar individu
petani (pengetahuan-sikap-ketrampilan), namun juga pada organisasi petani dan
berbagai jaringan sosial yang terbentuk di masyarakat. Tujuan mulia ini dicapai
dengan memberdayakan petani melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif,
penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan
kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi.
Ketiga, menerapkan manajemen yang terintegratif yang
tidak lagi terpasung ego sektoral. Pada Pasal 6 terbaca bahwa penyuluhan
dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian,
perikanan, dan kehutanan.
Keempat, pelibatan masyarakat petani, dan menjadikan
petani sebagai subjek penyuluhan. Maka, pemerintah mengakui keberadaaan
penyuluh swadaya, yang berasal dari para kontak tani dan petani maju di
wilayahnya masing-masing.
Kelima, penyuluhan tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah.
Selain penyuluh swadaya, kita juga akan memobiliasi para penyuluh swasta. Dengan
UU ini pula dilahirkan Komisi Penyuluhan Pertanian sebagai organisasi
independen yang dibentuk pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Unsurnya terdiri atas para pakar, akademisi, dan praktisi yang mempunyai
keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan dan pembangunan perdesaan.
Kongkurensi urusan penyuluhan
Kelembagaan penyuluhan pertanian yang ditata secara
kongkurensi sesuai UU 23 tahun 2014 sangat sejalan dengan konsep otonomi
daerah. Prinsipnya adalah demi mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani
yang tersebar dengan tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang
beragam. Artinya, desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan.
Indonesia telah bertekad untuk
mengimplementasikan otonomi daerah, yang secara resmi disampaikan dengan
bertolak atas UU No 22 tahun 1999 yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 2000.
Tujuan otonomi daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaaan, dan kekhususan daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pada 2 Oktober 2014 yang lalu, telah ditetapkan UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini sangat strategis
karena mengatur pembagian urusan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam semua
aspek penyelenggaraan pemerintahan. Ini untuk menyempurnakan UU sebaelumnya,
dimana dalam pembagian urusan
misalnya, konsep negara kesatuan yang desentralistis belum sepenuhnya tergambar
dalam pengaturan dan norma-norma yang ada sehingga seringkali masih dijumpai
ketidakharmonisan hubungan antar kementrian dan lembaga dengan daerah, antar provinsi dan
kabupaten/kota, dan antar daerah.
Ketidakjelasan
pengaturan sering membuat kerjasama antara Pemerintah Pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota dan antar daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah belum dapat dilakukan secara optimal. Juga menyebabkan sulitnya menciptakan sinergi antara pembangunan pusat dengan daerah dan
antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi tersebut. Kebijakan
ini belum mampu mempercepat
perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah.
Otonomi daerah dijalankan dengan 3 asas yaitu asas desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dengan basis ini, pemerintahan daerah berkesempatan
luas meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi
daerah. Pemerintahan daerah provinsi mempunyai
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala
provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pemerintah
Pusat. Demikian pula untuk pemerintahan kabupaten/kota.
Namun, implementasi UU 23 tahun
2014 masih menunggu banyak kelengkapan. Misalnya ada 54 pasal yang
mengamanatkan pembentukan PP. Untuk kelembagaan penyuluhan, ada 3 pasal penting
yang berhubungan, yakni Pasal 15 berkenaan dengan perubahan terhadap pembagan urusan pemerintahan konkuren antara
pemerintah pusat dan daerah, Pasal 18 tentang SPM, dan Pasal 21 berisi pelaksanaan
urusan pemerintahan konkuren.
Dalam pasal 15 UU No 23 tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah secara jelas disebutkan bahwa penyuluhan
pertanian merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah, atau
dilaksanakan secara konkurensi. Hal ini berimplikasi kepada pengelolaan sistem
penyuluhan dalam hal peningkatan kompetensi, pengembangan profesionalitas dan
juga karir penyuluh pertanian.
Penyuluhan Pertanian tidak
menjadi bagian dalam lampiran UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dengan kata lain, penyuluhan pertanian tetap dijalankan dengan berpedoman
kepada UU No 16 tahun 2006 tentang SP3K. Hal ini perlu menjadi perhatian
pemerintah daerah sehingga tidak ada alasan untuk tidak memperhatikan
kelembagaan dan operasionalisasi penyuluhan pertanian.
Karena proses ini membutuhkan
waktu, dimana diberikan batasan maksimal 2 tahun yaitu semenjak UU No 23 tahun
2014 diundangkan, yakni sampai dengan 2 Oktober 2016, maka keberadaan
kelembagaan penyuluhan di daerah tidak dirubah. Hal ini sudah diperjelas dengan
Surat Edaran Mendagri tanggal 16 Januari 2015 yang intinya adalah untuk tidak
melakukan perubahan dalam kelembagaan Badan Koordinasi dan Badan Pelaksana
Penyuluhan di daerah.
Langkah Menteri Pertanian juga sangat
tepat, dengan menyampaikan surat Nomor: 02/SM.600/M/1/2015 kepada Gubernur
seluruh Indonesia perihal Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Inti dari pokok
surat tersebut adalah bahwa sambil menunggu berbagai kelengkapan pertauran,
maka penyelenggaraan
urusan penyuluhan pertanian tetap
dilaksanakan sesuai UU No. 16 tahun 2006 karena tidak bertentangan dengan
UU No 23 tahun 2014.
Untuk Sumatera Barat, dapat dikatakan
bahwa apa yang sudah berlangsung saat ini sejalan dengan garis kebijakan pusat.
Penyuluhan telah ditata secara konkurensi dan juga sejalan dengan prinsip
otonomi daerah. Terbangunnya kelembagaan penyuluhan pertanian ini memiliki
landasan teoritis yang kuat karena
didukung Komisi Penyuluhan Pertanian Daerah yang di dalamnya banyak dari
kalangan akademisi dan juga praktisi, dimana ciri penyuluhan modern juga mulai
diterapkan yakni berazaskan partisipatif, terbuka, dan demokratis.
(DR.
Syahyuti: anggota Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional 2014-2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar