(ditulis 13 Januari 2022)
Bapa dan Ibu insan pertanian Indonesia.
Tahun 2021, utamanya semester kedua, ramai wacana tentang BRIN
(Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang akan menyatukan berbagai kantor riset
di Indonesia. Saya memposting ini, berharap ada yang tertarik membahasnya.
Berkenaan dengan Agricultre Innovation System (AIS) Indonesia yang tampaknya
perlu didudukkan dan diberi ruang bernafas dengan nyaman. Saat ini momentumnya
pas, karena UU 11-2019 masih anget dan badan baru BRIN sedang menata diri juga,
lagi berdandan mematut-matut diri.
Ini urgent. Yang namanya momentum ga datang dua kali. Maka, jika
tidak diwacanakan dan diurus dengan tepat, kita kuatir INOVASI PERTANIAN tidak
akan dimanage dengan benar ke depan, sehingga efektivitasnya pun akan mandeg
deg. Mungkin demikian.
Artinya, kita kuatir sistem inovasi pertanian disamakan dan
dijalankan sbgaimana inovasi2 lain. Jika demikian, Ia akan "tenggelam di
BRIN". Kenapa? Karena “ionvasi pertanian” beda !
Inovasi Pertanian belum diposisikan secara memadai dalam UU
11-2019 tentang SISNAS IPTEK :
Inovasi pertanian itu unik, dan terlebih lagi AIS Indonesia, lebih
unik lagi. Dalam UU no 11 tahun 2019 tentang Sisnas Iptek, di Pasal 1 terbaca
batasan Inovasi dalam pengertian umum, yaitu “adalah hasil pemikiran,
Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan/atau Penerapan, yang mengandung unsur
kebaruan dan telah diterapkan serta memberikan kemanfaatan, ekonomi dan/atau
sosial”.
Inovasi pertanian tidak diberikan ruang khusus dalam UU ini.
Bahkan kata “pertanian” tidak muncul sama sekali dalam batang tubuhnya, kecuali
pada Penjelasan pasal 85 ayat 2, itupun sebagai contoh kasus saja.
Memang harus? Ya, karena sekali lagi: bertani itu unik. Uniknya
berasal dari sifat karena hampir semua aktivitas pertanian bersifat land based.
Semua tanaman dan hewan hidup di tanah. Maka melekat lah unsur fisika tanah,
biologi nya, air, iklim, dll di situ. Ini kan berbeda misalnya teknologi
pembuatan batere/aki, ..... lah dimana-mana sama saja. Bisa copy paste input
dan metode nya secara presisi.
Inovasi pertanian unik, berbeda, spesial; karena:
1. Inovasi di bidang pertanian sangat dipengaruhi lingkungan fisik
alam. Proses penciptaan, uji adaptasi, sampai dengan penerapannya sangat
bergantung kepada tempat dimana itu dijalankan, karena ada faktor tanah, air,
suhu, iklim, dan lain-lain yang mempengaruhinya. Maka kita kenal
local specific.
2. Karena itu, dibutuhkan ruang fleksibilitas/variabilitas dalam
berbagai sisi sistemnya mulai dari perencanaan, biaya yang dibutuhkan, dukungan
SDM dan fasilitas, serta juga indikator menilai keberhasilan penerapan nya
(return of investment / ROI nya kudu beda). Proses penciptaan satu teknologi
sampai dengan adopsinya bisa lebih lama dibandingkan teknologi sektor lain,
lebih mahal. Dan malangnya, tingkat keberhasilannya bisa lebih rendah pula.
3. Sistem nya bersifat terbuka, perlu melibatkan banyak pihak
(partisipasi) dengan tingkat kesiapan dan kapabilitas berbeda, misalnya
penyuluh pertanian, Bapak tani, Ibu tani, petani muda milenial.
Local wisdom tea.
Kondisi dan persepsi mereka ga serupa. Beda dengan teknologi
tekstil misalnya, bisa diisolasi secara sempurna, tak tergantung hujan dan
angin. Output dapat dihasilkan secara tepat sesuai input nya.
AIS Indonesia butuh kondisi yang unik pula:
Keunikan berikutnya datang karena “INDONESIA- nya”. Kami coba
mendeskripsikan sesuai logical frame pada UU 11 - 2019 yang terdiri atas lima
subsistem. Maka kondisi yang dibutuhkan kira-kira demikian:
Satu, Pendidikan - EDUCATION (Pasal 15-17): untuk peneliti,
penyuluh, dan petani.
Penyuluh pemerintah semakin menurun, penyuluh swadaya semakin
dibutuhkan. Sementara, pendidikan petani Indonesia saat ini rendah. Banyak ga
tamat SD, dst. Maka, kita butuh pendidikan dan training yang beragam, dengan
bermacam pendekatan dan paket. Harus sabar-sabar.
Dua, Penelitian - RESEARCH (Pasal 19): basic research, application
research, social science.
Indonesia dikenal sebagai pertanian maritim, bukan pertanian
kontinental. Pertanian di Indonesia dipengaruhi iklim laut secara intensif,
sehingga melahirkan ragam pertanian yang berbeda antar pulau, serta juga antar
ketinggian. Indonesia memiliki tujuh zona AEZ. Untuk kedelai misalnya, kita
butuh kedelai yang bisa tumbuh bagus di lahan sawah, lahan dataran rendah –
menengah – tinggi, tanah asam, asin, dll.
Dalam kondisi rendahnya pendidikan petani, namun mengingat sifat
teknologi pertanian yang kadangkala bersifat lokal, inovasi dari petani yang
berkembang di satu wilayah; harus diperhitungkan sebagai sumber inovasi baru
pula, misalnya benih. Benih yang sesuai pada satu wilayah merupakan hasil dari
selekasi panjang genetis yang perlu diperhitungkan dalam rencana riset.
Demikian juga dengan jadwal tanam yang sesuai, teknik pengendalin hama dll.
Tidak semua inovasi pertanian bisa copy paste dari negara lain
yang sudah sukses.
Teknologi pertanian harus bersifat padat karya, menyerap TK
sebanyak-banyak nya. Saat ini hampir 70 persen TK bekerja di pertanian dan
cukup membebani. Teknologi padat modal akan menyingkirkan mereka, dan akhirnya
bersifat kontraproduktif untuk ekonomi nasional.
Tiga, Pengembangan - DEVELOPMENT (pasal 20-22): teknologi,
pengetahuan dan ilmu sosial. Outputnya invensi, policy dan regulasi.
Kegiatan basic research akan membutuhkan biaya dan usaha lebih
mahal, karena pertanian terdiri atas komoditas yang sangat beragam, mulai dari
tanaman semusim dan tahunan, peternakan, pupuk dan obat-obatan, pengolahan
hasil panen, sampai dengan alat dan mesin.
Tambahan, porsi riset sosialnya butuh lebih banyak, yang mesti
mengakomodasi keragaman sosial ekonomi dan kultural petani, beragam komoditas,
level rural-urbannya, kosmopolitansinya, peluang diseminasi dan
adopsi nya, dst. Riset sosial tak terpisahkan untuk setiap teknologi.
Empat, Pengkajian - ASSESSMENT (Pasal 23-26): perekayasaan,
kliring teknologi, dan audit teknologi.
Inovasi pertanian tidak selalu harus intensif dengan modal besar
dan teknologi tinggi. Yang dibutuhkan adalah teknologi tepat guna, sesuai
dengan alam, iklim, dan sosial budaya masyarakat. Karena itu, kegiatan
assessment perlu dilakukan pada berbagai tipe AEZ, dan sayangnya seringkali
area penerapannya pun terbatas. Indikator penilaian keberhasilan assessment
harus disesuaikan. Akan terlihat kurang efisein- efektif jika dibandingkan
teknologi sektor non pertanian.
Lima, Penerapan - APPLICATION (Pasal 27-33). Ini rumit dan berjenjang. Ada
4 cabang kegiatan dan belasan ranting. Empat cabang tersebut adalah: transfer
teknologi , intermediasi, difusi, dan komersialisasi.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan sebaran luas, sehingga
menjadi kendala dalam komunikasi. Penerapan komunikasi digital belum menjangkau
semua desa. Karena itu dibutuhkan upaya lebih
mahal untuk mendiseminasi kan satu inovasi.
Pertanian Indonesia berskala kecil, sehingga kemampuan petani
mengadopsi inovasi pertanian terbatas. Dibutuhkan supporting sistem yang besar,
misalnya dari pembiayaan.
Jumlah dan kualitas ptenaga penyuluhan pertanian saat ini belum
ideal. Penyuluhan pertanian pemerintah semakin menurun, sementara penyuluh
pertanian swadaya dan swasta belum dapat dimobilisasi dengan optimal. Karena
itu, penyusunan rencana application dan mengukur keberhasilannya perlu
penyesuaian.
Nah, riset selama ini ada dua: technology dan knowledge. Kedua ini
butuh cara diseminasi yang berbeda. Jika technology bisa agak free, namun untuk
knowledge (sosek misalnya) ga bisa jauh-jauh dari penggunanya. Kalau masyarakat
kita sudah “knowledge community” mungkin ga soal.
Dokumen apa yang kita butuhkan ?
Untuk mengikat segala ide dan pemikiran secara kokoh, mungkin kita
perlu sebuah buku babon yang menjadi acuan bertindak apa, bagaimana dan siapa
yang akan melakukan dan mengembangkan AIS Indonesia. Dari sisi regulasi, kalo
difikir-fikir tampaknya kita belum pernah punya regulasi khusus tentang inovasi
pertanian. UU 18-2002 dan 11-2019 memuat inovasi secara umum berlaku untuk semua
jenis inovasi, sementara UU 16-2006 hanya mengatur penyuluhan saja (bagian dari
sistem inovasi pertanian).
Selama ini kita sudah ada buku “Rencana Induk Riset nasional
(RIRN) 2017-2045”(ada yang menyebutnya dengan “Buku Putih”). Di dalamnya
pertanian dan pangan dapat porsi khusus. Lalu ada buku “Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2005-2025”,
“Kebijakan Strategis Nasional Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas
Iptek)”, dan “Agenda Riset Nasional (ARN)”.
Namun, Pada UU 11 Sisnas Iptek ada Bab III (Pasal 8-12) telah ada
disebutkan “Rencana Induk Pemajuan Iptek”, yang digambarkan sebagai acuan
jangka panjang nasional, wajib sebagai pedoman, disusun per 5 dan 25 tahun,
memuat visi misi dan strategi. Nah, monggo mana lah yang akan kita pakai.
Lalu, kita sedang menunggu inisiatif dari siapa?
Bisa dari Kementan sebagai beneficiariesnya, Bapenas bisa, atau
pihak lain. Sejatinya tentu ini butuh inisiatif dan partisipasi seluruh insan
AIS Indonesia: ya peneliti, perekayasa, litkayasa, penyuluh, sampai ke penyuluh
bahkan tokoh-tokoh dan pengamat pertanian, dan petani. Namun,
“sasaran tembak” di awal setidaknya dua: Bappenas dan Manajemen BRIN.
Mungkiiinnn.
Bagaimana kira-kira Bapa Ibu? Semoga ada yang berminat
membahasnya. Nuhun.
(Syahyuti)
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar