Oleh: Syahyuti
(dimuat dalam koran SINARTANI edisi Senin, 23 Januari 2017)
Bulan-bulan terakhir ini di
daerah sedang gaduh pembentukan SOPD (Satuan Organisasi Perangkat Daerah) yang
baru sesuai amanat UU No 23 tahun 2104 tentang Pemerintahan Daerah. Di
antaranya adalah kegalauan penyuluh pertanian karena harus masuk ke Dinas
Pertanian atau ke Badan Ketahanan Pangan. Di banyak daerah, penyuluhan hampir
pasti sudah menjadi bagian dalam Dinas Pertanian. Hampir pasti pula bahwa
Bakorluh di tingkat propinsi dan Bapeluh di tingkat kabupaten/kota dihapus.
Kondisi ini merupakan implikasi dari pemberlakuan UU Pemda tersebut, dimana
hanya ada dua urusan pemerintah yang terkait dengan Kementan, yakni urusan
Pemerintah Bidang Pertanian (Lampiran AA) dan Urusan Pemerintah Bidang Pangan
(Lampiran I).
Perebutan antara Dinas teknis
dengan penyuluhan, yakni apakah penyuluhan berkantor sendiri atau masuk dalam dinas,
sudah berulang kali berlangsung. Keluarnya UU Penyuluhan tahun 2006 menjadi
legislasi kuat pendorong terbentuknya Bakorluh dan Bapeluh. Namun, lalu datang
“badai” UU tentang Pemda, dimana Bakorluh dan Bapeluh bertumbangan.
Perebutan dan tarik ulur ini tampaknya
bisa terjadi terus menerus entah sampai kapan. Jika tidak ada terosoban
pemikiran baru, maka energi kita akan habis bolak-balik mengurusnya.
Untuk itu, kenapa kita tidak
terfikir untuk menggabungkan saja kedua kantor ini. Tulisan ini mengajak untuk bicara
tentang isi, bukan bungkus. Bungkusnya tetap Dinas Pertanian, tapi isinya
penyuluhan. Artinya, ini adalah solusi kultural yang lebih paradigmatis, tidak
lagi sekedar pendekatan teknis-struktural. Dan yang penting, landasan teoritis
penggabungan ini sangat kuat, dimana kalangan ahli penyuluhan sudah lama
membicarakan ini. Mereka menyebutnya sebagai sistem “penyuluhan modern” (modern extension management). Sementara,
di berbagai negara sistem ini pun sudah diterapkan dan terbukti sukses.
Peran
Penyuluhan Pertanian Modern Lebih Luas
Mulai pertengahan tahun 1980-an
sesungguhnya penyuluhan di berbagai negara termasuk di Asia telah mulai
mengembangkan sistem penyuluhan modern. Anjloknya nilai bantuan internasional,
terutama dari Bank Dunia, membuat pemerintah memikirkan sistem penyuluhan baru
yang lebih murah dengan melibatkan berbagai elemen. Apa ciri penyuluhan modern?
Menurut
Swanson and Rajalahti (2010), penyuluhan
modern tidak lagi sekedar transfer teknologi (Technology Transfer Extension Models) yang cenderung searah dan
sempit. Sementara, FAO
mengenalkan SARD (Sutainable
Agricultural and Rural Development), dimana fungsi penyuluhan lebih
luas dari sekedar mentransfer teknologi, namun juga mencakup upaya untuk
memobilisasi, mengorganisasikan, dan sekaligus mendidik petani. Pendekatan
penyuluhan lebih mengutamakan pada
pemecahan masalah langsung petani (Swanson et al. 1997).
Semenjak dahulu sesungguhnya
penyuluhan memang tidak hanya sekedar “ngomong” bicara tentang teknologi. Fungsi
penyuluh mestinya begitu luas. Di kalangan ahli dikenal tiga kelompok fungsi
penyuluhan, yaitu: pertama, fungsi
wajib (Must Functions). Ini adalah
tugas pokok penyuluhan yang selama ini sudah kita kenal, yakni membangkitkan kesadaran, pendidikan, dan
transmisi informasi.
Kedua, fungsi “dapat” (Can
Functions), yakni penyediaan input untuk petani (obtaining production inputs), bantuan pemasaran, supervisi uji
lapang teknologi, dan menyediakan prasarana pertanian (providing infrastructure). Intinya adalah pada pemecahan masalah. Ketiga, fungsi "interfering functions" yang
mencakup aspek kebijakan (policing duties),
membantu pemenuhan permodalan, dan pengumpulan data statistik termasuk
melakukan sensus dan analisis pasar.
Ahli lain, misalnya Rivera
(1997) menyebut bahwa ciri penyuluhan modern berbasiakan kebutuan (system
demand-driven), partisipatif, bottom-up,
dan efisien. Chamala and Shingi (2007) menambahkan, fungsi penyuluhan modern lebih
luas dari sekedar mentransfer teknologi, namun juga mencakup upaya untuk
memobilisasi, mengorganisasikan, dan sekaligus mendidik petani. Dari sisi
managemen, Cees Leeuwis (2006) menambahkan bahwa kantor penyuluhan yang baru semestinya
berbentuk koheren. Tidak lagi terpisah-pisah, namun menyatu dengan instansi
lain.
Paradigma
penyuluhan baru ini sejalan belaka dengan UU 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3), di antaranya adalah demokratif
dan partisipatif (Pasal 2), Penyuluhan
tidak pada sekedar peningkatan produksi pertanian, namun pada manusianya (Pasal 3), menerapkan
manajemen yang terintegratif,
tidak lagi terpasung ego sektoral (Pasal 6 dan 7), pelibatan masyarakat petani,
dan menjadikan petani sebagai subjek penyuluhan. (Pasal 6 point b, dan pasal 29).
Pemerintah dan pemerintah daerah diamanahkan untuk memfasilitasi dan mendorong
peran serta pelaku utama dan pelaku usaha dalam pelaksanaan penyuluhan.
Penyuluhan
pertanian di Indonesi sudah berjalan hampir 50 tahun. Maka saat ini, pengetahuan
petani dalam usahatani pangan sesungguhnya sudah memadai, keterampilan pun
sudah cukup. Masalah yang dihadapi
petani kini adalah bagaimana mendapatkan benih berkualitas dengan harga
terjangkau, pupuk tersedia tepat waktu, dan akses yang terbuka untuk pasar
produk. Ini lah peran penyuluh modern, yakni untuk pemecahan
masalah (problem-solving) langsung
sehari-hari secara menyeluruh.
Pada intinya penyuluhan melihat
pada aspek manusianya (SDM), dan penyuluh bertugas memenuhi seluruh yang
dibutuhkannnya, baik yang bersifat abstrak (informasi dan pengetahuan), juga
material yang nyata (benih, pupuk, dan lain-lain). Dalam peran penyuluh sebagai
role organisasi, di tangan penyuluh
lah bagaimana kebutuhan benih, pupuk, air, obat-obatan, serta pemasaran hasil
pertanian dipenuhi dan dijalankan.
Dinas Pertanian
sebagai Rumahnya, Penyuluhan Pertanian Isinya
Tarik ulur penyuluh antara dinas
dan Bakorluh/Bapeluh harus dihentikan. Perebutan ini telah berlangsung berulang
kali, bolak balik. Mengintegrasikan kantor penyuluhan dengan kantor dinas
sangat sesuai dengan teori penyuluhan modern dan juga UU tentang Pemerintah
Daerah yang berbasiskan efisiensi.
Sekarang lah saatnya,
menyatukan Dinas Pertanian dengan penyuluhan. Menjalankan Dinas Pertanian
dengan “ruh penyuluhan” merupakan sebuah upaya perjuangan kultural yang tentu
tidak mudah. Kita selama ini baru pandai melakukan sekedar utak-atik struktural,
yakni memecah-mecah kantor menjadi dua, tiga atau empat unit; lalu tidak lama kemudian
menyatukannya lagi.
Apa yang berbeda jika
penyuluhan menjadi ruh kantor Dinas Pertanian? Secara struktur tidak ada
perubahan yang besar. Yang berbeda adalah dalam hal semangat, jiwa dan
manajemen kerjanya. Dengan menjadikan penyuluhan sebagai kultur Dinas Pertanian
maka artinya semua staf sampai pimpinan bekerja dengan menjadi kan petani
sebagai subjek, mendengarkan petani dengan empati mendalam, bertanya apa
masalah dan kebutuhan petani sebelum menyusun program, mendiskusikan secara
sejajar dengan petani apa solusi yang baik menurut mereka, dan seterusnya.
Artinya, kita tidak lagi bekerja dengan target-target sepihak, memberikan benih
yang belum tentu mereka sukai, memaksa mereka bertanam padahal sedangkan air
belum ada, dan lain-lain.
Dinas Pertanian akan bekerja
dengan prinsip demokratis dan partisipatif. Penyuluhan bukan sekedar Bagian
atau Bidang saja, namun ruhnya menjalar di seluruh tubuh dinas. Dinas bekerja
dengan menjadikan petani dan kesejahteraannya sebagai indikator keberhasilan
Dinas, selain pencapaian produksi. Artinya, Dinas memperhatikan tingkat upaha
buruh tani yang manusiawi, sistem bagi hasil yang adil, nilai sewa lahan yang
tidak merugikan petani penggarap, dan seterusnya.
Kita
di Indonesia sudah sangat akrab dengan konsep-konsep pembangunan partisipatif,
pembangunan berdimensi kerakyatan, demokratis, memanusiakan petani, farmer fisrt, dan seterusnya. Mestinya,
penyuluhan lah yang menjadi payung dari semua ini. Jika kita konsisten dengan
ide-ide ini, maka sistem pembangunan dengan “semangat penyuluhan” mampu
merangkum semuanya.
Paradigma Penyuluhan Pertanian pada
abad ke-21 menjadikan penyuluh tidak hanya sebagai sistem penyampaian (delivery system) bagi informasi dan
teknologi pertanian untuk peningkatan produksi,
tapi harus menjadi sistem yang berfungsi menciptakan pertanian sebagai
suatu usaha yang menguntungkan bagi petani. Di Thailand ada Department
of Agricultural Extension dengan peran meningkatkan kapasitas produksi pertanian,
pengolahan, meningkatkan nilai tambah pertanian, melakukan promosi, juga
melakukan kontrol kualitas produk.
Sementara
di Nepal, penyuluh tidak perlu berkantor sendiri karena perannya adalah
“koordinator”. Penyuluh pemerintah pada posisi memfasilitasi pelaku lain
terutama penyuluh swasta (private sectors
extension). Dalam
ranah ilmu pembangunan partisipatif, keberadaan lembaga penyuluhan begitu
terang benderang sebagai koordinator pembangunan pedesaan. Tulisan
Qamar (tahun 2005) sudah menggariskan agar “Perluas
mandat penyuluhan untuk mampu melayani berbagai kebutuhan pembangunan
sumberdaya manusia di pedesaan”.
Kantor
Dinas Pertanian yang baru nantinya hasil “perkawinan” ini nantinya akan berupa
sebuah “learning organization”, yakni suatu kantor yang dinamis, terus
mencari bentuknya yang paling pas. Sesuai dengan kondisi sosial petani dan peta
ekonomi pertaniannya. Mereka berkesempatan terus menerus untuk melakukan
penyesuaian misi, pelayanan, produk, kultur, dan prosedur organisasinya. Inilah
semestinya yang diperjuangkan bersama, bukan lagi sekedar kalah menang kantor A
atau kantor B. Kita sudah cukup melakukan “perang struktural”, saat ini kita
membutuhkan “perkawinan kultural”.
Dalam
bentuk baru ini, Dinas Pertanian juga menjadi kantornya
para penyuluh swadaya dan swasta. Maka Dinas Pertanian harus mampu memobilisasi
kedua jenis penyuluh ini, sebagai mana amanat UU 16 tahun 2006 tentang SP3.
Penggabungan ini akan terwujud secara lebih nyata nantinya di level lapang,
yakni pada Balai Penyuluhan Pertanian (BPP atau BP3K).
*****