Catatan untuk Manajemen Kelembagaan
dan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Pasca UU No 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
Berikut adalah beberapa point penting khususnya berkenaan dengan
keberadaan kelembagaan penyuluhan pasca pemberlakukan UU No 23 tahun 2014 serta
beberapa hal lain yang mendesak berkenaan dengan eksistensi dunia penyuluhan
secara umum dalam mendukung pembangunan pertanian.
Satu, Keberadaan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Di
Daerah:
Urusan pemerintah sektor pertanian dalam UU 23 tahun tahun
2014 hanya dimuat dalam
dua matrik lampiran yakni urusan pemerintahan bidang pertanian (Lampiran AA)
serta bidang pangan (Lampiran I). Penyuluhan pertanian tidak dicakup oleh kedua
urusan ini, sehingga banyak yang memaknai bahwa seolah-olah penyuluhan
pertanian akan “dihilangkan” di daerah.
Namun jika dicermati dengan
baik, UU 23 tahun 2014 sesungguhnya tetap mendukung eksistensi kelembagaan
penyuluhan pertanian di daerah. Pasal 15 secara jelas menyebutkan bahwa
penyuluhan pertanian merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan
daerah yang dilaksanakan secara konkurensi.
Selengkapnya, Pasal 15 ayat (2)
berbunyi: “Urusan pemerintahan konkuren
yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan tiap
tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan
kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13”. Lalu Ayat (3): “Urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden”.
Pelaksanaan secara kongkurensi
ini tentu sangat sejalan dengan konsep otonomi daerah, dengan berbasiskan
prinsip mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani yang tersebar luas
dengan tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang beragam. Artinya,
desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan. Pendapat ini juga
diperkuat oleh Pasal 345, dimana: (1) Pemerintah Daerah wajib membangun
manajemen pelayanan publik dengan mengacu pada asas-asas pelayanan publik, dan
(2) Manajemen pelayanan publik meliputi salah satunya adalah penyuluhan kepada
masyarakat (ayat 2 point e).
Selain
UU 23 tahun 2014, setidaknya ada enam peraturan perundangan lain yang mengamanatkan
pembentukan kelembagaan penyuluhan pertanian secara kuat mulai dari pusat sampai
daerah. Selengkapnya amanat tersebut adalah sebagai berikut:
1.
UU No 16 tahun 2006 tentang SP3 yang mengamanatkan
dengan jelas pendirian kantor penyuluhan pertanian di daerah. Pasal 8 ayat (2) menyebutkan: “Kelembagaan
penyuluhan pemerintah pada tingkat pusat berbentuk badan yang menangani
penyuluhan; pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan; pada
tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan; dan pada tingkat
kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan”.
Dalam konteks perbandingan hukum, maka UU no 16 tahun 2006
merupakan lex specialist artinya
lebih tinggi dibandingkan UU 23 tahun 2014 yang lex generalis. Prinsip ini juga didukung oleh UU 23 tahun 2014
Pasal 231 yang berbunyi: “Dalam hal
ketentuan peraturan perundang-undangan memerintahkan pembentukan lembaga
tertentu di Daerah, lembaga tersebut dijadikan bagian dari Perangkat Daerah
yang ada setelah dikonsultasikan kepada Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan bidang pendayagunaan aparatur negara”.
2. UU 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani
juga sangat mendukung keberadaan penyuluhan di daerah, karena penyuluhan
merupakan salah satu komponen untuk melakukan pemberdayaan petani. Hal ini
disampaikan dalam Pasal 1, 7, 46, dan 47. Pasal 7 ayat 3 point b menyebutkan bahwa strategi
pemberdayaan petani dilakukan melalui penyuluhan dan pendampingan. Khusus untuk keberadaan kelembagaan penyuluhan
di daerah, Pasal 46 menyebutkan: (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberi
fasilitas penyuluhan dan pendampingan kepada Petani (2) Pemberian fasilitas
penyuluhan berupa pembentukan lembaga penyuluhan dan penyediaan penyuluh, dan
(3) Lembaga penyuluhan dibentuk oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Selanjutnya, pada Bagian Penjelasan disebutkan bahwa: “....beberapa kegiatan yang
diharapkan mampu menstimulasi petani agar lebih berdaya, antara lain, berupa
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, serta pengembangan
sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian”.
3.
UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. Dalam UU ini penyuluhan
merupakan komponen yang melekat dalam pembangunan pedesaan, dimana desa
memiliki nuansa pertanian yang kental (Pasal 1). Penyebutkan “penyuluhan” secara langsung terdapat dalam Pasal 112 ayat (3): “Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan: (a) Menerapkan hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat guna, dan temuan
baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa; (b) Meningkatkan
kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan, pelatihan, dan
Penyuluhan”.
4.
UU No 18 tahun 2002 Tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam UU ini penyuluhan merupakan
kegiatan yang tidak terpisahkan sebagai upaya untuk penerapan teknologi. Dengan
kata lain, penyuluhan merupakan sub sistem penting dari sistem pengetahuan dan
pengembangannya.
Pasal 5 ayat 1 menyebutkan: “Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk pola hubungan yang saling
memperkuat antara unsur penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh untuk mencapai tujuan”.
Berikutnya, Pasal 18 ayat 1: “Pemerintah berfungsi menumbuhkembangkan
motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang
kondusif bagi perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia”. Hal ini diperkuat Pasal 21 ayat (1): “Pemerintah dan pemerintah daerah
berperan mengembangkan instrumen kebijakan untuk melaksanakan fungsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)”.
5.
UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman. Pasal 57 menyebutkan: Ayat (1): Pemerintah menyelenggarakan
penyuluhan budidaya tanaman serta mendorong dan membina peranserta masyarakat
untuk melakukan kegiatan penyuluhan dimaksud. Ayat 2: Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan informasi yang mendukung
pengembangan budidaya tanaman serta mendorong dan membina peranserta masyarakat
dalam pemberian pelayanan tersebut.
Lalu pada Bagian Penjelasan terbaca: “Teknologi tepat yang telah ditemukan perlu disebarluaskan kepada
masyarakat, khususnya para petani, agar mereka dapat memanfaatkannya.
Penyebarluasan tersebut dilakukan baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun
jalur pendidikan luar sekolah seperti penyuluhan, pelatihan, dan lain-lain”.
6.
UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan, juga secara jelas mengamanatkan
pentingnya kegiatan penyuluhan. Pasal 18 point b menyebutkan: “Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dalam memenuhi kebutuhan Pangan berkewajiban: memberikan
penyuluhan dan pendampingan”.
Selain
perlunya jaminan terhadap keberadaan lembaga penyuluhan pertanian di daerah, Direktorat Jenderal teknis lingkup
Kementerian Pertanian semestinya menempatkan penyuluhan sebagai unsur esensial
yang harus dijadikan kunci keberhasilan pencapaian program pembangunan
pertanian.
Dua,
Ketenagaan Penyuluhan:
Permasalahan ketenagaan penyuluhan yang kita hadapi
tidak hanya tentang jumlah, namun juga kapabilitas. Kuantitas dan sekaligus
kualitas. Penyuluh pertanian PNS pada pertengahan tahun 2015 sekitar 27.000
orang yang akan tinggal setengahnya pada 5 tahun ke depan, sedangkan penyuluh
THL TBPP 20.235 orang. Tenaga penyuluh pertanian terus berkurang
dengan cepat, sementara kualitasnya secara umum juga semakin menurun.
Berbagai upaya telah
dijalankan Kementan untuk mengatasi persoalan ini. Dalam Rapat
Dengar Pendapat tanggal 19 Juni 2014 dengan Komisi IV DPR-RI misalnya, disepakati upaya pengangkatan 10.000 THL-TB Penyuluh Pertanian (THL-TB PP) menjadi
Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Adapun THL-TB PP dan
Tenaga Bantu lingkup Kementerian Pertanian lainnya yang belum masuk formasi
tahun 2014 akan diangkat secara bertahap pada tahun berikutnya. Upaya ini berupa
pengangkatan sebanyak 10.000 THL-TB Penyuluh Pertanian melalui jalur PPPK.
KPPN
mengingatkan pemerintah arti penting keberadaan penyuluh pertanian. Sosok
penyuluhan adalah terwujudnya penyuluh yang mandiri, profesional dan efektif
menghasilkan human capital dan social
capital sehingga penyuluhan menjadi prime
mover (lokomotif) pembangunan pertanian yang bersinergi antar pemangku
kepentingan secara berkelanjutan.
Kita menghadapi krisis tenaga penyuluh. Jumlah dan
kualitas penyuluh pertanian terus berkurang karena pensiun, lambatnya pengangkatan penyuluh baru, dan peralihan tenaga PPL ke
tigas non-penyuluhan. Sementara, para penyuluh THL-TBPP memiliki pendidikan
beragam, juga kurang pengetahuan dan pengalaman.
Krisis ketenagaan ini akan menyebabkan lumpuhnya
kegiatan pembangunan pertanian, karena penyuluh selama ini menjadi andalan
kegiatan di lapangan dengan keberadaannya yang menyebar luas dan sampai ke
level desa. KKPN menggaris bawahi perlunya diambil tindakan yang lebih cepat
dan terstruktur, selain perlunya mobilisasi dan pemanfaatan penyuluh swadaya
dan swasta secara sistematis sebagaimana amanat UU No 16 tahun 2006.
Tiga,
Pendidikan Dan Pelatihan:
Secara umum, tenaga penyuluhan menghadapi rendahnya
kesempatan untuk mengikuti pelatihan, demikian pula bagi penyuluh THL-TBPP karena posisi kepegawaiannya yang tidak kuat. Untuk memperkuat kapasitas tenaga penyuluh
THL TBPP, penguatan kompetensi dan kapasitas profesional penyuluh perlu
disertai pendidikan profesi dan standarisasi profesi yang didukung asosiasi
profesi. Perencanaan SDM penyuluhan yang berorientasi profesi, baik jangka
pendek maupun jangka panjang yang disusun sesuai tuntutan kebutuhan pembangunan
pertanian perlu menjadi acuan dan komitmen pengembangan SDM penyuluhan.
Pelatihan
profesi penyuluh pertanian perlu memprioritaskan PNS calon penyuluh dan THL-TB
Penyuluh Pertanian yang telah terbukti menunjukkan kinerja, minat, komitmen dan
potensi sebagai penyuluh pertanian, dengan rekrutmen yang selektif dan akurat. Waktu atau jumlah jam latihan bagi penyuluh juga
harus memadai.
Disamping
kebutuhan jumlah tenaga penyuluh pertanian yang masih kurang, perlu diupayakan
terobosan sehingga penyuluh pertanian ahli dapat menjadi pelatih bagi penyuluh
lainnya di Balai Penyuluhan.
Empat, Prasarana Dan Sarana di BPP:
Aspek
parasana dan sarana merupakan faktor penentu keefektifan penyelenggaraan
penyuluhan, terutama pada level Balai Penyuluhan (BP) dan Posluhdes. Namun, secara
umum dapat dikatakan dukungan terhadap hal ini masih lemah. Secara umum
pengelolaan BP masih kurang optimal, bahkan untuk BPP yang tergolong sebagai
“BPP Model”.
UU No 16 Tahun 2006 Pasal 8 dan
Pasal 15 mengamanatkan pembentukan Balai Penyuluhan di tingkat kecamatan. Dasarnya adalah bahwa Balai
Penyuluhan merupakan tempat Satuan Administrasi Pangkal (SATMINKAL) bagi
Penyuluh Pertanian. Peran pokok balai ini adalah mengkoordinasikan,
mensinergikan, dan menyelaraskan kegiatan pembangunan pertanian di wilayah
kerja Balai.
Sesuai Permentan Nomor 26 Tahun 2012 Tentang
Pedoman Pengelolaan Balai Penyuluhan, peran BPTP adalah memfasilitasi
mulai dari penyusunan programa, pelaksanaan penyuluhan, penyediaan dan
penyebaran informasi, pemberdayaan dan
penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha, peningkatan kapasitas penyuluh,
pelaksanaan proses pembelajaran melalui percontohan, dan model usaha tani.
Untuk menjalankan peran ini, maka sarana minimal yang harus tersedia di Balai
Penyuluhan mencakup sarana keinformasian, alat bantu penyuluhan, peralatan
administrasi, alat transportasi, perpustakaan, dan perlengkapan ruangan. Untuk
menyiapkan informasi yang diperlukan bagi petani, Balai Penyuluhan melakukan
pengumpulan data dan informasi dengan cara mengakses Cyber Extension, pengumpulan
data lapangan/survey, melaksanakan kaji terap, kaji tindak, dan konsultasi
dengan instansi teknis.
Khusus berkaitan dengan tata hubungan kerja,
hubungan kerja
BPP dengan UPT/UPTD lingkup teknis dan camat adalah HUBUNGAN KOORDINATIF
pelaksanaan penyuluhan dalam rangka pelaksanaan tugas Balai Penyuluhan. Keharmonisan
hubungan ini perlu tetap dijaga, karena kegiatan pembangunan pertanian secara
terintegrasi berada di level kecamatan ini.
Lima, Upaya
Mengefektifkan Manajemen Pembangunan Pertanian:
Dalam hal fokus pembangunan terlihat kesan
bahwa program pembangunan bias kepada mengejar swasembada. Karena itu, perlu diingatkan
kepada pemerintah bahwa keberlanjutan pembangunan pertanian perlu berlandaskan
kepada kesejahteraan dan kemandirian petani.
Indonesia
menghadapi fenomena aging farmer,
yakni semakin tuanya umur petani. Bagi penyuluhan ini menjadi masalah, karena
petani berumur tua cenderung memiliki produktivitas yang rendah, dan juga
semakin sulit diajak berubah. Untuk ini perlu dilakukan berbagai upaya untuk
peningkatan minat golongan muda untuk berkiprah di sektor pertanian.
Keterlibatan aparat kemanan dalam
Upsus PAJALE agar ditempatkan secara proporsional, dan dibatasi hanya pada
konteks mengawal dan mengawasi distribusi sarana produksi agar sampai pada
sasaran secara tepat.
Enam, Keberadaan dan Peran KPPN:
Keberadaan Komisi Penyuluhan di daerah juga
terancam dengan terpisahnya lembaga penyuluhan pertanian, dengan perikanan dan
kehutanan. UU 16 tahun 2006 telah mengamanatkan pembentukan Komisi Penyuluhan
dari pusat sampai kabupaten/kota.
Khusus
untuk KPPN, pasal 10 (ayat 1) UU 16 tahun 2006 menyebutkan bahwa tugas KPPN
adalah “Memberikan
masukan kepada menteri sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi
penyuluhan”. Hal
ini diperkuat dalam Statuta
Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No
1655 tahun 2008 tentang KPPN, dimana tujuan pembentukan KPPN adalah “Memberi masukan kepada pemerintah melalui
Menteri Pertanian tentang segala sesuatu untuk penguatan dan kelancaran
pelaksanaan serta pengembangan fungsi penyuluhan pertanian dalam mencapai
keberhasilan pembangunan pertanian”.
Perlu disampaikan, bahwa administrasi
kegiatan KPPN yang ditempatkan pada Pusat Penyuluhan BPSDMP agar tidak dimaknai
sebagai hanya “membantu” Pusat Penyuluhan. KPPN sesungguhnya menjadi mitra
untuk seluruh jajaran Kementerian, sesuai pula dengan semangat bahwa sesungguhnya
azas dan sistem kerja penyuluhan semestinya menjadi semangat dan panduan
bekerja dalam seluruh jajaran kementerian, bukan hanya untuk kalangan penyuluh
pertanian atau Pusat Penyuluhan di BPSDMP.
KPPN merupakan
unsur kelembagaan
independen yang membantu Menteri Pertanian, dimana tugas KPPN adalah memberikan
saran dan bahan pertimbangan kepada Menteri Pertanian tentang berbagai hal
tentang penyuluhan dan pelaksanaan pembangunan pertanian. Penyuluhan perlu
menjadi ruh manajemen Kementan dalam pembangunan pertanian, dengan orientasi
kepada menjadikan petani sebagai subjek pembangunan (people centered development).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar