MODERNISASI PENYULUHAN PERTANIAN
DI INDONESIA: IMPLIKASI UU 23 TAHUN 2014 TERHADAP EKSISTENSI KELEMBAGAAN
PENYULUHAN PERTANIAN DI DAERAH
(Dimuat
dalam Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 14 No. 1 tahun 206)
Oleh: Syahyuti
Abstract
Agricultural extension in
Indonesia actually has been starting to take shape as a modern form of
extension. This achievement was driven by Law No. 16 of 2006 on Extension
System of Agriculture, Fisheries and Forestry, based spirit of
decentralization, democratic, and participatory. However, this condition is
disturbed by the issuance of Law No. 23 of 2014 on Local Government, which
threatened the existence of institutional agricultural extension in the area.
This paper seeks to learn the future modernization of agricultural extension in
Indonesia with a policy based on the study of the scientific review of
theoretical approaches and policies. Results of the analysis found that
agricultural extension should still run by referring to Law No. 16 of 2006. The
existence of institutional agricultural extension in local government that are already well-ordered should
not need to be changed because it is in line with the spirit of
decentralization that is carried by this Local Government Law. Accordance to
the Minister of Agriculture No.02/SM.600/M/1/2015, extension in transition waiting
derivative Act No. 23 of 2014, institutional and operational counseling in the
area continue to run as usual by referring to Law No. 16 of 2006. The Ministry
of Agriculture may stick to Law No. 16 of 2006 with the argument that this law
is lex specialis. The good spirit of modernization of education law will be
strengthened with the Law No. 23 of 2014 on Local Government.
Keywords: agricultural
extension, modern extension, local autonomy, decentralization
Abstrak
Setelah dibangun puluhan tahun,
penyuluhan pertanian Indonesia sesungguhnya telah mulai mewujud sebagai bentuk
penyuluhan yang modern. Prestasi ini didorong oleh kelahiran UU No 16 tahun
2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang
berbasiskan semangat desentralisasi, demokratis, dan partisipatif. Namun,
kondisi ini terusik dengan keluarnya UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, yang mengancam keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah. Tulisan
ini berupaya mempelajari masa depan modernisasi penyuluhan pertanian di
Indonesia dengan berdasarkan kepada kajian kebijakan dengan pendekatan review
ilmiah teoritis dan kebijakan. Hasil analisis mendapatkan bahwa seharusnya penyuluhan
pertanian tetap dijalankan dengan berpedoman kepada UU No 16 tahun 2006. Keberadaan
kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah yang sudah tertata baik seharusnya tidak
perlu dirubah karena sejalan dengan semangat desentralisasi yang diusung oleh
UU Pemerintahan Daerah ini. Sesuai dengan
Surat Menteri Pertanian No.02/SM.600/M/1/2015 perihal penyelenggaraan
penyuluhan pertanian, dalam masa transisi menunggu turunan UU No 23 tahun 2014,
kelembagaan dan operasional penyuluhan di daerah tetap berjalan sebagaimana
biasa dengan berpedoman kepada UU No 16 tahun 2006. Kementerian Pertanian dapat tetap berpegang kepada UU
Nomor 16 tahun 2006 dengan argumentasi bahwa UU ini bersifat lex
specialis. Sesungguhnya semangat modernisasi dari UU penyuluhan akan dikuatkan
dengan kelahiran UU No 23 tahun 2014 tentang Pemda.
Kata kunci: penyuluhan pertanian, penyuluhan modern,
otonomi daerah, desentralisasi pemerintahan
PENDAHULUAN
Dunia penyuluhan di Indonesia mengalami
pasang surut yang cukup dinamis dari waktu ke waktu. Semenjak dibangun pada
awal 1970-an, satu momentum penting sehingga kelembagaan penyuluhan mulai
menata diri dengan baik adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006
tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Salah satu poin
penting dalam UU ini adalah perlunya membangun kelembagaan penyuluhan di daerah
pada level propinsi maupun kabupaten/kota. Besar harapan bahwa dengan undang-undang ini penyuluhan tidak lagi sekedar
proses alih teknologi, namun lebih kepada
tercapainya kemandirian petani (Sadono, 2008), serta kelembagaan
penyuluhan yang tertata dengan baik dan terorganisasi (Setiawan, 2005).
Namun, meskipun sudah memiliki
landasan hukum, pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu
yang panjang dalam memperjuangkan keberadaan Badan Koordinasi Penyuluhan
(Bakorluh) di tingkat propinsi dan Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh) di
tingkat kabupaten/kota. Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional (2015) melaporkan
bahwa keberadaan kantor penyuluhan di daerah lemah dan tidak seragam terutama
di level kabupaten/kota. Sebagian wilayah telah membentuk Bapeluh sendiri atau
menggabungkan dengan BKP, namun masih banyak yang menempatkan penyuluh
terpisah-pisah di bawah dinas teknis masing-masing sesuai komoditas, sehingga
efektivitas penyuluhan rendah dan kurang terkoordinasi. Margono dan Sugimoto (2011) menemukan belum optimalnya
relasi antara pemerintah dengan petugas penyuluhan.
Pada akhir tahun 2014 lalu, keluar
UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengancam eksistensi
penyuluhan, karena tidak mengakomodasi secara jelas keberadaan kelembagaan
penyuluhan di daerah, dan timbul kekawatiran bahwa penyuluhan
tidak lagi mengikuti UU No 16 tahun 2016 sebagaimana sebelum ini. Sebagian pihak memaknai negatif
UU ini, namun sebagian pihak melihat sesungguhnya inilah kesempatan untuk
memperkokoh keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian daerah. Pembentukan
kelembagaan nantinya menggunakan indikator dan penilaian yang sistematis dan
berbasiskan data riel secara kuantitatif. Garis kebijakan ini diterapkan untuk
menggantikan Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat
Daerah yang lebih subjektif. Secara yuridis, UU 23 tahun 2014 akan memperkuat
keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian, karena sejalan dengan UU No 16
tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dengan
kata lain, kebijakan ini pada hakekatnya sejalan dan harmonis satu sama lain.
Aspek kelembagaan menjadi faktor
penentu dan berimplikasi kuat kepada elemen lain dalam sistem penyuluhan
pertanian secara keseluruhan. Efektivitas penyuluhan akan terjamin hanya dengan
pendirian kantor penyuluhan di daerah, karena akan berimplikasi kepada jaminan pelaksanaan
penyuluhan dengan lebih baik, ketenagaan, pendanaan, serta monitoring dan
evaluasi serta aspek-aspek manajemen lainnya. Penelitian Shahbaz and Ata (2014)
misalnya, menemukan adanya peningkatan efektivitas penyuluhan pertanian di
Pakistan setelah pelaksanaan desentraliasi
(era post devolution) kepada
pemerintah lokal, yang dimulai sejak tahun 2001.
Saat ini, penyuluhan pertanian
di berbagai belahan negara berkembang sudah mengarah kepada bentuk yang modern.
Penyuluhan klasik dikritik Singh (2009) karena menggunakan pendekatan mental
yang “sebagai penyedia” (provider mentality) dimana hanya fokus pada apa yang harus disebarkan, informasi tidak
riel dan tidak sesuai kebutuhan nyata setempat, serta belum bertolak atas
kebutuhan petani (demand driven). Sementara, Swanson and
Rajalahti (2010) mengkritik bahwa penyuluhan klasik masih menggunakan model
transfer teknologi (Technology
Transfer Extension Models) yang cenderung searah dan sempit, namun belum
menggunakan pendekatan yang partisipatif (Participatory
Extension Approaches). Penyebabnya adalah karena kegiatan penyuluhan yang
didominasi pemerintah menerapkan sistem yang kurang inovatif.
Dalam UU 23 tahun 2014,
penyuluhan perikanan dikembalikan ke pusat, penyuluhan kehutanan ke provinsi,
sedangkan penyuluhan pertanian menjadi tanggung jawab semua level secara kongkurensi.
Prinsip kongkurensi ini sejalan dengan kebijakan Perpres Nomor 154 Tahun 2014
tentang Kelembagaan Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan, yang belum lama
terbit. Tulisan ini berupaya mempelajari bagaimana peluang dari kebijakan baru
tentang Pemerintahan Daerah tersebut terhadap
upaya untuk mewujudkan kelembagaan penyuluhan pertanian yang kuat di daerah
yang bercirikan partisipatif, demokratis dan modern, serta mampu mencapai
tujuan azasi penyuluhan yakni meningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan dan
kesejahteraan petani.
METODE PENULISAN
Atas dasar pertimbangan di atas
dan sambil menunggu diundangkannya Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden
sebagai pelaksanaan Undang-Undang No 23 Tahun 2014, dan diterbitkannya Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri untuk menjelaskan masa transisi implementasi dari
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka untuk penyelenggaraan urusan penyuluhan
Pertanian tetap dilaksanakan sesuai UndangUndang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Hal ini diperkuat oleh Surat
Menteri Pertanian No.02/SM.600/M/1/2015 tentang Penyelenggaraan Penyuluhan
Pertanian tanggal 5 Januari 2015 kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh
lndonesia dengan isi yang sama.
Kajian ini merupakan suatu
analisis kebijakan (policy analysis)
dari perundangan-undangan terutama terhadap undang-undang terbaru. Tulisan disusun dari berbagai sumber baik
buku, makalah maupun hasil-hasil penelitian di tingkat internasional, yang
dipadukan dengan berbagai dokumen kebijakan yang relevan dan terbaru. Bahan-bahan
yang diperoleh berupa ide dan pemikiran serta praktek di berbagai wilayah di
dunia dianalisis secara kualitatif, sehingga format tulisan menjadi sebuah review
ilmiah.
Tulisan ini lebih difokuskan
kepada pembentukan kelembagaan, yakni bagaimana keberadaan kantor penyuluhan di
daerah akibat dari kebijakan-kebijakan yang saat ini ada. Produk kebijakan yang
dibahas dalam tulisan ini dibatasi pada tiga kebijakan utama yaitu UU 16 tahun
2016 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan ( UU SP3), UU
No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU P3), serta UU
No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Namun sebelum membahas
aspek kebijakan disampaikan gambaran tentang penyuluhan pertanian modern,
khususnya berkenaan dengan kelembagaannya.
KONSEP dan URGENSI MODERNISASI
PENYULUHAN
Tekanan untuk perlunya Penyuluhan
yang Modern
Swanson et al. (1997)
mencatat adanya beberapa kondisi yang menekan sehingga perlunya kelahiran
penyuluhan pertanian modern, yakni: adanya praktek-praktek baru dan
temuan-temuan penelitian, kebutuhan tentang pentingnya informasi untuk
diajarkan kepada petani, tekanan terhadap perlunya organisasi penyuluhan,
ditetapkannya kebijakan penyuluhan, dan adanya masalah-masalah baru yang
dihadapi di lapangan. Perkembangan dunia merupakan konteks yang mempengaruhi
mengapa dibutuhkan organisasi baru dan manajemen modern dalam penyuluhan
pertanian dan pembangunan pedesaan (Swanson et
al., 2004). Petani saat ini harus lebih efisien dan efektif dalam usaha
taninya. Dengan informasi yang semakin terbuka dan naiknya pendidikan petani, penyuluh
tidak lagi harus ahli untuk segala bidang, karena petani sendiri ternyata juga
memiliki pengetahuan dan kecerdikan, secara individu dan kolektif.
Kondisi lain dari sisi
agroekologi adalah bahwa penyuluhan harus mampu merespon kebutuhan teknologi
yang sangat bergantung pada zona agroekologi yang berbeda, yang tidak lagi sama
sebagaimana dalam revolusi hijau. Dari
sisi ekonomi politik, yang paling utama adalah pengaruh dari tahap perkembangan
pembangunan, berkenaan dengan berapa besar kebijakan pemerintah dalam
investasi untuk kegiatan penyuluhan pertanian. Ini tergatung dari berapa besar
ketergantungan ekonomi nasional dari sektor pertanian, dan proporsi warga
negara yang masih bergantung pada pertanian. Lebih khusus lagi adalah pada
berapa banyak petani kecil yang mereka miliki.
Tekanan dari sisi sosiokultural adalah adanya perbedaaan–perbedaan
kultural antar petani, misalnya berapa banyak bahasa yang digunakan, proporsi
keterlibatan perempuan dan laki-laki, pola agraria dan struktur penguasaan
lahan. Menurut Qamar (2005), kondisi yang
menjadi latar adalah dimana dunia menghadapi "... Pembangunan berkelanjutan, termasuk pengembangan pedesaan dan
pertanian, serta perkembangan seperti globalisasi, liberalisasi pasar,
desentralisasi, privatisasi dan demokratisasi yang menciptakan syarat-syarat
pembelajaran baru untuk petani subsisten maupun komersial di negara-negara
berkembang". Karena itu kita membutuhkan suatu perubahan
mendasar. Ringkasnya adalah dunia penyuluhan menghadapi masyarakat baru dan
kelembagaan baru (Rivera, 1997).
Banyak timbul kritik dari kalangan ahli dimana penyuluhan selama
ini tidak efisien dalam penggunaan anggaran untuk menjalankan kantor dan
menggaji staf yang jumlahnya besar jika dibandingkan dengan bidang profesi lain
di pemerintahan (Qamar, 2005). Modernisasi dan reformasi membutuhkan sistem
penyuluhan nasional baru untuk merespon berbagai kekuatan global yang merubah
kondisi sosial-ekonomi dan politik di dunia. Hal ini juga menciptakan tantangan
dan kebutuhan belajar yang baru bagi petani.
Penyuluhan di negara berkembang belum efektif dimana
penyuluh bekerja sebanyak 140.000 jam setahun (FAO, 1990a). Muneer (2014) juga melaporkan bahwa di Arab Saudi petani kecil memperoleh kesempatan terbatas dalam pelayanan
penyuluhan pertanian, karena kelemahan kelembagaan (inappropriate institutional framework and organizational structure). Di
Amerika, Kanada dan Eropa, satu penyuluh hanya melayani lebih kurang 400 petani
(economically active persons in
agriculture), sedangkan di negara berkembang harus mencakup 2.500 orang petani
(Alexandratos, 1995). Sementara, penelitian Cahyono ( 2014) di Kabupaten Malang mendapatkan bahwa responden penyuluh
melayani 173 hingga 413 orang petani di wilayah kerjanya.
Bentuk
dan Manajemen Penyuluhan Modern
Ada banyak literatur yang menggambarkan bagaimana seharusnya penyuluhan
modern, baik dari sisi sosok penyuluhnya maupun manajemennya. Pertama,
dari sisi sosok penyuluh, Garforth (cit Swanson, 1997) menyatakan bahwa sosok penyuluh
modern adalah yang memiliki keahlian melakukan negosiasi, resolusi konflik, dan
membina berbagai organisasi masyarakat yang muncul di wilayah kerjanya.
Penyuluh modern respon terhadap permintaan (extension
system demand-driven), sensitif gender, partisipatif, bottom-up, dan memiliki ciri sebagai organisasi pembelajar (learn organization).
Penyuluh ke depan dapat
dijalankan pihak swasta, sehingga sosoknya lebih beragam. Menurut Qamar (2005),
pelaku swasta mencakup perusahaan swasta (private
companies), NGO, asosiasi petani, organisasi komunitas petani (rural community organizations), perguruan
tinggi (agricultural academic
institutions), dan kantor penelitian pertanian. Sebagai contoh, penyuluhan
oleh swasta di Pakistan telah mulai
sejak 2001 yang melibatkan perusahaan pestisida, produsen benih, pabrik gula,
perusahaan rokok, perusahaan pengolah pakan, dan perusahaan peternakan nasional
(Shahbaz and Ata, 2014).
Menurut Chamala and Shingi (2007), ada empat peran penyuluh modern yang
penting yakni sebagai peran pemberdayaan (empowerment role), peran mengorganisasikan komunitas (community-organizing role), peran dalam
pengembangan sumberdaya manusia, dan peran dalam pemecahan masalah dan
pendidikan (problem-solving and education
role). Merangkum ini semua, sesuai dengan Rogers (2003), terdapat tujuh peran penyuluh sebagai agen pembaruan,
yakni: (1) mengembangkan kebutuhan untuk berubah, (2) menetapkan suatu hubungan
pertukaran informasi, (3) mengdiagnosis masalah, (4) menciptakan suatu maksud
pada klien untuk berubah, (5) mewujudkan suatu maksud dalam tindakan, (6)
memantapkan adopsi dan mencegah penghentian, dan (7) mencapai hubungan akhir
(tujuan akhir penyuluh adalah mengembangkan perilaku memperbarui sendiri pada
klien).
Kedua, dari
sisi manajemen, menurut Kerka (1998), penyuluhan modern dicirikan dengan penerapan manajemen baru (new ways of working and learning). Rivera
(1997) menambahkan perlunya metode baru (new
delivery methods) karena berkembangnya teknologi informasi, manejemen baru,
serta organisasi yang bercirikan partisipatif (participatory learning organization). Hal ini didukung Swanson et al. (1997), bahwa kata kunci pada
sosok baru dunia penyuluhan (new
professionalism in extension) adalah pada pendekaan partisipatif dan pola
partisipasi yang baru (new systems of
participatory learning) dan kelembagaan baru (new institutional settings).
Sementara, menurut Marsh and Pannell
(2005), penyuluhan modern dicirikan oleh adanya integrasi penyuluh swadaya dan swasta (to integrate public and private sector
extension). Untuk itu dibutuhkan efisiensi dan kelembagaan yang
berkelanjutan, dengan ciri rendahnya pembiayaan, serta struktur kelembagaan yang mampu
menjamin relasi yang efektif antara sektor publik dengan, dalam konteks kerjasama
dan koordinasi dalam lingkungan komersial.
Desentraliasi merupakan ciri penting penyuluhan modern
(Qamar, 2005), selain partisipatif, demokratis, dan memiliki semangat
pluralism.
Sistem penyuluhan yang
dikembangkan oleh FAO dalam bukunya “Improving Agricultural Extension” juga
menekankan bahwa penyuluhan haruslah berkelanjutan, mencakup kelayakan teknis,
kelayakan ekonomi, penerimaan sosial, dan keamanan lingkungan. FAO
mengenalkan SARD (Sutainable
Agricultural and Rural Development) yaitu bagaimana melihat
penyuluhan dalam negara sebagai instrumen kebijakan untuk meningkatkan produksi
pertanian, ketahanan pangan, dan mengurangi kemiskinan di pedesaan (Swanson et al,
1997).
Penyuluhan harus mampu
mengekplorasi kegiatan penyuluhan sebagai sebuah organisasi
pembelajaran partisipatif (participatory
learning organization) dan mampu
melahirkan pemimpin dari masyarakat bersangkutan (Earnest et al., 1995). Pendekatan
penyuluhan telah berubah dari model sosok “guru” ke “pembelajar” dan dari
kelembagaan ke kebutuhan komunitas (White and Burnham, 1995). Sejalan dengan
ini, Patterson (1998) menambahkan bahwa penyuluhan baru harus memperhatikan
sistem (managing systems), bukan
sekedar orang per orang (people), dan
membantu tercapainya visi komunitas.
Dibutuhkan pula perubahan struktur kelembagaan, yaitu lingkungan
yang mampu mendorong kerjasama dan koordinasi, melalui pengembangan struktur
kelembagaan. Agen-agen penyuluhan harus aktif membangun relasi yang formal
antara lembaga penelitian dan konsultasi dengan sektor swasta.
Penyuluhan perlu pula memberi perhatian lebih khusus untuk
kalangan buruh tani (landless
agricultural labourers), wanita tani, serta kalangan petani muda (rural youth). Penyuluh harus mulai
memberikan pemahaman tentang perihal komersialisasi (some degree of commercialization) kepada petani, juga tentang biaya
usaha (cost of production), dan
bagaimana membaca pasar (mismatch between
demand and supply). Sehingga,
penyuluh pemerintah memiliki tugas khusus, yakni untuk meningkatkan efisiensi
sistem secara keseluruhan melalui penguatan sinergi antara tiga segmen yaitu
penelitian, penyuluhan dan petani (Punjabi, 2001).
Di sisi lain, penyuluhan pertanian ke depan sangat mungkin
merupakan jasa yang bersifat komersial. Sebuah penelitian di India (Punjabi,
2001) mendapatkan bahwa sebagian besar petani bersedia membayar jasa
penyuluhan, dimana penyuluh telah dianggap sebagai hal yang esensial sehingga
mereka berani membayar lebih tinggi.
Dengan demikian, ciri penyuluhan
modern adalah: (1) Penanggung jawab penyuluhan tidak semata-mata pemerintah
nasional, namun dapat dijalankan oleh beragam pihak dan pada berbagai level,
(2) Organisasi penyuluhan berbentuk “learning organization”, dimana
pelaksana penyuluhan tidak lagi terstruktur secara ketat, namun ada kesempatan
terus menerus untuk melakukan penyesuaian misi, pelayanan, produk, kultur, dan
prosedur organisasi, (3) Fungsi penyuluhan lebih luas dari sekedar mentranfer
teknologi, namun juga mencakup upaya untuk memobilisasi, mengorganisasikan, dan
sekaligus mendidik petani, (4) Penyuluhan sebagai sistem pengetahuan yang
komprehensif, tidak terpisah antara penemuan teknologi dengan transfernya, (5) Model
transfer teknologi lebih realistik, siklis, dan dinamis (antara petani,
peneliti, penyuluh dan guru), (6) Desain penyuluhan memungkinkan untuk
mengembangkan learning model dengan melibatkan
para stakeholders utama, (7) Pendekatan
penyuluhan lebih pada pemecahan
masalah, melibatkan teknologi informasi eksperimental, mengaitkan penelitian,
manajer penyuluhan, dan organisasi petani, (8) Jenis penyuluh tidak terbatas
hanya pegawai pemerintah, namun juga penyuluh swadaya (dari petani) dan
penyuluh swasta, dan (9) Posisi petani tidak hanya sebagai objek penyuluhan,
namun sebagai objek sekaligus subjek penyuluhan.
Hal ini sejalan dengan Leeuwis (2006) dimana inovasi
teknologi bisa datang dari banyak sumber, adanya perubahan paradigma dari peningkatan
pertanian berkelanjutan menuju sisten pengetahuan yang ekologis (ecological
knowledge system), berkembangnya model kesalingtergantungan (interdependence model) dan kerangka
kerja sistem inovasi, dimana yang terlibat tak hanya peneliti dan penyuluh
tetapi juga pengguna teknologinya, perusahaan swasta, NGO, dan juga struktur
pendukung berupa pasar dan kelembagaan penyedia kredit. Selain itu, ia melihat
pentingnya proses belajar (learning
processes). Proses belajar merupakan
sebuah jalan untuk berkembangnya penataan dan pengaturan baru khususnya untuk
konteks permasalahan dan kebutuhan lokal.
UU NO 16 TAHUN 2006 SEBAGAI
BASIS UNTUK MEWUJUDKAN MODERNISASI PENYULUHAN DI INDONESIA
Kehadiran UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan merupakan sebuah momentum untuk memulai
menjalankan pendekatan dan strategi penyuluhan yang lebih modern di Indonesia. Namun, sebelum lahirnya UU ini, berbagai
pihak di Indonesia telah lama mencari dan merumuskan paradigma baru penyuluhan
pertanian untuk Indonesia, setelah penyuluh dikontrol secara ketat di era
Bimas. Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian dalam publikasi
"Paradigma Penyuluhan Pertanian pada abad ke-21 (Departemen Pertanian,
1999), telah melihat perlunya penyuluhan pertanian sebagai sesuatu yang lebih
berfokus pada pemberdayaan masyarakat desa dari pada sekadar penyampaian
teknologi. Penyuluhan pertanian diharapkan tidak hanya membuat petani mampu
berproduksi, tetapi harus berproduksi secara mandiri, dan sekaligus mampu
mencapai kesejahteraan keluarganya.
Jadi, penyuluh tidak hanya sebagai sistem penyampaian (delivery system) bagi informasi dan
teknologi pertanian untuk peningkatan produksi,
tapi harus menjadi sistem yang berfungsi menciptakan pertanian sebagai
suatu usaha yang menguntungkan bagi petani. Intinya, penyuluh mesti lebih
berorientasi agribisnis, karena agribisnis telah dipilih sebagai strategi pokok
dalam pembangunan pertanian. Upaya ini sejalan dengan berbagai pendekatan yang
juga mulai dikembangkan untuk memperbaiki penyuluhan di level dunia.
Undang-Undang No 16 tahun 2006 telah memuat berbagai
pemikiran dan relatif sejalan dengan paradigma baru penyuluhan pertanian.
Beberapa indikator penerapan paradigma baru, setidaknya terlihat dari hal-hal
berikut ini, yaitu: Pertama, pada Bab Asas, Tujuan, Dan Fungsi, yakni Pasal 2
disebutkan bahwa “Penyuluhan
diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan,
keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan,
berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat”. Dapat dikatakan, hampir
seluruh ide dan sikap positif pembangunan telah diadopsi dalam kalimat ini,
utamanya pada asas demokrasi dan partisipasi.
Kedua,
penyuluhan tidak lagi pada sekedar peningkatan produksi pertanian, namun pada
manusianya. Pasal 3 menyebut bahwa tujuan penyuluhan meliputi pengembangan
sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial. Dicakupnya objek “modal
sosial” disini bermakna bahwa penyuluh pertanian Indonesia harus mempunyai
fokus lebih luas dari sekedar individu petani (pengetahuan-sikap-ketrampilan),
namun juga organisasi petani dan berbagai jaringan sosial yang terbentuk di
masyarakat. Tujuan mulia ini dicapai dengan memberdayakan pelaku utama dan pelaku
usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif,
penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan
kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi (point b).
Ketiga, menerapkan manajemen yang
terintegratif, tidak lagi terpasung ego sektoral. Pada Pasal 6 terbaca bahwa
penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan
pertanian, perikanan, dan kehutanan. Lalu pada Pasal 7 disebutkan “Dalam menyusun strategi penyuluhan,
pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan kebijakan penyuluhan dengan
melibatkan pemangku kepentingan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan”.
Keempat, pelibatan masyarakat petani, dan menjadikan petani sebagai
subjek penyuluhan. Pada point b pasal 6 disebutkan: “penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama
dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah
daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan
secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkat administrasi
pemerintahan”. Semangat ini dikuatkan oleh Pasal 29, dimana pemerintah dan
pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong peran serta pelaku utama dan
pelaku usaha dalam pelaksanaan penyuluhan.
Sampai dengan tahun 2006, Indonesia hanya mengenal satu
jenis penyuluh pertanian, yaitu Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang diangkat
dan digaji oleh pemerintah, demikian pula dengan seluruh biaya operasionalnya
yang juga ditanggung pemerintah. Namun, semenjak keluarnya Undang-Undang No. 16
tahun 2006, telah diakui tiga jenis penyuluh, yaitu penyuluh Pegawai Negeri
Sipil (PNS), penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya (petani). Khusus untuk tipe
penyuluh yang baru ini, yakni penyuluh swadaya dan swasta, telah dikeluarkan
pula Permentan No. 61 tahun 2008 Tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian
Swadaya dan Swasta.
Penyuluh pertanian dalam UU ini dimaknai sebagai “perorangan warga negara Indonesia yang
melakukan kegiatan penyuluhan”, mencakup penyuluh pemerintah, swasta,
maupun swadaya. Penyuluh swadaya adalah “pelaku
utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan
kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh” (Pasal 1).
Kelima,
penyuluhan tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah, dengan diakuinya keberadaan
penyuluh swadaya yang berasal dari
petani dan penyuluh swasta. Dengan UU ini dilahirkan pula Komisi Penyuluhan
Pertanian sebagai organisasi independen yang dibentuk pada tingkat pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota yang terdiri atas para pakar dan/atau praktisi
yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan
perdesaan. Selain ini, juga dibentuk wadah koordinasi penyuluhan nasional yang
bersifat nonstruktural. Lebih jauh,
menurut Subejo (2006), dengan otonomi daerah akan memungkinkan pengambilan
keputusan yang lebih pendek, mengakomodasi isu-isu lokal serta keberpihakan
yang kuat pada potensi dan kepentingan masyarakat lokal
Narasi ini memperlihatkan betapa kelembagaan penyuluhan yang
didambakan sangat sejalan dengan konsep otonomi daerah. Untuk mendekatkan
pelayanan penyuluhan kepada petani yang tersebar dengan tingkat keterbatasan
komunikasi dan trasnportasi yang beragam, maka desentralisasi urusan penyuluhan
merupakan suatu keniscayaan.
UU No 16 tahun 2006 telah
mengamanatkan untuk memobilisasi dan mengoptimalkan penyuluh swadaya dan swasta
untuk menutupi kekurangan ini. Namun setelah hampir 10 tahun berjalan belum
banyak kemajuan yang diperoleh. Keterlibatan penyuluh swadaya dan swasta diharapkan
mampu mendorong percepatan adopsi inovasi teknologi di tingkat petani, karena
memungkinkan menerapkan berbagai metode dan pendekatan dengan hasil yang akan
lebih efektif. Sesuai dengan Permentan No. 72 tahun 2011 tentang
Pedoman Formasi Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian, kebutuhan penyuluh
pertanian seluruh Indonesia adalah 71.479 orang. Dari jumlah tersebut,
yang baru tersedia 27.961 orang atau hanya 39,4 persen. Kekurangan ini
sesungguhnya hanya dapat diisi dengan memobilisasi penyuluh swadaya dan swasta.
Saat ini, peran
penyuluh pemerintah di dunia mulai menurun, dan penyuluh swadaya dan swasta
mengambil alih. Untuk Indonesia yang saat ini dan ke depan menghadapi sulitnya
mengangkat tenaga penyuluh pemerintah, maka mobiliasi penyuluh swadaya dan
swasta menjadi kunci keberlanjutan penyuluhan pertanian ke depan.
Dalam hal pembentukan
kelembagaan penyuluhan, struktur kelembagaan penyuluhan nasional secara jelas
disampaikan dalam UU 16 tahun 2006, mulai dari pusat sampai daerah. Kelembagaan
penyuluhan pemerintah pada tingkat pusat berbentuk Badan yang menangani
penyuluhan, pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan, pada
tingkat kabupaten/kota berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan, dan pada tingkat
kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan (Pasal 9). Hal ini diperkuat Peraturan
Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Aturan ini
yang selalu diacu untuk memutuskan apakah penyuluhan harus bergabung dengan
Dinas atau BKP, atau tersendiri dengan membentuk Bapeluh. Indikatornya adalah 3
variabel yakni jumlah penduduk, luas wilayah, dan nilai APBD (Pasal 19 dan 20).
Lebih jauh pada Pasal 22 disebutkan bahwa penyusunan organisasi perangkat
daerah berdasarkan pertimbangan adanya urusan pemerintahan yang perlu
ditangani, dan tidak harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Inilah
dasarnya mengapa Bakorluh dan Bapeluh
sering digabung dengan Badan Ketahanan Pangan (BKP). Dari 34 propinsi di
Indonesia, hanya 22 unit Bakorluh yang berdiri sendiri, sedangkan sisanya
bergabung dengan BKP.
Namun demikian, sebagaimana
temuan Amanah (2008), kondisi pascar UU tentang Penyuluhan ini banyak terjadi
perubahan dimana ada kelembagaan penyuluhan yang menguat, sebagian melemah, dan
ada pula yang betul-betul terhapus dalam struktur pemerintah daerah. Setiawan (2005) juga mencatat dimana kelembagaan penyuluhan belum tertata
dengan baik dan juga kurang terorganisasi.
PENYULUHAN MERUPAKAN KOMPONEN
POKOK DALAM UU NO 19 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI
Garis kebijakan tentang penyuluhan
dalam UU No 16 tahun 2006 sangat sejalan dengan UU No 19 tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, khususnya pada aspek “pemberdayaan”.
Dalam UU ini Pemberdayaan Petani diidefinisikan sebagai: “segala upaya untuk meningkatkan kemampuan Petani untuk melaksanakan Usaha
Tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan
pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian,
konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu
pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan Kelembagaan Petani” (Pasal
1).
Ada banyak pasal dalam UU No 19
tahun 2013 yang memuat tentang penyuluhan, dimana penyuluhan dan pendampingan
merupakan pendekatan untuk mewujudkan pemberdayaan petani (Pasal 1, 7, serta 46
dan 47). Pasal 7 ayat 3 menyebutkan bahwa strategi pemberdayaan petani
dilakukan melalui penyuluhan dan pendampingan (point b).
Keberadaan kelembagaan
penyuluhan di daerah secara tegas tertera dalam Pasal 46 (UU No 16 tahun 2006),
dimana: (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
memberi fasilitas penyuluhan dan pendampingan kepada Petani, (2) Pemberian
fasilitas penyuluhan berupa pembentukan lembaga penyuluhan dan penyediaan
penyuluh, dan (3) Lembaga penyuluhan dibentuk oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah. Selanjutnya, Pasal 98
menyatakan bahwa masyarakat dalam Pemberdayaan Petani dapat berperan
serta dalam menyelenggarakan: pendidikan nonformal, pelatihan dan pemagangan, serta penyuluhan.
Dalam bagian penjelasan diulang lagi bahwa beberapa kegiatan yang
diharapkan mampu menstimulasi petani agar lebih berdaya, antara lain, berupa
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, serta pengembangan
sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian.
UU
23 TAHUN 2014 DAPAT MENGANCAM LANGKAH MODERNISASI PENYULUHAN PERTANIAN YANG
SEDANG BERLANGSUNG
Indonesia telah bertekad untuk mengimplementasikan otonomi daerah, yang secara legal ditegaskan dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 2000. Tujuan otonomi daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu, melalui otonomi daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saingnya dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaaan, dan kekhususan daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU No 22 tahun 1999 lalu direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 untuk memperluas ruang gerak desentralisasi untuk membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat sipil.
Bersamaan dengan ini, sesungguhnya kewenangan di bidang penyuluhan
pertanian sejak tahun 2001 telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Melalui
otonomi daerah diharapkan terjadi peningkatkan kinerja penyuluhan pertanian. Otonomi
daerah akan menghasilkan kebebasan kepada pelayanan
pertanian secara regional (regional
agricultural services) untuk
mengambil inisiatif dalam mendesain kebijakan spesifik lokasi. Sementara itu, pemerintah pusat melalui
Menteri Pertanian bertanggungjawab hanya pada penyusunan dan manajemen
strategi, kebijakan nasional dan standar-standar.
Dalam perjalanannya, penyuluhan pertanian di era otonomi daerah
menghadapi beberapa kendala antara lain: (1) adanya perbedaan pandangan antara
pemerintah daerah dan anggota DPRD dalam memahami penyuluhan pertanian dan
perannya dalam pembangunan pertanian, (2) kecilnya alokasi anggaran pemerintah
daerah untuk kegiatan penyuluhan pertanian, (3) ketersediaan dan dukungan
informasi pertanian sangat terbatas, dan (4) makin merosotnya kemampuan
manajerial penyuluh.
Otonomi
Daerah sesungguhnya akan menciptakan organisasi penyuluhan yang modern, yang
juga sejalan dengan UU 16 tahun 2006. Namun, kondisi ini terancam dilemahkan oleh
kelahiran UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Persoalan utamanya adalah
karena proses resentralisasi penyuluhan pada penyuluhan perikanan dan kehutanan.
Selama ini penyuluhan tiga kementerian disatukan di level propinsi,
kabupaten/kota dan sampai ke level kecamatan; namun kemudian penyuluhan
perikanan ditarik ke pusat dan penyuluhan
kehutanan ditarik ke level propinsi. Ini merupakan suatu langkah mundur,
dimana pelayanan penyuluhan dijauhkan dengan wilayah kerjanya. Sementara, untuk
penyuluhan pertanian terancam dilemahkan kelembagaannya, karena harus berdiri
sendiri.
Otonomi Daerah Menekankan pada Partisipasi
dan Desentralisasi
Otonomi
daerah dijalankan dengan tiga asas yaitu asas desentralisasi, dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Dengan basis ini,
pemerintahan
daerah berkesempatan luas meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintahan
daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
yang berskala provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan NSPK yang ditetapkan
Pemerintah Pusat, demikian pula untuk pemerintahan kabupaten/kota.
Dalam era otonomi ini, penyuluhan pertanian akan lebih
partisipatif sehingga memungkinkan petani dan keluarganya mengelola usaha
taninya seara bebas dan mandiri (Charina, 2015). Penelitian Marliati et
al. (2008) mendapatkan bahwa tingkat kinerja penyuluh pertanian relatif
belum baik atau hanya pada kategori “cukup”. Selain itu, kerjasama dengan
pemimpin lokal merupakan strategi yang banyak diterapkan penyuluh (Ibrahim et al.,
2014).
Landasan hukum paling pokok pelaksanaan otonomi daerah
adalah UUD RI 1945 Pasal 18, yaitu: Ayat (1): “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang, juga ayat (2) Pemerintah daerah provinsi, daerah
Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan, dan ayat (5) “Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat”. Landasan hukum
berikutnya adalah Ketetapan MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang
penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Seperti diketahui, pengaturan penyelenggaraan
pemerintahan daerah telah menempuh jalan panjang sejak berdirinya NKRI. Kebijakan ini diawali dengan kelahiran Undang-Undang
No.1 Tahun 1945, lalu dilanjutkan Undang-undang No.22 Tahun 1948,
Undang-undang No. 1 Tahun 1957, Undang-undang No.18 Tahun 1965, Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan Di Daerah, UU No. 22
Tahun 1999, serta Undang-undang No.32 Tahun 2004, dan terakhir UU No 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pelaksanaan Otonomi Daerah menggunakan 3 prinsip yaitu: (1) Otonomi Luas, yakni dengan pemberian kewenangan seluas-luasnya kepada daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat, (2) Otonomi nyata, dimana penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya tidak ada dan berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai keadaan daerah, dan (3) Otonomi Bertanggung Jawab, dimana penyelenggaraan pemerintahan harus sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yaitu memberdayakan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional. Selama era otonomi ini, penelitian Mappamiring et al. (2010) mendapatkan bahwa keberhasilan pembangunan pedesaan secara partisipatif sangat bergantung kepada karakteristik aparatur. Ditemukan adanya korelasi yang nyata positif dengan aspek kompetensi dan budaya kerja, sehingga pembinaan dan pengembangan aparatur berkorelasi positif dan erat dengan tingkat efektivitas kinerja birokrasi.
Urusan Penyuluhan
dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemda
Pada tanggal 2 Oktober 2014,
pemerintah mengeluarkan UU
23 tahun 2014, menggantikan UU No 32 tahun 2004 tentang objek yang sama. UU ini sangat strategis karena mengatur pembagian
urusan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam semua aspek penyelenggaraan
pemerintahan. Ini untuk menyempurnakan UU sebelumnya, dimana dalam
pembagian urusan misalnya, konsep negara kesatuan yang desentralistis belum
sepenuhnya tergambar dalam pengaturan dan norma-norma yang ada sehingga
seringkali masih dijumpai ketidakharmonisan hubungan antar kementrian
dan lembaga
dengan daerah, antar provinsi dan kabupaten/kota, dan antar daerah.
Lahirnya UU ini karena berbagai ketidakpuasan selama ini
misalnya ketidakjelasan pengaturan antara Pemerintah Pusat, provinsi,
dan kabupaten/kota sehingga sulit
menciptakan sinergi
pembangunan antar
tingkatan kabupaten/kota (Muin, 2014). Otonomi daerah belum mampu mempercepat perbaikan
kesejahteraan rakyat di daerah
(Sudharto, 2011).
Dalam UU ini, urusan pemerintahan terbagi menjadi 3 yakni:
absolut (6 urusan), konkuren (32 urusan), dan pemerintahan umum (7 urusan).
Khusus untuk konkuren, terbagi menjadi konkuren wajib (24 urusan) dan konkuren
pilihan (8 urusan). Selanjutnya, konkuren wajib terbagi menjadi pelayanan
dasar (6 urusan), dan bukan pelayanan dasar (18 urusan). Dalam UU Pemda yang
terbaru ini, yakni Pasal 15 ayat 1, disebutkan bahwa kelembagaan penyuluhan
pertanian ditata secara kongkurensi, yakni dibagi antara pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Hal ini dimaknai demikian, karena penyuluhan tidak termasuk
dalam lampiran UU pemetaan urusan berupa matrik pembagian-pembagian kewenangan
urusan dalam lampiran.
PRO dan KONTRA TERHADAP PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN
DI DAERAH
Dari uraian di atas, maka saat ini khususnya pada paruh
kedua tahun 2015 berlangsung perdebatan tentang bagaimana semestinya keberadaan
penyuluhan pertanian di daerah. Pemahaman yang berkembang dapat dikelompokkan
atas dua golongan pemikiran, yakni yang optimis dan mendukung serta sebaliknya
yang pesimis dan menolak keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah.
Pemahaman Yang
Optimis Dan Mendukung
Pihak yang mendukung pembentukan kelembagaan pertanian di daearah
berlandaskan kepada UU 16 tahun 2006 dan UU no 19 tahu 2013, serta kepada
landasan teoritis prinsip-prinsip penyuluhan pertanian modern yang sedang
diperjuangkan di Indonesia. Beberapa alasan pokok adalah sebagai berikut:
Pertama, pendirian kantor penyuluhan pertanian di daerah sesungguhnya
telah didukung kebijakan yang kuat, karena penyuluhan pertanian telah memiliki
UU sendiri yakni UU No 16 tahun 2006. Dalam konteks perbandingan hukum seperti ini,
UU no 16 tahun 2006 merupakan lex
specialist artinya lebih tinggi dibandingkan UU 23 tahun 2014 yang lex generalis. Pada Pasal 63 ayat (2)
KUHP disebutkan bahwa “Lex specialis derogat legi generali”
adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum
yang bersifat umum (lex generalis).
Hal ini juga didukung oleh UU 23 tahun 2014 tentang Pemda
yang juga mendukung azas hukum ini. Pasal 231 berbunyi: “Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan memerintahkan
pembentukan lembaga tertentu di Daerah, lembaga tersebut dijadikan bagian dari
Perangkat Daerah yang ada setelah dikonsultasikan kepada Menteri dan menteri
yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan bidang pendayagunaan aparatur
negara”.
Aturan lain yang sangat penting adalah Peraturan Presiden No
154 tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan. Pada Pasal 2 dijelaskan
bahwa kelembagaan penyuluhan mencakup mulai dari pusat sampai kecamatan.
Azasnya adalah konkurensi. Lalu, pada Pasal 12 terbaca bahwa di tingkat
kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan.
Kedua,
UU 19 tahun 2013 yang sangat mendukung keberadaan penyuluhan di daerah, karena
penyuluhan merupakan salah satu komponen untuk melakukan pemberdayaan petani.
Hal ini setidaknya disampaikan dalam Pasal 1, 7, 46, dan 47. Kementerian
Pertanian berpegang kuat kepada UU ini karena dilahirkan dan disusun untuk
kepentingan pembangunan pertanian secara lebih khusus.
Ketiga, Pasal 15 UU No 23 tahun 2014 yang secara
jelas disebutkan bahwa penyuluhan pertanian merupakan urusan bersama antara
pemerintah pusat dan daerah, atau dilaksanakan secara konkurensi. Hal ini
berimplikasi kepada pengelolaan sistem penyuluhan dalam hal peningkatan
kompetensi, pengembangan profesionalitas dan juga karir penyuluh pertanian.
Selengkapnya, Pasal 15 berbunyi: (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini, (2) Urusan
pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-Undang ini
menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya
menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pelaksanaan secara kongkurensi ini
tentu sangat sejalan dengan konsep otonomi daerah, dengan berbasiskan prinsip demi
mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani yang tersebar luas dengan
tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang beragam. Artinya,
desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan. Pendapat ini juga
diperkuat oleh Pasal 345, dimana: (1) Pemerintah Daerah wajib membangun
manajemen pelayanan publik dengan mengacu pada asas-asas pelayanan publik, dan
(2) Manajemen pelayanan publik meliputi salah satunya adalah penyuluhan kepada
masyarakat (ayat 2 point e).
Namun demikian, implementasi UU 23 tahun 2014 masih menunggu
banyak kelengkapan. Misalnya ada 54 pasal yang mengamanatkan pembentukan PP.
Untuk kelembagaan penyuluhan, ada 3 pasal penting yang berhubungan, yakni Pasal
15 berkenaan dengan perubahan terhadap
pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah,
Pasal 18 tentang jenis pelayanan, dan Pasal 21 berisi pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren.
Pemahaman yang Pesimis
dan Menolak
Sebaliknya, kalangan yang tergolong menolak keberadaan
penyuluhan di daerah berpandangan bahwa kata “penyuluhan pertanian” sama sekali
tidak ada dalam UU 23 tahun 2014 ini. Dalam konteks Kementerian Pertanian hanya
memasukkan urusan pemerintahan bidang ketahanan pangan serta pertanian. Pada
Lampiran AA yakni “Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanian” terdiri atas
7 sub urusan yakni: sarana pertanian, prasarana pertanian, kesehatan hewan dan
kesehatan masyarakat veteriner, pengendalian dan penanggulangan bencana
pertanian, perizinan usaha pertanian, karantina pertanian dan penyelenggaraan
perlindungan varietas tanaman (PVT). Sedangkan urusan pangan terdapat pada
lampiran I yakni “Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pangan” terdiri atas 4
sub urusan yaitu: penyelenggaraan pangan berdasarkan kedaulatan dan
kemandirian, penyelenggaraan ketahanan pangan, penanganan kerawanan pangan, dan
keamanan pangan.
Pola fikir yang hanya
berbasiskan bahwa penataan kelembagaan di daerah semata-mata berdasarkan kepada
lampiran dalam UU ini tentu akan memaknai bahwa seolah-olah penyuluhan
pertanian akan “dihilangkan” di daerah. Kondisi ini akan berdampak besar di
daerah mengingat keberadaan tenaga penyuluh sudah terbatas, usia menjelang
pensiun dengan masa kerja di atas 28 tahun, dan tingkat pendidikan umumnya
sarjana, sehingga lemah dalam
peningkatan profesionalisme dan pengembangan jejaring dan kemitraan (Suhanda et
al., 2008).
Namun demikian, untuk masa transisi ini, sebagaimana surat Kementan
No 02/SM.600/M/1/2015 kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia
perihal Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian, maka penyelenggaraan penyuluhan pertanian tetap dilaksanakan sesuai UU No.
16 tahun 2006. Surat ini mengutip Pasal 13 dan 15 tentang konkurensi, Pasal 231
dan Pasal 408. Surat ini dikeluarkan sebagai tindak lanjut dari rapat
pembahasan interpretasi Hukum atas UU No 23 tahun 2014 antara pihak Kementan, Sekrelariat
Bakornas P3K, Biro Hukum Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kemenkum dan Ham,
Kemendagri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta penyuluh dari
daerah. Ini sejalan dengan Pasal 408 UU No 23 tahun 2014 yang menyatakan “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
KESIMPULAN
DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Sebagaimana dipaparkan di atas, urusan penyuluhan pertanian memang
tidak disebut secara jelas dalam lampiran UU No 23 tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah. Implikaisnya adalah bahwa penyuluhan pertanian tetap
dijalankan dengan berpedoman kepada UU No 16 tahun 2006 tentang SP3K. Hal ini
perlu menjadi perhatian pemerintah daerah sehingga tidak ada alasan untuk tidak
memperhatikan kelembagaan dan operasionalisasi penyuluhan pertanian.
Karena proses ini membutuhkan waktu, dimana diberikan batasan
maksimal 2 tahun yaitu sampai dengan 2 Oktober 2016, maka keberadaan
kelembagaan penyuluhan di daerah tidak perlu dirubah. Langkah Menteri Pertanian
juga sangat tepat, dengan menyampaikan surat No 02/SM.600/M/1/2015 kepada
Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia perihal Penyelenggaraan
Penyuluhan Pertanian. Inti dari pokok surat tersebut adalah bahwa sambil
menunggu berbagai kelengkapan peraturan, maka penyelenggaraan penyuluhan pertanian tetap dilaksanakan sesuai UU No
16 tahun 2006.
Dari uraian di
atas dapat pula disimpulkan bahwa sesungguhnya UU No 23 tahun 2014 sinkron
dengan UU 16 tahun 2006, dimana sama-sama mendukung penyelenggaraan penyuluhan
pertanian secara kongkurensi. Ketidaksingkronan UU 16 tahun 2006 hanya
semata-mata untuk keberadaan kelembagaan perikanan dan kehutanan. Dengan
argumentasi ini, maka Kementerian Pertanian semestinya tetap berpegangan UU
Nomor 16 tahun 2006 dengan argumentasi bahwa UU ini bersifat lex
specialis.
Daftar Pustaka
Alex, G.; W. Zijp; and D. Bylerlee.. 2002. Rural Extension and
Advisory Services: New Directions. Rural Development Strategy Backgroup Paper
No. 9. Washington, DC., Agriculture and Rural Development Department, World
Bank, August.
Alexandratos, Nikos (ed). 1995. Chapter 10 :Human resources development
in agriculture: Developing country issues. In: World Agriculture:Towards 2010.
Food and Agriculture Organization of the United Nations. http://www.fao.org/docrep/v4200e/v4200e11.htm
Amanah, Siti. 2008. Sistem
Penyuluhan Perikanan Dalam Mengantisipasi Era Perubahan. Jurnal Penyuluhan
September 2008, Vol. 4 No. 2. ISSN:
1858-2664.
Apantaku, S.O.; J.M. Awotunde;
D.A. Adegbite; and E.A. Ajayi. 2005. The Feasibility of Private Integrated
Agricultural Extension Services In Ogun State, Nigeria. Journal of Social
Development in Africa 20(1): 59-76 (http://www.ajol.info/index.php/jsda/article/view/23894). 23 Februari 2014.
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. 2012. Temu Teknis Penyuluh
Swadaya/Swasta Provinsi D.I. Yogyakarta (http://bkpp.jogjaprov.go.id/content/read/224/Temu-Teknis-Penyuluh-Swadaya---Swasta-Provinsi-D.I.Yogyakarta).
2 Januari 2014.
Badan Penyuluhan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian.
2011. Rencana Strategis Tahun 2010-2014 Badan Penyuluhan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian.
Kementerian Pertanian Badan Penyuluhan Dan Pengembangan Sdm Pertanian Jakarta,
2011.
Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. 2011. Rencana
Strategis Tahun 2010-2014 Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta.
Bloome, P. 1993. Privatization Lessons for U.S. Extension
from New Zealand and Tasmania. Assistant Director
Illinois Cooperative Extension Service, University of Illinois at
Urbana-Champaign. Journal of Extension Journal Spring 1993,
31(1) http://www.joe.org/joe/1993spring/intl1.php 3 Februari 2014.
Bos, J. T. M., M.D.C. Proost, and D. Kuiper.
1991. Reorganizing the Dutch Agricultural Extension Service: The IKC in focus. In D. Kuiper and N. G. Röling (Eds.), Proceedings of the European seminar
on knowledge management and information technology. Wageningen, The Netherlands
Agricultural University, Department of Extension Service.
Brunner, E. and E.H.P. Yang. 1949. Rural America and the Extension Service. Columbia University.
Cahyono, Edi Dwi. 2014. Challenges Facing Extension
Agents in Implementing the Participatory Extension Approach in Indonesia: A
Case Study of Malang Regency in the East Java Region. Graduate Program in
Agricultural and Extension Education, The Ohio State University. Dissertation.
CARE. 2013. The Farmer Field
and Business School: A Pathways Programming Approach. CARE Economic
Development. CARE USA. www.carepathwaystoempowerment.org. 2 Maret 2014.
Chamala, S. and P.M. Shingi.
2007. Chapter 21 - Establishing And Str engthening Farmer Organizations. In B.E. Swanson, R.P. Bentz and A.J.
Sofranko (eds.), Improving Agricultural Extension: A Reference Manual. Food and
Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy. p. 195-201. (http://www.fao.org/docrep/w5830e/w5830e0n.htm). 2 Oktoeber 2012.
Charina, Anne. 2015. Kajian
Kinerja Penyuluhan Pertanian Di Kecamatan Sindangkasih, Kabupaten Ciamis, Jawa
Barat. urnal Social Economic of Agriculture, Volume 4, Nomor 1, April 2015 (hal
46-55).
Davidson, A.P. and M. Ahmad. 2003. Privatization and the Crisis of
Agricultural Extension: The Case of Pakistan. Ashgate Publishing Limited.
FAO. 1990a. Report of the Global
Consultation on Agricultural Extension, Rome
FAO. 2000. Strategic Vision and Guiding Principles for
Promoting Agricultural Knowledge and Information Systems for Rural Development
(AKIS/RD). FAO. Rome.
FAO. 2011. Farm Business School: Training of Farmers Programme South Asia.
Handbook. Food and Agriculture Organization Of The United Nations Regional
Office for Asia and the Pacific.
Bangkok. (http://www.fao.org/.....).
13 November 2013.
Feder, G., R. Birner, and J.R.
Anderson. 2011. The Private Sector's Role In
Agricultural Extension Systems: Potential And Limitations. Journal of
Agribusiness in Developing and Emerging Economies 1 (1): 31-54.
Gayo, J.R.C. 2012. Mapping the Future: A New
Paradigm For Agricultural Extension. Philippine Daily Inquirer. (http://business.inquirer.net/72689/a-new-paradigm-for-agricultural-extension).
5 Maret 2013.
Gustafson, D. J. 1990. Developing Extension Within A Complex
Institutional Arena. Journal of Extension Systems, 8(1): 87-99.
Harian
Kabar Bisnis. Peran Penyuluh Pertanian Swasta Bakal
Dioptimalkan. 10 Januari 2014.
Ibrahim, Helda; Majdah Zain; dan Tamzil Ibrahim. 2014.
Peranan Pemimpin Lokal dalam Meningkatkan Kemampuan Kelompok: Kasus Kelompok
Tani di Desa Pulo Kencana Kecamatan Pontang Kabupaten Serang. Jurnal Penyuluhan, Maret 2014
Vol. 10 No. 1. ISSN: 1858-2664.
Indraningsih,
K.S.; Syahyuti; Sunarsih; A.M. Ar-Rozi; S. Suharyono; dan Sugiarto. 2013. Peran
Penyuluh Swadaya dalam Implementasi Undang–Undang Sistem Penyuluhan Pertanian.
Laporan Penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang
Pertanian. Bogor.
Jones, G. and C. Garforth. 1997. The History, Development,
and Future of Agricultural Extension; In: B. Swanson, R. Bentz and A. Sofranko
(eds.), Improving Agricultural Extension: A Reference Manual. FAO. Rome.
Kemendagri. 2011. Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. 259 halaman.
Kerka,
Sandra. 1998. Extension Today and Tommorrow. Trends and Issues Alert no. n/a. http://www.cete.org/acve/docgen.asp?tbl=tia&ID=121
Komisi
Penyuluhan Pertanian Nasional. 2015. Penyuluhan Pertanian untuk Kesejahteraan
Petani dan Swasembada Pangan: Rangkuman Rekomendasi Komisi Penyuluhan Pertanian
Nasional (KPPN), Kementerian Pertanian, Jakarta.
Lippitt R.; Watson, J.; dan
Westley, B. 1958. Planned Change: A Comparative Study of
Principles and Techniques. Harcourt,
Brace & World, Inc. New York.
Mappamiring; Ma’mun Sarma; Darwis S Gani; dan Pang S
Asngari. 2010. Peran Aparatur Pemerintahan dalam Pelaksanaan Pembangunan
Perdesaan Partisipatif di Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto Provinsi
Sulawesi Selatan. Jurnal Penyuluhan, Maret 2010 Vol. 6 No.1. Hal 38-48.
Margono, Tri and Shigeo Sugimoto. 2011. The Barriers
of the Indonesian Extension Workers in Disseminate Agricultural Information to
Farmers. International Journal of Basic and Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol:
11 No: 02. ISSN: 2227-5053
Marsh, S.P. and D.J. Pannell. 2002. Agricultural extension
policy in Australia: the good, the bad, and the misguided. Australian Journal
of Agricultural and Resource Economics 44: 605 727.
Marsh,
sally and David Pannell. Agricultural
Extension in Australia:The Changing Roles of Public and Private Sector
Providers. The Agricultural
and Resource Economics Department, University of WA. http://www.rirdc.gov.au/pub/shortreps/sr66.html, 31 Agustus 2005.
Misra, D.C. 1997. Chapter 17 - Monitoring extension programmes and
resources. In: Burton E. Swanson; Robert P. Bentz; and Andrew J. Sofranko
(eds). 1997. Improving agricultural extension. A reference manual. Food and
Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 1997. http://www.fao.org/docrep/w5830e/w5830e0j.htm
Muin, Fatkhul. 2014. Otonomi Daerah Dalam Perspektif Pembagian
Urusan Pemerintah-Pemerintah Daerah Dan Keuangan Daerah. Fiat Justisia, Jurnal
Ilmu Hukum Vol 8 No. 1 Januari-Maret 2014.
Muneer, Siddig E. 2014. Agricultural Extension And The
Continuous Progressive Farmers’ Bias And Laggards Blame: The Case Of Date Palm
Producers In Saudi Arabia. International Journal of Agricultural Extension Vol 2, No 3 (2014):
Int. J. Agric. Ext. http://escijournals.net/index.php/IJAE/article/view/827
NAFES. 2005. Consolidating
Extension in the Lao PDR, National Agricultural and Forestry Extension
Service, Vientiane. Organization of Economic Cooperation and Development (OECD). 1989. Survey
on effects and consequences of differentforms of funding agricultural services.
Paris: OECD doc. AGR/REE 89, 7.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/02/MENPAN/2/2008 tentang Jabatan
Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 43
tahun 2009 tentang Pembiayaan, Pembinaan dan Pengawasan Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
Permentan No 01 tahun 2008 tentang Pedoman Pembinaan THL-TBPP.
Permentan No 165 tahun 2008 tentang Komisi Penyuluhan Pertanian
Nasional.
Permentan No 25 tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian.
Permentan No 25 tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Programa
Penyuluhan Pertanian.
Permentan No 26 tahun 2012 Tentang Pedoman Pengelolaan Balai
Penyuluhan.
Permentan No 42 tahun 2009 tentang Metode Penyuluhan Pertanian.
Permentan No 45 tahun 2013 tentang Pedoman enyelenggaraan Penyuluh
Pertanian.
Permentan No 49 tahun 2009 tentang Kebijakan dan Strategi
Penyuluhan Pertanian.
Permentan No 51 tahun 2009 Tentang Pedoman Standar Minimal Dan
Pemanfaatan Sarana Dan Prasarana Penyuluhan Pertanian.
Permentan No 51 tahun 2009 tentang Pedoman Standar Minimal dan
Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Penyuluhan Pertanian.
Permentan No 52 Tahun 2009 Tentang Metode Penyuluhan Pertanian.
Permentan No 61 tahun 2008 Tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh
Pertanian Swadaya Dan Penuyuh Pertanian Swasta.
Permentan No 91 tahun 2013 Tentang Pedoman Evaluasi Kinerja
Penyuluh Pertanian.
Permentan Nomor 25/Permentan/Ot.140/5/2009 tentang Pedoman
PenyusunanPrograma Penyuluhan Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Permentan Nomor 26/Permentan/Ot.140/4/2012 tentang Pedoman
Pengelolaan Balai Penyuluhan. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Permentan Nomor 52/Permentan/OT.140/12/2009 tentang Metode
Penyuluhan Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Permentan Nomor 61/Permentan/Ot.140/11/2008 tentangPedoman
Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Penuyuh Pertanian Swasta.
Perpres nomor 154 tahun 2014 tentang Kelembagaan Pneyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian. 1999. Paradigma
Penyuluhan Pertanian pada Abad Ke-21. Departemen Pertanian, Jakarta.
Qamar, M. Kalim. 2005. Modernizing
National Agricultural Extension Systems: A Practical Guide For Policy-Makers Of
Developing Countries. Senior Officer (Agricultural Training & Extension).
FAO, Rome. http://www.fao.org/docrep/008/a0219e/a0219e00.HTM
Qamar, M.K. 2000. Agricultural extension
at the turn of the millennium: trends and challenges, Human Resources in
Agricultural and Rural Development. Rome: FAO, pp. 158 170.
Qamar, M.K. 2002. Global trends in
agricultural extension: Challenges facing Asia and the Pacific Region. Keynote
paper presented at the FAO Regional Expert Consultation on Agricultural
Extension, Research-Extension-farmer Interface and Technology Transfer, held in
Bangkok, 16 19 July.
Qamar, M.K. 2003. Agricultural extension in
Asia and the Pacific: Time to revisit and reform. Resource paper presented at
the International Seminar on Enhancement of Extension Systems in Agriculture,
organized by the Asian Productivity Organization, Tokyo, at Faisalabad,
Pakistan; 15-20 December.
Qamar, M.K. 2005. Modernizing National
Agricultural Extension Systems A Practical Guide for Policy-Makers of
Developing Countries. Senior Officer (Agricultural Training &
Extension). Research, Extension and
Training Division Sustainable Development Department Food and Agriculture Organization of the
United Nations.
Rivera, W. M. "Agricultural
Extension into the Next Decade." European Journal of Agricultural Education and Extension 4, no.
1 (June 1997): 29-38. (EJ 546 904)
Rivera, W. M.
and W. Zijp, W.
2002. Contracting
for Agricultural Extension: International Case Studies And Emerging Practices. pp. xxviii + 188 pp.
Rivera, W.M. and D.J. Gustafson. 1991. Agricultural Extension: Worldwide
Institutional Evolution and Forces For Change. Amsterdam: Elsevier.
Rivera, W.M. and J.W. Cary. 2005. Chapter 22 - Privatizing
Agricultural Extension. http://www.fao.org/docrep/w5830e/w5830e0o.htm
Rogers, EM. 2003. Diffusion of
Innovations. Fifth Edition. The Free Pr.
New York.
Sadono, Dwi. 2008. Pemberdayaan Petani: Paradigma Baru
Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Jurnal Penyuluhan Vol 4, No 1 (2008).
Saville, A.H. 1965. Extension in Rural Communities: A Manual for Agricultural and
Home Extension Technician
Workers. Oxford University Press
Schwartz, L.A. 1994. The Role Of The Private Sector In
Agricultural Extension: Economic Analysis And Case Studies. Agricultural Administration (Research and
extension) Network Paper 48. London: Overseas Development Isntitute.
Setiawan, I Gede. 2005. Masalah-Masalah Penyuluhan Pertanian.
Jurnal Penyuluhan September 2005, Vol.1, No.1. ISSN: 1858-2664.
Setiawan, I., H. Hapsari, dan A.C. Tridakusumah. 2009. Peningkatan
Efektivitas Integrasi dan Koordinasi Peran Antara Penyuluh Pertanian Pemerintah
Swasta dan Swadaya Bagi Pemberdayaan Petani dan Pelaku Agroindustri Skala Kecil.
Tesis Universitas Pajajaran, Bandung. (http://www.lppm.unpad.ac.id/archives/3502).
14 April 2013.
Shahbaz, Babar and Salaman Ata.
2014. Enabling Agricultural Policies for benefiting Smallholders in Dairy,
Citrus and Mango Industries of Pakistan – Project No ADP/2010/091. Backgroud
Paper no 2014/1. Agricultural Extension Service in p[akistan: Chalenges,
Caontraints and Ways-forward. Institue
of Agri Extension and Rurak Development, University of Agriculture Fasisalabad,
Pakistan, September 2014. 31 pages.
Singh, B. 2009. Agricultural
Extension: Needed Paradigm Shift. Indian Res. J. Ext. Edu. 9(3), September
2009. http://www.seea.org.in/vol9-3-2009/01.pdf.
State Extension Leaders Network
(SELN). 2006. Enabling Change in Rural and Regional Australia: The Role Of
Extension in Achieving Sustainable and Productive Futures. www.seln.org.au 10 Januari 2014.
Subejo. 2006. Penyuluhan Pertanian Indonesia di Tengah Isu
Desentralisasi, Privatisasi dan Demokratisasi. Jurnal Penyuluhan Vol 2, No 2 (2006). ISSN: 1858-2664.
Sudharto. 2011. Kajian
Keberadaan Propinsi Dalam Penguatan Otonomi Daerah. Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume I, No 2, Juli
2011.
Swanson, B.E., B.J. Farner, and R. Bahal. 1997. The Current
Status Of Agricultural Extension Worldwide. In B. E. Swanson (Ed.). Report
of The Global Consultation on Agricultural Extension. Rome: FAO.
Swanson, Burton E.; Robert P. Bentz; and Andrew J. Sofranko (eds). 1997.
Improving Agricultural Extension: A Reference Manual. Food and Agriculture
Organization of The United Nations, Rome. http://www.fao.org/.....askes 14 Oktober 2014.
Umali-Deininger, D. 1997. Public and Private Agricultural
Extension: Partners or Rivals? The International
Bank for Reconstruction and Development. The World Bank. http://wbro.oxfordjournals.org/content/12/2/203.abstract 4 Desember 2013.
Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia. Tahun 2014 Nomor 244.
Undang-undang nomor 16
tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 92.
Wise, C. R. 1990. Public Service Configurations and Public
Organizations: Public Organization Design In The Post-Privatization Era. Journal of Public Administrations Review, 50(2): 141-155.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar