Era
Pra-Kolonial / Kerajaan:
Meskipun tidak seformal
periode-periode berikutnya, korupsi kemungkinan besar terjadi dalam bentuk
penyuapan dan penyalahgunaan kekuasaan di kerajaan-kerajaan pra-kolonial.
Teori mengenai genealogi
korupsi di Kepulauan Nusantara memang beragam. Versi paling populer adalah VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie/Kompeni Dagang Hindia Belanda)
mengajari masyarakat untuk korupsi di segala bidang. Bahkan, ada ejekan yang
menyebut VOC, perusahaan multinasional yang bangkrut pada peralihan abad ke-18
ke abad ke-19 ini, sebagai Vergaan Onder Corruptie (hancur karena korupsi).
Namun, sejarawan alumnus Universitas Indonesia menyatakan, jejak korupsi di
Tanah Air juga dapat dilihat pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Saat
itu, jumlah pajak desa yang harus dibayar sudah digelembungkan para pejabat
lokal yang memungut pajak dari rakyat yang masih buta huruf.
Era Kolonial Belanda
(1600-an-1945):
Pemerintahan Hindia
Belanda terkenal korupsi, dengan pejabat yang terlibat dalam eksploitasi sumber
daya dan penyuapan untuk keuntungan pribadi. Hal ini membentuk budaya
penggunaan jabatan publik untuk pengayaan pribadi. Pejabat Belanda
sering terlibat dalam eksploitasi sumber daya dan penyuapan.
Menurut laporan
pemerintah kolonial, disebutkan bahwa sebenarnya tindakan korupsi yang terjadi
pada masa kolonial itu terjadi pada semua kalangan/lapisan masyarakat.
Masyarakat kelas atas yang punya kedudukan dan masyarakat kelas bawah yang
tidak punya kedudukan semuanya melakukan korupsi.
Kuli bumiputra sering
membongkar dan mengeruk tanah di lahan yang baru diberikan pupuk. Tanah itu
dikeruk dan dibawa pulang oleh para kuli tersebut dan digunakan sebagai
penyubur tanah untuk kebun atau sawah pribadi mereka. Kemudian untuk mandor,
mereka biasa memasukkan banyak nama kuli ke daftar para kuli yang dipekerjakan.
Tapi nyatanya kuli tersebut tidak ada, dan pengeluaran untuk gajinya akan
diambil oleh mandor itu sendiri.
Praktik korupsi
besar-besaran juga terjadi pada masa tanam paksa. Saat itu disebutkan, petani
hanya bisa mendapat 20 persen hasil panennya dan diduga juga hanya 20 persen
yang dibawa ke Negeri Induk (Kerajaan Belanda). Selebihnya 60 persen hasil bumi
Nusantara diambil pejabat lokal dari desa hingga kabupaten.
Awal Kemerdekaan dan Orde
Lama (1945 – 1960 an):
Korupsi ada namun tidak
meluas. Seruan Fokus pada pembangunan bangsa dan pembangunan ekonomi. Iklim
politik dan kepemimpinan mungkin telah membantu membatasi penyebaran korupsi
dibandingkan periode-periode berikutnya.
Pada era ini, di bawah kepemimpinan Sukarno, tercatat sudah dua
kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, namun ternyata pemerintah pada waktu
itu setengah hati menjalankannya. Adapun perangkat hukum yang digunakan adalah
Undang-undang Keadaan Bahaya dengan produknya yang diberi nama Paran (Panitia
Retooling Aparatur Negara). Badan ini dipimpin oleh AH Nasution dan dibantu
oleh 2 orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat
pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan (mirip daftar kekayaan
pejabat negara saat sekarang). Dalam perkembangannya kemudian ternyata
kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat.
Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran akan tetapi
langsung kepada presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat
berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah
sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali pemerintah
(Kabinet Juanda).
Tahun 1963 - melalui Kepres No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas
mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah Operasi Budhi
di mana sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga
negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi
ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan,
Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas
ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih
belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan
negara dapat diselamatkan sebanyak kurang lebih Rp 11 miliar, suatu jumlah yang
cukup banyak untuk ukuran pada saat itu. Karena dianggap mengganggu prestise
Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam pertemuan
di Bogor, prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang
lain.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumumkan pembubaran
Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat
pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru (1965 – 1998):
Pada periode ini terjadi
peningkatan dramatis dalam korupsi. Rezim Presiden Suharto terkenal dengan
kronismenya, dimana keluarga dan rekan dekatnya mendapat keuntungan dari
monopoli negara, kontrak yang dicurangi, dan suap.
Terjadi peningkatan
signifikan dalam korupsi. seru keluarga Suharto dan kroni-kroninya mengumpulkan
kekayaan dalam jumlah besar melalui monopoli negara dan kontrak yang curang.
1967 - Pada pidato kenegaraan, Pj Soeharto di depan anggota DPR/MPR
menjelang hari kemerdekaan RI tangal 16 Agustus 1967, menyalahkan rezim Orde
Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan
politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad
untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak
lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa
Agung.
1970 - Terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas
korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa
memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog,
Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena diangap
sebagai sarang korupsi dan ''pat gulipat''.
Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,
akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Namun komite ini hanya ''macan ompong''
karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon
pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib dibentuklah
Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat.
Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan
pendapat yang cukup tajam antara Laksamana Sudomo dengan Nasution. Hal itu
menyangkut pemilihan metode atau cara, di mana Nasution menganggap bahwa
apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, maka harus dimulai dari atas.
Di samping itu, Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai
dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin
tanpa menimbulkan bekas sama sekali.
1997-1998: Krisis keuangan Asia
mengungkap besarnya korupsi, berkontribusi terhadap ketidakpuasan masyarakat
dan akhirnya pengunduran diri Suharto.
Era Reformasi
(1998-Sekarang):
1998 - Pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) - Komisi Pemberantasan Korupsi - sebuah
langkah signifikan menuju pemberantasan korupsi.
Kasus BLBI. Skandal korupsi perbankan terbesar di Indonesia
ini melibatkan pemberian dana talangan senilai Rp14,4 triliun kepada 48 bank
yang bermasalah di era krisis moneter 1998. Dana tersebut tidak tersalurkan
dengan baik, dan banyak yang dikorupsi oleh para bankir dan pejabat terkait.
Kasus ini menjadi simbol bobroknya sistem keuangan dan penegakan hukum.
21 Juni 1998 - ICW
(Indonesia Corruption Watch) lahir di Jakarta di tengah-tengah gerakan
reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang demokratis, bersih
dan bebas korupsi.
1999 - Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.
1999 – 2001: Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa
Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Namun di tengah
semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui
suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu,
Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.
Kita mungkin masih ingat pertemuan Gus Dur dengan Tommy Soeharto
di Hotel Borobudur, padahal Tommy saat itu sedang tersangkut kasus korupsi
tukar guling Goro dan penembakan Hakim Agung Syafiudin. Kemudian konglomerat
Sofyan Wanandi melalui Jaksa Agung Marzuki Usman diberinya Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3). Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.
2001 – 2004 : Era Presiden Megawati, Laksamana Sukardi sebagai Menneg
BUMN banyak menjual aset negara. Wibawa hukum semakin merosot, yang
menonjol adalah otoritas kekuasaan. Pada masa ini betapa mudahnya konglomerat
bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri.
Pemberantasan korupsi menurun. Pemberian SP3 untuk Prajogo
Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya
Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA
kepada konglomerat yang utangnya macet.
2008 - Skandal Bank
Century. Dana talangan (bailout) besar-besaran terhadap bank swasta yang gagal
menimbulkan pertanyaan mengenai korupsi.
2004 - Korupsi SKL BLBI, yakni penerbitan Surat Keterangan Lunas
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang terjadi pada 2004 silam juga
membuat negara Rp 4,58 triliun.
2010 sampai 2012: Korupsi Izin
Tambang Kotawaringin Timur, oleh mantan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi
yang membuat negara merugi Rp 5,8 triliun dan 711.000 dollar AS. Supian diduga
menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan izin usaha pertambangan kepada tiga
perusahaan yakni PT Fajar Mentaya Abadi, PT Billy Indonesia dan PT Aries Iron
Mining. Perizinan diberikan pada 2010 hingga 2012.
2013 - Kasus Aceng Fikri -
Kasus korupsi tingkat tinggi yang melibatkan seorang bupati menyoroti tantangan
dalam pemberantasan korupsi di tingkat daerah.
KPK telah memainkan peran
penting dalam menyelidiki dan mengadili kasus-kasus korupsi, yang berujung pada
penangkapan pejabat-pejabat tinggi.
9 Des 2013 - Terdakwa kasus suap
pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian, mantan Presiden
PKS, Luthfi Hasan Ishaaq hari Senin malam diganjar hukuman 16 tahun penjara dan
denda Rp1 miliar.
2017 - Korupsi proyek e-KTP, yaknipengadaan kartu tanda penduduk
elektronik (e-KTP) yang melibatkan berbagai pihak juga mencatatkan kerugian
negara Rp 2,3 triliun.
2018 - Kasus Wisma Atlet SEA Games. Pembangunan Wisma Atlet
untuk SEA Games 2018 diwarnai korupsi yang merugikan negara hingga Rp950
miliar. Kasus ini melibatkan beberapa pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Korupsi FPJP Bank Century, yakni kasus Pemberian Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) ke Bank Century. Dalam kasus itu negara
mengalami kerugian sebesar Rp 689,394. Selain itu negara juga mengalami
kerugian hingga Rp 6,742 triliun terkait kebijakan penetapan Bank Century
sebagai bank yang bisa berdampak sistemik.
2019 - Kasus penipuan
asuransi Asabri dan Jiwasraya - Kerugian finansial yang sangat besar akibat
korupsi di lingkungan perusahaan asuransi pelat merah.
2020-2022 - Kasus Bansos COVID-19. Pada masa pandemi COVID-19,
terjadi penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) yang diperuntukkan bagi
masyarakat miskin. Kasus ini melibatkan beberapa pejabat di Kementerian Sosial,
dan memicu kemarahan publik karena di saat banyak rakyat kesulitan, oknum-oknum
tertentu malah memanfaatkan situasi untuk memperkaya diri.
2020 - Korupsi Pelindo II. Terdapat 4 proyek Pelindo II yang
menyebabkan kerugian negara hingga mencapai Rp 6 triliun. Empat proyek tersebut
di luar proyek pengadaan mobile crane dan quay crane container yang dugaan
korupsinya ditangani oleh Bareskrim Polri dan KPK. Kasus ini menyeret nama
mantan Dirut PT Pelindo RJ Lino.
Korupsi PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dengan
nilai kerugian negara Rp 2,7 miliar dollar Amerika Serikat atau setara dengan
Rp 37,8 triliun.
2021 - Korupsi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia (Asabri),
dengan nilai kerugian negara Rp 22,7 triliun. Jajaran manajemen PT Asabri
melakukan pengaturan transaksi berupa investasi saham dan reksa dana bersama
dengan pihak swasta.
Menurut data dari Indonesian Corruption
Watch (ICW), tercatat
pada tahun 2021 telah terjadi sekitar 533 penindakan terhadap kasus korupsi
yang dilakukan aparat penegak hukum. Ini meningkat dibandingkan kasus korupsi
pada tahun 2020 yakni 444 kasus korupsi.
15 Agustus 2021 - Mantan
Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo dinyatakan bersalah telah
menerima suap dari sejumlah pihak terkait budidaya lobster dan ekspor benih
benur lobster (BBL). Majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 5 tahun
penjara untuk politikus Partai Gerindra itu.. Ia juga dikenai pidana denda
senilai Rp 400 juta, hak politiknya dicabut selama 3 tahun dan mesti membayar
pidana pengganti senilai 9,68 miliar dan 77.000 dollar Amerika.
2023 - Korupsi penyerobotan lahan di Riau Perkara
penyerobotan lahan di Riau, yang melibatkan pemilik PT Duta Palma Group, Surya
Darmadi, dan mantan Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008. Surya Darmadi diduga
melakukan penyerobotan lahan seluas 37.095 hektar di wilayah Riau melalui PT
Duta Palma Group, sehingga merugikan negara sebesar Rp 39,7 triliun.
Korupsi Jiwasraya, dimana Jiwasraya gagal membayar polis kepada
nasabah terkait investasi Saving Plan sebesar Rp 12,4 triliun. Akibat kasus
korupsi ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp 16,8 triliun.
2024 - Korupsi proyek BTS 4G, menyeret Menkominfo Johnny Gerard Plate
yang ditetapkan sebagai salah satu tersangka. Nilai kerugian negara sepanjang
tahun 2020-2022 itu mencapai Rp 8 triliun. Kerugian keuangan negara
tersebut terdiri dari 3 hal, biaya untuk kegiatan penyusunan kajian pendukung,
mark up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun.
******