Kritik terhadap penyuluhan klasik
Mahal, menghabiskan anggaran pemerintah
Tidak efisien dalam penggunaan anggaran dibandingkan dengan bidang
profesi lain di pemerintahan
Organisasinya besar , lamban, dan kaku
One way communication
Menurut Qamar (2005):
“The fact remains, however, that modernization and reforms are needed
in the existing national extension systems as a result of the many
global forces that are changing socio- economic and political
conditions in the world, creating new challenges and learning needs
for farmers in developing countries”.
Mengapa perlu moderniasi penyuluhan?
Menurut Swanson et al. (Swanson, Burton E.; Robert P. Bentz; and
Andrew J. Sofranko (eds). 2004: Improving Agricultural Extension: A
Reference Manual. www.fao.org):
1. Agroekologi: materi penyuluhan harus mampu merespon kebutuhan
teknologi yang sangat bergantung pada zona agroekologi yang berbeda
(agroecological zones), tidak lagi seragam sebagaimana revolusi hijau.
2. Political-economic: pengaruh dari tahap perkembangan negara (stage
of economic development), berapa besar investasi pemerintah dalam
kegiatan penyuluhan pertanian: seberapa besar ketergantungan ekonomi
nasional kepada sektor pertanian? Berapa warga negara yang masih
bergantung pada pertanian?
3. Sociocultural: perbedaaan kultural antar petani, language
differences and illiteracy, proporsi keterlibatan perempuan dan
laki-laki, pola agraria, struktur penguasaan lahan.
4. Kebijakan nasional: berkenaan dengan ketahanan pangan, berapa
surplus pangan mau diproduksi, market Intervention, infrastructure,
institutional factors, Research, Education and Training, Input Supply,
Credit, Farmer Organizations and NGO
Agricultural Extension Needed Paradigm Shift (Baldeo Singh, 2009):
1. Information now has real, measurable value
2. Public extension services are no more solesource of information
3. Essential shift from “provider mentality” to “user mentality”
4. Required shift from broadcasting to narrow casting
5. Instance Performance
6. Demand driven and customized information 6
Kondisi yang melatarbelakangi perlunya PENYULUHAN MODERN:
- Karena itu kita membutuhkan suatu perubahan mendasar (revolution in
information technology).
INTINYA:
- Dunia penyuluhan menghadapi new people and new institutions (Rivera, 1997).
Tantangan baru dunia penyuluhan:
(Menurut M. Kalim Qamar. 2005. Modernizing National Agricultural
Extension Systems: A Practical Guide For Policy-Makers Of Developing
Countries. Senior Officer (Agricultural Training & Extension). Fao,
Rome. Http://Www.Fao.Org/.....)
• sustainable development
• rural improvement and agricultural advancement
• globalization
• market liberalization
• decentralization
• privatization and democratization
• new learning requirements for subsistence and commercial farmers in
developing countries.
• revolution in information technology
Tujuan modernisasi penyuluhan pertanian:
“To make the national extension system demand- driven, gender
sensitive, participatory, bottom- up, and a relatively lean
organization, which could efficiently respond to farmers’ extension
and training needs emerging as a result of globalization, market
liberalization, decentralization, and democratization, making use of
information technology tools as far as possible”.
Apa kunci new professionalism in extension?
Menurut Roche (1992), Pretty and Chambers (1993), dan Pretty (1995) adalah:
1. Pendekaan partisipatif. “These participatory methods and approaches
represent an opportunity to build better linkages between the various
actors and to increase the learning from each other”.
2. New systems of participatory learning
3. New learning environments for professionals and local people
4. New institutional settings
5. Menciptakan organisasi penyuluhan yang bercirikan organissasi
pembelajar (learning organizations).
*****
Masa dan peristiwa di dunia, urutan berdasar waktu sebagai penjelas kausalitas
Jumlah pe-longok :
Minggu, 27 Desember 2015
Senin, 07 Desember 2015
Saat ini, khususnya pada paruh kedua tahun 2015 berlangsung perdebatan
tentang bagaimana semestinya keberadaan penyuluhan pertanian di daerah.
Pemahaman yang berkembang dapat dikelompokkan atas dua golongan pemikiran,
yakni yang optimis dan MENDUKUNG serta sebaliknya yang pesimis dan MENOLAK keberadaan
kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah. Namun, yang mendukung posisinya lebih kuat.
Pemahaman Yang
Optimis Dan Mendukung
Pihak yang mendukung pembentukan kelembagaan pertanian di daearah
berlandaskan kepada UU 16 tahun 2006 dan UU no 19 tahu 2013, serta kepada
landasan teoritis prinsip-prinsip penyuluhan pertanian modern yang sedang
diperjuangkan di Indonesia. Beberapa alasan pokok adalah sebagai berikut:
Pertama, pendirian kantor penyuluhan pertanian di daerah sesungguhnya
telah didukung kebijakan yang kuat, karena penyuluhan pertanian telah memiliki
UU sendiri yakni UU No 16 tahun 2006. Dalam konteks perbandingan hukum seperti ini,
UU no 16 tahun 2006 merupakan lex
specialist artinya lebih tinggi dibandingkan UU 23 tahun 2014 yang lex generalis. Pada Pasal 63 ayat (2)
KUHP disebutkan bahwa “Lex specialis derogat legi generali”
adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum
yang bersifat umum (lex generalis).
Hal ini juga didukung oleh UU 23 tahun 2014 tentang Pemda yang
juga mendukung azas hukum ini. Pasal 231 berbunyi: “Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan memerintahkan
pembentukan lembaga tertentu di Daerah, lembaga tersebut dijadikan bagian dari
Perangkat Daerah yang ada setelah dikonsultasikan kepada Menteri dan menteri
yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan bidang pendayagunaan aparatur
negara”.
Aturan lain yang sangat penting adalah Peraturan Presiden No 154
tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pada Pasal 2 dijelaskan bahwa
kelembagaan penyuluhan mencakup mulai dari pusat sampai kecamatan. Azasnya
adalah konkurensi. Lalu, pada Pasal 12 terbaca bahwa di tingkat kabupaten/kota
berbentuk badan pelaksana penyuluhan.
Kedua, UU 19 tahun 2013 yang sangat mendukung keberadaan penyuluhan di
daerah, karena penyuluhan merupakan salah satu komponen untuk melakukan
pemberdayaan petani. Hal ini setidaknya disampaikan dalam Pasal 1, 7, 46, dan
47. Kementerian Pertanian berpegang kuat kepada UU ini karena dilahirkan dan
disusun untuk kepentingan pembangunan pertanian secara lebih khusus.
Ketiga, Pasal 15 UU No 23 tahun
2014 yang secara jelas disebutkan bahwa penyuluhan pertanian merupakan urusan
bersama antara pemerintah pusat dan daerah, atau dilaksanakan secara
konkurensi. Hal ini berimplikasi kepada pengelolaan sistem penyuluhan dalam hal
peningkatan kompetensi, pengembangan profesionalitas dan juga karir penyuluh
pertanian.
Selengkapnya, Pasal 15 berbunyi: (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini, (2) Urusan
pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-Undang ini
menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya
menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pelaksanaan secara kongkurensi ini
tentu sangat sejalan dengan konsep otonomi daerah, dengan berbasiskan prinsip demi
mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani yang tersebar luas dengan
tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang beragam. Artinya,
desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan. Pendapat ini juga
diperkuat oleh Pasal 345, dimana: (1) Pemerintah Daerah wajib membangun
manajemen pelayanan publik dengan mengacu pada asas-asas pelayanan publik, dan
(2) Manajemen pelayanan publik meliputi salah satunya adalah penyuluhan kepada
masyarakat (ayat 2 point e).
Pemahaman yang
Pesimis dan Menolak
Sebaliknya, kalangan yang tergolong menolak keberadaan penyuluhan
di daerah berpandangan bahwa kata “penyuluhan pertanian” sama sekali tidak ada
dalam UU 23 tahun 2014 ini. Dalam konteks Kementerian Pertanian hanya
memasukkan urusan pemerintahan bidang ketahanan pangan serta pertanian. Pada
Lampiran AA yakni “Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanian” terdiri atas
7 sub urusan yakni: sarana pertanian, prasarana pertanian, kesehatan hewan dan
kesehatan masyarakat veteriner, pengendalian dan penanggulangan bencana
pertanian, perizinan usaha pertanian, karantina pertanian dan varietas
pertanian. Sedangkan urusan pangan terdapat pada lampiran I yakni “Pembagian
Urusan Pemerintahan Bidang Pangan” terdiri atas 4 sub urusan yaitu: penyelenggaraan
pangan berdasarkan kedaulatan dan kemandirian, penyelenggaraan ketahanan
pangan, penanganan kerawanan pangan, dan keamanan pangan.
Pola fikir yang hanya berbasiskan
bahwa penataan kelembagaan di daerah semata-mata berdasarkan kepada lampiran
dalam UU ini tentu akan memaknai bahwa seolah-olah penyuluhan pertanian akan
“dihilangkan” di daerah.
*****
Rabu, 04 November 2015
UU No 23 tahun 2014 akan memperkuat Penyuluhan Pertanian Daerah
(dimuat dalam Koran "PADANG EKPRES" 31 oKTOBER 2015)
Keluarnya UU No 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sejak akhir tahun lalu berimplikasi luas terhadap kelembagaan
penyuluhan nasional termasuk di daerah. Namun, sesungguhnya inilah kesempatan
untuk memperkokoh keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian daerah.
Pembentukan kelembagaan nantinya menggunakan indikator dan penilaian yang
sistematis dan berbasiskan data riel secara kuantitatif. Ini untuk menggantikan
Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi
Perangkat Daerah.
Pengalaman
Sumatera Barat yang membutuhkan waktu panjang dalam memperjuangkan keberadaan Bakorluh
propinsi akan lebih kuat nantinya. Pada hakekatnya, UU 23 ini akan memperkuat
keberadaan kelembagaan penyuluhan pertanian, karena sejalan dengan UU No 16
tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dengan
kata lain, kebijakan ini pada hakekatnya sejalan dan harmonis satu sama lain.
Modernisasi penyuluhan
Undang-Undang
No 16 tahun 2006 berupaya mendorong lahirnya modernisasi penyuluhan pertanian.
Paradigma baru dalam UU terlihat dari lima hal berikut. Pertama, mendepankan asas demokrasi dan partisipasi. Pasal 2 menyebutkan bahwa “Penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan,
keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan,
berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat”. Artinya, seluruh
ide dan sikap positif pembangunan telah diadopsi dalam kalimat ini.
Kedua, penyuluhan tidak lagi pada sekedar peningkatan
produksi pertanian, namun pada manusianya. Pasal 3 menyebut bahwa tujuan
penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal
sosial. Dicakupnya objek “modal sosial” disini bermakna bahwa penyuluh
pertanian Indonesia harus mempunyai fokus lebih luas dari sekedar individu
petani (pengetahuan-sikap-ketrampilan), namun juga pada organisasi petani dan
berbagai jaringan sosial yang terbentuk di masyarakat. Tujuan mulia ini dicapai
dengan memberdayakan petani melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif,
penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan
kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi.
Ketiga, menerapkan manajemen yang terintegratif yang
tidak lagi terpasung ego sektoral. Pada Pasal 6 terbaca bahwa penyuluhan
dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian,
perikanan, dan kehutanan.
Keempat, pelibatan masyarakat petani, dan menjadikan
petani sebagai subjek penyuluhan. Maka, pemerintah mengakui keberadaaan
penyuluh swadaya, yang berasal dari para kontak tani dan petani maju di
wilayahnya masing-masing.
Kelima, penyuluhan tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah.
Selain penyuluh swadaya, kita juga akan memobiliasi para penyuluh swasta. Dengan
UU ini pula dilahirkan Komisi Penyuluhan Pertanian sebagai organisasi
independen yang dibentuk pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Unsurnya terdiri atas para pakar, akademisi, dan praktisi yang mempunyai
keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan dan pembangunan perdesaan.
Kongkurensi urusan penyuluhan
Kelembagaan penyuluhan pertanian yang ditata secara
kongkurensi sesuai UU 23 tahun 2014 sangat sejalan dengan konsep otonomi
daerah. Prinsipnya adalah demi mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani
yang tersebar dengan tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang
beragam. Artinya, desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan.
Indonesia telah bertekad untuk
mengimplementasikan otonomi daerah, yang secara resmi disampaikan dengan
bertolak atas UU No 22 tahun 1999 yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 2000.
Tujuan otonomi daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaaan, dan kekhususan daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pada 2 Oktober 2014 yang lalu, telah ditetapkan UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini sangat strategis
karena mengatur pembagian urusan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam semua
aspek penyelenggaraan pemerintahan. Ini untuk menyempurnakan UU sebaelumnya,
dimana dalam pembagian urusan
misalnya, konsep negara kesatuan yang desentralistis belum sepenuhnya tergambar
dalam pengaturan dan norma-norma yang ada sehingga seringkali masih dijumpai
ketidakharmonisan hubungan antar kementrian dan lembaga dengan daerah, antar provinsi dan
kabupaten/kota, dan antar daerah.
Ketidakjelasan
pengaturan sering membuat kerjasama antara Pemerintah Pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota dan antar daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah belum dapat dilakukan secara optimal. Juga menyebabkan sulitnya menciptakan sinergi antara pembangunan pusat dengan daerah dan
antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi tersebut. Kebijakan
ini belum mampu mempercepat
perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah.
Otonomi daerah dijalankan dengan 3 asas yaitu asas desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dengan basis ini, pemerintahan daerah berkesempatan
luas meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi
daerah. Pemerintahan daerah provinsi mempunyai
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala
provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pemerintah
Pusat. Demikian pula untuk pemerintahan kabupaten/kota.
Namun, implementasi UU 23 tahun
2014 masih menunggu banyak kelengkapan. Misalnya ada 54 pasal yang
mengamanatkan pembentukan PP. Untuk kelembagaan penyuluhan, ada 3 pasal penting
yang berhubungan, yakni Pasal 15 berkenaan dengan perubahan terhadap pembagan urusan pemerintahan konkuren antara
pemerintah pusat dan daerah, Pasal 18 tentang SPM, dan Pasal 21 berisi pelaksanaan
urusan pemerintahan konkuren.
Dalam pasal 15 UU No 23 tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah secara jelas disebutkan bahwa penyuluhan
pertanian merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah, atau
dilaksanakan secara konkurensi. Hal ini berimplikasi kepada pengelolaan sistem
penyuluhan dalam hal peningkatan kompetensi, pengembangan profesionalitas dan
juga karir penyuluh pertanian.
Penyuluhan Pertanian tidak
menjadi bagian dalam lampiran UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dengan kata lain, penyuluhan pertanian tetap dijalankan dengan berpedoman
kepada UU No 16 tahun 2006 tentang SP3K. Hal ini perlu menjadi perhatian
pemerintah daerah sehingga tidak ada alasan untuk tidak memperhatikan
kelembagaan dan operasionalisasi penyuluhan pertanian.
Karena proses ini membutuhkan
waktu, dimana diberikan batasan maksimal 2 tahun yaitu semenjak UU No 23 tahun
2014 diundangkan, yakni sampai dengan 2 Oktober 2016, maka keberadaan
kelembagaan penyuluhan di daerah tidak dirubah. Hal ini sudah diperjelas dengan
Surat Edaran Mendagri tanggal 16 Januari 2015 yang intinya adalah untuk tidak
melakukan perubahan dalam kelembagaan Badan Koordinasi dan Badan Pelaksana
Penyuluhan di daerah.
Langkah Menteri Pertanian juga sangat
tepat, dengan menyampaikan surat Nomor: 02/SM.600/M/1/2015 kepada Gubernur
seluruh Indonesia perihal Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Inti dari pokok
surat tersebut adalah bahwa sambil menunggu berbagai kelengkapan pertauran,
maka penyelenggaraan
urusan penyuluhan pertanian tetap
dilaksanakan sesuai UU No. 16 tahun 2006 karena tidak bertentangan dengan
UU No 23 tahun 2014.
Untuk Sumatera Barat, dapat dikatakan
bahwa apa yang sudah berlangsung saat ini sejalan dengan garis kebijakan pusat.
Penyuluhan telah ditata secara konkurensi dan juga sejalan dengan prinsip
otonomi daerah. Terbangunnya kelembagaan penyuluhan pertanian ini memiliki
landasan teoritis yang kuat karena
didukung Komisi Penyuluhan Pertanian Daerah yang di dalamnya banyak dari
kalangan akademisi dan juga praktisi, dimana ciri penyuluhan modern juga mulai
diterapkan yakni berazaskan partisipatif, terbuka, dan demokratis.
(DR.
Syahyuti: anggota Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional 2014-2019)
Sabtu, 26 September 2015
Kebutuhan Grand Design Penyuluhan Pertanian Nasional
Sistem Penyuluhan Indonesia sesungguhnya
membutuhkan suatu GRAND DESIGN penyuluhan yang berjangka panjang, yang
penyusunan dan pelaksanaannya nanti membutuhkan keterlibatan dan keikutsertaan
aktif semua pihak, terutama di kalangan internal Kementerian Pertanian. MASTERPLAN
PENYULUHAN pertanian tersebut harus mampu mengakomodasi dan mengantisipasi
perkembangan faktor-faktor berkenaan dengan figur dan profil dan kompetensi
petani masa depan, profil usahatani dan pengusahaan pertanian, figur dan profil
penyuluh pertanian masa depan, dinamika dan profil sumberdaya lahan pertanian,
serta kebutuhan Diklat Pertanian untuk meningkatkan kompetensi penyuluh pertanian masa depan.
Secara
jujur harus diakui, apresiasi dan persepsi pihak terkait terhadap penyuluhan
pertanian belum optimal, bahkan termasuk pada kalangan Direktorat Jenderal
teknis di lingkup Kementan. Sampai saat ini, urusan penyuluhan seolah ekslusif
hanya menjadi tanggung jawab BPPSDMP.
Satu hal mendasar yang
membutuhkan perjuangan berkenaan dengan redefinisi KONSEP DAN CAKUPAN
PENYULUHAN PERTANIAN. Kegiatan penyuluhan pada hakekatnya berupaya meningkatkan
kecerdasan bangsa, khususnya petani dan keluarganya. Hal ini sejalan dengan
tujuan pembangunan nasional, sebagaimana amanat pada pembukaan UUD 1945. Dengan
demikian, semestinya penyuluhan pertanian tidak akan kekurangan perhatian dari
pemerintah.
Selain itu, secara konseptual,
penyuluhan pertanian adalah kegiatan PENDIDIKAN NONFORMAL terhadap sasaran
penyuluhan yakni petani dan keluarganya. Dengan dasar ini, maka semestinya
penyuluhan pertanian bisa memperoleh alokasi dari porsi anggaran Kemendiknas
yang besarnya sangat memadai yakni 20 persen dari total APBN.
*****
Label:
grand design,
penyuluhan
ANGGARAN dan PEMBIAYAAN PENYULUHAN
Garis Kebijakan:
UU 16 tahun 2006 secara khusus
membahas aspek pembiayaan pada Bab IX. Dalam Pasal 32 terbaca bahwa untuk penyelenggaraan
penyuluhan yang efektif dan efisien diperlukan pembiayaan
yang memadai, dimana sumber pembiayaan disediakan melalui APBN dan APBD, juga
bahkan secara sektoral maupun lintas sektoral, maupun sumbersumber lain yang
sah dan tidak mengikat.
APBN menanggung pembiayaan
penyuluhan yang berkaitan dengan tunjangan jabatan fungsional dan profesi,
biaya operasional penyuluh PNS serta sarana dan prasarana. Sedangkan APBD
bertanggung jawab untuk PENYELENGGARAAN PENYULUHAN di provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan, dan desa. Pemerintah juga harus membantu penyuluhan yang
diselenggarakan oleh penyuluh swasta dan penyuluh swadaya.
Lebih detail hal ini diatur
dalam Permentan No 43 tahun 2009 tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan.
Permentan ini sebagai
amanat dari pasal 33 dan 34 UU SP3. Pada Pasal 3 Permentan ini terbaca bahwa Menteri, Gubernur,
atau Bupati/Walikota mengalokasikan anggaran pembiayaan penyuluhan berdasarkan
tugas dan kewenangannya sesuai kemampuan keuangan masing-masing.
Pembiayaan penyelenggaraan
penyuluhan meliputi: biaya operasional kelembagaan penyuluhan, biaya
operasional penyuluh PNS, biaya pengadaan dan pemeliharaan sarana dan
prasarana; dan biaya tunjangan profesi penyuluh. Biaya operasional mesti mencakup biaya operasional
(Pasal 5)
untuk kelembagaan penyuluhan dari pusat sampai desa yang meliputi badan
penyuluhan, badan koordinasi penyuluhan, badan pelaksana penyuluhan, balai
penyuluhan, dan pos penyuluhan.
Permasalahan
yang Dihadapi
Secara umum, biaya yang
disediakan untuk penyuluhan kecil dan tidak memadai. Secara tidak langsung hal
ini mengakibatkan melemahnya semangat kerja penyuluh pertanian, dan
efektivitas penyuluhan. BOP
penyuluhan yang kurang disebabkan karena keterbatasan besaran dana terutama di
daerah yang relatif terpencil dan kerumitan birokrasi pemerintah daerah. Minimnya
alokasi anggaran sangat terasa pada masa menunggu lahirnya Perpres Kelembagaan
yakni Perpres No 154 tahun 2014.
KOMITMEN
PIMPINAN DAERAH terhadap pengembangan kualitas dan kuantitas penyuluh kurang.
Penyebab secara tidak langsung misalnya adalah karena kelembagaan penyuluh yang
di beberapa wilayah belum terpisah dan sendiri dalam Bapeluh. Selain itu,
adalah karena kekeliruan memaknai kegiatan pertanian sebagai “urusan pilihan”
yang boleh dinomorduakan.
Demikian
pula untuk penyuluh THL TBPP, dimana ada daerah yang bahkan tidak menyediakan
tambahan honor 2 bulan, karena yang disediakan pusat hanya 10 bulan. Besar BOP
untuk penyuluh juga sangat variatif, demikian pula pembiayaan untuk pembangunan
dan operasional kantor Balai Penyuluhan. Lemahnya anggaran penyuluhan secara
nasional disebabkan belum adanya penyamaan persepsi tentang pemberdayaan dan
pendayagunaan tenaga penyuluh di tingkat BPPSDMP dan lingkup Kementerian.
Upaya
Perbaikan Ke Depan
Karena kecilnya alokasi
anggaran, maka diingatkan tentang keseriusan
komitmen dalam politik anggaran di APBD. Untuk itu, perlu dilakukan
pendekatan khusus kepada direktorat penyusunan PBD di Kemendagri, sehingga
alokasi anggaran untuk penyuluhan dapat lebih terjamin.
Kesulitan pembiayaan yang
disebabkan oleh birokrasi perlu diatasi dengan kejelasan kelembagaan penyuluhan
sebagai bagian yang harus dibiayai dari APBD daerah, sebagaimana tercantum
jelas dalam Perpres No 154 tahun 2014 tentang Kelembagaan.
Kebijakan
anggaran penyuluhan ke depan dapat mempertimbangkan insentif dan disinsentif
dalam kinerja dan prestasi kelembagaan penyuluhan. Hal ini tentu perlu diawali
oleh sikap Pemda untuk memprioritaskan sektor pertanian dan pangan. Prioritas
pembiayaan yang pokok adalah untuk keberfungsian sarana prasarana dan pelayanan
penyuluhan. Karena
dana dari pihak luar dimungkinkan, maka KPPN menyarankan agar didorong pula
peningkatan kemampuan untuk memanfaatkan (networking)
sumber daya lain yang tersedia misalnya dari program CSR dari
perusahaan-perusahaan di wilayah masing-masing.
Selain
ini semua, perlu digarisbawahi bahwa secara konseptual penyuluhan pertanian
adalah kegiatan PENDIDIKAN NONFORMAL terhadap sasaran penyuluhan yakni petani
dan keluarganya. Dengan dasar ini, maka menjadi relevan memaknai kegiatan
penyuluhan sebagai bagian dari tanggung jawab sektor pendidikan nasional. Jika
hal ini disepakati, maka kegiatan penyuluhan akan mendapat dukungan pendanaan
yang sangat kuat, karena sektor pendidikan nasional mendapat minimal jatah
anggaran yang sangat besar yakni 20 persen dari APBN.
Kebijakan
anggaran penyuluhan perlu mempertimbangkan hal-hal berikut, yakni berupa skema
insentif dan disinsentif sesuai prestasi dan pelayanan penyuluhan, serta
memprioritaskan pada pertanian, pangan,
dan keberfungsian sarana prasarana dan pelayanan penyuluhan.
*****
Label:
pembiayaan,
penyuluhan
PENYELENGGARAAN PENYULUHAN
Programa, Metode, dan Evaluasi
Penyelenggaraan penyuluhan yang
dimaksud dalam bab ini mencakup mulai dari penyusunan programa, pelaksanaan
penyuluhan, dan evaluasi kinerjanya.
Garis
Kebijakan
Dalam Permentan No 52 tahun 2009 tentang
Metode Penyuluhan Pertanian, Metode Penyuluhan pertanian adalah “cara atau teknik penyampaian materi
penyuluhan agar petani tahun, mau, dan mampu menolong dan mengorganisasikan
dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya
lainnya sebagai usaha untuk meingkatkan produktivitas, efisiensi usaha,
pendapatan, dan dan kesejahteraannya, serta kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup”.
Metode dalam hal teknik
komunikasi dapat berupa pertemuan langsung dan tidak langsung, sementara dalam
hal sasaran dapat berupa perorangan, kelompok dan juga massal. Dalam
pelaksanaannya penyuluh juga dapat memilih metode temu wicara, temu karya, temu
lapang dan temu usaha; serta juga kaji terap, karya wisata, kunjungan (rumah dan
usaha), kursus tani, magang, mimbar sarasehan, pemutaran film, borsur, leaflet,
dan lain-lain. Intinya, metode yang tersedia sangat terbuka dan variatif.
Bagaimana
memilih metode yang sesuai? Dasar pertimbangan yang perlu diperhatikan terutama
berkaitan dengan tahapan dan kemampuan adopsi inovasi sasaran. Tahapan adopsi
inovasi terdiri atas tahap penumbuhan perhatian, penumbuhan minat, tahap
menilai, tahap mencoba, dan tahap menetapkan. Pasal 26
UU SP3 telah mengingatkan agar penyuluhan dilakukan dengan menggunakan PENDEKATAN
PARTISIPATIF melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan
kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha.
Lebih jauh berkenaan dengan
programa, Permentan No 25 tahun 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan
Pertanian, disebutkan agar programa penyuluhan dapat merespon secara
lebih baik ASPIRASI PELAKU UTAMA DAN PELAKU USAHA di perdesaan. Programa
disusun dengan memperhatikan keterpaduan dan kesinergian programa penyuluhan
pada setiap tingkatan. Keterpaduan mengandung maksud bahwa programa penyuluhan
pertanian disusun dengan memperhatikan programa pertanian penyuluhan tingkat
kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan tingkat nasional.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan kesinergian yaitu bahwa programa penyuluhan
pertanian pada tiap tingkatan mempunyai hubungan yang bersifat saling
mendukung. Penyusunan programa penyuluhan dimulai dari tahapan perumusan
keadaan, lalu penetapan tujuan, penetapan masalah, penetapan rencana kegiatan,
rencana monev, dan berakhir dengan revisi programa penyuluhan.
UU 16 tahun 2006, yakni Bab
VII tentang PENYELENGGARAAN, pada Pasal 23 berkenaan dengan Programa penyuluhan
disebutkan bahwa Programa penyuluhan dimaksudkan untuk memberikan arah,
pedoman, dan alat pengendali pencapaian tujuan penyelenggaraan penyuluhan.
Programa penyuluhan terdiri atas programa penyuluhan desa/kelurahan atau unit
kerja lapangan, programa penyuluhan kecamatan, programa penyuluhan
kabupaten/kota, programa penyuluhan provinsi, dan programa penyuluhan nasional.
Programa penyuluhan disusun dengan memperhatikan keterpaduan dan kesinergian
programa penyuluhan pada setiap tingkatan. Pasal 24 telah mengingatkan agar
Programa penyuluhan JANGAN NORMATIF dan ABSTRAK, namun harus terukur,
realistis, bermanfaat, dan dapat dilaksanakan serta dilakukan secara
partisipatif, terpadu, transparan, demokratis, dan bertanggung gugat.
Pada hakekatnya, UUU
No 16 tahun 2006 telah memuat berbagai pemikiran dan relatif sejalan dengan
paradigma baru penyuluhan pertanian. Hal ini terlihat dari: Pertama, pada Bab Asas, Tujuan, Dan
Fungsi, yakni Pasal 2 disebutkan bahwa “Penyuluhan
diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan,
keseimbangan, keterbukaan, kerja sama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan,
berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat”. Dapat dikatakan, hampir
seluruh ide dan sikap positif pembangunan telah diadopsi dalam kalimat ini,
utamanya pada asas demokrasi dan partisipasi.
Kedua, penyuluhan tidak lagi pada sekedar
peningkatan produksi pertanian, namun pada manusianya. Pasal 3 menyebut bahwa
tujuan penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan
modal sosial. Dicakupnya objek “modal sosial” disini bermakna bahwa penyuluh
pertanian Indonesia harus mempunyai fokus lebih luas dari sekedar individu
petani (pengetahuan-sikap-ketrampilan), namun juga ORGANISASI PETANI dan
berbagai jaringan sosial yang terbentuk di masyarakat.
Tujuan mulia ini dicapai dengan
memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui
penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan
potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta
fasilitasi (point b).
Ketiga, menerapkan manajemen yang TERINTEGRATIF,
tidak lagi terpasung ego sektoral. Pada Pasal 6 terbaca bahwa penyuluhan
dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian,
perikanan, dan kehutanan. Lalu pada Pasal 7 disebutkan “Dalam menyusun strategi penyuluhan, pemerintah dan pemerintah daerah
memperhatikan kebijakan penyuluhan dengan melibatkan pemangku kepentingan di
bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan”.
Keempat, pelibatan masyarakat petani, dan
menjadikan petani sebagai subjek penyuluhan. Pada point b pasal 6 disebutkan: “penyelenggaraan penyuluhan dapat
dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra
pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja
sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap
tingkat administrasi pemerintahan”. Semangat ini dikuatkan oleh Pasal 29,
dimana pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong peran serta
pelaku utama dan pelaku usaha dalam pelaksanaan penyuluhan.
Kelima, penyuluhan tidak lagi dimonopoli oleh
pemerintah, dengan diakuinya keberadaan penyuluh swadaya yang berasal dari petani dan penyuluh swasta. Dengan
UU ini dilahirkan pula Komisi Penyuluhan Pertanian sebagai organisasi
independen yang dibentuk pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang
terdiri atas para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan
kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan perdesaan. Selain ini, juga
dibentuk wadah koordinasi penyuluhan nasional yang bersifat nonstruktural.
Selanjutnya, Permentan
No 91 tahun 2013 Tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyuluh Pertanian,
menyebutkan bahwa EVALUASI KINERJA Penyuluh Pertanian adalah “suatu kegiatan yang dilaksanakan secara
sistematis dan berkesinambungan untuk mengukur tingkat keberhasilan berdasarkan
parameter kinerja Penyuluh Pertanian dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya”. Indikator penilaian kinerja mencakup mulai dari
persiapan sampai pelaksanaan, serta evaluasi dan pelaporan. Pada aspek
Persiapan Penyuluhan Pertanian adalah: (1) Membuat data potensi wilayah dan
agro ekosistem, (2) Memandu (pengawalan dan pendampingan) penyusunan RDKK, (3)
Penyusunan programa penyuluhan pertanian desa dan kecamatan, dan (4) Membuat
Rencana Kerja Tahunan Penyuluh Pertanian (RKTPP).
Sedangkan pada pelaksanaan
penyuluhan mencakup bagaimana pelaksanaan penyebaran materi penyuluhan, penerapan metoda penyuluhan, peningkatan kapasitas
petani, menumbuhkan dan mengembangkan kelembagaan petani secara kuantitas dan
kualitas, serta bagaimana keberhasilan peningkatan produktivitas usaha tani
petani.
Evaluasi kinerja
dilakukan mulai bulan Oktober
sampai dengan Desember tahun berjalan, dimana metodenya dilakukan secara Mandiri
oleh Penyuluh Pertanian dengan
menggunakan instrumen penilaian Formulir
1.A dan 1.B. Hasil Evaluasi Kinerja secara Mandiri akan diverifikasi oleh Tim
Evaluasi Kinerja secara berjenjang di wilayahnya.
Dalam Permentan No 45 tahun 2013
tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluh Pertanian telah ditetapkan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang penyuluhan pertanian
dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 43 Tahun 2013. SKKNI
tersebut merupakan acuan sertifikasi profesi Penyuluh Pertanian. Melalui
sertifikasi profesi diharapkan terwujud Penyuluh Pertanian yang profesional
sehingga penyelenggaraan penyuluhan dapat terjamin mutunya dan mendapat
pengakuan dari masyarakat sebagai penerima manfaat. Uji kompetensi direncanakan dan disusun
sedemikian rupa sehingga dapat menjamin bahwa semua persyaratan dilakukan
secara objektif dan sistematis dengan bukti-bukti yang terdokumentasi.
Sertifikasi profesi Penyuluh
Pertanian memiliki banyak manfaat yaitu: (1) melindungi profesi Penyuluh
Pertanian dari praktik yang tidak kompeten yang dapat merusak citra profesi
Penyuluh Pertanian, (2) melindungi masyarakat dari praktik penyuluhan pertanian
yang tidak bertanggung jawab, dan sekaligus (3) menjamin mutu penyelenggaraan
penyuluhan pertanian.
Pada Bab II Prosedur
Sertifikasi Profesi, disebutkan bahwa Lembaga Pelaksana adalah Badan Penyuluhan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Pertanian selaku LSPP- 1 PP PNS. LSP yang mendapatkan
lisensi dari BNSP berhak melaksanakan sertifikasi profesi bagi Penyuluh
Pertanian Swasta dan Penyuluh Pertanian Swadaya. LSP dimaksud dibentuk atas
dasar komitmen bersama antara pihak Pemerintah (Kementerian Pertanian),
Asosiasi Profesi Penyuluh Pertanian, dan pemangku kepentingan lainnya.
Ruang lingkup dan Metode Uji
Kompetensi mencakup unit kompetensi sesuai dengan kerangka kualifikasi profesi
Penyuluh Pertanian seperti yang telah ditetapkan dalam SKKNI bidang penyuluhan
pertanian. Metode uji kompetensi dilaksanakan melalui tes tertulis, wawancara,
portofolio dan unjuk kerja. Uji ini berlaku untuk PPL PNS, swadaya dan swasta
dengan prosedurnya masing-masing.
Permasalahan yang Dihadapi
Berbagai permasalahan yang
dihadapi berkaitan dengan programa penyuluhan pertanian antara lain adalah:
(1) Belum tertibnya penyusunan
programa penyuluhan pertanian di semua tingkatan;
(2) Naskah programa penyuluhan
pertanian belum sepenuhnya dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan
penyuluhan pertanian;
(3) Keberadaaan penyuluh
pertanian tersebar pada beberapa dinas/instansi, baik di provinsi maupun
kabupaten/kota;
(4) Programa penyuluhan
pertanian kurang mendapat dukungan dari dinas/instansi terkait; dan
(5) Penyusunan programa
penyuluhan pertanian masih didominasi oleh petugas (kurang partisipatif).
Programa
yang disusun masih sebatas kewajiban administratif yang belum sungguh-sungguh
dijadikan acuan dalam operasional penyuluhan sehari-hari. Materi di dalamnya
juga cenderung NORMATIF, ABSTRAK, dan KUALITATIF.
Upaya Perbaikan Ke Depan
Penyelenggaraan
penyuluhan merupakan elemen yang keberhasilannya bergantung kepada banyak
elemen lain dari sistem penyuluhan. Untuk itu, sesuai prinsip partisipatif,
maka kegiatan penyuluhan mesti bersifat INKLUSIF dimana setiap orang dapat berperan dalam penyuluhan,
misalnya dengan mengoperasikan Sistem Pertanian Terpadu (SITANDU) yang didukung Cyber Extension.
Efektivitas
penyuluhan bisa ditingkatkan bila apresiasi terhadap kelembagaan penyuluhan
pertanian sebagai ujung tombak pembangunan pertanian ditingkatkan. Indikatornya
adalah adanya dukungan dinas dan instansi terkait layaknya program BIMAS
dahulu. Implementasi tata kerja antara kelembagaan pembangunan pertanian harus
didasari pemahaman peran badan pelaksana penyuluhan sebagai lembaga koordinasi
yang berpotensi mampu mengurangi egosektoral dalam upaya penguatan keterpaduan
pembangunan pertanian. Validasi
data pertanian di lapangan dapat dilakukan melalui pemanfaatan Cyber Extension oleh penyuluh dalam
menginput perkembangan data pertanian (waktu tanam, waktu panen, penggunaan
benih, hasil, luas lahan, luas tanam, potensi wilayah, alih fungsi lahan, dll).
Keragaman
nama, fungsi, dan struktur organisasi, serta pengorganisasian penyuluhan
meningkatkan kompleksitas dan kendala dalam penyelenggaraan penyuluhan. Karena
itu, rapat koordinasi antar kelembagaan merupakan celah masuk yang penting bagi
kelancaran dan optimalisasi penyelenggaraan penyuluhan.
Kesenjangan informasi dan
inovasi teknologi bagi para penyuluh terjadi karena kelemahan akses terhadap
teknologi informasi, dan kekurangan inovasi teknologi. Lebih jauh lagi,
insentif materi yang disediakan tidak merata akibat keterbatasan dukungan
pendanaan ditingkat kecamatan dan desa. Terobosan-terobosan inovasi teknologi
dimungkinkan sejalan dengan pendekatan penyuluhan partisipatif dan
terintegrasi, untuk mengangkat temuan terobosan teknologi di tingkat petani maupun
yang bersumber dari instansi terkait.
Pihak
BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) di bawah Badan Litbang Pertanian melaporkan
bahwa kedepan para peneliti dan penyuluh di BPTP diwajibkan lebih intensif
berinteraksi dengan Balai Penyuuhan, dan akan menjadikan pelatihan disana
sebagai tugas mereka. Peningkatan sinergitas materi, metode, dan penyuluhan,
melalui cyber extension dan harmoni
partisipasi peneliti, penyuluh, dan sasaran penyuluhan.
Pembangunan
pertanian tidak bisa diseragamkan di seluruh wilayah pembangunan, dengan
demikian perlu ada tipologi guna membedakan penanganan dalam pembinaannya,
termasuk dalam kelembagaan dan penyelengaraan penyuluhan. Sistem penyuluhan
perlu mendorong pengembangan sistem perkreditan, pembiayaan, dan asuransi pertanian, serta
memperjuangkan kemitraan sinergis antara petani lahan sempit dengan pelaku
pertanian korporat dan pelaku yang lebih profesional, maupun koperasi
pertanian. Guna
meningkatkan kegiatan penyuluhan, diperlukan komitmen pimpinan dalam hal-hal mengatasi
kendala biaya penyuluhan, dan penguatan insentif berupa penghargaan terhadap
kiprah penyuluhan.
*****
Label:
penyelenggaraan,
penyuluhan
PRASARANA dan SARANA PENYULUHAN
Balai
Penyuluhan dan POSLUHDES
Aspek parasana dan sarana merupakan faktor penentu
keefektifan penyelenggaraan penyuluhan, terutama pada level Balai Penyuluhan
(BP) dan Posluhdes. Namun, secara umum dapat dikatakan dukungan terhadap hal
ini masih lemah.
Garis
Kebijakan
UU No 16 Tahun
2006 Pasal 8 dan Pasal 15 mengamanatkan pembentukan Balai Penyuluhan di tingkat
kecamatan. Dasarnya adalah bahwa Balai Penyuluhan
merupakan tempat Satuan Administrasi Pangkal (SATMINKAL) bagi Penyuluh
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Peran pokok balai ini adalah
mengkoordinasikan, mensinergikan, dan menyelaraskan kegiatan pembangunan
pertanian, perikanan, dan kehutanan di wilayah kerja Balai. Balai Penyuluhan
biasanya diberi nama “Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)” atau “Balai Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Khutanan (BP3K)”.
Lalu, Permentan Nomor 26 Tahun 2012
Tentang Pedoman Pengelolaan Balai Penyuluhan, pada Bab II menyebutkan
bahwa tugas BP ada 6 yakni: (1) menyusun programa penyuluhan pada tingkat
kecamatan sejalan dengan programa penyuluhan kabupaten/kota; (2) melaksanakan
penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan; (3) menyediakan dan menyebarkan
informasi teknologi, sarana produksi, pembiayaan dan pasar; (4) memfasilitasi
pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama; (5) memfasilitasi
peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya dan penyuluh swasta
melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan; dan (6) melaksanakan proses
pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usaha bagi pelaku utama
dan pelaku usaha. Sedangkan fungsi BPP adalah sebagai tempat pertemuan untuk
MEMFASILITASI pelaksanaan tugas Balai sebagaimana diamanatkan Pasal 15 ayat (2)
UU No 16 tahun 2006.
Pada intinya, peran BPTP adalah
memfasilitasi mulai dari penyusunan programa, pelaksanaan penyuluhan,
penyediaan dan penyebaran informasi, pemberdayaan dan penguatan kelembagaan pelaku utama dan
pelaku usaha, peningkatan kapasitas
penyuluh, pelaksanaan proses pembelajaran melalui percontohan, dan model usaha
tani.
Untuk
menjalankan peran ini, maka telah disusun sarana minimal yang harus tersedia di
Balai Penyuluhan. Sarana dimaksud meliputi sarana keinformasian, alat bantu
penyuluhan, peralatan administrasi, alat transportasi, perpustakaan, dan
perlengkapan ruangan. Juga telah
digariskan standar minimal Prasarana Lingkungan dan Prasarana Penunjang, dimana
mesti ada rumah dinas, air baku, listrik PLN mimimal 2.200 watt dan 1 unit
genset cadangan, Jalan lingkungan minimal menggunakan pengerasan pasir dan
batu, pagar halaman, dan lahan balai minimal 1 ha. Dalam
hal lokasi, persyaratan lokasi bangunan BPP mestilah mudah dilihat oleh
masyarakat, mempunyai akses jalan, listrik dan telepon, mudah dikunjungi, dan
letaknya di sentra produksi pertanian.
Untuk menyiapkan informasi yang
diperlukan bagi petani, Balai Penyuluhan melakukan pengumpulan data dan
informasi dengan cara mengakses Cyber Extension, pengumpulan data
lapangan/survey, melaksanakan kaji terap, kaji tindak, dan konsultasi dengan
instansi teknis.
Khusus berkaitan dengan tata hubungan kerja, hubungan
kerja BPP dengan UPT/UPTD lingkup teknis dan camat adalah HUBUNGAN KOORDINATIF
pelaksanaan penyuluhan dalam rangka pelaksanaan tugas Balai Penyuluhan.
Sedangkan, hubungan kerja Balai Penyuluhan di Kecamatan dengan pos penyuluhan
desa kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha di desa adalah hubungan yang
bersifat PENDAMPINGAN dan KEMITRAAN.
Berikutnya, Permantan
No 51 tahun 2009 Tentang Pedoman Standar Minimal Dan Pemanfaatan Sarana Dan
Prasarana Penyuluhan Pertanian dikeluarkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan
minimal sarana dan prasarana penyuluhan pertanian, dan mengoptimalkan
pemanfaatan sarana dan prasarana penyuluhan pertanian. Pedoman diuraikan untuk kebutuhan mulai dari
pusat sampai ke kecamatan. Sebagi contoh, untuk kecamatan sarana yang semestinya tersedia untuk
Pusat Informasi mencakup komputer, display, kamera digital, Handycam,
serta telepon dan mesin fax. Lalu
alat transportasi setidaknya tersedia kendaraan operasional roda dua. Sedangkan untuk ruangan mesti tersedia ruang
pimpinan, administrasi/TU, Kelompok Jabatan Fungsional, aula atau ruang rapat,
perpustakaan, data dan system informasi, juga rumah dinas, sarana prasarana
pendukung, sumber air bersih, penerangan PLN dan genset, jalan lingkungan,
pagar dan lahan percontohan.
Permasalahan yang Dihadapi
Saat ini, bangunan dan kelengkapan BP
belum standar. Kondisi kantor banyak yang tidak memadai, lahan pertanian banyak
yang tidak ada, juga tidak ada listrik dan telepon. Kelengkapan BP sangat
bergantung kepada komitmen dan dukungan anggaran dari dana APBD. Masih cukup
banyak BP yang belum memiliki kantor sendiri.
Berbagai program pengembangan BP yang
telah dijalankan tidak berjalan mulus, misalnya pengembangan cyber extension. Penyebabnya banyak,
mulai dari kekurangan SDM, peralatan dan anggaran.
Secara umum pengelolaan BP
masih kurang optimal, bahkan untuk BPP yang tergolong sebagai “BPP Model”. Dari
kunjungan ke BP3K Pakisaji di Kabupaten Malang misalnya, terungkap bahwa biaya
operasional BPP sangat minim, hanya ada anggaran untuk ATK sebesar Rp 2,5 juta
per tahun. Akibatnya, untuk bayar listrik, air, dan bahkan memasang teralis
kantor harus iuran antar kepala BP dan penyuluh.
Selain itu, banyak kepala Balai
Penyuluhan merangkap sebagai kepala UPT Dinas Pertanian, sehingga beban
pekerjaan menjadi berat. Pekerjaan sebagai kepala UPT jauh lebih menyita waktu,
karena berupa pekerjaan-perkerjaan administrasi yang sangat banyak dan beragam.
Upaya
Perbaikan
Dari permasalahan yang ditemui, agar standarisasi
pelayanan disesuaikan dengan konteksnya melalui pemetaan kelembagaan BP sesuai
klasternya. Jangkauan pelayanan penyuluh perlu dikaji yakni berapa rasio
penyuluh-hamparan atau jumlah petani yang ideal. Hal ini akan menentukan pola
manajemen di BP.
Untuk
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan maupun standar kinerja kelembagaan
penyuluhan, maka BP perlu difasilitasi sedemikian rupa sehingga bisa diposisikan
sebagai pos simpul koordinasi kegiatan program pembangunan pertanian di
kecamatan oleh lintas sektor. Karena itu, standar sarana dan prasarana
sebagaimana sudah digariskan agar dipenuhi.
Implementasi
Balai Penyuluhan sebagai pos simpul koordinasi kegiatan program pembangunan
pertanian dan lintas sektor memerlukan adanya langkah-langkah operasional yang
terukur dalam bentuk program dan kegiatan. Untuk itu, Kementerian Pertanian
perlu secara periodik mengevaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan di Balai
Penyuluhan. Optimalisasi anggaran disarankan dengan menggali sumber dana dari
APBN, APBD maupun kemitraan dengan pihak swasta.
Peningkatan kapasitas balai penyuluhan juga
disarankan dengan penguatan aktualisasi data dan cyber extension. Pengembangan cyber
extension perlu didukung sepenuhnya oleh Kementerian Pertanian karena
merupakan upaya yang tepat untuk mendekatkan dan memenuhi kebutuhan inovasi
yang layak dikembangkan oleh para penyuluh. Upaya Badan Penyuluhan dan
Pengembangan SDM Pertanian dalam mengembangkan cyber extension perlu didukung dengan penyediaan sarana dan
prasarana yang memadai dan pelatihan dalam penggunaan akses internet. Perlu
segera dikembangkan pada semua Balai Penyuluhan (BPK atau BP3K) kelengkapan
perangkat komputer dan jaringan koneksi internet yang baik. Untuk ini, agar dibangun link atau kerjasama untuk saling
melengkapi dan berbagi informasi dengan
berbagai pihak yang menyediakan informasi inovasi pertanian termasuk dengan cyber extension dan Green TV yang
dikembangkan oleh IPB misalnya.
Untuk memperkuat BP dalam
pembangunan pertanian disarankan ditempuh
pola reward and punishment untuk pimpinan daerah bersangkutan.
Sementara, untuk di level pusat, karena posisi sentral BP mendukung program
swasembada padi, jagung dan kedelai; maka perlu dijembatani koordinasi dan sinergi lintas
kementerian dan lintas eselon I di
lingkup Kementan. Revitalisasi BPTP sebagai bagian lembaga penyuluhan
(sebagaimana BIP di masa lalu) diperlukan untuk meningkatan efektivitasnya
dalam menggali inovasi tepat guna, melakukan uji lokasi terhadap teknologi
tepat guna sesuai dengan potensi lokal.
Media
komunikasi kebijakan pembangunan pertanian dan pemberdayaan sistem penyuluhan,
serta pemberdayaan petani (seperti Majalah Ekstensia dan Cyber Extension), perlu ditingkatkan statusnya dan dikembangkan
kualitasnya. Media komunikasi mitra Kementerian Pertanian (seperti Sinar Tani)
perlu dipertahankan eksistensinya dengan meningkatkan penyaringan iklan di
dalamnya.
Dibutuhkan kelengkapan sarana
dan dukungan pengembangan BPP model. Bantuan sarana dan pembiayaan yang
didukung pemerintah daerah mampu meningkatkan gairah penyuluh sehingga
penyelenggaraan penyuluhan menjadi lebih optimal.
BPP perlu dilengkapi dengan sarana dan prasarana
diseminasi inovasi yang kondusif bagi penggerakan Posluhdes, dan didampingi
oleh penyuluh, sehingga di masa depan dapat menjadi fokus pengembangan
penyuluhan pertanian. Keragaman
nama, fungsi, dan struktur organisasi, serta pengorganisasian penyuluhan
meningkatkan kompleksitas kendala dalam penyelenggaraan penyuluhan. Rapat
koordinasi antar kelembagaan merupakan celah masuk yang penting bagi kelancaran
dan optimalisasi penyelenggaraan penyuluhan.
*****
Label:
Balai Penyuluhan Pertanian,
Posluhdes
Pendidikan Dan Latihan Untuk Penyuluh Pertanian
Garis
Kebijakan
Pasal 21 UU 16 tahun 2006 tentang SP3
menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan kompetensi penyuluh
PNS melalui pendidikan dan pelatihan, memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, dan peningkatan kompetensi
penyuluh.
Untuk
lebih menjamin penyelenggaraan penyuluhan yang lebih efektif, maka kepala Balai
Penyuluhan minimal berpendidikan profesi penyuluh (level 7 KKNI), sementara Kepala
Bapeluh minimal level 8 pada bidang profesi penyuluhan yang didukung dengan SKB
antara Kementerian terkait dengan Kemendagri. Cakupan kompetensi bagi pimpinan
kelembagaan penyuluhan di antaranya mencakup fungsi manajemen, manajemen
resiko, manajemen resolusi konflik, manajemen kolaboratif, merit system, management by
objektive, entrepreneurship, serta
kemitraan sinergis sistem agribisnis.
Balai
Penyuluhan menjadi tempat pokok bagi pengembangan kapasitas penyuluh, karena
disinilah kegiatan pelatihan untuk penyuluh secara rutin dijalankan. Agar
efektif, sarana dan prasarana bagi upaya pemberdayaan penyuluh di Balai
Penyuluhan mencakup perihal organisasi dan kelembagaan, memenuhi kebutuhan shareholder penyuluhan, dan memenuhi
prinsip self control dan efektif.
Dalam konteks penyelenggaraan, dibutuhkan koordinasi demi penyelarasan antar
kementerian terkait untuk pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga penyuluh.
Permasalahan
yang Dihadapi
Untuk pelatihan, semua pihak
mengeluhkan rendahnya kesempatan untuk mengikuti pelatihan, Sebagai contoh, di
Jawa Timur ada beberapa lembaga pelatihan pertanian yakni BLPP Ketindan dan
Songgoriti, serta juga Balai Pengkajian dan Penyuluhan Pertanian (BPTP). Namun,
untuk para penyuluh di Malang yang jaraknya dengan tempat pelatihan tersebut
sangat dekat, kesempatan untuk berlatih sangat jarang dan terbatas.
Kesempatan
penyuluh mengikuti pelatihan alih jenjang dari penyuluh terampil ke penyuluh
ahli sangat kurang. Demikian juga dengan latihan dasar penyuluh dan latihan
sertifikasi untuk memperoleh profesi penyuluhan masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan masih terbatasnya anggaran
yang tersedia untuk kegiatan pelatihan yang memenuhi standar.
Kesempatan
latihan bagi penyuluh THL sangat terbatas, karena posisi kepegawaiannya yang
belum kuat. Padahal latar belakang dan kapasitasnya bervariasi dan masih sangat
lemah. Sementara, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pertanian bagi penyuluh dan
petani belum selektif dalam memilih calon peserta pendidikan dan pelatihan
dengan bertumpu pada kebutuhan pengembangan dan perluasan fungsi kompetensi
secara berkelanjutan. Pengulangan peserta pada orang yang sama masih terjadi.
Permasalahan lain adalah dimana
Widyaiswara dan dosen STPP belum memiliki persepsi yang sama tentang sasaran,
target dan paradigma penyuluhan pertanian. Juga tidak ada kejelasan
mekanisme tata kerja dukungan dalam
kegiatan pelatihan, yakni antar elemen pelaku penyuluhan. Khusus berkenaan dengan pelatihan komoditas
utama dalam Upsus (padi, jagung, kedelai), belum ada kejalasan pembagian peran supervisor, inovator,
pendamping, dan fasilitator,
termasuk training assesment
sesuai dengan kebutuhan spesifik lokal untuk menjadi penguat efektivitas pelatihan bagi
sumberdaya manusia pertanian.
Upaya untuk Perbaikan
Penyuluhan
pertanian mengandalkan tenaga penyuluh THL TBPP namun dengan kapasitas yang
cenderung rendah. Karena itu, penguatan kompetensi dan kapasitas profesional
penyuluh perlu disertai pendidikan profesi dan standarisasi profesi yang
didukung asosiasi profesi. Perencanaan SDM penyuluhan yang berorientasi
profesi, baik jangka pendek maupun jangka panjang yang disusun sesuai tuntutan
kebutuhan pembangunan pertanian perlu menjadi acuan dan komitmen pengembangan
SDM penyuluhan.
Pelatihan
profesi penyuluh pertanian perlu memprioritaskan PNS calon penyuluh dan THL-TB
Penyuluh Pertanian yang telah terbukti menunjukkan kinerja, minat, komitmen dan
potensi sebagai penyuluh pertanian, dengan rekrutmen yang selektif dan
akurat. Waktu atau jumlah jam latihan
bagi penyuluh juga harus memadai.
Materi
pelatihan penyuluh pertanian juga harus mencakup sistem agribisnis, internet (Cyber Extension) dan SKKNI Penyuluh.
Materi penyuluhan lain yang dibutuhkan antara lain adalah materi yang berkaitan
dengan misi dan manajemen pembangunan pertanian dalam arti luas.
Disamping
kebutuhan jumlah tenaga penyuluh pertanian yang masih kurang, perlu diupayakan
terobosan sehingga penyuluh pertanian ahli dapat menjadi pelatih bagi penyuluh
lainnya di Balai Penyuluhan.
Diingatkan
pula bahwa pada hakekatnya metoda pengembangan kompetensi penyuluh dapat
ditempuh melalui METODA LAKUSUSI yang berkelanjutan, aktual, kontekstual, dan
adaptif. Pelatihan bersifat TOT (Lanjut) di Balai-balai terkait yang diberikan oleh
widyaiswara, pakar terkait (peneliti dan dosen), figur pelaku usaha sukses
(mitra sinergis), dan figur pelaku utama sukses. Pelatihan dua mingguan mesti
dijalankan dengan terstandar, terprogram, sistematis dan masif
aktual/kontekstual. Materi mencakup pengetahuan dasar yakni berupa process area (metoda penyuluhan) dan content
area (pengembangan inovasi). Pelatihan khusus juga dibutuhkan untuk
penguatan profesi penyuluh, sedangkan pendidikan formal penyuluh profesional dapat
dilakukan melalui pendidikan profesi.
******
Label:
pelatihan,
pendidikan,
penyuluh
PENYULUH PERTANIAN SWADAYA DAN SWASTA
Pengakuan kepada penyuluh
swadaya dan swasta lahir dari semangat partisipatif UU 16 tahun 2006 tentang
SP3. Sesungguhnya penyuluh ini lah yang dapat menjadi solusi kelangkaan tenaga
penyuluh. Namun, sayangnya perhatian untuk pengangkatan, mobilisasi dan
manajemen penyuluh swadaya dan swasta sangat minim.
Garis Kebijakan
Keberadaan penyuluh swadaya dan swasta
lahir karena prinsip PENYULUHAN PARTISIPATIF dalam UU No 16 tahun 2006. Sesuai
dengan UU 16 tahun 2006 Penyuluh swasta adalah “penyuluh yang berasal dari dunia usaha
dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan”,
sedangkan Penyuluh Swadaya adalah “pelaku
utama yang berhasil dalam
usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan
mampu menjadi penyuluh”.
Berkaitan dengan ini, secara
khusus telah diterbitkan Permentan 61 tahun 2008 tentang Pedoman
Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya Dan Penuyuh Pertanian Swasta.
Tujuan Permentan ini adalah meningkatkan fungsi dan peran Penyuluh Pertanian Swadaya dan Swasta
dalam penyelenggaraan penyuluhan, meningkatkan motivasi mereka, menciptakan mekanisme
kerja kemitraan dengan penyuluh pemerintah, serta meningkatkan kinerja dan
profesionalisme mereka. Kedudukan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Swasta adalah
sebagai MITRA Penyuluh Pertanian pemerintah, dimana keberadaan nya bersifat
MANDIRI dan INDEPENDEN.
Fungsi yang dijalankan penyuluh
swadaya dan swasta mencakup: menyusun rencana kerja, melaksanakan kegiatan
penyuluhan, melaksanakan pertemuan koordinasi dengan penyuluh lain, mengikuti
kegiatan rembug dan pertemuan-pertemuan lain, serta menyusun laporan kegiatan
penyuluhan. Secara substansial, fungsi yang juga harus dijalankannya adalah
menumbuhkembangkan kelembagaan petani, menjalin kemitraan usaha dengan pihak
terkait, menumbuhkembangkan jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan petani,
menyampaikan informasi dan teknologi, melaksanakan proses pembelajaran secara
partisipatif.
Dukungan
dan keberadaan penyuluh swadaya saat ini cukup besar, meskipun mobilisasinya di
lapangan belum optimal. Sebagai contoh, dari sisi jumlah, jumlah penyuluh per
Juli 2011 sebanyak 52.428 orang, terdiri dari penyuluh PNS 27.961 orang,
penyuluh honorer 1.251 orang, THL-TB 23.216 orang, Penyuluh Swadaya sebanyak 8.107 orang (Badan
Penyuluhan dan Pengembangan SDMPertanian, 2013).
Permasalahan:
Permasalahan
pokoknya adalah sudah hampir 10 tahun semenjak diundang tahun 2006, mobilisasi
penyuluh swadaya dan swasta masih sangat terbatas. Permasalahan yang dihadapi
Penyuluh swadaya dan swasta sebagaimana dalam Permentan No. 61 tahun 2008
adalah:
1. pembinaan
terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluhan bagi penyuluh pertanian swadaya dan
swasta belum memiliki arah yang jelas.
2. belum
didayagunakan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan pelaku
usaha.
3. masih
lemahnya fungsi dan peran penyuluh swadaya dalam penyelenggaraan penyuluhan,
4. masih
rendahnya motivasi kerja
5. belum
terciptanya mekanisme kerja antara ketiga jenis penyuluh, dan
6. belum
terciptanya kinerja dan profesionalisme penyuluh swadaya.
Dari hasil kunjungan kerja ke
Jawa Timur tahun 2014 diperoleh informasi bahwa keberadaan penyuluh pertanian
swadaya dan swasta sama sekali belum memperoleh perhatian dari jajaran
penyuluhan. Program FEATI telah berhasil menseleksi dan mengangkat penyuluh
swadaya masing-masing dua orang per desa
dimana program FEATI diimplementasikan. Namun, di luar program ini, pemerintah
daerah tidak menargetkan pengangkatan penyuluh swadaya, karena masih ada
ketidakjelasan bagaimana prosedur pengangkatan, mekanisme, pembinaan nantinya,
termasuk kekuatiran terhadap implikasin pembiayaannya.
Khusus untuk penyuluh swasta,
belum ada aktivitas apapun yang sudah dilaksanakan. Meskipun sehari-hari
penyuluh dan petani telah berinteraksi dengan para pelaku swasta (suplier benih
dan obat-obatan, dll), namun belum ada kerjasama yang konstruktif dan
sistematis.
Rekomendasi untuk Mengoptimalkan Penyuluh Swadaya dan
Swasta
Dalam hal
penyuluh swadaya, pelibatan petani sebagai pendukung dan
pelaku langsung dalam kegiatan penyuluhan telah berlangsung cukup lama dengan
berbagai pendekatan. Di Indonesia, hal ini dimulai dari pelibatan kontak tani
pada era Bimas sampai Supra Insus, lalu pendekatan “penyuluhan dari petani ke
petani” (farmer to farmer extension) di P4S, serta pengangkatan penyuluh
swakarsa (tahun 2004), dan terakhir penyuluh swadaya (sejak tahun 2008). Jumlah penyuluh
swadaya sampai tahun 2014 lebih kurang 8.000 orang.
PENYULUH
SWADAYA sangat strategis karena memiliki berbagai keunggulan, di antaranya
adalah pengetahuan dan keterampilan teknologi lebih kuat meski spesifik karena
mereka adalah pelaku langsung pertanian di lapangan. Karena ia hidup
sehari-hari di tengah komunitasnya, maka penyuluh swadaya lebih mampu
menciptakan penyuluhan yang partisipatif, lebih mampu mengorganisasikan
masyarakat (Community-Organizing Role),
mampu menjadi penghubung (change agent)
yang lebih powerfull, dan Memiliki
nilai lebih pada kepemilikan modal sosial.
Mereka juga
menjadi agen bisnis yang potensial karena umumnya berlatar belakang pelaku
usaha yang sukses. Penyuluh swadaya dapat disebut sebagai
sosok yang lengkap. Jenis penyuluh ini melakukan kegiatan penyuluhan dengan
motivasi sosial, pelayanan, namun sekaligus bisnis. Banyak penyuluh swadaya
yang memiliki bisnis berupa penyedia sarana produksi, serta menampung dan
memasarkan hasil pertanian. Sehingga, penyuluh swadaya sesungguhnya menyuluhkan
teknologi baru kepada mitra bisnisnya sendiri. Jadi, dalam prakteknya, sosok
penyuluh PNS dan swasta saling konvergen dalam diri penyuluh swadaya.
Berkenaan
dengan PENYULUH SWASTA, mereka dapat berasal dari: (1) Perusahaan swasta (Private Bisnis) yakni sebagai penyedia
input, perusahaan pengolahan, dan pemasaran; (2) Dari kalangan Non Profit Sector yakni perguruan
tinggi, NGO, dan lain-lain; serta (3) Penyuluh berbayar (pay for service) yang dibayar oleh organisasi petani, bisa
Gapoktan, atau asosiasi komoditas, atau oleh petani secara individual.
Perguruan
tinggi memiliki potensi yang sangat besar dan dapat menjadi solusi dunia
penyuuhan yang konstruktif. Selain anggaran yang besar (20 persen dari APBN),
perguruan tinggi memiliki SDM yang sangat memadai yang terdiri atas dosen,
mahasiswa, maupun staf teknis. Praktek
kerja lapangan (PKL) mahasiswa atau
magang juga dapat menjadi alternatif mengisi kekurangan jumlah penyuluh.
Dalam hal pembagian
peran antar ketiga jenis penyuluh, belum ada sistem kerja yang jelas, misalnya
pembagian jenis pekerjaan, wilayah kerja, pola kerjasaman, dan tanggung jawab
administratif. Penyuluh PNS memiliki basis kerja pelayanan dan administrasi,
sedangkan penyuluh swasta pada pelayanan dan mencari keuntungan.
Sesuai
kemampuannya, penyuluh swadaya dan swasta akan lebih cenderung monovalent, bahkan
spesifik hanya pada 1-2 komoditas bidangnya. Untuk wilayah kerja, jika penyuluh PNS
bertanggung jawab pada 1 sampai 3 desa, penyuluh swadaya lebih fokus di desa
tempatnya berdomisili, sedangkan areal kerja penyuluh swasta lebih luas
mencakup kawasan satu atau lebih kecamatan.
Karena target “satu penyuluh
satu desa” semakin sulit dicapai, sesungguhnya penyuluh swadaya dan swasta
dapat menutupi kekurangan ini. Karena itu, pemerintah nasional dan daerah
semestinya menjadikan ini sebagai suatu solusi pemenuhan ketenagaan penyuluh yang
selalu kurang. Pemanfaatan penyuluh swadaya untuk mengatasi
keterbatasan jumlah penyuluh PNS perlu diperkuat dengan pelatihan atau upaya
peningkatan kapasitas dan kompetensi penyuluh.
Dari
hasil kajian diperoleh bahwa penyuluh pertanian swadaya apabila dibandingkan
dengan penyuluh pertanian PNS maupun THL-TB relatif lebih baik dalam menularkan
informasi teknologi untuk berusahatani. Penyuluh pertanian swadaya lebih mampu
mengorganisasikan masyarakat karena ketokohannya, lebih mudah dalam menjalankan
fungsi penghubung. UU No. 16 Tahun 2006
tidak hanya mengamanatkan penyuluh PNS saja, namun juga harus mulai dibina
penyuluh swasta dan swadaya oleh karena itu perlu dipikirkan sistem pembinaannya. Pensiunan penyuluh pertanian PNS juga dapat
dimobilisasi menjadi penyuluh swadaya.
*******
Label:
penyuluh,
penyuluh swadaya,
penyuluh swasta
Langganan:
Postingan (Atom)