BAB
IX. PENELITIAN TERKAIT LEMBAGA DAN ORGANISASI PETANI
Sesuai dengan perkembangan konsep yang berlangsung, terutama pada
literatur-literatur di dunia ilmiah internasional, maka terminologi yang digunakan dalam bagian ini
adalah lembaga sebagai terjemahan ”institution”
dan organisasi sebagai terjemahan dari ”organization”.
Demikian pula dengan istilah kelembagan dan keorganisasian sebagai pengganti
kata ”institutional” dan ”organizational”. Dengan demikian,
penggunaan istilah yang tercantum dalam dokumen asli laporan-laporan hasil
penelitian telah, khusus untuk buku ini telah disesuaikan dengan terminologi
tersebut.
Kelembagaan dalam penelitian-penelitian di PSE-KP diberi makna yang
luas, sehingga riset-riset di bawah topik ini menjadi beragam. Khusus dalam
kegiatan agribisnis, satu riset diberi
judul “kelembagaan” bila mengangkat apa masalah relasi antarpihak yang
terlibat, apa dan bagaimana aturan-aturan yang terkait dijalankan, serta
bagaimana struktur dan proses operasionalnya. Penelitian yang berupaya
memberikan masukan kepada pemerintah sering pula dimaknai sebagai sebuah
analisis kelembagaan. Sementara, sesuai dengan referensi terakhir, baik dari
kalangan ilmuwan Ekonomi Kelembagaan Baru (New
Institution Economic) maupun Paham Kelembagaan Baru (New Institutionalism)
dari kalangan sosiologi, “institution”
memuat aspek regulasi, norma, dan kultural kognitif.
9.1. Penelitian Kelembagaan Agribisnis
Penelitian Yusdja et al.
(2005) dengan objek pada usaha peternakan tradisional mempunyai tujuan membuat
deskripsi dinamika produksi, permintaan, serta analisis pemasaran terhadap
ternak daging dan unggas tradisional (ayam buras, itik, dan puyuh). Ketiga
tujuan ini untuk merumuskan kebijakan alternatif model agribisnis ternak unggas
tradisional dengan konsep manajemen rantai suplai. Penelitian dilakukan pada
empat provinsi di Jawa yakni Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta
dan Jawa Timur.
Kondisi unggas tradisional (ayam buras, itik,
dan puyuh) dapat dikatakan sedang menuju kepunahan. Penyebabnya adalah karena
lahan penggembalaan yang semakin sempit, kematian tinggi, tidak layak
diusahakan secara intensif, produktivitas rendah, tidak ada perbaikan mutu,
serta peningkatan konsumsi yang tinggi. Berkembangnya ayam buras dan puyuh impor
justru telah mematikan usaha unggas tradisional asli Indonesia.
Peranan pemerintah dalam
pembinaan ternak tradisonal sangat lemah. Untuk peternakan ayam
buras, setelah berusaha beberapa kali bangkit, namun dalam 20 tahun terakhir,
pada akhirnya tidak lagi populer diusahakan oleh masyarakat. Usaha peternakan itik juga mengalami
pertumbuhan yang lambat, baik pada skala usaha dan maupun produksinya. Khusus
untuk ternak puyuh pada periode 1995-2005, terjadi perkembangan yang pesat
khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta, meskipun hanya terjadi pada wilayah
tertentu. Dua masalah yang dihadapinya adalah wabah penyakit flu burung dan
keterbatasan modal untuk penyediaan pakan.
Ketiga komoditas sesungguhnya masih berpeluang
dikembangkan. Ayam buras disukai karena dagingnya yang kenyal, gurih, dan aman
dari residu kimia. Telur itik tetap dibutuhkan terutama untuk memproduksi telur
asin. Sementara, konsumsi telur puyuh sudah mulai menyebar di seluruh kota-kota
menengah dan besar di Pulau Jawa. Saat
ini, telur puyuh dapat ditemukan baik di pasar tradisonal maupun modern.
Secara umum, pengembangan unggas tradisional terperangkap dalam sistem agribisnis yang
monopsonis dan sekaligus monopolist. Hal ini tidak memberi insentif cukup bagi
peternak, sehingga dan menjadi kendala untuk mandiri.
Rancangan keorganisasian yang dibutuhkan adalah yang mampu
mengintegrasikan kegiatan input dan output, terintegrasi secara horizongal dan
vertikal, serta menerapkan azas kebersamaan dengan dengan kriteria zero cost pada tingkat peternak.
Dibutuhkan simpul organisasi yang dikendalikan oleh pemerintah dan membiarkan
simpul-simpul lain berkembang secara bebas. Simpul yang harus dikendalikan
adalah penimbunan dan pengolahan pakan serta pembibitan dan pengembangan
teknologi. Perlu dibangun usaha pembibitan dalam bentuk investasi publik baik
itu dilakukan oleh pemerintah atau bekerja sama dengan swasta.
Tanpa sadar, sesungguhnya sektor peternakan kita merupakan agen dari
rezim kapitalisme internasional yang sangat efektif. Pengembangan ayam ras yang
sangat digalakkan semenjak era tahun 1970-an telah menguras devisa kita setiap
tahun. Meskipun kita telah mengembangkan ayam ras selama lebih dari 40 tahun,
namun sumber DOC dan obat-obatan masih tergantung kepada impor. Ini jelas
menguras devisa negara. Selain itu, ketergantungan teknologi, telah secara
tidak langsung melahirkan pemain-pemain besar yang berkolaborasi sedemikian
rupa membentuk struktur yang monopolis.
Tanpa sadar pula kita telah membunuh peternakan tradisional yang
sesungguhnya lebih berjiwa ”ekonomi kerakyatan”. Ekonomi kerakyatan dicirikan
oleh penggunaan sumber daya setempat, dilakoni oleh kebanyak masyarakat, dan
nilai tambahnya pun dinikmati secara penuh oleh rakyat kecil.
Penelitian ini cukup menarik, karena unggas tradisionil jarang dijadikan
objek riset. Sayangnya penelitian ini tidak pernah memperoleh respon yang
memadai dari pengambil kebijakan.
Peternakan tradisional masih tetap tertinggal di belakang.
Penelitian Malian et al.
(2004) tentang kondisi gula dan tebu
nasional. Dalam penelitian ini,
efisiensi usahatani tebu didekati dengan model fungsi keuntungan Cobb-Douglas,
sementara untuk mengukur daya saing usahatani tebu petani digunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Penelitian
dilaksanakan di Jawa Timur, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Sistem bagi hal yang ditetapkan pabrik gula, baik
di wilayah Jawa maupun Luar Jawa relatif sama, yaitu bagian gula petani sebesar
66 persen (untuk rendemen ≤ 6 persen), dan 70 persen untuk rendemen di atas 6
dari selisih rendemen; serta tetes sebesar 2,5 persen per kwintal tebu yang
digiling. Perubahan harga gula sebesar 10 persen akan mengubah penawaran gula
(perubahan searah) sebesar 3 persen. Pada kondisi optimal (tercapai keuntungan
maksimum), perubahan 10 persen harga gula akan menyebabkan perubahan penawaran
gula sebesar 6 persen. Pada kondisi aktual, kenaikan upah tenaga kerja sebesar
10 persen akan menurunkan penawaran gula sebesar 0,8 persen, sedangkan pada
kondisi optimal menurunkan penawaran gula hampir mencapai 1,0 persen.
Sementara, kenaikan 10 persen harga pupuk urea,
pupuk TSP, pupuk KCl, dan pupuk ZA, baik pada kondisi aktual maupun optimal
akan menurunkan penawaran gula antara 0,05 sampai 0,4 persen. Peningkatan 10
persen harga gula akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap pupuk urea,
pupuk TSP, pupuk KCl, pupuk ZA, dan tenaga kerja masing-masing sebesar 12,8
persen pada kondisi aktual dan 15,7 persen
pada kondisi optimal. Kenaikan
upah tenaga kerja, harga pupuk urea dan harga pupuk KCl akan menyebabkan
penurunan yang sangat besar terhadap permintaan pupuk TSP dan pupuk ZA.
Satu poin yang menarik adalah temuan bahwa walaupun secara finansial
usahatani tebu menguntungkan, namun secara ekonomi tidak. Secara ekonomi,
kerugian yang dialami petani di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Kediri sebesar
Rp 2 juta – Rp 4 juta per hektar. Perbedaan ini disebabkan adanya distorsi
pasar yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah. Usahatani tebu di Kabupaten
Madiun dan Kabupaten Kediri tidak mempunyai keunggulan komparatif, sedangkan di
Kabupaten Malang, Jember, Takalar, dan Lampung Utara menunjukkan kebalikannya
(DRCR<I).
Ditemukan kecenderungan dimana usahatani tebu di lahan kering atau di
luar Jawa memiliki keunggulan komparatif lebih tinggi dibandingkan dengan
usahatani di lahan sawah atau di Jawa. Meskipun usahatani tebu di seluruh
lokasi mampu membayar korbanan biaya domestik yang efisien (PCR<1), namun
kemampuan membayar biaya tersebut pada usahatani tebu di Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan di Jawa.
Dari semua PG yang ada di Indonesia saat ini, hanya 3 PG yang efisien
secara teknis dan ekonomis. Ketiganya adalah PG swasta murni di Provinsi
Lampung. Lalu, ada 3 pabrik milik BUMN di Jawa yang masuk dalam kategori
efisien secara teknis, tetapi tidak efisien secara ekonomis. Selebihnya, 43 PG
BUMN dan 8 PG swasta murni tidak efisien secara teknis dan ekonomis. Pengembangan areal pertanaman tebu di
Jawa hendaknya diarahkan pada lahan kering, sehingga tidak terjadi benturan
kepentingan dengan program peningkatan produksi tanaman pangan.
Untuk pengembangan ke depan, areal potensial untuk pengembangan tebu
berada di Luar Jawa dengan potensi mencapai 284,5 ribu ha yang tersebar di
Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dari areal tersebut sedikitnya dapat
dibangun 15 PG baru, dengan kapasitas antara 5.000 – 20.000 TCD (tons cane per day).
Untuk meningkatkan kinerja PG BUMN, perlu dilakukan audit terhadap
teknologi, terutama pada PG yang secara
finansial dan ekonomis layak dipertahankan. Restrukturisasi PG dalam jangka
panjang semestinya diarahkan untuk melakukan pengalihan pemilikan saham kepada
petani tebu. Untuk menangani inefisiensi PG BUMN dalam penetapan rendemen,
diperlukan rendemen individual atau jaminan rendemen minimum dalam bentuk
peraturan khusus. Selain itu, untuk
meningkatkan daya saing industri gula nasional, setiap PG perlu melakukan
diversifikasi produk gula dan produk turunannya.
9.2. Kelembagaan Pemasaran
Satu
temuan yang mematahkan mitos selama ini adalah, bahwa semakin
berkembangnya pemasaran komoditas hortikultura ke pasar modern belum sepenuhnya
menjamin perbaikan pendapatan produsen (petani). Meskipun harga jual di supermarket lebih tinggi, namun harga
di level petani sama halnya bila menjual ke pasar tradisionil.
Fluktuasi
harga saat panen sering merugikan petani, namun tidak untuk pedagang. Para
pedagang yang lebih akses ke pasar tetap dapat memperoleh keuntungan. Intinya,
dari beberapa kasus kelembagaan pemasaran yang dipelajari, kondisi yang ditemui
belum optimal untuk memperbaiki pendapatan petani.
Untuk
pemasaran sayuran dan buah, pedagang pengumpul desa terdekat merupakan tujuan
utama pemasaran untuk petani. Pedagang ini dipilih karena pertimbangan harga
dan tidak melakukan penyortiran. Petani sulit akses ke pasar modern, karena
ordernya kecil dengan item yang banyak, dan sistem pembayaran yang berjangka
lama; meskipun petani mampu memenuhi syarat kualitasnya.
Tingkat
farmer share petani kubis di tiga lokasi penelitian terlihat cukup kecil
terutama terhadap kelembagaan pasar modern (17,9 - 21,3 %), terhadap supplier
(31,2 -33,9 %), terhadap pedagang eceran (27,1 - 37,3 %), serta terhadap
pedagang pasar induk (36,7- 43,8 %). Sedangkan farmer share terhadap
pedagang pengumpul desa dan kecamatan masing-masing sebesar 86,5 - 87,7 persen.
Untuk
jeruk, farmer share petani terhadap kelembagaan pemasaran pasar modern,
pengecer, pedagang pasar induk, dan pedagang antar pulau masing-masing sebesar 10
persen, 17,1 persen, 24,0 persen dan 28,6 persen. Sedangkan terhadap pedagang
pengumpul desa sebesar 80 persen, terhadap perkoper 72,73 persen, dan
terhadap pedagang pengumpul 91,30 persen. Pedagang memperoleh bagian harga yang paling besar
karena perannya yang lebih dominan. Dominasi ini terjadi karena penguasaan
informasi produksi dan akses ke jaringan pemasaran.
Penelitian tentang kelembagaan pemasaran
berikutnya adalah penelitian Sayaka et al.
(2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
kelembagaan kemitraan (partnership)
dalam pemasaran hortikultura, pangan, dan ternak. Lokasi penelitian di Jabar, Jateng, serta
Gorontalo.
Kemitraan pemasaran untuk komoditas kentang, cabe
merah, bawang merah, jagung, dan sapi potong; terlihat memberikan keuntungan
kepada petani. Kemitraan terjalin antara kelompok tani dengan swasta, dengan
eksportir dan importir, maupun dengan pedagang besar. Partnership pemasaran cabe merah bisa menjamin petani dalam
memperoleh modal untuk usahatani dari pihak ketiga. Jaminan harga jual juga
menguntungkan petani walaupun sering hanya sedikit di atas harga pasar. Dengan bermitra, keberlanjutan usahatani cabai merah di tingkat
petani lebih terjamin. Ada beberapa antisipasi yang perlu diperhatikan, antara
lain penentuan harga perlu mempertimbangkan fluktuasi harga, petani diberikan
keuntungan yang memadai, bimbingan teknis, dan bantuan modal atau difasilitasi
untuk akses ke sumber modal. Sementara, kemitraan pemasaran bawang merah di
kabupaten Brebes hanya bisa dilakukan oleh pedagang besar. Kelompok tani sulit
berpartisipasi secara langsung karena keterbatasan modal dan risiko rugi jika
harga kontrak lebih rendah dari harga pasar. Kemitraan pemasaran jagung akan
terus mempunyai prospek yang baik. Hal ini ditunjang oleh membaiknya harga
jagung dunia dan permintaan ekspor yang relatif tinggi.
Kemitraan yang berjalan belum sempurna, dimana petani belum memperoleh
keuntungan yang optimal dan juga belum berjalan stabil. Karena itu, skema
kemitraan harus tetap dieavaluasi dan disempurnakan. Peran Pemda masih tetap
dibutuhkan sehingga kemitraan berjalan secara adil.
Penelitian Saptana et al. (2005) mendapatkan struktur kelembagaan agribisnis hortikultura yang
masih rapuh dan lemahnya keterkaitan supply
chain management produk hortikultura. Sistem pemasaran hortikultura belum
sepenuhnya efisien, struktur pasar cenderung oligopsonistik, kurang terkaitnya supplay chain management (SCM) dengan
baik, dan dihadapkan pada fluktuasi harga jangka pendek yang tajam.
Evaluasi terhadap kinerja Program Kemitraan Usaha Agribisnis
Hortikultura menunjukkan bahwa produktivitas dan kualitas belum optimal, kehilangan
hasil dalam penanganan pascapanen tinggi, kerusakan selama distribusi dan
pemasaran cukup tinggi, penekanan masih pada on-farm, infrastruktur pemasaran belum dapat dioperasionalkan
secara optimal, dan masih lemahnya kelembagaan kemitraan usaha yang
terbangun.
Pola-pola kemitraan usaha agribisnis hortikultura yang eksis di Bali
antara lain berupa Pola Dagang Umum (PDU) melibatkan pedagang dan supplier untuk memasok konsumen restoran
dan hotel dan pasar tradisional; Pola Inti-Plasma antara Perusahaan Daerah
dengan petani, Pola Kerja Sama Operasional Agribisnis (KOA) antara perusahaan
swasta dengan petani dan perusahaan daerah, kerja sama dalam rangka
pengembangan STA, serta kerja sama dalam penyediaan modal melalui kelembagaan
koperasi dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Salah satu pola kemitraan prakarsa
pemerintah adalah pengembangan STA. Dari 12 kelompok STA hortikultura di Bali,
secara umum telah berjalan meskipun belum optimal.
Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa beberapa faktor yang
perlu di pertimbangkan dalam membangun kelembagaan kemitraan usaha hortikultura
secara berkelanjutan adalah perlunya perencanaan melalui proses sosial yang
matang, membangun saling kepercayaan, dan keterbukaan dalam penetapan harga,
dan pembagian keuntungan. Sistem pengaturan produksi juga harus didasarkan
dinamika pasar, perlunya satu manajemen dalam pengambilan keputusan, koordinasi
vertikal, dan jaminan kepastian pasar, dan harga. Kelembagaan kemitraan usaha
perlu memperhatikan karakteristik komoditas dan spesifik lokasi. Hal ini harus
pula didukung sistem informasi yang handal.
Secara keseluruhan, penyempurnaan model kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura di Bali dapat
dilakukan dengan cara membentuk Asosiasi Petani Hortikultura, pemberdayaan
Pelayanan Informasi Pasar (PIP), mengefektifkan peran PPL dan dinas lain,
mengefektifkan jaringan komunikasi vertikal antara para pelaku agribisnis,
pembenahan infrastruktur STA, serta pemberdayaan berbagai lembaga pembiayaan. Sementara di Sumut, penyempurnaan kelembagaan
kemitraan usaha hortikultura membutuhkan kerja sama antara petani, kelompok
tani, pengrajin, lembaga tata niaga dalam menghasilkan produk yang memenuhi standard eksport. Selain itu perlu pula dukungan lembaga
pembiayaan yang bersifat sederhana, mudah, cepat, dan murah. Khusus di Jabar,
penyempurnaan kelembagaan kemitraan usaha hortikultura perlu peningkatan posisi
dan peran petani sehingga memiliki rebut tawar yang seimbang, serta menciptakan
kebijakan yang yang kondusif bagi berkembangnya kemitraan usaha melalui
kebijakan regulasi, mediasi, advokasi, dan fasilitasi terutama dalam
mempromosikan produk-produk hortikultura promosi ekspor. Relasi yang bersifat
langsung akan lebih baik sejauh memungkinkan.
Model kemitraan (= relasi antarpelaku) usaha agribisnis yang semestinya
dikembangkan kedepan adalah dimana petani melakukan konsolidasi dalam wadah
kelompok tani secara formal yang lalu dapat berkembang menjadi Gapoktan atau
asosiasi. Selanjutnya, pelaku-pelaku
yang telah ada bergabung untuk membangun konsolidasi manajemen usaha pada
hamparan lahan yang memenuhi skala usaha yang efisien. Perlu diterapkan
manajemen korporasi, memilih perusahaan mitra yang memiliki kemauan baik, dan
adanya Pusat Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis (PPA) sebagai mediator dan
fasilitator terbangunnya kemitraan usaha yang terpadu.
9.3. Kelembagaan Sarana dan Prasarana Pertanian
Penelitian Nurmanaf et al. (2003) mempelajari sistem distribusi benih
padi dan pupuk. Riset ini dilakukan karena sistem distribusi yang ada belum
efektif dalam menangani permasalahan ketersediaan dan harga saprodi di tingkat
petani. Liberalisasi distribusi pupuk pada awalnya berdampak positif, namun
akhirnya harga pupuk KCl dan ZA berfluktuasi mengikuti harga di pasar dunia dan
pergerakan nilai kurs. Akibatnya akses petani terhadap kedua jenis pupuk ini
menurun. Bersamaan dengan itu muncul pupuk alternatif yang diragukan
kualitasnya, muncul pula pasar
oligopolistik dimana distributor yang bermodal kuat akses ke lini I dan II
serta bebas menyalurkan pupuk ke luar wilayah kerjanya, dan terjadi kelangkaan
pupuk secara nasional khususnya pupuk urea.
Kebijakan
distribusi pupuk diawali dari program Bimas dengan pendekatan semi regulated pada periode 1960-1979,
lalu era subsidi dengan fully regulated
(1979-1998); era pasar bebas dan semi
regulated (akhir 1998 - Maret 2001), dan lalu penghapusan subsidi dan
pencabutan tata niaga.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi para petani dalam membeli pupuk.
Untuk petani responden di Jabar, secara berturut-turut yang mempengaruhinya
adalah para petugas penyuluh lapang, lalu pertimbangan pendapatan dari
usahatani, dan harga pupuk. Sementara bagi petani di Sulsel, yang paling
berpengaruh adalah harga gabah, serta perkiraan produksi yang akan dicapai.
Struktur industri pupuk bukanlah determinan pokok yang mempengaruhi
ketersediaan dan harga pupuk di tingkat petani, demikian pula dengan sistem
distribusi. Faktor yang diduga berperan adalah efektivitas kebijakan ekspor
pupuk bersubsidi, dan kelangkaan di gudang pabrik. Sistem distribusi pupuk Tim
Interdep yang dikomplemen dengan sistem rayonisasi dinilai cukup efektif dalam
menjamin ketersediaan dan stabilitas harga pupuk di tingkat petani. Hal ini
dapat berperan positif dan bersifat komplemen terhadap Sistem Distribusi Tim
Interdep dan Sistem Rayonisasi. Efektivitas kebijakan ini (Tim Interdep,
Rayonisasi dan Satu merek) akan menghindari bias preferensi petani terhadap
jenis pupuk urea produksi pabrik tertentu yang di yakini memiliki kualitas yang
lebih baik.
Khusus
tentang benih, dalam sistem perbenihan, semua subsistem mulai dari penyiapan
lahan, perbanyakan benih, prosesing, pengujian mutu dan pelabelan, serta
pemasaran benih; telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang
ditetapkan. Sistem perbenihan terdiri dari beberapa subsistem, yaitu pemulian
dan pelepasan varietas, produksi benih dan distribusi, regulasi, aturan dan
organsiasi, serta sertifikasi dan pengawasan mutu.
Secara umum, PPL merupakan sumber utama
responden untuk informasi tentang varietas atau benih padi unggul. Dampak
positif dari industri benih yang bersifat terbuka adalah semakin membaiknya
struktur produksi dan pasar, meskipun ditemukan ketidakpastian kualitas.
Perbaikan struktur industri benih melalui diversifikasi produksi dan perbaikan
efisiensi perlu terus diupayakan, tetapi perlu dilengkapi dengan perbaikan
pengawasan, strukturisasi dan sertifikasi benih agar diperoleh pasokan, harga
dan kualitas yang lebih baik seperti yang diharapkan oleh konsumen.
Penyediaan tenaga kerja juga merupakan salah satu komponen dalam konteks
prasarana pertanian. Penelitian Nurmanaf
et al. (2003) mendapatkan bahwa
tekanan ekonomi kapitalis, penerapan teknologi modern dan sistem pasar yang
mengutamakan efisiensi, mengakibatkan hilangnya kesempatan kerja bagi sebagian
besar buruh tani, serta makin longgarnya ikatan-ikatan sosial. Hal ini
menyebabkan peran kelompok kerja (work
group) tradisional ketenagakerjaan makin lemah. Pertumbuhan penduduk
(angkatan kerja) dan perkembangan teknologi telah memposisikan pekerja pada
pihak yang lemah. Namun demikian, di beberapa wilayah kelompok ini masih hidup
dan bertahan.
Kelompok tenaga kerja buruh tani di Purworejo umumnya diatur dengan
hubungan yang bersifat bebas, antara lain sistem hubungan kerja dengan upah harian
lepas, dengan upah borongan, sistem bawonan/persenan, patron klien dan tebasan. Pemerintah desa ikut
berperan dalam menentukan tingkat upah yang dimusyawarahkan setiap tahun
menjelang musim tanam padi. Sementara, di Kabupaten Magelang yang berjalan
adalah sistem kedokan, serabutan,
keroyokan, borongan dan tebasan.
Di Minahasa Utara, kelompok kerja yang dikenal dengan mapalus sangat akrab dengan kegiatan
masyarakat, karena diterapkan pada setiap pekerjaan berat. Pekerjaan tersebut
dikerjakan secara bersama-sama, tidak hanya pada kegiatan pertanian tapi pada
aktivitas sosial lain seperti pembangunan rumah, kematian, perkawinan, dan
sebagainya. Pada kegiatan pertanian, mapalus
dilaksanakan untuk pengolahan lahan, tanam, menyiang dan panen. Di Tomohon masih
ditemukan kelompok mapalus (gotong
royong/arisan kerja) dan mikjane
(jual jasa tenaga). Selain mengerjakan pekerjaan anggota-anggotanya, angota
juga bekerja di luar yang upahnya disimpan dalam kas keuangan mapalus. Terdapat
berbagai variasi mapalus sesuai dengan tujuan dibentuknya yaitu: mapalus kas, mapalus jam, mapalus marawis,
mapalus asli, dan mapalus sumawang. Anggota kelompok mapalus
yang dulunya berbasis dusun dan kekerabatan, berubah menjadi lebih kecil tapi
dengan kualifikasi yang seragam. Pekerjaan yang dilakukan tidak lagi terbatas
pada kegiatan antaranggota tapi juga bekerja pada petani lain bahkan di luar
desa.
Adanya sikap saling membantu
menjadi dasar pertimbangan bagi masyarakat setempat untuk mengatur hubungan
kerja. Keterikatan internal juga kuat, baik pada rombongan kerja tanam maupun
panen. Di Magelang para anggota kelompok kedokan
tetap mempertahankan kelompok yang ada. Mereka berupaya mempertahankan hak
sebagai pengedok yang merupakan jaminan mendapat kesempatan panen. Kasus di Purworejo
menunjukkan posisi tawar para buruh tani lemah lebih-lebih karena adanya buruh
yang datang dari luar desa yang mau dibayar lebih rendah.
Interaksi di antara anggota cukup kuat baik di Jawa Tengah maupun
Sulawesi Utara. Interaksi terjadi tidak hanya dalam kegiatan kerja tapi juga
dalam kegiatan sosial. Jaringan sosial relatif kuat, bahkan ada yang sampai
turun temurun. Sementara jaringan kerja meluas hingga melewati batas desa
bahkan kecamatan. Sedangkan hubungan
antara majikan dan buruh rombongan buruh tanam-panen, hubungan kedokan dilanjutkan oleh anak
keturunannya. Sebagian besar hubungan bersifat stabil dalam arti seorang
majikan cenderung selalu menggunakan buruh yang sama pada kegiatan di musim
yang berbeda. Telah dicapai kecocokan di antara ke dua belah pihak, yakni
antara majikan dan buruh. Hal ini jelas terlihat di wilayah kerja mapalus di Sulawesi Utara.
Di Magelang yang merupakan wilayah yang memilki agroekosistem dataran
tinggi dengan komoditas sayuran yang dominan, partisipasi terhadap kelompok
kerja tradisional tenaga kerja masih tinggi. Kesempatan kerja cukup tinggi,
sehingga para buruh tani memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Di Purworejo,
dengan agroekosistem tanaman pangan dataran rendah, jumlah petani yang
berpartisipasi terdapat dalam proporsi yang lebih besar, yaitu mencapai 95,0
persen. Kesempatan kerja di usahatani bersifat musiman dan datangnya para buruh
tani dari luar menjadikan buruh tani setempat menghadapi persaingan yang ketat
dan memiliki posisi tawar yang lemah. Dengan demikian, bergabung dan
berpartisipasi dalam wadah ini merupakan cara untuk dapat meningkatkan
kesempatan kerja.
Di Sulawesi Utara bekerja sebagai buruh pada tanaman perkebunan,
khususnya pemetik kelapa, dapat dilakukan sepanjang tahun. Hal ini merupakan
alasan bagi sebagian buruh tani untuk tidak secara aktif berpartisipasi
terhadap kelompok tenaga kerja di desa mereka. Di Tomohon, tingkat partisipasi
lebih tinggi dibandingkan dengan Minahasa Utara, dimana seluruh petani turut
berpartisipasi. Pemilik kebun cengkeh cenderung memilih buruh petik yang baik
dari anggota mapalus. Artinya, dengan
berpartisipasi aktif dalam mapalus
akan lebih menjamin kesempatan kerja sebagai buruh pemetik cengkeh.
Penelitian Djauhari et al.
(2004) merupakan salah satu penelitian yang mempelajari bagaimana perkembangan
kinerja Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Hal ini penting dilakukan
karena BPTP merupakan bagian dari organisasi Badan Litbang yang umurnya relatif muda dan berperan
penting dalam penyediaan teknologi untuk petani.
Salah satu upaya yang dilakukan Badan Litbang Pertanian untuk
memperbaiki sistem diseminasi teknologi pertanian adalah dengan mengembangkan
program Jaringan Penelitian dan Pengkajian (JARLITKAJI). Kegiatan ini
dijalankan semenjak tahun 2000. Jarlitkaji
berupaya meningkatkan hubungan kerja sama sekaligus transfer kemampuan
dan manajemen penelitian antara peneliti di Puslit dan Balit nasional dengan
para pengkaji dan penyuluh di Balai Penelitian Teknologi Pertanian. Penelitian
tahun 2002 mendapatkan bahwa koordinasi antara Balit/Puslit dengan BPTP kurang
berjalan baik, sehingga seringkali teknologi yang dihasilkan Balit/Puslit
kurang sesuai dengan yang dibutuhkan BPTP, anggaran yang kurang memadai, dan
keragaman teknologi yang terbatas. Namun demikian, beberapa manfaat telah mampu
diraih oleh pengkaji dan penyuluh di BPTP berkat kerja sama langsung dengan
peneliti dari Balit/Puslit. Dalam
beberapa hal dominansi Balit/Puslit sangat terasa, namun bernilai positif
khususnya untuk lokasi dimana kemampuan staf BPTP masih lemah. Beberapa program
Jarlitkaji di Provinsi Bali, Salah satu pengkajian yang cukup berhasil adalah
pengembangan teknologi domba yang diintegarsikan dengan tanaman kakao di
Kelompok Tani Satwa Sari Ramban (Desa Bongancina, Kecamatan Busungbiu,
Kabupaten Buleleng). Ini kemudian dikembangkan menjadi kegiatan Prima tani yang
berjalan selama 5 tahun pada leih dari 200 lokasi.
Basis kelembagaan penyuluhan adalah masyarakat petani itu sendiri, bukan
lagi pemerintah ataupun lembaga penghasil teknologi lain, Pengembangan
agribisnis menjadi konsep utama dalam bangun kelembagaan, sedangkan aktivitas
transfer teknologi pertanian hanyalah merupakan satu bagian dari keseluruhan
sistem agribisnis tersebut. Kelembagaan penyuluhan harus dapat menjadi agen
pembangunan wilayah. Proses alih teknologi, mestilah dibangun dalam konsep
pengembangan agribisnis, dimana diseminasi teknologi hanya merupakan salah satu
subkegiatan dalam agribisnis tersebut.
Penelitian Suhaeti
et al. (2010) mempelajari dukungan
dan keberpihakan pemerintah daerah dalam pembangunan pertanian di wilayahnya.
Lokasi penelitian di Lampung, Jabar, dan Bali. Dari penelitian ini ditemukan
bahwa besaran alokasi anggaran daerah untuk pembangunan pertanian belum
mencerminkan pemihakan kepada sektor pertanian. Alokasi anggaran jauh dari
memadai, padahal janji-janji saat kampanye pemilihan kepala daerah sangat
menghibur.
Secara
keseluruhan, visi dan komitmen dan
keberpihakan pimpinan daerah terhadap pembangunan pertanian masih rendah dan
belum memadai. Selain itu, kompetensi dan penempatan SDM pertanian di daerah
belum mencerminkan adanya penyelenggaraan pembangunan pertanian yang terencana
dengan baik. Arah dan program pengembangan SDM pertanian belum memadai dan
gagal memberikan kontribusi pada pembangunan pertanian setempat. Temuan ini
sangat penting, dan dapat menjadi masukan untuk memperbaiki kebijakan dalam
pengembangan daerah, terutama bagi daerah-daerah yang potensi pertaniannya
dominan.
9.4. Organisasi
Petani
Penelitian Saptana et al.
(2003) merupakan penelitian yang
cukup berbeda. Jika biasanya objek studi di PSE-KP adalah petani dan rumah
tangganya, dalam penelitian ini objeknya adalah organisasi-organisasi petani.
Dengan membandingkan berbagai jenis dan tipe organisasi, diperoleh pengetahuan
yang agak berbeda dari studi-studi sejenis selama ini.
Dengan mencermati rancangan dan pelaksanaan berbagai program pembangunan
pertanian selama ini, diperoleh gambaran bahwa tujuan pembentukan organisasi
petani oleh pemerintah masih terfokus upaya pada peningkatan produksi melalui
penerapan teknologi produksi, untuk
memperkuat ikatan-ikatan horizontal belaka, dan lebih untuk tujuan distribusi
bantuan dan memudahkan kontrol. Bentuk
keorganisasian yang dikembangkan bersifat seragam dan terlalu bias pada
usahatani padi sawah. Pembinaan cenderung individual dengan menggunakan prinsip
trickle down effect, introduksi
inovasi lebih menekankan pada pendekatan budaya material dibanding nonmaterial.
Introduksi kelembagaan baru umumnya telah merusak kelembagaan lokal yang telah
ada sebelumnya. Di sisi lain, sikap dan
tindakan (aparat) pemerintah tampaknya memiliki pengetahuan yang lemah dalam
pemahaman di bidang lembaga dan organisasi.
Nilai-nilai kolektivitas petani belum dijadikan basis organisasi ekonomi
perdesaan. Masih dipertahankannya sistem kemitraan yang mengandung unsur
interdependensi yang sangat asimetris antarpelaku agribisnis di perdesaan.
Penelitian juga menemukan adanya tiga tahapan besar pengembangan
organisasi petani. Satu, pada Tahap Masyarakat Komunal, dimana
ketergantungan antarpenduduk tinggi dan campur tangan pihak luar rendah, ciri umum keorganisasian pada era ini adalah
jumlah organisasi relatif sedikit namun fungsinya banyak (multi purposed). Pada tahap
kedua, yakni semasa Orde Baru, berlangsung Penghancuran
Masyarakat Komunal, dimana invansi kekuatan atas desa terhadap masyarakat
desa begitu tinggi. Pada masa ini, terjadi perombakan struktur keorgansiasian
yang ada. Namun di Bali, introduksi organisasi baru tidak diikuti dengan perusakan
organisasi tradisional yang sudah ada. Sehingga saat ini ditemukan adanya
Banjar Dinas dan Banjar Adat, Desa Dinas dan Desa Adat serta lembaga pengairan
dan Subak.
Tahap
ketiga, terjadi penyusunan Komunalitas Baru, dimana pemerintah
mulai beralih dengan pendekatan baru yang lebih menghargai komunalitas lokal.
Peran kepemimpinan lokal kembali direvitalisasi. Dua kasus organisasi baru yang menggunakan
pendekatan ini adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali dan Unit Pengelola
Keuangan Desa (UPKD) di Bengkulu.
Berbagai bentuk transformasi keorganisasian
ditemukan, yaitu dapat berupa penggantian struktur atau hanya
penambahan struktur, namun ada juga transformasi pada aspek tujuan (perubahan
atau perluasan tujuan), maupun norma-norma yang dijadikan pegangannya.
Transformasi pada beberapa subak di Bali adalah berupa penambahan struktur
baru.
Satu temuan yang menarik dari studi ini adalah bahwa telah berlangsung
adanya tiga periodesisasi pengembangan organisasi petani merupakan sesuatu yang
baru. Pola seperti ini sebenarnya sudah berlangsung masif di berbagai wilayah
di Indonesia. Namun pembabakan seperti ini belum cukup detail menggambarkan
proses yang berlangsung.
Penelitian
lain yang juga mempelajari organisasi milik petani dilakukan Suhaeti et al. (2009). Penelitian
tentang integrasi P3A dengan kelompok tani dan Gapoktan dilakukan di Provinsi Bali, Jawa Timur dan Suwesi Selatan. Hasil
penelitian menemukan bahwa pemahaman Pemda dalam pemberdayaan masyarakat masih
terbatas pada aspek bantuan fisik, belum pada peningkatan kapasitas SDM secara
terprogram. Di sisi organisasi petani, kapasitas SDM masih terbatas sehingga
peran kepemimpinan organisasi hanya
dipegang oleh segelintir orang. Akibatnya, manfaat terbesar dari
berbagai bantuan lebih banyak dinikmati bukan oleh anggota organisasi. Khusus
di Bali, pemilihan ketua subak dilaksanakan secara demokratis dan mandiri.
Dalam
hal persepsi terhadap organisasi petani, sebagian petani peduli dan berharap
organisasi mampu mengangkat kesejahteraan mereka, namun sebagian tidak peduli
serta pesimis. Berbagai organisasi yang berada di tingkat desa termasuk
P3A/HIPPA dan kelompok tani, seharusnya berada dalam suatu payung organisasi
ekonomi dalam arti luas, sehingga mampu mentransformasi nilai-nilai pembangunan
seutuhnya kepada masyarakat desa. Organisasi dan jaringan organisasi ini harus
berbadan hukum dan bergerak dari hulu sampai ke hilir.
Dalam hal pengintegrasian, wacana untuk menempatkan Gapoktan sejajar
dengan subak dirasakan akan menjadi
ancaman bagi keberadaan subak di masa mendatang. Petani menginginkan Gapoktan
hanya menjadi bagian dari subak. Dari sisi kebijakan, agar terwujud integrasi,
perlu dilakukan evaluasi terhadap berbagai peraturan yang berkaitan dengan
pembentukan P3A, HIPPA, dan kelompok tani.
Kebijakan ini perlu menghargai persepsi petani
dan mengakomodasi ciri khas
masing-masing komunitas.
Di tahun yang sama, penelitian Suradisastra
et al. (2009) dengan judul “Perumusan
Model Kelembagaan Petani untuk Revitalisasi Kegiatan Ekonomi Perdesaan”
menemukan bahwa tidak ada model yang bisa menjadi bakuan umum untuk pembentukan
dan pengembangan organisasi petani. Dari sekian banyak organisasi yang
dipelajari, umumnya dicirikan oleh pola struktur yang minimal, lentur, serta
berevolusi dan berintegrasi dengan luar. Temuan ini relatif sejajar dengan
hasil riset Sedjati et al. (2002), dimana tidak ada
organisasi petani yang cukup kuat dan mandiri sehingga mampu menjadi motor
penggerak perekonomian perdesaan.
Lebih lengkap
penelitian Sedjati et al. (2002)
mendapatkan bahwa dalam tiga dekade pengamatanyan tidak ada program pemerintah
yang secara tepat bisa membangun sistem keorganisasian petani yang menghasilkan
kemandirian perekonomian perdesaan. Keorganisasian petani dalam konteks ini
mencakup keberadaan individual
organization milik petani seperti kelompok tani, Gapoktan dan koperasi;
serta relasi antar organisasi-organisasi tersebut sehingga menghasilkan suatu
kekuatan yang lebih.
Organisasi petani
yang dibangun tidak diarahkan untuk mampu menghadapi kekuatan ekonomi
perkotaan, juga tidak dibangun agar petani mandiri terhadap akses dan
pengelolaan sumber daya ekonomi pertanian dan perdesaan. Organisasi petani dibentuk hanya untuk
penyaluran bantuan dari pemerintah. Tidak ditemukan adanya integrasi antarorganisasi
pada pelaku ekonomi perdesaan, namun terpisah-pisah banyak pada subsektor.
Pada kasus yang
spesifik, Mayrowani et al. (2009) mempelajari keberadaan organisasi
Usaha Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA). UPJA merupakan organisasi yang dibentuk bila petani menerima bantuan
alat dan mesin pertanian dari pemerintah.
Ia menjadi syarat sehingga sekelompok petani dapat menerima bantuan
tersebut, sesuai dengan administrasi keproyekan. Dari hasil studinya, disimpulkan bahwa skala
ekonomi pengelolaan alisntan menjadi indikator yang penting yang menentukan
efisiensi kinerja organisasi UPJA. Jika UPJA mengelola lebih dari dua unit dan
dua jenis alat, maka baru mampu mencapai skala ekonomi. Ditemukan pula, bahwa
manajerial organisasi UPJA umumnya lemah, dimana belum ada pembukuan keuangan,
juga belum ada aturan main dalam organisasi.
Satu
hal yang menarik, ditemukan bahwa pengelolaan alat yang berasal dari bantuan
pemerintah lebih buruk dibandingkan bila alat tersebut milik sendiri. Ada
banyak penyebabnya, yaitu karena bantuan diturunkan tanpa didahului need assessment, tidak ada pendampingan
manajerial dari petugas, dan bantuan hanya berupa alat tanpa dilengkapi
komponen pendukung yang lain. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan bagi peneliti:
apakah UPJA sebuah organisasi ekonomi ataukah hanya organisasi untuk
menyalurkan bantuan pemerintah? Selain itu, pembentukan organisasi UPJA tidak
harmonis dan terkonsep dengan organisasi-organisasi lain milik petani yang di wilayah
bersangkutan.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar