BAB
XI. PENELITIAN PATANAS (PANEL
PETANI NASIONAL)
Penelitian Patanas merupakan penelitian berseri yang khas dari PSE-KP.
Penelitian ini dijalankan dalam jangka panjang dan dengan jumlah sampel yang
jauh lebih banyak dibandingkan riset-riset lainnya. Selain itu, variabel yang
dikaji juga relatif tetap. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dan
informasi yang lebih kuat, dan dalam konteks tertentu untuk melengkapi data
pertanian nasional.
Beberapa variabel yang selalu dilihat dalam penelitian Patanas adalah
penguasaan aset petani, produktivitas usahatani terutama komoditas utama,
kesempatan kerja dan migrasi, upah dan pendapatan, serta konsumsi dan
pengeluaran rumah tangga petani. Penelitian Patanas hampir tiap tahun
dijalankan, namun pada paparan berikut ini hanya disampaikan hasil-hasil
penelitian selama 10 tahun terakhir, yang disusun berdasarkan objek dan tahun
penelitian. Dapat diinformasikan pula bahwa buku yang memuat hasil-hasil
penelitian Patanas yang lebih lengkap akan segera disusun.
11.1. Struktur Sosial Ekonomi Perdesaan
Kondisi sosial ekonomi yang dihadapi menjadi struktur yang melingkupi
sekelompok masyarakat, yang berperan sekaligus sebagai pemberi peluang (empower) namun juga sebagai
penghambat (constrain) perkembangan masyarakat tersebut. Penelitian Hadi et al. (2003) menganalisis dinamika sruktur
sosial-ekonomi masyarakat perdesaan sebagai bentuk re-Sensus Patanas. Dari data
yang terkumpul diketahui bahwa di daerah yang berbasis tanaman pangan, penghasilan
utama masyarakatnya berasal dari nonpertanian, dan mereka banyak bermigrasi ke
luar desa. Sebaliknya di daerah yang berbasis tanaman nonpangan, penghasilan
utama masyarakatnya berasal dari hortikultura dan tebu.
Dari sisi agraria, sistem penggarapan lahan berubah
dari sistem yang
lebih sosial menjadi agak komersial. Demikian juga dalam hal hubungan kerja. Kebiasaan kerja gotong royong hampir hilang, dan berubah menjadi sistem borongan atau upah harian. Perubahan pola upah dan sistem panen merupakan indikator penting yang
menunjukkan telah terjadinya perubahan mendasar dalam relasi sosial di perdesaan,
dari bercorak komunalitas ke individualitas.
Sumber permodalan utama petani
umumnya dari modal sendiri. Permodalan dari kredit
perseorangan tersedia namun bunganya
sangat tinggi. Walaupun berbunga tinggi, karena kemudahannya banyak petani
memanfaatkan pinjaman semacam ini. Kondisi asset nonpertanian seperti rumah, sanitasi, dan penerangan semakin meningkat
kualitasnya.
Sementara, teknologi pengusahaan lahan dan
ternak belum banyak berubah. Karena itu, perlu digiatkan
introduksi teknologi yang mampu meningkatkan
produktivitas pertanian, pemberian bantuan kredit dengan bunga rendah, serta pembangunan agroindustri yang
berbasis bahan baku lokal.
Mengingat tingginya suplai tenaga kerja di desa, maka seluruh teknologi yang
ditawarkan diutamakan yang bersifat padat karya.
Tahun berikutnya, penelitian Nurmanaf et al. (2004) juga tentang
struktur sosial ekonomi masyarakat perdesaan. Sebagaimana sudah banyak
disampaikan dari data statistik, sebagian lahan yang diusahakan petani bukan lahan
milik. Petani menjadi menyakap, menyewa lahan petani lain, atau menggarap
dengan status lainnya. Ditemukan pula semakin maraknya fenomena migrasi tenaga
kerja yang sebagian besar ke sektor informal di perkotaan, akibat terbatasnya
keterampilan dan permodalan.
Dari sisi kesempatan kerja, sektor pertanian masih merupakan sumber
pendapatan yang dominan, akan tetapi perannya semakin tergeser oleh sektor
nonpertanian. Ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga ditemukan terutama
di desa-desa berbasis lahan sawah.
Ketimpangan ini diakibatkan oleh ketimpangan pemilikan lahan yang
ditunjukkan besarnya angka Indeks Gini. Satu hal menarik, pengeluaran rumah
tangga secara nominal lebih tinggi di desa-desa berbasis lahan kering
dibandingkan di desa-desa berbasis sawah.
11.2. Besar dan Bentuk Penguasaan Aset Lahan Usaha
Struktur penguasaan aset petani mengalami perubahan baik dari sisi
besaran maupun sifatnya. Penelitian Nurmanaf
et al. (2004) mendapatkan bahwa sebagian lahan yang
diusahakan petani bukan lahan miliknya sendiri. Banyak petani yang sudah
berstatus penyakap. Ironisnya, mereka menyakap di atas lahan yang dulu adalah
miliknya pribadi. Penelitian Sayaka et al.
(2004) di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan NTB menemukan data bahwa distribusi
kempemilikan lahan relatif tidak ada ketimpangan yang besar.
Selanjutnya, penelitian Irawan et al.
(2007) menunjukkan bahwa pemilikan lahan di Jawa lebih sempit dibandingkan
dengan luar Jawa (0,524 ha vs 0,528 ha), namun rataan kepemilikan sawah di Jawa
lebih luas dibandingkan dengan di Luar Jawa (0,451 ha vs 0,338 ha). Ketimpangan
distribusi pengusaan sawah di Jawa lebih besar dibandingkan dengan luar Jawa. Di
Jawa 17,6 persen petani menguasai 60 persen luasan sawah yang ada, sedangkan di
luar Jawa 25 pesen petani menguasai 60 persen luas sawah yang tersedia.
Penelitian ini dilakukan di bawah topik analisis indikator pembangunan
pertanian dan perdesaan. Analisis dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif
dan kuantitatif, dimana pengambilan berupa purposive
sampling dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang tersebar berdasarkan
luas penguasaan lahan. Sebaran lasan
lahan didasakan pada data blok-blok Sensus Pertanian 2003.
Berikutnya adalah penelitian Lokollo et
al. (2007) yang melakukan
perbandingan antar Sensus Pertanian. Metode PPA (Participatory Prospective Analysis) digunakan untuk menganalisis
dinamika sosial ekonomi perdesaan secara utuh dan memperkirakan kondisi di masa
mendatang melalui alternatif-alternatif yang ada. Ditemukan bahwa ketimpangan
distribusi pengusaan lahan meningkat cukup tinggi, yakni dari 0,5481 di tahun
1973 menjadi 0,7171 di tahun 2003. Petumbuhan petani gurem (pengusaan lahan
<0,5 ha) meningkat sebesar 2,39 persen per tahun.
Tim penelitian ini menemukan
pula bahwa kekhawatiran akan alih fungsi lahan pertanian cukup beralasan karena
terjadi pada lahan pertanian produktif dan penggunaan di luar sektor pertanian,
serta terjadi pada wilayah dengan infrastruktur baik. Dalam kompetisi global
yang tinggi dan terbatasnya pilihan investasi sektor nonpertanian, eksistensi
alih fungsi lahan pertanian tersebut tidak dapat dihindari. Pilihan kebijakan
yang dapat dipertimbangkan untuk mengantisipasi permasalahan tersebut
diantaranya adalah: (1) pengembangan usahatani bernilai ekonomi tinggi
(khususnya di Jawa) dengan aplikasi teknologi dan manajemen modern untuk
mencapai produktivitas dan efisiensi yang tinggi; (2) pengembangan sistem
irigasi secara bertahap dan pemanfaatan potensi sistem irigasi yang ada secara
maksimal; dan (3) pengembangan lahan pertanian baru di luar Jawa.
Khusus untuk desa berbasiskan palawija dan sayuran di lahan kering, penelitian Kustiari et al. (2008) mengambil
sampel 12 desa dari 50 desa Patanas. Agak berbeda dengan temuan lain, studi ini
mendapatkan bahwa sebagian besar petani menggarap lahan yang dikuasai. Petani
palawija menggarap 95 persen dari lahan yang dikuasai, sedangkan petani sayuran
menggarap 91 persen. Luasan pemilikan lahan terbesar berada pada kelas
pengusaaan lahan 0,01-0,25 ha yakni sebanyak 39 persen, kelas 0,26-0,50 ha
sebanyak 17 persen, kelas 0,51-1,00 ha sebanyak 21 persen, dan sisanya pada
kelas di atas 1,00 ha.
Dalam konteks yang relatif serupa, penelitian Susilowati et al. (2008) juga mempelajari karakteristik
sosial ekonomi petani khususnya tentang penguasaan lahan dan tenaga kerja.
Mereka mendapatkan bahwa struktur pemilikan lahan oleh rumah tangga
terkonsentrasi pada kelas luas lahan kurang dari 0,25 ha. Hal ini umum dijumpai pada agroekosistem
sawah dan lahan kering berbasis tanaman pangan. Selama periode 1995-2007
pemilikan lahan cenderung menurun, terutama terjadi di Jawa. Penurunan luas kepemilikan lahan seiring
dengan konversi lahan yang semakin meningkat. Perubahan struktur pemilikan
lahan berpengaruh terhadap perubahan pola hubungan kerja yang diterapkan,
dimana sistem gotong royong semakin tidak populer.
Ditemukan pula bahwa luas penguasaan rumah tangga
perdesaan di Pulau Jawa tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan, sedangkan
di Luar Jawa berpengaruh nyata. Hal ini terkait dengan peranan sektor
nonpertanian dalam struktur pendapatan rumah tangga.
Penelitian yang lebih baru dilakukan oleh Susilowati et al.
(2009) dengan topik yang sama yaitu mempelajari indikator pembangunan
pertanian dan perdesaan. Desa contoh dari studi ini merupakan sub-set desa
contoh Patanas terdahulu yang merupakan contoh desa komoditas kakao, kelapa
sawit, karet, dan tebu.
Pada desa-desa sampel ini, lebih dari 80 petani merupakan petani
pemilik-penggarap. Sudah banyak berkembang pola sewa, sakap, dan gadai. Jika
dibandingkan antarkomoditas, kepemilikan luas lahan petani karet adalah yang
terbesar (2,7-3,1 ha/KK), diikuti petani kelapa sawit (2,3-2,7 ha) dan terakhir
petani tebu (0,3-0,6 ha). Angka Indeks Gini menunjukkan ketimpangan lahan yang
rendah untuk karet, ketimpangan sedang untuk komoditas kakao dan kelapa sawit,
dan ketimpangan tinggi untuk komoditas tebu.
Terakhir,
penelitian Susilowati et al. (2010) dengan topik sama yang
dijalankan pada 14 kabupaten di Provinsi
Sumut, Jabar, Jatim, dan Sulsel, dengan cakupan analisis untuk periode tahun
2007 sampai 2010. Ditemukan bahwa pemilikan
lahan cenderung mengarah ke polarisasi dan distribusi pemilikan semakin
timpang. Polarisasi ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan luas pemilikan
lahan pada kelompok luas di bawah 0,5 ha dan di atas 1,25 ha.
11.3. Penggunaan
Teknologi, Produksi, dan Produktivitas Usahatani
Penelitian Irawan et al.
(2003) dijalankan untuk mengetahui
penyebab perlambatan produksi komoditas tanaman utama di Indonesia.
Komoditas yang dikaji dalam penelitian ini meliputi padi sawah, padi ladang,
jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar. Kajian dilakukan di
Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Komoditas yang mengalami perlambatan laju poduksi umumnya terjadi di Luar
Jawa dan terjadi pada empat komoditas yaitu padi sawah, kedelai, kacang tanah,
dan ubi kayu. Perlambatan laju produksi padi disebabkan oleh perlambatan laju
produktivitas, mutu usahatani, dan kelelahan lahan. Perlambatan laju luas lahan
bukan karena peralihan perubahan pola tanam dari padi ke komoditas lain. Dengan
kondisi ini, disarankan untuk memindahkan sentra produksi dari Jawa ke luar
Jawa. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang mempertimbangkan apakah daerah tersebut
daera sentra dan penyangga, dan perlunya pula memanfaatkan lahan tidur yang
potensinya sangat besar. Saran dari penelitian ini akhirnya direalisasikan
salah satunya dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Relatif serupa dengan ini adalah penelitian Sayaka et al. (2004) tentang penurunan dan ketidakstabilan produksi padi.
Ketidakstabilan produksi nasional dan regional diestimasi dengan koefisien Gini,
sementara kesenjangan hasil padi diukur dengan metode ALES (Automated Land Evaluation System), dan efisiensi
produksi didekati dengan fungsi produksi frontier.
Data yang terkumpul menunjukkan telah terjadi pelandaian total produksi
padi. Usahatani padi masih mendatangkan keuntungan dengan kisaran antara Rp 1,2
juta sampai Rp 2,9 juta per ha, dimana efisiensi teknis rata-rata sebesar 67,5 persen. IP padi berkisar antara 100 sampai dengan 140
persen. Direkomendasikan bahwa peningkatan produksi di lahan sub optimal dapat
ditempuh dengan meningkatkan efisiensi dan menambah indeks pertanaman padi.
Pemerintah tidak perlu terlibat langsung dalam penyaluran sarana produksi, yang
lebih diperlukan adalah membuat iklim usaha yang lebih baik.
Satu penelitian lain, oleh Irawan et
al. (2007) menemukan bahwa indeks pertanaman padi umumnya mencapai 200-300
persen. Penggunaan benih sebagian besar menggunakan benih sendiri atau
merupakan benih tanpa label. Varitas
padi yang dominan di lapangan adalah Ciherang dan IR-64. Penggunaan Alsintan
pada umumnya hanya untuk pengolahan tanah dan panen (untuk merontok gabah), sedangkan
untuk yang lainnya masih menggunakan tenaga manusia. Keuntungan usahatani padi
sangat menarik, dimana nilai R/C padi mencapai 3,03.
Untuk teknologi yang lain, hampir semua petani menggunakan pupuk
pabrikan, terutama urea. Ke depan, untuk peningkatan produktivitas padi, pemerintah
perlu memberikan benih gratis yang berguna selain meringankan petani adalah
untuk mempercepat adopsi teknologi baru, melakukan pengendalian harga gabah,
disertai dengan peningkatan jumlah penyuluh pertanian.
Sementara, tim penelitian Lokollo et
al. (2007) menemukan bahwa adopsi teknologi oleh petani bervariasi menurut
komoditas. Penggunaan benih padi, jagung,
dan kedelai yang berasal dari pembelian cenderung meningkat. Pupuk urea masih
mendominasi jenis penggunaan pupuk, dibandingkan pupuk TSP/SP36 dan KCl. Namun
demikian, ada indikasi ke penggunaan pupuk yang semakin berimbang.
Pada sektor peternakan, penggunaan pakan pabrikan masih mendominasi,
walaupun demikian penggunaan pakan hijauan juga ada peningkatan. Secara umum, pemanfaatan
kredit untuk pemenuhan modal usaha selama periode 30 tahun terakhir cenderung
meningkat, sedangkan pemanfaatan pegadaian cenderung menurun.
Relatif sejalan dengan temuan ini, petani sesungguhnya telah memahami semua tentang standard dan
anjuran teknologi usahatani. Kondisi ini
ditemukan di setiap wilayah studi, namun
belum semua petani menerapkan anjuran
tersebut (Susilowati et al., 2009). Kendalanya adalah pada harga dan ketersediaan
teknologi di level petani yang belum optimal.
11.4. Kesempatan Kerja, Upah, dan Pendapatan RT
Dari beberapa penelitian dengan topik ini, yang disusun berdasarkan
tahun kegiatan, penelitian Rusastra et al.
(2004) tentang ketenagakerjaan menemukan bahwa sektor pertanian di daerah
sampel masih merupakan sumber kesempatan kerja dominan. Indikator pembangunan
SDM (HDI) dan indikator kemiskinan (HPI) merupakan indikasi kesejahteraan dan
kualitas hidup masyarakat. Keterkaitan
HDI dengan kesempatan kerja dan HPI di tingkat nasional dan regional
lokasi penelitian (Jateng dan Sulsel) menunjukkan tidak adanya pembedaan yang
berarti pada indikator HDI secara regional (kabupaten dan provinsi). Perbedaan
kinerja kesempatan kerja dan PDB nampak terkait dengan masalah ketersediaan dan
akses ekonomi serta iklim investasi. Konsekwensinya, pengembangan kemampuan SDM
(HDI) harus bersifat komplemen dengan pengembangan investasi dan sektor riil.
Ragam kesempatan kerja dan pendapatan yang lebih baik di Jawa, ternyata diikuti
oleh indek kemiskinan yang lebih rendah.
Perekonomian
nasional didominasi oleh sektor pertanian dan sektor informal dengan
kelembagaan pasar tenaga kerja yang relatif longgar dan bersifat adaptif.
Sektor pertanian dengan sifatnya yang akomodatif menampung tenaga kerja
melebihi kapasitasnya, dengan beban pengangguran terselubung yang tinggi.
Disamping pengangguran yang bersifat terbuka yang besarnya sekitar 9 juta
orang, proporsi setengah pengangguran di sektor pertanian (2000-2003) mencapai
sekitar 31,14 persen. Hal ini berdampak terhadap rendahnya produktivitas tenaga
kerja sektor pertanian.
Tidak
dijumpai konvergensi upah antarsektor
(pertanian,
manufktur, dan jasa) dan wilayah. Pasar tenaga
kerja ditentukan oleh akses ekonomi wilayah, jenis komoditas yang diusahakan,
dan dinamika kelembagaan lokal. Dinamika kelembagaan sistem pengupahan
menunjukkan kecenderungan pergeseran ke sistem borongan dan harian. Kecuali
kegiatan tanam dan menyiang di Selli (Bone, yang basis padi), sistem pengupahan harian dan borongan
merupakan pola umum yang sedang berkembang. Sistem pengupahan menjadi semakin
formal dengan antisipasi akan semakin menurunnya fleksibilitas pasar tenaga
kerja. Namun, masuk pasar tenaga kerja pertanian tetap bersifat terbuka.
Usahatani
padi bersifat padat tenaga kerja dengan kecenderungan menurun pangsa biaya
tenaga kerjanya, sedangkan usahatani jagung dan kentang bersifat padat modal. Respon tenaga kerja terhadap produksi untuk padi,
jagung, dan kentang bersifat inelastis. Secara umum elastisitas tenaga kerja yang padat modal nilainya lebih
baik. Ini menunjukkan bahwa involusi pertanian masih berlangsung.
Berikutnya adalah penelitian
Malian et al. (2004) dengan objek pada aset,
kesempatan kerja, dan pendapatan rumah tangga. Mereka menemukan bahwa luasan
kepemilikan lahan semakin menurun, yakni dari 1,05 ha per
rumah tangga pada tahun 1963 menjadi 0,86 ha per rumah
tangga pada tahun 1983. Petani penyakap semakin bertambah, sehingga usaha
peningkatan pendapatan petani semakin sulit, karena bagian yang didapatkan
lebih kecil jika dibandingkan dengan milik sendiri. Penggunaan Alsintan cenderung menggunakan alat yang lebih
kecil, karena harga yang lebih murah dan lebih mudah pengoperasiannya.
Selama periode 1985-2003, perubahan pangsa pekerja sektor pertanian
relatif kecil yang hanya berkisar antara 40-55 persen. Jumlah pekerja pertanian
dan pertanian terkonsentrasi di Indonesia bagian barat, dimana 90 persen pekerja yang masuk ke Sumatera berasal dari
Jawa, dan sebaliknya sebanyak 68,8 persen pekerja yang masuk ke Jawa berasal
dari Sumatera. Lebih dari 80 persen sumber pendapatan rumah tangga petani di
Indonesia berasal dari usahatani, 12 persen dari berburuh tani dan sisanya (8%)
berasal dari kegiatan nonusahatani.
Selama 1975-2000 telah terjadi kesenjangan upah dan gaji antara rumah
tangga pertanian dan nonpertanian. Sebelum krisis (1997) rasio pendapatan
golongan nonpertanian dengan buruh tani berkisar antara 6 sampai 8.
Penelitian Saliem et al.
(2005), mendapatkan hal yang sama bahwa sektor pertanian masih merupakan
penyedia lapangan kerja terbesar, dimana yang paling dominan adalah pada
subsektor padi, subsektor tanaman sayuran, dan buah–buahan. Meskipun kontribusi
sektor pertanian dalam penyediaan lapangan kerja masih dominan, tetapi kontribusinya
dalam penciptaan nilai tambah bruto menurun. Ketimpangan kompensasi terhadap
tenaga kerja antarsektor dilihat dengan cara membagi total gaji dan upah pada
masing-masing sektor tersebut dengan jumlah tenaga kerja yang diserap disektor
lain. Dari penelitian ini dihasilkan kesimpulan bahwa peningkatan kompensasi
tenaga kerja di sektor pertanian sangat kecil dan lebih rendah dari sektor
lain.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ragam kegiatan ekonomi semakin
meningkat. Namun separuh dari rumah tangga petani berpendapatan di bawah 5 juta
rupiah per tahun. Dan dinamika kependudukan dan perekonomian di tingkat desa
relatif searah dengan perkembangan di tingkat wilayah yang lebih tinggi.
Perubahan struktur pendapatan rumah tangga bervariasi tidak hanya menurut lokasi
(desa-kota), tetapi juga menurut kelas pendapatan, sumber mata pencaharian
utama KK maupun agroekosistem wilayah. Terdapat kecenderungan semakin tinggi
tingkat pendapatan semakin rendah pangsa pendapatan yang berasal dari sektor
pertanian. Analisis indeks entropy di
tingkat rumah tangga mengindikasikan diversifikasi sumber pendapatan rumah
tangga bervariasi menurut lokasi (desa-kota), kelompok pendapatan, sumber mata
pencaharian utama KK, maupun daerah.
Hasil penelitian Irawan et al. (2007) menyebutkan bahwa tingkat
pengangguran di Jawa lebih rendah dibandingkan dengan di Luar Jawa (21 vs 34 persen). Alokasi tenaga kerja untuk
kegiatan usahatani hanya berkisar 30-40 persen, dan sisanya untuk usaha
nonpertanian. Artinya, kesempatan kerja di perdesaan tidak lagi bergantung
sepenuhnya pada kegiatan di pertanian, karena telah berkembang pula kesempatan
lain. Sementara, dari sisi sistem pengupahan, upah borongan (60 persen) lebih mendominasi
dibanding bentuk pengupahan yang lain yakni upah harian dan sambatan. Sumber
pendapatan utama petani reponden adalah dari pertanian, yakni sekiar 59-98
persen.
Sejalan dengan ini, penelitian Lokollo et al. (2007) juga
mendapatkan bawa sumber pendapatan yang dominan pada responden masih dari sektor
pertanian, secara rata-rata mencapai 60,49 persen. Penelitian ini mendapatkan
bahwa proporsi petani menurun, tapi proposi buruh tani dan nonpertanian
meningkat. Subsektor tanaman pangan ternyata
lebih mendominasi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dibanding yang lain.
Penduduk usia muda tampaknya kurang tertarik berprofesi di sektor pertanian, yang
ditunjukkan oleh penurunan jumlah tenaga kerja umur muda di sektor pertanian,
di lain pihak pekerja usia lanjut cenderung meningkat.
Selama periode 20 tahun (1983-2003) secara umum akses petani ke sarana
kesehatan cenderung stabil. Petani di
Jawa lebih dominan memakai pelayanan praktek umum, sedangkan di Luar Jawa lebih
memanfaatkan rumah sakit.
Penggunaan metode Participatory
Prospective Analysis (PPA) untuk melihat keadaan tahun 2020
menghasilkan tiga skenario. Secara umum
ketiga skenario tersebut dengan kondisi di mana peran pemerintah masih sangat
diperlukan untuk pembangunan pertanian dan perdesaan. Peran pemerintah yang
diperlukan baik dalam menciptakan kondisi yang kondusif terhadap kebijakan,
investasi, pembangunan infrastruktur, konservasi lahan dan air, serta melakukan
lobi pada negara-negara anggota WTO untuk melakukan perlawanan terhadap
negara-negara maju, dalam rangka menciptakan keadaan yang kondusif untuk mencapai
efesiensi produksi pertanian dan pembangunan perdesaan. Untuk meningkatkan
pendapatan sektor pertanian, agar sektor ini tidak diberi beban yang besar
untuk menyerap tenaga kerja perdesaan yang pada umumnya memiliki tingkat
pendidikan yang rendah (unskilled-labor).
Dukungan pemerintah terhadap sektor tersebut seharusnya lebih dapat
dioptimalkan terutama untuk penyediaan infrastruktur perdesaan.
Dapat pula ditambahkan bahwa dari studi Susilowati et al.
(2008), tingkat pendapatan rumah tangga petani di agroekosistem lahan
kering berbasis perkebunan secara umum lebih tinggi dibanding agroekosistem
lain. Hal ini karena penguasaan lahan yang lebih luas per rumah tangga petani.
Secara umum, luas penguasaan rumah tangga perdesaan di Jawa tidak berpengaruh
nyata terhadap pendapatan, sedangkan di Luar Jawa berpengaruh nyata. Hal ini
terkait dengan peranan sektor
nonpertanian dalam struktur pendapatan rumah tangga.
Ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga yang
tertinggi terdapat pada komoditas padi sawah dan ketimpangan terendah terdapat
di komoditas perkebunan. Terdapat pengaruh nyata distribusi pemilikan lahan
terhadap distribusi pendapatan rumah tangga petani. Dengan kata lain,
distribusi pemilikan lahan merupakan determinan distribusi pendapatan rumah tangga
petani. Sementara, distribusi pemilikan lahan dan pendapatan tidak berpengaruh
nyata terhadap produktivitas usahatani, namun lebih pada harga gabah dan
tingkat intensifikasi usahatani.
Partisipasi kerja rumah tangga cenderung berubah dari kegiatan usahatani
ke nonpertanian. Pekerja muda dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, atau
pada petani dengan pemilikan lahan lebih sempit; cenderung bekerja campuran dengan
mengkombinasikan pekerjaan di pertanian dengan di luar pertanian. Banyak pula
yang mengandalkan di sektor luar pertanian. Sementara, petani dengan tingkat
pendidikan rendah (di bawah 3 tahun), lebih banyak terlibat di kegiatan buruh
tani dan usahatani.
Terdapat fenomena “aging farmer”
yakni semakin menuanya umur petani. Namun,
umur yang tua tidak berpengaruh nyata dalam produktivitas usahatani, bahkan
terdapat indikasi (meskipun lemah) bahwa petani yang lebih tua mampu
menghasilkan produktivitas lebih karena faktor kapabilitas manajerial dan
pengalaman yang tinggi. Faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi peluang
petani bermigrasi untuk buruh migran adalah faktor yang melekat pada individu,
sedangkan bagi pengusaha migran lebih banyak dipengaruhi oleh faktor penciri
rumah tangga.
Penelitian Haeruman et al.
(2008) mempelajari dampak diversifikasi usahatani terhadap ketahanan pangan dan
pendapatan petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani cenderung
semakin terdiversifikasi pada lahan dengan ketersediaan air cukup. Ketersediaan lahan dengan air yang cukup
diperlukan dalam melakukan diversifikasi agar tanaman memiliki peluang besar
untuk menghasilkan. Diversifikasi berpengaruh positif terhadap pendapatan
maupun ketahanan pangan walaupun dengan derajat pengaruh yang kecil. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk
mengintegrasikan usaha diversifikasi dengan pengembangan pasar.
Terakhir, penelitian Kusnadi et
al. (2008) tentang marketable surplus
beras. Secara umum studi ini menunjukkan bahwa berdasarkan besaran dan
faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketable
surplus telah terjadi perubahan orientasi petani dalam mengusahakan padi
dari subsisten ke arah komersial sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi
masyarakat dan ketersediaan infrastruktur. Namun demikian, ciri-ciri
subsistensi masih tetap melekat pada komoditas padi.
Marketable surplus di
agroekosistem sawah rata-rata lebih besar dibandingkan dengan di agroekosistem
nonsawah. Nilai marketable surplus
juga lebih besar di Pulau Jawa dibandingkan dengan marketable surplus di Luar Jawa. Perbedaan ini disebabkan karena usahatani
padi sawah di Pulau Jawa lebih terspesialisasi, proporsi pendapatan usahatani
padi lebih besar; perbedaan pasar tenaga kerja di Pulau Jawa lebih kompetitif
dan semakin sulit dan cara penjualan dengan tebasan lebih banyak. Selain itu, luas
lahan yang dimiliki di luar Jawa lebih merata, sehingga walau pengaruhnya ada
namun tidak begitu nyata.
Sebagian besar petani pada agroekosistem sawah pada MH dan MK di Jawa dan Luar Jawa menjual
hasil gabahnya secara sekaligus kemudian diikuti dengan cara bertahap dan
tebasan. Alasan melakukan penjualan
secara sekaligus karena butuh uang
tunai, mengurangi risiko, dan kekurangan
sarana untuk pengeringan dan penyimpanan. Jika dipilah berdasarkan daerah Jawa
dan Luar Jawa, alasan utamanya sama, namun besarannya yang berbeda. Pada
agroekosistem sawah, bentuk gabah yang penjualannya sekaligus sebagian besar
berupa gabah kering panen (GKP); sedangkan pada cara penjualan bertahap bentuk
gabah yang dijual umumnya dalam bentuk GKS dan sebagian berupa GKP. Pada agroekosistem
nonsawah, keterbatasan produksi menyebabkan gabah yang dihasilkan sebagian
digunakan untuk konsumsi. Sisa untuk konsumsi dijual dengan cara bertahap. Karena
itu pada lokasi ini banyak petani yang menjual secara bertahap dalam bentuk
GKS.
Karakterisitik sosial ekonomi yang berpengaruh
nyata terhadap marketable surplus
adalah jumlah anggota keluarga dan pendapatan total rumah tangga. Semakin besar jumlah keluarga maka marketable surplus semakin kecil, dan
sebaliknya. Variabel lain, yaitu luas lahan dan proporsi penggunaan tenaga
kerja luar keluarga, secara statistik tidak berpengaruh nyata. Namun ada kecenderungan makin luas lahan
usahatani yang dikuasai petani marketable
surplus makin besar. Sebaliknya, makin besar proporsi jumlah penggunaan
tenaga kerja luar keluarga, marketable
surplus makin kecil. Perbaikan harga gabah cenderung lebih efektif
dirasakan petani pada agroekosistem sawah dibandingkan dengan agroekosistem
nonsawah. Namun tidak banyak mempengaruhi pengelolaan usahatani akibat
kepemilikan lahan yang sempit, fasilitas irigasi yang terbatas, dan harga pupuk
yang makin mahal.
Sementara, penelitian Kustiari
et al. (2008) menyimpulkan bahwa dari
sisi tenaga kerja, tenaga kerja berumur di atas 15 tahun menduduki porsi
terbessar yaitu sebesar 74 persen. Pendidikan tenaga kerja yang dominan hanya
sampai tingkat SD. Apabila dibandingkan antardaerah palawija dan sayuran,
tenaga kerja di daerah palawija yang lulus SMP keatas lebih sedikit (27 %)
sedangkan di daerah sayuran sekitar 50 persen. Lalu, 14 persen dari tenaga
kerja yang ada di desa contoh melakukan migrasi. Dari jumlah tersebut, yang lulus SD mencapai
45 persen, selebihnya berturut-turut 26 persen, 17 persen, dan 5 persen untuk
SMP, SMA dan lainnya.
Sebagian rumah tangga contoh mempunyai sumber penghasilan lebih dari dua. Kegiatan pertanian merupakan sumber
penghasilan utama. Pendapatan sektor pertanian dan sektor nonpertanian
berkorelasi rendah, kecuali bagi petani yang berlahan luas (>1 ha). Hal ini karena
hasil dari pertanian diinvestasikan untuk sektor nonpertanian. Pendapatan usaha
tani merupakan sumber pendapatan dominan bagi petani sayuran, akan tetapi hal
sebaliknya terjadi bagi petani palawija. Buruh tani rata-rata bekerja selama
setahun hanya 100 hari. Rendahnya jumlah
hari kerja dalam setahun menyebabkan kemiskinan.
Index Gini di desa palawija menunjukkan kategori rendah sampai sedang,
sedangkan di desa sayuran mengindikasikan ketimpangan sedang. Hukum Engle, yang
menyatakan makin tinggi pengeluaran rumah tangga akan makin rendah porsi untuk
pengeluaran pangan, tidak ditemukan di desa sampel.
Dari penelitian ini pula, hanya 32 peresn petani palawija yang mampu
membeli pupuk urea sesuai jumlah yang diinginkan. Biaya produksi palawija
didominasi oleh biaya tenaga kerja, sedangkan biaya produksi sayuran didominasi
oleh biaya input produksi. Modal untuk pengadaan pupuk dan obat-obatan merupakan kendala utama bagi sebagian besar
petani. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut petani meminjam ke pedagang sarana produksi.
Khusus untuk petani pekebun, tingkat
partisipasi kerja secara rataan sebesar 66,9 persen, dimana partisipasi
tertinggi terdapat pada petani tebu dan terendah pada petani kakao. Pada
intinya, sektor pertanian masih merupakan sumber pekerjaan utama menyerap yang 77,4
persen kesempatan kerja di perdesaan (Susilowati et al., 2009). Dari penelitian ini juga didapatkan bahwa pangsa
pendapatan pertanian memberikan kontribusi berkisar antara 43-80 persen dari
total pendapatan. Distribusi pendapatan yang tertimpang terdapat pada komoditas
sawit dan kakao dengan indeks gini 0,52, diikuti oleh komoditas tebu (0,41),
dan yang paling merata adalah komoditas karet (0,32). Nilai tukar petani
(NTPRP) lebih besar dari 1 di seluruh lokasi, yang mengindikasikan bahwa seluruh
rumah tangga berada dalam kondisi sejahtera, menurut indikator tersebut.
Pada penelitian
yang paling akhir, Susilowati et al.
(2010), kontribusi pendapatan dari sektor pertanian menyumbang
lebih dari 50 persen terhadap pendapatan rumah tangga di perdesaan. Pendapatan
rumah tangga selaras dengan luas penguasaan lahan pertanian. Distribusi
pendapatan pertanian menunjukkan kesenjangan yang semakin lebar.
11.5. Tingkat dan Ragam Konsumsi Rumah Tangga
Ada beberapa penelitian Patanas atau yang menggunakan responden “petani
sampel Patanas” yang mempelajari konsumsi rumah tangga petani. Dari tim penelitian
Irawan et al. (2007) disimpulkan bahwa alokasi pengeluaran dari pendapatan total rumah tangga untuk
pangan di Luar Jawa lebih besar jika dibandingkan dengan di Jawa, yakni 55 vs 50-52
persen. Pola asupan pangan yang dominan berupa karbohidrat yang berasal dari
beras, sedangkan asupan protein (lauk-pauk) tampak masih kurang.
Selanjutnya,
penelitian Harianto et al. (2008)
tentang konsumsi dan pengeluaran rumah tangga, membandingkan kondisi tahun 1999 dengan 2005.
Secara umum selama periode ini, telah terjadi perubahan pola pengeluaran dan
pola konsumsi rumah tangga di Indonesia. Perubahan
tersebut mengarah ke perbaikan dan peningkatan kesejahteraan rumah tangga
dengan besaran perubahan bervariasi menurut karakteristik sosial ekonomi.
Namun demikian,
pangsa pengeluaran untuk pangan masih dominan dalam struktur pengeluaran rumah
tangga. Di antara kelompok pangan, pangsa pengeluaran untuk beras lebih dominan terhadap struktur pengeluaran rumah tangga.
Kondisi tahun 2007–2008 menunjukkan bahwa kenaikan harga pangan yang
dipicu oleh kenaikan harga BBM tahun 2005 telah menimbulkan dampak negatif
terhadap pola konsumsi, yakni menurunnya kualitas konsumsi dan kegiatan
usahatani. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola konsumsi, sebelum dan setelah
kenaikan harga BBM, tidak berbeda nyata.
Pangan dengan sumber protein tinggi peka terhadap perubahan harga dan
perubahan pendapatan.
Beras masih merupakan sumber karbohidrat yang dominan. Konsumsi per kapita cenderung menurun dengan
meningkatnya pendapatan rumah tangga, dan diversifikasi pangan terkait erat
dengan tingkat pendapatan. Makin membaik
pendapatan rumah tangga maka sumber kalori makin beragam pula. Rumah tangga
yang masuk dalam kategori pendapatan tinggi makin mengurangi konsumsi kalori
yang bersumber dari beras, sebaliknya makin meningkatkan konsumsi dari mie,
terigu, telur, daging ayam, dan susu.
Konsumsi terbesar rumah tangga petani di desa contoh adalah untuk
kelompok padi-padian sebagai sumber karbohidrat, berikutnya adalah pangan
hewani, sayuran, serta untuk tembakau dan sirih (Kustiari et al., 2008). Pengeluaran
bukan pangan terbesar dibelanjakan untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga,
kemudian diikuti oleh pendidikan. Untuk kedua
komponen tersebut nilainya mencapai 60 persen dari seluruh pengeluaran
nonpangan.
Terakhir, dari penelitian Susilowati
et al. (2009) dijumpai bahwa pangsa pengeluaran pangan
terhadap total pengeluaran rumah tangga berkisar pada 61-65 persen. Pangsa pengeluaran
terendah ditemui di wilayah agroekosistem berbasis kakao dan yang tertinggi di
wilayah karet. Pengeluaran pangan untuk pangan pokok berkisar 16.2-32
persen. Kelompok pengeluaran yang cukup
tinggi untuk pangan hewani dan rokok, sedangkan untuk sayuran dan buah-buahan
tergolong rendah. Pengeluaran nonpangan tertinggi untuk BBM, kedua untuk
pendidikan, dan selanjutnya untuk kegiatan sosial.
Tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai 100
persen, kecuali di wilayah berbasis kakao dan tebu masing-masing 95 dan 97,5
persen. Partisipasi konsumsi kedua terbesar adalah untuk mie instant yang
mencapai 79-90 persen. Secara kuantitas, konsumsi energi rata-rata sudah di
atas standar kecukupan, akan tetapi komposisi sumbangan dari jenis bahan yang
dikonsumsi belum ideal. Konsumsi beras
dan gula berlebih masing-masing sebesar 8,8 dan 2,5 persen dari standar ideal yang
dianjurkan.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar