Sepanjang tahun 2015 ini, berkembang pemikiran yang
pro dan kontra terhadap keberadaan penyuluhan pertanian di daerah. Hal ini bertolak
dari multi tafsir terhadap UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Akarnya adalah karena ketiadaan frasa “penyuluhan pertanian” dalam UU ini, ditambah
oleh resentralisasi penyuluhan perikanan yang kembali menjadi urusan pusat,
sedangkan Penyuluhan Kehutanan menjadi urusan pemerintah provinsi. Keberadaan
penyuluhan di level provinsi dan kabupaten/kota yang selama ini merupakan
gabungan tiga kementerian dikuatirkan akan menjadi lemah.
Urusan
pemerintah sektor pertanian dalam UU 23 tahun tahun 2014 hanya dimuat dalam
dua matrik lampiran yakni urusan pemerintahan bidang pertanian (Lampiran AA) serta
bidang pangan (Lampiran I). Penyuluhan pertanian tidak dicakup oleh kedua
urusan ini, sehingga banyak yang memaknai bahwa seolah-olah penyuluhan pertanian
akan “dihilangkan” di daerah.
Padahal
jika dicermati dengan baik, maka UU 23 tahun 2014 sesungguhnya tetap mendukung
eksistensi kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah, sebagaimana juga
berbagai undang-undang lain sektor pertanian. Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Pemda
ini menjelaskan mekanisme pembentukan urusan pemerintahan sebagai dasar pembentukan
kelembagaan di daerah, yakni dengan menyusun Peraturan Presiden. UU
pemerintahan daerah lahir untuk mewujudkan otonomi daerah dengan azas utamanya
adalah desentralisasi. Desentralisasi dalam penyuluhan (decentralize extension) bermakna sebagai “Promote pluralism in extension by
involving public, private and civil society institutions”.
Bagaimanapun kita semua mengakui bahwa puluhan ribu petugas
penyuluh pertanian yang ada saat ini merupakan sumberdaya birokrasi dan
manajemen pembangunan pertanian yang menjadi tulang punggung Kementerian
Pertanian semenjak era Bimas sampai dengan era UPSUS saat ini. Negara pun
menjamin keberadaan penyuluhan pertanian. Selain UU 23 tahun 2014, setidaknya ada
enam peraturan perundangan lain yang mendukung pembentukan penyuluhan pertanian
di daerah.
UU 23 tahun 2014 mengamanatkan pembentukan Perpres
Pemerintah
mengeluarkan UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah menggantikan UU No 32 tahun 2004. UU ini sangat strategis karena mengatur pembagian
urusan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam semua aspek penyelenggaraan
pemerintahan.
Berkenaan
dengan penyuluhan, Pasal 15 secara jelas menyebutkan bahwa penyuluhan pertanian
merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah yang dilaksanakan
secara konkurensi. Hal ini berimplikasi kepada pengelolaan sistem penyuluhan
dalam hal peningkatan kompetensi, pengembangan profesionalitas dan juga karir
penyuluh pertanian.
Selengkapnya,
Pasal 15 ayat (2) berbunyi: “Urusan
pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-Undang ini
menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya
menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13”. Lalu Ayat (3): “Urusan
pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden”.
Pelaksanaan
secara kongkurensi ini tentu sangat sejalan dengan konsep otonomi daerah,
dengan berbasiskan prinsip mendekatkan pelayanan penyuluhan kepada petani yang
tersebar luas dengan tingkat keterbatasan komunikasi dan trasnportasi yang
beragam. Artinya, desentralisasi urusan penyuluhan merupakan suatu keniscayaan.
Pendapat ini juga diperkuat oleh Pasal 345, dimana: (1) Pemerintah Daerah wajib
membangun manajemen pelayanan publik dengan mengacu pada asas-asas pelayanan
publik, dan (2) Manajemen pelayanan publik meliputi salah satunya adalah penyuluhan
kepada masyarakat (ayat 2 point e).
Landasan Konstitusi Pembentukan Kelembagaan Penyuluhan
Pertanian di Daerah
Pada
hakekatnya, seluruh peraturan dan kebijakan yang berkenaan dengan pembangunan
pertanian mengamanatkan pembentukan kelembagaan penyuluhan pertanian secara
kuat mulai dari pusat sampai daerah. Selengkapnya amanat tersebut adalah
sebagai berikut:
Pertama, UU No 16 tahun 2006 tentang
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan mengamanatkan dengan jelas
pendirian kantor penyuluhan pertanian di daerah. Pasal 8 ayat (2)
menyebutkan: “Kelembagaan penyuluhan pemerintah
pada tingkat pusat berbentuk badan yang menangani penyuluhan; pada tingkat
provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan; pada tingkat kabupaten/kota
berbentuk badan pelaksana penyuluhan; dan pada tingkat kecamatan berbentuk
Balai Penyuluhan”.
Dalam
konteks perbandingan hukum, maka UU no 16 tahun 2006 merupakan lex specialist artinya lebih tinggi
dibandingkan UU 23 tahun 2014 yang lex
generalis. Pada Pasal 63 ayat (2) KUHP
disebutkan bahwa “Lex
specialis derogat legi generali” adalah asas penafsiran hukum yang
menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Prinsip ini juga didukung oleh UU 23 tahun 2014. Pasal 231
berbunyi: “Dalam hal ketentuan peraturan
perundang-undangan memerintahkan pembentukan lembaga tertentu di Daerah,
lembaga tersebut dijadikan bagian dari Perangkat Daerah yang ada setelah
dikonsultasikan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan bidang pendayagunaan aparatur negara”.
Aturan
turunan UU No 16 tahun 2006 secara jelas juga menyebutkan ini. Pada Peraturan
Presiden No 154 tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan; Pasal 2 menjelaskan bahwa kelembagaan penyuluhan mencakup mulai
dari pusat sampai kecamatan. Azasnya adalah konkurensi. Lalu, pada Pasal 12
terbaca bahwa di tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan.
Berikutnya adalah Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi
Perangkat Daerah, dimana Pasal 22 menyebutkan bahwa penyusunan organisasi
perangkat daerah berdasarkan pertimbangan adanya urusan pemerintahan yang perlu
ditangani.
Kedua,
UU 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani juga sangat mendukung keberadaan penyuluhan di daerah,
karena penyuluhan merupakan salah satu komponen untuk melakukan pemberdayaan
petani. Hal ini setidaknya disampaikan dalam Pasal 1, 7, 46, dan 47.
Kementerian Pertanian berpegang kuat kepada UU ini karena dilahirkan dan
disusun untuk kepentingan pembangunan pertanian secara lebih khusus.
Pasal 1 menjelaskan bahwa Pemberdayaan Petani dicapai melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan
pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian,
konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu
pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan Kelembagaan Petani.
Lalu, Pasal 7 ayat 3 point b menyebutkan
bahwa strategi pemberdayaan petani
dilakukan melalui penyuluhan dan pendampingan. Khusus untuk keberadaan kelembagaan penyuluhan di daerah, Pasal 46 menyebutkan: (1) Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya memberi fasilitas penyuluhan dan
pendampingan kepada Petani (2) Pemberian fasilitas penyuluhan berupa
pembentukan lembaga penyuluhan dan penyediaan penyuluh, dan (3) Lembaga
penyuluhan dibentuk oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Selanjutnya, pada Bagian Penjelasan disebutkan bahwa: “....beberapa kegiatan yang
diharapkan mampu menstimulasi petani agar lebih berdaya, antara lain, berupa
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, serta pengembangan
sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian”.
Ketiga, UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. Dalam UU
ini penyuluhan merupakan komponen yang melekat dalam pembangunan pedesaan,
dimana desa memiliki nuansa pertanian yang kental. Pasal 1 menjelaskan bahwa Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
Penyebutkan “penyuluhan” secara langsung terdapat dalam Pasal 112 ayat (3): “Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan: (a) Menerapkan hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat guna, dan temuan
baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa; (b) Meningkatkan
kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan, pelatihan, dan
Penyuluhan”.
Keempat, UU No 18 tahun 2002 Tentang
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam UU ini penyuluhan merupakan kegiatan yang
tidak terpisahkan sebagai upaya untuk penerapan teknologi. Dengan kata lain,
penyuluhan merupakan sub sistem penting dari sistem pengetahuan dan
pengembangannya.
Pasal 5 ayat 1 menyebutkan: “Sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
berfungsi membentuk pola hubungan yang saling memperkuat antara unsur
penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu
keseluruhan yang utuh untuk mencapai tujuan”.
Berikutnya, Pasal 18 ayat 1: “Pemerintah berfungsi menumbuhkembangkan
motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang
kondusif bagi perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia”. Hal ini
diperkuat Pasal 21 ayat (1): “Pemerintah
dan pemerintah daerah berperan mengembangkan instrumen kebijakan untuk
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 20
ayat (1)”.
Kelima, UU No. 12 Tahun 1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman. Pasal 57 menyebutkan: Ayat (1): Pemerintah
menyelenggarakan penyuluhan budidaya tanaman serta mendorong dan membina
peranserta masyarakat untuk melakukan kegiatan penyuluhan dimaksud. Ayat 2:
Pemerintah berkewajiban memberikan
pelayanan informasi yang mendukung pengembangan budidaya tanaman serta
mendorong dan membina peranserta masyarakat dalam pemberian pelayanan tersebut.
Lalu pada Bagian Penjelasan terbaca: “Teknologi
tepat yang telah ditemukan perlu disebarluaskan kepada masyarakat, khususnya
para petani, agar mereka dapat memanfaatkannya. Penyebarluasan tersebut
dilakukan baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar
sekolah seperti penyuluhan, pelatihan, dan lain-lain”.
Keenam, UU No 18 tahun 2012 tentang
Pangan, juga secara jelas mengamanatkan pentingnya kegiatan penyuluhan. Pasal 18 point b menyebutkan: “Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dalam memenuhi kebutuhan Pangan berkewajiban: memberikan
penyuluhan dan pendampingan”.
Jadi, penelusuran
pasal demi pasal produk legislasi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa keenam
UU tersebut sejalan belaka dengan UU 23 tahun 2014. Semangatnya sama yakni
betapa pentingnya pembentukan kelembagaan penyuluhan pertanian di daerah. Namun,
mekanisme pembentukan kelembagaan penyuluhan di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota membutuhkan penyusunan dan terbitnya Peraturan Presiden yang harus diselesaikan sesegera mungkin, selambatnya
pada semester pertama tahun 2016 ini, karena batas akhir pembentukan Bakorluh
dan Bapeluh adalah bulan Oktober 2016.
(Oleh:
DR. Syahyuti. Peneliti di Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dan anggota Komisi Penyuluhan Pertanian
Nasional).
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar