BAB VIII. PENELITIAN SARANA DAN
PRASARANA PERTANIAN
Aktivitas
pembangunan pertanian yang tergolong dalam konteks sarana dan prasarana
pertanian disini mencakup mulai dari bagaimana benih, pupuk dan obat-obatan
pertanian tersedia; serta kondisi dan kinerja irigasi pertanian. Selain ini,
berbagai bentuk aktivitas yang secara tidak langsung berupaya memberikan
pelayanan kepada berjalannya kegiatan usaha pertanian juga dicakup. Dari
berbagai objek tersebut, yang paling sering adalah penelitian tentang pupuk. Hal
ini sesuai pula dengan sangat dinamisnya kebijakan tentang pupuk, terutama
dalam dua hal, yaitu penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan sistem
distribusi pupuk. Tidak sebagaimana
pupuk, penelitian tentang obat-obatan pertanian (pestisida, herbisida, dll)
sangat jarang dilakukan. Meskipun penggunaan obat-obatan di pertanian selalu
dikumpulkan datanya setiap tahun pada berbagai komoditas, namun kajian
kebijakan belum pernah dilakukan secara menyeluruh.
8.1. Penelitian tentang Benih dan Bibit
Permasalahan
benih masih merupakan hal yang kompleks di Indonesia. Berbagai kebijakan telah
digulirkan, namun secara umum benih belum tersedia dengan mudah dan murah di level
petani. Benih hampir selalu diteliti setiap tahun di PSE-KP. Namun, dalam
format yang khusus hanya dilakukan beberapa kali, yang umumnya berkenaan dengan
kondisi perbenihan yang dihadapi, kebijakan yang telah digulirkan, analisis
permasalahan, dan diakhiri dengan rumusan kebijakan untuk memperbaikinya.
Penelitian Nurmanaf et al. (2003), mendapatkan bahwa struktur produksi dan pasar benih padi
masih dikuasai oleh dua produsen utama, yaitu PT Sang Hyang Sri dan PT Pertani.
Sesungguhnya dengan karakteristik dan komoditas benih yang bersifat terbuka,
teknologi produksi dan pengelolaannya yang relatif sederhana, kebutuhan
investasi relatif kecil dan dapat diproduksi dalam skala kecil; maka
memungkinkan terlibatnya swasta, kelompok tani, dan bahkan individu petani
untuk memproduksi benih padi. Industri
benih yang bersifat terbuka akan mendorong lebih baiknya struktur produksi dan
pasar, meskipun akan memunculkan variasi dan rendahnya jaminan kualitas.
Meskipun
harga benih padi relatif stabil dan hampir tidak ada kelangkaan pasokan, namun
kondisi ini pada hakekatnya bersifat
semu. Hal ini dimungkinkan karena pasar riil dan persepsi petani yang rendah.
Menurut petani, harga benih padi dinilai semakin mahal, karena dibandingkan
dengan harga jual gabah yang relatif rendah dan biaya usahatani semakin tinggi.
Kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan dalam sistem distribusi benih
padi adalah menekan harga jual benih
berlabel disesuaikan dengan daya beli petani melalui perbaikan struktur
pasar dan efektivitas distribusi benih. Selain itu perlu dibarengi dengan penelitian
yang dapat menghemat penggunaan benih,
serta pengembangan diversifikasi horizontal dan vertikal dalam usahatani
padi misalnya pengembangan sistem integrasi padi dan ternak sapi.
Penelitian berikutnya,
dilakukan Sayaka et al. (2006) yang
berjudul “Analisis Sistem Perbenihan Komoditas Pangan dan Perkebunan Utama”. Dalam periode 1996-2005,
rata-rata penggunaan benih padi berlabel baru sekitar 22,0 persen dari total luas tanam. Demikian juga penggunaan
benih jagung berlabel dan kedelai masing-masing 7,0 dan 2,8 persen. Namun, penggunaan benih padi berlabel di Jatim rata-rata
telah mencapai 38 persen, bahkan mulai tahun 2003 mendekati 60 persen, sementara untuk benih jagung dan kedelai
berlabel masing-masing hanya 12 dan 3 persen .
Penggunaan benih berlabel di Sulawesi Selatan juga lebih tinggi dari nasional, yaitu sekitar 30 persen, sementara untuk jagung dan kedelai masing-masing 2 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa banyak petani masih menggunakan benih yang diproduksi sendiri dan umumnya bukan benih unggul.
Secara formal mekanisme
penyaluran benih sumber dan benih sebar sebagai berikut: Puslit dan Balit
komoditas memproduksi BS kemudian diteruskan ke BBI untuk diperbanyak menjadi
benih FS, dan dari BBI diteruskan ke BBU untuk diperbanyak menjadi benih SS.
Para penangkar dan produsen benih mendapat benih SS dari BBU untuk diperbanyak
menjadi benih ES yang selanjutnya diperjualbelikan ke petani. Kenyataan di lapang
menunjukkan bahwa sistem yang berjalan sudah bergeser. Produsen/penangkar benih sudah bisa akses langsung untuk
mendapatkan benih FS ke BBI atau
Puslit/Balit Komoditas. Bahkan banyak produsen/penangkar benih yang langsung
mendapatkan benih BS dari Puslit/Balit Komoditas. Produsen benih tidak hanya
sebatas memproduksi benih ES, tetapi juga telah memproduksi sendiri kelas-kelas
benih di atasnya (FS dan SS). Hal yang sama juga telah dilakukan oleh
Puslit/Balit Komoditas, BBI, dan BBU tidak hanya memproduksi kelas benih yang
menjadi mandatnya.
Peraturan
perbenihan yang ada masih relevan dengan dinamika industri benih, khususnya
tanaman pangan dan perkebunan. Peraturan tersebut berfungsi untuk melindungi
produsen benih, konsumen benih atau petani, dan pemulia tanaman sebagai pihak
yang menemukan varietas baru. Dalam hal kewajiban bagi produsen dan pedagang
benih untuk mendaftar kepada BPSB dan BP2MB setempat, masalahnya adalah luasnya
wilayah kerja yang harus dicakup, sehingga pengawasan kurang optimal.
Semestinya, perusahaan benih BUMN, yaitu PT SHS dan PT Pertani bermitra dengan
penangkar dalam memproduksi benih padi, jagung, dan kedelai. Namun, jika
permintaan cukup banyak dan waktunya mendesak, kedua BUMN memproses benih
sendiri dan menjadi kurang berkualitas.
Produsen
benih tanaman pangan swasta lokal maupun multinasional juga melakukan kemitraan
dengan petani. Swasta multinasional lebih ketat dalam perjanjian dan pengawasan
produksi di lapang. Sedangkan swasta lokal lebih informal dalam membuat
perjanjian kemitraan, namun pengawasannya ketat. Produsen swasta lokal juga
membeli bakal benih dari produsen lain yang lebih kecil jika permintaan cukup
tinggi.
Kinerja
industri benih dari penangkar swasta/lokal lebih baik dari PT SHS dan PT
Pertani. Terbukti pasar benih padi,
jagung, dan kedelai di Provinsi Jawa Timur yang lebih mencerminkan pasar
persaingan sempurna, dimana pangsa pasarnya sekitar 60%-80% didominasi oleh
penangkar swasta/lokal. Petani sangat responsif terhadap benih bersertifikat.
Keputusan petani dalam menentukan benih yang akan ditanam lebih banyak
ditentukan oleh kualitas benih itu sendiri dibanding harga. Untuk kasus Jawa
Timur, petani pada umumnya akses terhadap benih bersertifikat (berkualitas),
baik dilihat dari segi harga maupun sumber benih. Fenomena ini menunjukkan
bahwa secara implisit bahwa tanpa subsidi pun petani sudah akses terhadap benih
berlabel sekalipun dengan harga pasar yang berlaku.
Dikaitkan
dengan Harga Pokok Produksi (HPP) dan margin keuntungan di tingkat kios,
tampaknya harga benih di tingkat petani cukup tinggi, termasuk dari produksi PT
SHS dan PT Pertani yang mendapat subsidi dari pemerintah. Artinya, kebijakan
subsidi benih belum efektif menyentuh kepada yang berhak untuk mempercepat
penggunaan benih berlabel di tingkat petani.
Secara
faktual, semua produsen benih baik
swasta maupun BUMN, memproduksi dan menjual benih dengan mekanisme pasar (tanpa
subsidi). Produsen BUMN memperhitungkan subsidi sebagai tambahan pendapatan
perusahaan, bukan untuk menurunkan harga jual benih. Pasar benih akan lebih
bergairah jika kesadaran petani untuk menggunakan benih bermutu bertambah
tingggi dan kualitas benih yang dijual kepada petani tetap bagus. Subsidi benih
seperti yang dilakukan saat ini tidak akan mendorong industri benih menjadi
lebih berkembang.
Khusus
untuk benih kelapa sawit, benih berkualitas hanya diproduksi oleh produsen
besar yang pada taraf tertentu bersifat oligopolistik dan menjual produknya
dengan harga yang relatif tinggi. Penyaluran benih dari produsen kepada
konsumen dilakukan secara langsung atau tanpa perantara. Peraturan yang
mewajibkan pembeli menunjukkan SP2BKS kepada produsen benih kelapa sawit
mempersulit petani kecil yang hanya membeli benih dalam jumlah kecil dan
lokasinya jauh dari produsen maupun Kantor Dinas Pertanian setempat.
Semua
produsen benih kelapa sawit di Indonesia berlokasi di Sumatera. Pasar di
wilayah lain sebenarnya masih terbuka untuk digarap produsen benih kelapa
sawit. Walaupun demikian ada kendala utama yang dihadapi yaitu ijin hak guna
lahan untuk produksi benih yang tidak mudah untuk prosesnya. Di antara produsen
bibit sawit, hanya PPKS yang melakukan kerja sama penjualan benih dengan
kelompok tani dan pengecer benih maupun Dinas Pertanian. Kerja sama pemasaran
bibit sawit di Sumatra Utara menggunakan sistem waralaba, namun produsen lain tidak
bersedia melakukan karena rawan pemalsuan oleh pengecer.
Kinerja
sistem perbenihan perkebunan kelapa sawit masih sangat lemah. Kecepatan
pembangunan perkebunan tidak diimbangi dengan pengembangan sumber benih
sehingga terjadi gap antara penyediaan dan
kebutuhan benih. Akibatnya, banyak
beredar benih palsu.
Dalam
memproduksi benih, nampak bahwa secara umum produsen benih mampu melakukan
integrasi yang ditunjukkan oleh indeks integrasi yang tinggi, yaitu lebih dari
42 persen. Hanya dua kasus yaitu produksi benih padi oleh PT Pertani dan benih
kedelai oleh PT SHS yang memiliki indeks intgrasi relatif rendah. Rendahnya
indeks integrasi PT Pertani dan PT SHS (benih kedelai) antara lain karena kedua
perusahaan tersebut membeli bakal benih dari penangkar dan memprosesnya. Nilai
tambah yang dihasilkan relatif rendah dimana harga beli benih merupakan
komponen terbesar dalam proses produksi.
Penelitian
Yusdja et
al. (2007) mempelajari subsidi benih jagung tahun 2006, mendapatkan bahwa banyak
masalah yang terjadi di lapang. Dampak subsidi benih terhadap produksi,
produktivitas dan pendapatan petani sangat bervariasi yang masing-masing
ditentukan oleh ketepatan
waktu, mutu dan jumlahnya; perubahan cuaca terutama kekeringan; praktek
budidaya yang masih tradisional padahal menggunakan hibrida. Karena masalah
teknis, maka target
penyaluran subsidi tidak dapat dipenuhi. Pengamatan dilapang
memperlihatkan bahwa permasalahan teknis yang muncul tersebut merupakan
konsekuensi dari sistem subsidi yang diatur dari pusat atau bersifat top down. Sistem top
down tidak mempertimbangkan kondisi petani secara intensif. Penyaluran subsidi benih yang ideal
adalah bagaimana benih sampai ditangan
petani tepat pada saat ia membutuhkannya. Konsekuensi
dari penyaluran seperti itu adalah pemerintah menempatkan petani sebagai bahan
pertimbangan utama dalam menyalurkan benih subsidi. Selama ini, pemerintah
terkesan memaksakan penyaluran dengan mengunakan pertimbangan-pertimbangan yang
bersifat general. Seharusnya, pemerintah memahami benar tingkah laku petani,
sehingga penyaluran subsidi dapat dilakukan spesifik petani.
Penelitian Sayaka et al. (2009) tentang benih kentang
mendapatkan bahwa UU No. 12 tahun 1992 secara tegas mengatur sangsi
bagi yang mengedarkan benih palsu. Walaupun demikian belum ada tindakan tegas
dari pihak terkait untuk peredaran benih kentang tidak bersertifikat. Sedangkan
UU no. 29 tahun 2000 tentang PVT secara tegas mengatur hak dan kewajiban
pemulia penghasil varietas. Belum semua pemulia memperoleh haknya sebagai
penghasil varietas terkait syarat uji dan pelepasan varietas yang memerlukan banyak
biaya (Permentan 37 tahun 2006). Otonomi Daerah yang sudah diterapkan selama
beberapa tahun terakhir diadopsi dengan Permentan No. 37, 38, dan 39 tahun 2006
dimana daerah secara eksplisit diberi wewenang dalam hal pengusulan varietas,
serta ijin impor dan eskpor benih, maupun pendaftaran produsen benih.
Permentan No 40 tahun 2006 secara teknis sudah cukup
baik untuk mengatur cara perbanyakan benih kentang agar diperoleh benih kentang
bermutu dari benih sumber hingga benih sebar. Permentan ini juga mengatur
sertifikasi benih kentang sesuai kelas benih. Walaupun demikian segala
peraturan ini belum mampu mendorong industri kentang untuk tumbuh secara
memadai. Adopsi benih kentang bersertifikat oleh petani kentang masih tetap
terbatas.
Di
Jawa Timur, kerja sama antara pemerintah provinsi dan kabupaten mampu
menghasilkan benih kentang bermutu dalam jumlah memadai. Telah ada Perda yang
mengatur biaya pemeriksaan lapang maupun laboratorium untuk penangkar benih
kentang. Namun, masih ditemui adanya biaya tidak resmi dari penangkar benih ke
petugas sertifikat.
Secara
potensial produsen benih kentang dalam negeri mampu memenuhi permintaan aktual
benih kentang domestik. Masuknya benih kentang Granola dan Atlantik impor
menunjukkan masih ada peluang bagi importir benih kentang untuk memasarkan
benih kentang di Indonesia. Sebuah perusahaan yang sebelumnya menggunakan benih
Atlantik impor dari Kanada dan Australia, namun sebagian sudah diperoleh dari
mitranya yang diusahakan di wilayah Cianjur.
Sistem
perbenihan kentang dengan Balitsa dan BPBK Lembang sebagai penghasil benih
sumber utama cukup memadai bagi para produsen benih swasta di Jawa Barat maupun
di provinsi lainnya. Produksi benih kentang bersertifikat dan distribusinya
tergantung permintaan dari petani kentang. Produksi kentang bersertifikat oleh
para produsen benih swasta umumnya belum optimal mengingat rendahnya permintaan
benih bersertifikat. Walaupun demikian masih dijumpai peredaran benih kentang
tidak bersertifikat karena permintaan kelas benih tersebut masih ada dan
kurangnya pengawasan oleh BPSB.
Selain
penyuluhan bagi petani tentang kerugian menggunakan benih kentang tidak
bersertifikat, Pemda perlu mengupayakan agar benih kentang bersertifikat bisa
tersedia dengan harga terjangkau. Untuk importir benih kentang, perlu dibatasi
periode izinnya dan diwajibkan memproduksi benih kentang di dalam negeri, agar
industri benih kentang domestik bisa berkembang. Produsen benih kentang dalam
negeri harus bisa lebih efisien sehingga bisa bersaing dengan benih impor.
Pusat-pusat penghasil benih sumber untuk kentang juga perlu dikembangkan ke
Luar Jawa selama masih memiliki keuntungan komparatif dan kompetitif.
Khusus
untuk bibit ternak, penelitian Sayaka et al. (2009) menyimpulkan bahwa Permentan
No. 36 tahun 2006 yang mengatur perbibitan ternak nasional sudah memadai untuk
mendapatkan bibit ternak, termasuk bibit sapi potong yang bermutu. Permentan
ini ditunjang dengan berbagai peraturan lain termasuk SNI untuk semen beku.
Ditemukan bahwa adopsi bibit unggul, terutama melalui IB, masih terkonsentrasi
di daerah yang dekat dengan sumber benih maupun di daerah yang populasi sapi
potongnya cukup tinggi. Sedangkan VBC berkembang dengan baik di daerah yang
secara tradisional menggunakan perkawinan alami dan populasi sapi potong
relatif tinggi.
Program
P2SDS yang dicanangkan di 18 provinsi namun lalu diundur dari tahun 2010
menjadi 2014, menunjukkan kurangnya persiapan instansi terkait di pusat maupun
di daerah. Pembinaan produksi sapi potong masih berjalan seperti biasa (business as usual) walaupun di tiap
daerah ada program peningkatan populasi sapi. Alasan kurangnya lahan
penggembalaan sebagai kegagalan P2SDS 2010 adalah kurang tepat karena sampai
sekarang tidak ada upaya perluasan maupun intensifikasi lahan penggembalaan.
Untuk
keperluan IB selama ini masih diperlukan impor pejantan unggul. Kelebihan
pejantan unggul asal impor terutama adalah anakannya mengalami lebih cepat
pertumbuhan berat badan sehingga untuk umur yang sama anakan pejantan impor
lebih mahal harganya dibanding anakan pejantan lokal yang diperoleh melalui
cara yang sama, yaitu IB. Anakan pejantan lokal tetap diminati peternak sapi
potong dalam jumlah terbatas, khususnya untuk kelahiran pertama. Untuk
kelahiran kedua dan seterusnya umumnya peternak memilih pejantan impor.
Harga
straw semen beku yang wajar akan
mendorong peternak lebih tertarik untuk mengadopsi benih unggul yang dihasilkan
oleh BIB. Untuk menekan biaya, perlu dukungan untuk petugas inseminator. Terlambat
dalam peremajaan maupun penggantian pejantan unggul. jumlah pejantan yang ada
tidak memadai dibanding kapasitas yang ada maupun kebutuhan IB dari peternak. peternak
sapi potong lebih menyukainya dibanding sapi pejantan lokal. Hal ini masih
lebih dibanding pemerintah mengimpor sapi bakalan atau sapi yang siap dipotong.
Keunggulan sapi lokal harus tetap dipertahankan dan perlu insentif khusus agar
peternak bersedia mengadopsi IB dari sapi lokal. industri perbenihan sapi
potong domestik berkembang dengan baik, dengan laju permintaan daging sapi di
dalam negeri adalah given. Pembenahan
industri benih sapi potong perlu dilakukan untuk mencapai swasembada daging.
Secara
umum, peraturan perbenihan yang terkait dengan industri benih sudah cukup
memadai. Yang diperlukan adalah penegakan peraturan tersebut sehingga industri
perbenihan bisa berkembang dengan baik. Penegakan peraturan terkait peredaran
benih perlu dilakukan secara terpadu oleh BPSB bekerja sama dengan dinas
setempat dengan cara memberi sangsi yang efektif bagi pedagang.
8.2.
Penelitian tentang Pupuk
Penelitian Santoso et al. (1982) mendapatkan
bahwa daya tarik petani terhadap pupuk TSP tidak sebesar terhadap pupuk urea.
Selanjutnya, Sudaryanto et al. (1982)
pada penelitian pupuk urea dan TSP pada usahatani sayuran, menunjukkan pupuk N
dan P sudah digunakan dengan intensif pada usahatani sayuran, namun pupuk K
masih sedikit dipakai. Secara umum, petani belum mengetahui dosis pemupukan
yang tepat bagi usahataninya, karena informasi dari PPL masih kurang.
Permintaan pupuk cenderung stabil dan tidak dipengaruhi secara nyata baik oleh
harga, biaya angkut, pengetahuan petani, ketersediaan pupuk, dan status
penggarapan. Hal ini disebabkan karena sejak pertengahan tahun 1970-an harga
pupuk dijaga pemerintah pada tingkat harga nominal tetap dan relatif rendah
dibandingkan harga produk petani.
Penelitian
Syafaat et al. (2006) melakukan Kaji Ulang Kebijakan Subsidi dan Distribusi Pupuk.
Selama periode tahun 1970-an sampa 2007, subsidi yang diterapkan pemerintah
berupa subsidi yang dibayarkan langsung kepada produsen (pabrik) pupuk.
Sementara untuk sistem distribusi, selama periode tahun 1970-1998 (masa orde
baru) sistem distribusi pupuk bersubsidi yang digunakan pemerintah adalah sistem
distribusi tertutup. Lalu, mulai tahun 1999 sampai 2007 (selama masa reformasi)
menggunakan sistem distribusi terbuka. Wacana untuk merubah modus subsidi dari
subsidi yang dibayarkan langsung kepada produsen pupuk menjadi dibayarkan
langsung kepada petani dalam bentuk kupon kurang memperoleh respon positif. Aparat pemerintah, pelaku distribusi, dan bahkan
petani khawatir akan menimbulkan ketidakefektifan bahkan kekacauan.
Dari
lokasi penelitian ditemukan bahwa dari prinsip enam tepat, yaitu tepat jenis,
kualitas, waktu, tempat, harga, dan jumlah; yang umumnya tidak terpenuhi adalah
tepat jumlah. Namun, secara umum responden petani di lokasi penelitian
menyatakan puas terhadap sistem distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat
ini. Mereka senang karena pupuk mudah diperoleh pada saat dibutuhkan.
Sistem
distribusi pupuk bersubsidi bersifat terbuka yang berlaku saat ini masih perlu
dipertahankan. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa, Pertama, hasil
evaluasi terhadap distribusi pupuk bersubsidi di tingkat produsen dan pelaku
distribusi (distributor dan pengecer) di provinsi-provinsi lokasi penelitian
menunjukkan bahwa dari prinsip enam tepat yang tidak terpenuhi hanyalah prinsip tepat jumlah. Ini pun hanya berkaitan dengan
ketidaksesuaian antara sebaran bulanan realisasi penyaluran dengan sebaran
bulanan rencana kebutuhan/ kebutuhan riil, sedangkan total realisasi penyaluran
selama setahun relatif sama dengan total rencana kebutuhan/kebutuhan riil. Kedua, hasil evaluasi terhadap
distribusi pupuk bersubsidi di tingkat petani di provinsi-provinsi lokasi
penelitian menunjukkan bahwa prinsip 6
(enam) tepat umumnya terpenuhi. Ketiga,
sebagian besar responden petani puas karena pupuk mudah diperoleh pada waktu
dibutuhkan.
Dari
penelitian ini disimpulkan bahwa modus subsidi langsung kepada pabrik perlu
dipertahankan, karena pengelolaannya lebih mudah (manageable). Sistem distribusi terbuka juga perlu dipertahankan,
karena mampu memenuhi prinsip enam tepat dan pupuk mudah diperoleh. Untuk
mengantisipasi langka pasok dan lonjak harga, maka solusi yang disarankan
adalah dengan lebih mendayagunakan peran
Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida baik di level provinsi maupun kabupaten,
penegakan Perpres No. 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai Barang dalam
Pengawasan, dan penyaluran pupuk ke lapang harus memperhatikan jadwal tanam
lebih sinkron.
Kehawatiran
ini rupanya terbukti. Penelitian Hadi et
al. (2007) bertolak dari fakta bahwa kebijakan subsidi dan sistem
distribusi pupuk yang amat komprehensif ternyata tidak menjamin ketersediaan
pupuk ditingkat petani. Terjadi langka
pasok dan lonjak harga sampai awal tahun 2006. Penelitian ini menganalisis
efektifitas penerapan HET, menganalisis dampak kenaikan HET, dan menganalisis
kesanggupan petani membayar pupuk. Tujuan akhirnya adalah menentukan besaran
subsidi pupuk dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan merumuskan pola
distribusi pupuk bersubsidi yang efisien dan efektif. Alat analisis yang
digunakan berupa analisis deskriptif dengan metode akuntansi sederhana,
analisis regresi sederhana, analisis dengan metode langsung dan metode tidak
langsung, serta analisis pendekatan kinerja terhadap delivery system, receiving
system, dan accountability system.
Pengamatan
pada periode Oktober 2005 - Mei 2006, harga beli pupuk oleh petani di kios
pengecer resmi 5,3 – 23,8 persen diatas HET. Ini disebabkan karena peningkatan
secara tajam margin pemasaran riil karena praktek jual beli DO (delivery order), pengambilan keuntungan
di luar fee yang telah ditetapkan,
pungutan liar di sepanjang jalur distribusi, dan kenaikan biaya distribusi
akibat kenaikan harga BBM pada Oktober 2005. Penyebab lain, karena petani
melakukan pembayaran pupuk setelah panen, dan volume yang dibeli bukan dalam
kemasan yang sudah ada.
Hasil
analisis menunjukkan, kenaikan HET pupuk tanpa dibarengi dengan kenaikan HPP
gabah akan menurunkan keuntungan usahatani padi. Hal ini diindikasikan oleh penurunan
keuntungan dengan sewa lahan sebesar 4,93 persen dan penurunan keuntungan tanpa sewa lahan sebesar 2,50
persen. Indikasi lainnya adalah R/C
rasio dengan sewa lahan menurun dari 1,57 menjadi 1,53 dan R/C rasio tanpa sewa lahan menurun dari 3,50
menjadi 3,39.
Sementara
itu, kenaikan HET pupuk dengan dibarengi oleh kenaikan HPP gabah baik dengan
persentase yang sama maupun berbeda masih tetap akan meningkatkan keuntungan
usahatani padi. Hal ini diindikasikan oleh kenaikan keuntungan dengan sewa
lahan sekurang-kurangnya sebesar 20,64 persen dan kenaikan keuntungan tanpa
sewa lahan sekurang-kurangnya 10,45 persen.
Indikasi lainnya adalah kenaikan R/C rasio dengan sewa lahan dari 1,57
menjadi sekurang-kurangnya 1,67 dan kenaikan R/C rasio tanpa sewa lahan dari
3,50 menjadi sekurang-kurangnya 3,64. Jika pemerintah akan menaikkan HET pupuk
dan pada waktu bersamaan juga ingin menaikkan keuntungan usahatani padi, maka
pemerintah harus pula menaikkan HPP gabah sekurang-kurangnya dengan persentase
yang sama. Namun, pemerintah harus dapat menjamin efektifitas HET pupuk maupun
HPP gabah itu sendiri.
Dalam
hal kesanggupan petani membayar harga
pupuk. petani sesungguhnya sanggup membayar urea setinggi 14,86 persen diatas
HET yang berlaku. Demikian pula dengan SP-36 sebesar 8,06 persen, ZA sebesar
20,98 persen, dan NPK sebesar 4,62 persen di atas HET. Rata-rata kemampuan petani membayar di atas
HET untuk keempat jenis pupuk tersebut adalah 12,13 persen. Kesanggupan membayar di atas HET melekat pada
karakteristik usia dan pengalaman berusahatani, pendidikan formal petani, luas lahan, dan pendapatan dari luar
usahatani.
Sesuai dengan Permendag No 03/M-DAG/Per/2/2006
sistem distribusi pupuk menganut sistem distribusi pasif dan semi
tertutup. Ini menyebabkan rawan
penyimpangan dan manipulasi perhitungan besaran subsidi di tingkat
pengecer/kios, tidak tepat sasaran, tidak mampu mengatasi dualisme harga, dan
petani cenderung menggunakan pupuk di atas rekomendasi (over intensification). Untuk mengatasi ini diusulkan desain pola
pengelolaan pupuk bersubsidi bersifat aktif dan lengkap yang terdiri dari
sistem distribusi, sistem penerimaan, dan sistem akuntabilitas.
8.3.
Penelitian Irigasi
Penelitian
tentang irigasi termasuk yang cukup intensif dilakukan di PSE-KP, mulai dari
analisis di tingkat mikro sampai ke manajemen level meso, dan bahkan kebijakan
makro. Penelitian Pasandaran et al. (1985) mendapatkan
bahwa sebanyak 25 persen (1,4 juta ha) dari total
seluruh sistem irigasi yang ada di Indonesia pada mulanya dibangun dan
dipelihara oleh petani sendiri. Hasil
analisis menunjukkan bahwa besarnya dana yang disediakan pemerintah dan cara
pelaksanaan pembangunan, memberikan pengaruh terhadap koefisien induksi serta
peran masyarakat di dalam pembangunan jaringan utama irigasi. Pembangunan
irigasi yang melalui pihak ketiga mengurangi koefisien induksi dan peran serta
petani. Dari temuan ini, maka di sarankan khususnya untuk irigasi skala kecil,
perlu dipikirkan kebijakan dalam pengalokasian dana. Penyaluran dana bantuan ke masyarakat melalui
pemerintahan desa akan lebih efektif daripada melalui pihak ketiga seperti yang
ditempuh sebelumnya.
Pelaksanaan EP pada saluran
tersier yang dilakukan masyarakat dengan cara diupahkan pada kelompok kerja
tertentu, juga terbukti lebih efektif daripada dilakukan secara gotong royong.
Dalam keadaan seperti ini, partisipasi yang diharapkan dari masyarakat adalah
penyediaan dana untuk upah kelompok kerja tersebut.
Selanjutnya, penelitian
Pasandaran et al. (1987) di daerah
irigasi Way Jepara, mendapatkan bahwa rata-rata ketersediaan air (inflow) tahun 1978/1979 sampai tahun 1985/1986
sebesar 4719,7 lt/detik perhari. Pola inflow
danau bulanan tersebut umumnya mengikuti pola curah hujan, yaitu meningkat dari
bulan November sampai Januari, kemudian menurun sampai Oktober. Sementara outflow dalam periode yang sama dari
bulan November sampai Agustus sebesar 4822,7 lt/detik/hari. Besarnya outflow berhubungan erat dengan pola
tanam yang ada, dimana periode pengolahan tanah merupakan periode yang paling
banyak memerlukan air.
Dari indeks pemakaian air yang
merupakan satuan besarnya kebutuhan air rata-rata sebesar 0,557 lt/det/ha,
relatif lebih rendah dari kebutuhan air bagi padi, yaitu masa pengolahan tanah,
pertumbuhan, dan persemaian masing-masing sebesar 2,0 lt/det/ha, 1,5 lt/det/ha
dan 1,0 lt/det/ha.
Penelitian
selanjutnya dengan topik serupa juga dijalankan Sumaryanto et al. (2006). Penelitian
ini melakukan evaluasi kinerja jaringan
irigasi dengan penekanan pada aspek operasi dan pemeliharaannya,
mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya degradasi kinerja jaringan
irigasi, dan mengidentifikasi potensi dan kendala dalam perbaikan kinerja
jaringan irigasi. Kajian dilakukan pada sistem irigasi teknis di Daerah
Irigasi Brantas (Provinsi Jawa Timur), Daerah Irigasi Way Sekampung (Provinsi
Lampung), dan Daerah Irigasi Wawotobi (Sulawesi Tenggara).
Dari
evaluasi diperoleh kesimpulan bahwa degradasi kinerja irigasi terjadi akibat
pengaruh simultan dari degradasi kondisi fisik jaringan dan rendahnya kinerja
operasi dan pemeliharaan. Sebagian besar degradasi kondisi fisik jaringan
terkait dengan kerusakan saluran irigasi, banyaknya pintu-pintu air yang rusak,
dan sedimentasi saluran-saluran pembuang, terutama di level tertier. Rendahnya
kinerja operasi dan pemeliharaan irigasi terkait dengan sangat terbatasanya
anggaran OP irigasi dari pemerintah yang jauh dari mencukupi; sementara itu
keswadayaan petani dalam memupuk dana OP irigasi sangat terbatas.
Tingkat
kehandalan jaringan irigasi maupun tingkat pemerataan distribusi air irigasi
termasuk kategori rendah – sedang. Di Way Sekampung dan Brantas, hal itu lebih
banyak disebabkan oleh debit air irigasi yang cenderung semakin menurun,
sedangkan di Wawotobi terutama disebabkan oleh banyaknya jaringan irigasi yang
rusak.
Pada level
tersier penyebab degradasi kinerja jaringan irigasi yang bersifat eksternal (di
luar kendali petani) yang terkait dengan aspek: anggaran OP irigasi dari
pemerintah terbatas sehingga hanya dapat dimanfaatkan di sebagian jaringan
sekunder dan tertier, jumlah petugas dan fasilitas pendukung tidak mencukupi, pembinaan
P3A kurang memadai, koordinasi antar pihak lemah dan tumpang tindih, dan
perubahan kawasan yang mendorong terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan
lain. Sementara, faktor internal yang mempengaruhi kinerja jaringan irigasi
adalah kinerja P3A. Secara umum kinerja P3A termasuk kategori rendah sampai
sedang. Cukup banyak ditemukan adanya petak-petak tertier yang irigasinya tidak
dikelola secara sistematis dalam wadah P3A, dan P3A hanya sekedar nama.
Kendala
yang dihadapi dalam memperbaiki kinerja OP irigasi tampaknya justru terletak pada kebijakan pemerintah, terutama dalam
kaitannya dengan antisipasi terhadap dinamika budaya dan perkembangan wilayah,
serta konsistensi dalam pengembangan dan pendayagunaan irigasi. Peluang untuk
menggalang aksi kolektif petani dalam
operasi dan pemeliharaan irigasi sangat bervariasi, akan tetapi secara umum
masih terbuka untuk dilakukan perbaikan. Di sisi lain, meskipun peluang untuk
meningkatkan partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi juga masih terbuka
akan tetapi jumlah iuran yang dapat dikumpulkan diperkirakan tidak cukup untuk
mempertahankan fungsi irigasi secara optimal. Adanya kecenderungan bahwa
partisipasi yang relatif tinggi hanya terjadi pada petak-petak tertier yang
kondisinya "moderat" dan pada lokasi-lokasi tertentu dalam jangka
panjang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka peningkatan fungsi
pembinaan mengingat sistem irigasi
adalah sistem yang tidak bisa berdiri sendiri. Pembagian kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud
dalam UU No. 7 Tahun 2004 harus secepatnya ditindak lanjuti dalam bentuk
Petunjuk Teknis yang jelas dan siap dioperasionalkan agar degradasi kinerja
jaringan irigasi tidak terus berlanjut.
Pembiayaan
operasi dan pemeliharaan irigasi merupakan salah satu agenda pokok yang harus
segera dipecahkan agar fasilitas pendukung penyediaan pangan nasional berfungsi
optimal. Variabel kunci pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi di tingkat
petani adalah partisipasi. Namun banyak sekali variabel yang mempengaruhi
partisipasi, bukan hanya mencakup aspek teknis, ekonomi tetapi juga sosial.
Partisipasi petani bersifat dinamis, tetapi variabel-variabel ekonomi semakin
mendominasi faktor-faktor yang menentukan partisipasi petani dalam pembiayaan
operasi dan pemeliharaan irigasi.
Dalam
konteks partisipasi, secara umum motif petani untuk berpartisipasi berpijak
pada pertimbangan rasional ekonomi, yakni apa dan seberapa besar manfaat yang
dipetik jika dibandingkan dengan korbanan yang ditanggungnya. Oleh karena itu,
faktor utama yang mempengaruhi persepsi petani terhadap nilai ekonomi air
irigasi adalah produktivitas usahatani padi dan kelangkaan relatif air irigasi.
Disamping faktor-faktor ekonomi, ternyata persepsi petani terhadap nilai
ekonomi air irigasi juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat. Selain Iuran
Pelayanan Air Irigasi (IPAIR), petani juga menanggung iuran P3A, serta biaya
tambahan yang bersifat insidentil misalnya untuk irigasi pompa dan biaya ilegal
berupa "uang jasa pelayanan khusus".
Selain
faktor musim dan kondisi lahan, faktor utama yang mempengaruhi beban biaya
irigasi yang harus dikeluarkan petani adalah jenis komoditas yang diusahakan.
Oleh sebab itu, pola tanam sangat mempengaruhi pengeluaran irigasi per tahun.
Jika dibandingkan dengan nilai ekonomi air irigasi di masing-masing lokasi yang
diteliti, maka rata-rata pengeluaran irigasi di Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur
hanya mencapai 36 persen. Di Brantas mencapai 53 persen, sedangkan di Bali sudah lebih tinggi dari nilai
ekonominya yakni 135 persen. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pembagian
beban biaya operasi dan pemeliharaan irigasi antara Pemerintah Pusat –
Pemerintah Daerah Tingkat I – Pemerintah Daerah Tingkat II (Kabupaten) –
Petani; sampai saat ini masih belum jelas.
Meskipun
per konsep nilai maksimum iuran irigasi yang potensial dibebankan kepada petani
sama dengan nilai ekonominya, tetapi ternyata beban yang layak adalah 1,5 kali
nilai iuran yang kini berlaku; itupun dengan syarat kondisi ketersediaan irigasi
perlu diperbaiki. Metode pengumpulan iuran yang layak adalah menggunakan area
based pricing. Cara lain yang lebih kondusif untuk mendorong efisiensi
pemanfaatan air irigasi seperti misalnya volumetric pricing masih belum
dapat diterapkan karena teknik irigasi yang digunakan adalah alir genang. Dalam
rangka meningkatkan kinerja irigasi, peningkatan iuran irigasi ditingkat petani
dalam rangka sampai dengan 1.5 kali lipat dari yang kini berlaku adalah layak.
Tetapi implementasinya perlu memperhati-kan syarat
yaitu dilakukan secara gradual, namun derajat ketersediaan air irigasi perlu
dilakukan.
Penelitian irigasi berikutnya dilakukan Sumaryanto et al. (2009) dalam Kebijakan
Pengembangan Infrastruktur Perdesaan dalam Rangka Peningkatan Produksi
Pertanian dan Pendapatan. Kondisi sarana irigasi di desa-desa lokasi penelitian
di Jawa maupun di Luar Jawa menunjukkan bahwa kualitas jaringan dan kuantitas
air cenderung menurun. Penurunan kuantitas air sejalan dengan menurunnya
kualitas lingkungan alam dan sumber daya air (degradasi sumber daya air).
Penurunan kualitas jaringan terkait erat dengan menurunnya kuantitas air.
Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat enggan
untuk memelihara jaringan karena debit airnya kurang. Bahkan pada kasus
ekstrim, kekurangan pasokan air irigasi menyebabkan beberapa pintu air di
beberapa titik dirusak petani setempat agar pasokan air di lahan petani
tersebut berjalan lancar.
Menurunnya kualitas jaringan dan kuantitas air irigasi juga
merupakan konsekuensi dari diterapkannya UU No 7 tahun 2004 tentang pembagian
wewenang yang melakukan rehabilitasi menurut luasan daerah irigasi. Dalam hal ini untuk luasan daerah irigasi
kurang dari 1000 hektar menjadi kewenangan TK II, luasan 1000-3000 hektar
menjadi kewenangan TK I, dan lebih dari 3000 hektar menjadi kewenangan
pusat. Hal ini dalam pelaksanaannya
menyulitkan daerah dalam hal koordinasi program, anggaran, dan sumber daya
manusia. Dalam hal tertentu, seperti aliran air, kepemilihan lahan, dan garapan
lahan tidak dapat dipisahkan menurut daerah irigasi, sehingga
sering terjadi dimana daerah tertentu menjadi tumpuan permasalahan dari daerah
lain yang bukan kewenangannya.
Dampak dari menurunnya kualitas jaringan dan kuantitas air
pada daerah irigasi antara lain adalah kinerja kelembagaan pengelola irigasi
tidak berjalan dengan baik. Hal ini
dicirikan oleh tidak adanya iuran air, tidak adanya rapat pengurus P3A untuk
membahas permasalahan air, pintu air rusak dan hilang, dan pembagian air yang
tidak tertata. Dampak irigasi sangat nyata pada level mikro, baik pada
produktivitas lahan maupun pembangunan wilayah.
Dalam lingkup makro, pada kurun waktu 1995-2005 rata-rata
angka pengganda infrastruktur dalam pembentukan output sebesar 2,3837,
pembentukan pendapatan sebesar 1,9717 dan pembentukan nilai tambah sebesar
2,7613. Sedangkan perkembangan angka pengganda infrastruktur tahun 2000 terjadi
penurunan pembentukan output 8,48 persen, pendapatan 1,50 persen dan nilai
tambah 9,71 persen. Penurunan tersebut diakibatkan adanya kontraksi ekonomi
akibat krisis tahun 1998 dan menyebabkan pendapatan masyarakat, daya beli dan
kinerja sektor-sektor perekonomian mengalami penurunan.
Efek konsumsi dalam pembentukan output menunjukkan efek
ikutan yang paling tinggi yaitu untuk pengganda output, pendapatan dan nilai
tambah masing-masing adalah 27,10 persen, 22,16 persen, dan 28,71 persen. Hal
ini disebabkan karena pada saat itu dampak investasi infrastruktur secara
sistemik sudah mempengaruhi keadaan sistem perekonomian.
Peranan sektor infrastruktur irigasi dalam menstimulir sistem
perekonomian terjadi pada daya kepekaan (power of dispersion) sebesar
2.06183, sementara daya penyebaran (degree of sensitivity) hanya
0,80457 atau kurang dari satu. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa sektor
infrastruktur irigasi masa pelaksanaannya singkat, memerlukan input dari
keragaman sektor lain yang terbatas, serta bertumpu kepada sektor sekunder
(industri dan industri pengolahan) dan jasa-jasa. Sementara itu peranan sektor
infrastruktur irigasi mendorong sektor lain tinggi, karena ketersediaan air
irigasi bagi sektor-sektor primer tertentu merupakan faktor produksi yang
sangat vital baik pada tanaman pangan, perkebunan, dan perikanan.
Dampak investasi infrastruktur nominal Rp 1 triliun dalam
pembentukan output lebih banyak memberikan dampak langsung pada saat proses
pembangunannya, seperti sektor industri dan industri pengolahan, yaitu sebesar
Rp 498,5 milyar, jasa angkutan, perdagangan dan perbankan tercipta output
sebesar Rp 270,2 milyar. Sedangkan dampak langsung investasi terhadap sektor
tanaman pangan adalah terbentuknya output sebesar Rp 3,7 milyar, tanaman
perkebunan sebesar Rp 2,0 milyar dan peternakan/kehutanan/perikanan sebesar Rp
22,7 milyar. Di dalam kelompok tanaman pangan itu sendiri, sektor padi mendapat
pengaruh paling besar membentuk output yaitu sebesar Rp 1,7 milyar.
Dampak nominal terhadap pembentukan pendapatan lebih banyak
ditentukan oleh nilai ekonomi komoditas itu sendiri dan tidak selalu sejajar
dengan pembentukan output antarsektor atau kelompok sektor. Pada kelompok
tanaman pangan, pendapatan yang terbentuk untuk padi sama dengan sayur-sayuran
(Rp 200 juta), padahal dalam pembentukan outputnya padi jauh lebih besar
daripada sayuran.
Dampak investasi Rp 1 triliun terhadap pembentukan nilai
tambah menunjukkan bahwa proporsi untuk masing-masing kelompok hampir sama
dengan dampak terhadap pembentukan output dimana pembentukan nilai tambah pada
kelompok indutri dan industri pengolahan serta jasa lebih besar. Pada kelompok
tanaman pangan nilai tambah yang diperoleh adalah Rp 3,8 milyar, tanaman
perkebunan sebesar Rp1,4 milyar, dan perikanan Rp 20 milyar. Sedangkan pada
kelompok industri pengolahan dan jasa masing-masing membentuk nilai tambah
sebesar Rp 260 milyar dan Rp 157 milyar.
Dari sisi infrastruktur kelembagaan permodalan, partisipasi
dan akses petani terhadap lembaga keuangan formal (seperti BRI, BNI, dll) di
desa-desa penelitian sangat rendah. Hal
ini disebabkan oleh dua hal yang tidak atau sulit dicari titik temunya, yaitu:
bank dianggap tidak berpihak kepada petani seperti agunan terlalu ketat, sistem
pengembalian tidak kompatibel dengan petani dll, sementara itu dari sisi petani, bank
menganggap bahwa komoditas pertanian tidak bankable, melayani petani
secara perseorangan terlalu rijit, dll. Melalui program sertifikasi lahan
petani baik melalui PRONA (kasus Desa Kesumadadi, Kabupaten Pesawaran), Program
sertifikasi melalui DIPA/RKAKL Dinas Pertanian (kasus Desa Gunung Rejo,
Kabupaten Lampung Tengah), maupun upaya penguatan status agunan dari bank (dari
girik menjadi sertifikat), telah mampu meningkatkan aksesibilitas masyarakat
kepada lembaga keuangan formal secara signifikan. Melalui upaya tersebut,
anggapan bahwa petani menjadi nasabah yang rijit dan komoditasnya tidak bankable,
menjadi terbantahkan atau tidak valid.
Sebagian besar
(70%-100%) desa-desa lokasi penelitian, penduduknya sudah menggunakan listrik
yang bersumber dari PLN. Keberadaan PLN
sangat mempengaruhi kehidupan rumah tangga petani. Di sektor pertanian, keberadaan energi listrik dapat memberikan
manfaat langsung diantaranya adalah kegiatan pascapanen dan agroindustri. Di
sektor non pertanian yang berkembang dengan adanya energi listrik adalah
berkembangnya industri konveksi pakaian, perbengkelan las dan industri kusen
dan mebelair. Bengkel las secara tidak langsung juga mendukung jasa perawatan
alsintan. Kegiatan ini melibatkan banyak tenaga kerja.
Dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi, peranan
penyuluhan sebagai lembaga perolehan sumber inovasi di bidang teknologi
cenderung menurun. Seiring dengan
kemajuan di bidang teknologi informasi, alternatif sumber inovasi semakin
beragam. Hal mendesak yang perlu dilakukan adalah adanya suatu pengawasan terhadap
mutu informasi. Selain mengakses teknologi, keberadaan PPL adalah mendampingi
petani mengakses modal. Selama ini modal
dari kredit program dan kredit komersial tersedia, namun petani tidak
mengetahui dan tidak mengerti akibat kurangnya sosialisasi, sehingga banyak
petani yang belum memanfaatkan dana tersebut.
Padahal secara finansial usahatani mereka layak dikembangkan dengan dana
perbankan. Sebagai sumber informasi inovasi teknologi keberadaan PPL cukup baik
yang memperlihatkan bahwa PPL merupakan sumber inovasi handalan petani di
sekitar 50 persen desa contoh penelitian.
Dukungan infrastruktur terhadap penyebaran inovasi di desa-desa
penelitian bervariasi dari kurang baik (satu desa), sedang (3 desa), dan baik
(5 desa).
Kinerja
infrastruktur dalam mendukung peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani
dipengaruhi oleh pendayagunaannya, pengoperasiannya, dan sistem pemeliharaan-nya.
Berpijak pada kinerja pemeliharaan yang terjadi saat ini maupun kecenderungan
yang terjadi dalam satu setengah dekade terakhir, program-program yang diarahkan
untuk meningkatkan partisipasi petani dalam pemeliharaan irigasi sangat
diperlukan. Dalam konteks ini, agar program tersebut mencapai sasarannya maka
implementasinya harus disinergikan dengan program rehabilitasi dan atau
pengembangan infrastruktur yang bersangkutan.
Untuk
meningkatkan produktivitas dan produksi gabah serta pendapatan petani
diperlukan pemeliharaan dan perbaikan secara berkelanjutan saluran irigasi
primer, sekunder, tersiser, dan kuarter.
Prioritas yang diperlukan adalah peningkatan layanan distribusi air
melalui peningkatan debit air irigasi.
Penurunan debit air irigasi diduga karena adanya pedangkalan di saluran
primer, sekunder, dan tersier.
Berpijak pada kondisi terkini, rehabilitasi sarana irigasi
yaitu saluran air, pintu air dan debit air sangat dirasakan urgensinya. Di wilayah perdesaan penghasil padi utamanya
di lokasi desa-desa penelitian, pengembangan dan atau rehabilitasi jalan
usahatani maupun jalan dalam dan antardesa juga diperlukan, namun prioritasnya
berada di bawah infrastruktur irigasi.
8.4.
Penelitian Alat dan
Mesin Pertanian
Penelitian aspek sosial ekonomi
alat dan mesin pertanian sangat jarang dilakukan di PSE-KP. Penelitian ini
dilakukan sebagai respon cukup ramainya dampak poistif dan negatif alsintan
dalam pembangunan pertanian, termasuk potensinya yang akan menyingkirkan sumber
daya mnanusia. Kekhawatiran ini ramai saat alsintan baru diperkenalkan yakni
awal tahun 1980-an.
Penelitian Pranadji et al. (1985) mendapatkan bahwa tingkat
penggunaan peralatan pertanian mekanis rata-rata masih rendah. Hal ini
disebabkan adalah mahalnya harga dan biaya operasi peralatannya. Thresher bermesin tidak berkembang,
disebabkan karena harganya mahal juga tidak praktis dimana petani penderep
(bawon) lebih senang mempergunakan thresher
sederhana (erekan) dan semakin besarnya mobilitas tenaga penderep mengikuti
lokasi panen yang tidak sama. Produk peralatan pertanian dalam negeri kalah
bersaing dengan produk impor. Untuk mencegahnya diperlukan aturan main dimana
industri kecil memasok kebutuhan industri besar peralatan mesin pertanian,
serta pengawasan impor peralatan pertanian lebih ditingkatkan lagi. Tujuannya
agar mesin impor tersebut tidak membunuh mesin pertanian yang dihasilkan oleh
industri kecil dan menengah dalam negeri.
Tahun berikutnya, penelitian Rachmat
et al. (1986) merekomendasikan perlu
adanya wadah formal atau nonformal bagi buruh panen untuk hidup berkelompok.
Pemakaian alat perontok mekanis (thresher)
di Sidrap dan sistem kedokan/ ceblokan di Karawang merupakan salah satu
media/wadah dari kelompok buruh panen.
Usaha perbaikan pascapanen termasuk pemakaian dryer, tidak lepas dari
kemampuan lembaga pemasaran. Untuk itu diperlukan kajian lebih lanjut tentang
kemampuan lembaga pemasaran.
Penelitian Kustiari
et al. (2010) mempelajari alsintan pada teknologi
pengolahan
hasil. Masalah fundamental dalam
inovasi teknologi pengolahan hasil adalah ketidakpaduan antara teknologi yang
dikembangkan dengan kebutuhan pengguna. Telah banyak teknologi yang
dihasilkan oleh institusi-institusi yang tergabung menjadi sistem inovasi
teknologi seperti universitas, lembaga penelitian dan BPTP, namun jumlah
teknologi pengolahan dan alsintan relatif terbatas. Studi di 6 kabupaten
menemukan bahwa di lapangan, secara umum teknologi pengolahan hasil pertanian dan
alsintan yang yang digunakan petani bersumber dari teknologi petani sendiri
secara turun-temurun. Teknologi dari pihak pemerintah dan swasta masih sangat
terbatas.
Selain introduksi teknologi inovasi pengolahan hasil dan alsintan
masih rendah, bantuan yang diberikan pemerintah sering tidak digunakan.
Kendalanya bersifat teknis, yakni belum terampil mengoperasikan dan tidak
sesuai dengan kondisi setempat, serta bantuan yang bersifat parsial. Bantuan teknologi dan alsintan untuk pengolahan hasil
pertanian dari pemerintah selama ini masih belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat perdesaan karena terkendala oleh masalah teknis, seperti
kemampuan untuk menggunakan alat tersebut dan
kesesuaian alat tersebut dengan kondisi sumber daya dan petani di
perdesaan. Selain itu, bantuan alsintan oleh pemerintah kepada masyarakat
perdesaan umumnya belum diberikan secara komprehensif. Kendala
dalam proses akselerasi inovasi teknologi alsintan adalah keterbatasan bahan
baku, keterbatasan teknologi dan alsintan, ketersediaan modal dan pemasaran.
Akibatnya, keuntungan dari kegiatan pengolahan hasil rendah.
Strategi yang dapat dipilih untuk meningkatkan
kinerja sistem inovasi guna meningkatkan kontribusi teknologi dalam upaya
pencapaian ketahanan pangan adalah: [1] sinkronisasi antara
teknologi yang dikembangkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh petani dan
industri pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan konsumen domestik; [2] insentif bagi petani dan rangsangan untuk
tumbuh-kembang industri pengolahan pangan yang berbasis teknologi nasional dan
sesuai dengan permintaan pasar domestik maupun internasional; [3] reviitalisasi lembaga intermediasi untuk
percepatan proses adopsi teknologi oleh petani dan industri pangan dalam
negeri; dan [4] dukungan peraturan
perundang-undangan sebagai landasan hukum untuk memfasilitasi, menstimulasi,
dan mengakselerasi interaksi antar-aktor sistem inovasi teknologi pengolahan
hasil pertanian dan kelembagaan pendukung lainnya.
8.5.
Manajemen Penyediaan Sarana dan Prasarana Pertanian
Penelitian Wahyuni et al. (2003) dilakukan terhadap padi sawah dan padi ladang, untuk
mempelajari keragaan penerapan teknologi dan faktor-faktor penjelasnya. Untuk
padi sawah, tiga komponen teknologi yang oleh petani dianggap belum pernah ada
perubahan adalah cara tanam, jumlah bibit, dan cara penentuan saat panen. Sementara penggunaan traktor dan perontok (tresher) sangat bergantung kepada
kondisi topografi lahan. Empat komponen
teknologi yaitu jarak tanam, pemupukan, pengendalian hama penyakit, dan jenis
varietas; telah diyakini petani sebagai teknologi yang berperan dalam
meningkatkan produksi padi. Temuan juga
menunjukkan bahwa cara tanam legowo telah diterapkan secara luas.
Kendala
utama untuk menerapkan komponen teknologi pemupukan adalah soal permodalan. Untuk
teknologi pengendalian hama penyakit, kendalanya adalah hama yang resisten,
kekurangan modal dan letak kios yang jauh.
Sedangkan kendala dalam mengadopsi varietas baru adalah benih yang tidak
tahan hama penyakit, harga yang mahal , dan karena benih sulit dicari.
Secara
umum, pertimbangan petani secara berurutan dalam mengadopsi teknologi adalah
kriteria ekonomis, lalu kriteria teknis, sosial budaya, dan terakhir kriteria
berkelanjutan. Bobot prioritas masing-masing adalah 0,47; 0,26; 0,14, dan 0,13.
Khusus untuk pemupukan, kriteria yang dipertimbangkan petani adalah dari sisi
sosial-budaya (0,25), kemudian keberlanjutan (0,23), ekonomis (0,18) dan teknis
(0,17). Tipisnya perbedaan bobot prioritas antarkriteria menunjukkan pentingnya
semua kriteria dalam menerapkan teknologi.
Komponen
teknologi pengendalian hama penyakit yang
diperlukan petani adalah yang secara teknis mudah diimplementasikan
dengan bobot prioritas 0,20. Komponen teknologi varietas menuntut kriteria
teknologi yang tepat guna dari semua kriteria baik ekonomis, teknis,
sosial-budaya dan keberlanjutan karena bobot prioritasnya seimbang 0,22;
0,31 ; 0,15 dan 0, 22. Ciri
intrinsik varietas yang diinginkan petani adalah pertama memiliki risiko kecil
(62%), hemat tenaga kerja (24%) hemat biaya (8%), mudah dibudidayakan (3%),
serta mempunyai produksi tinggi (3%).
Sementara,
untuk padi ladang, kriteria
teknologi padi yang merupakan preferensi petani diutamakan bersifat ekonomis
dengan bobot prioritas 0,33; berkelanjutan (0,32); teknis (0,23) dan sosial
budaya (0,12). Komponen teknologi padi yang diprioritaskan petani
berturut-turut adalah pemupukan, lalu pengendalian hama penyakit, dan
pascapanen. Masing-masing dengan bobot prioritas 0,24; 0,19 dan 0,13.
Karakteristik teknologi padi ladang yang dibutuhkan petani berupa teknologi: Pertama, pemupukan yakni biaya yang
rendah (23-60%), tingkat produktivitas tinggi (17-60%), mudah diterapkan
(7-10%), sarana tersedia di pasaran (7%), dan hemat tenaga kerja (3%). Kedua, pengendalian hama penyakit yakni
perihal biaya yang rendah (20-43%), tingkat produktivitas tinggi (17-50%), dan
sarana tersedia di pasaran (13%). Tiga,
pascapanen yakni sesuai dengan kebiasaan (27-43%), tingkat kehilangan hasil
rendah atau keuntungan tinggi (26-27%), sesuai dengan ketersediaan alat
(13-24%), tingkat produktivitas tinggi (10-13%), dan cara penanganan telah
dikuasai (7%).
Agropolitan
merupakan salah satu program yang dijalankan secara interdepartemen, yang
mencakup Departemen PU, Perdagangan, Pertanian serta Pemerintah Daerah.
Kegiatan ini telah dijalankan di banyak lokasi, namun dengan keberhasilan yang
variatif.
Penelitian Rusastra et al. (2004) tentang agropolitan mencakup dua kegiatan yaitu
mengevaluasi konsep dan kinerja pelaksanaan program agropolitan. Penelitian
dilakukan di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (basis
hortikultura); Kabupaten Agam, Sumatera Barat (basis sapi potong); dan
Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan (basis sapi potong dan jagung). Meskipun
secara umum, Pokja kabupaten telah berfungsi, namun Badan Pengelola Kawasan
Agropolitan (BPKAP) provinsi dan kabupaten yang memegang peranan sentral dalam
sinkronisasi, koordinasi, dan mediator lintas wilayah dan instansi (sektoral)
ternyata belum optimal. Eksistensi dan kinerja pendampingan untuk seluruh
sentra pengembangan agribisnis dengan performa baik. Fasilitas pemerintah untuk
meningkatkan kapasitas dan kemandirian masyarakat telah ditempuh dengan
pendekatan partisipatif. Pembangunan infrastruktur sesuai dengan masterplan telah dilaksanakan dengan
kinerja relatif baik, demikian pula dengan penerapan prinsip pemberdayaan,
namun kemitraan masih terbatas. Pengembangan sarana dan prasarana fisik dinilai
berhasil dengan baik, sedangkan kelembagaan agribisnis dan rencana tata ruang
wilayah (RTRW) masih membutuhkan pemantapan. Pengembangan agribisnis yang
mencakup sistem usaha, kelembagaan ekonomi, dan kemitraan belum berjalan
seperti yang diharapkan. Belum diperoleh manfaat dalam bentuk perluasan
kesempatan kerja, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat.
Untuk
kinerja yang lebih baik, program agropolitan perlu difasilitasi dengan
kebijakan perdagangan yang mampu menjamin stabilitas harga domestik,
mendekatkan pelayanan investasi dasar perdesaan (pasar input dan pengolahan),
penyediaan kesempatan kerja nonpertanian, perluasan pasar produksi, dan
informasi agribisnis. Kebijakan skim modal kerja dalam bentuk kredit program
agropolitan perlu difasilitasi dengan kelembagaan kelompok tani yang mandiri
dan pengembangan kelembagaan pemasaran bersama. Peningkatan pendapatan
dimungkinkan mengembangkan konsolidasi usaha yang kooperatif, pengembangan
diversifikasi usaha, dan pemantapan pemanfaatan tata ruang pengembangan
agribisnis. Fasilitasi oleh pemerintah perlu dibarengi dengan sistem insentif
bagi petugas di lapangan secara tepat dan proporsional, serta penguatan
kelembagaan tani dan agribisnis.
Anggaran dari pemerintah daerah
merupakan sumber daya yang penting untuk penyediaan sarana dan prasarana
pertanian. Namun, hasil penelitian Suhaeti et
al. (2010) mendapatkan bahwa besaran alokasi anggaran daerah untuk
pembangunan pertanian belum mencerminkan pemihakan kepada sektor pertanian.
Secara umum, komitmen dan keberpihakan pimpinan daerah terhadap pembangunan
pertanian rendah. Selain itu, kompetensi dan penempatan SDM pertanian di daerah
belum mencerminkan adanya penyelenggaraan pembangunan pertanian yang terencana
dengan baik. Sementara, arah dan program pengembangan SDM pertanian belum
memadai dan gagal memberi kontribusi pada pembangunan pertanian setempat.
Subsidi merupakan salah satu
bentuk dukungan untuk petani. Penelitian Arifin et al. (1988) berjudul “Implikasi Pengurangan Subsidi Pertanian terhadap
Pertumbuhan Produksi Subsektor Tanaman pangan”. Kenaikan harga pupuk pada bulan Oktober 1988 memberikan dampak
pengurangan dosis pemupukan bagi ¼ petani responden padi dan kedelai di
Sumatera Barat. Sebaliknya petani responden di Jawa Timur tidak sama sekali
mengurangi dosis. Salah satu penyebabnya adalah kesadaran pemakaian dosis pupuk,
produktivitas usahatani dan intensitas penyuluhan yang lebih tinggi di Jawa
Timur dibandingkan Sumatera Barat. Hasil analisis fungsi logit dampak
pengurangan dosis pemupukan lebih tinggi di tanaman ubi jalar, hal ini
disebabkan tanaman ini kurang ekonomis dan biaya usahataninya lebih rendah
dibandingkan tanaman padi, jagung, atau kedelai.
Pemakaian pupuk urea untuk
usahatani padi, kedelai dan jagung sudah melebihi dosis rekomendasi yang
dianjurkan, sehingga penambahan dosis pupuk urea tidak akan menyebabkan akan
meningkatkan produktivitas. Untuk menjaga pertumbuhan produksi tanaman pangan,
maka kebijaksanaan pengurangan subsidi harga pupuk harus diimbangi dengan
kebijakan harga produksi dan pemakaian pupuk secara efisien dan efektif.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar