BAB
III. PENELITIAN TENTANG PERDAGANGAN HASIL-HASIL PERTANIAN
Studi-studi tentang perdagangan di PSE-KP dimulai
dari isu perdagangan lokal antardaerah di pasar domestik, sampai dengan
perdagangan internasional dengan membahas aturan dan kesepakatan, serta dampak
dan konsekuensi kerangka perdagangan yang ada. Disamping itu, dikaji juga aspek terkait di luar perdagangan, misalnya peraturan daerah dalam rangka otonomi. Studi tentang perdagangan domestik dimulai
tahun 2003, pascapenerapan sistem otonomi
daerah di Indonesia. Sementara, kajian perdagangan internasional dimulai pada
tahun 2005 sejak ditandanganinya kesepakatan perdagangan bebas di kawasan ASEAN
yang dikenal dengan AFTA.
Kajian terhadap perdagangan komoditas umumnya
sehubungan dengan sifat komoditas yang strategis atau prospek pengembangannya.
Disamping itu, kajian perdagangan komoditas juga dilakukan sebagai dampak dari implementasi
peraturan atau kesepakatan yang tidak dikaji kelayakannya sebelumnya. Namun
sayangnya, tindak lanjut dari berbagai hasil kajian ini agak sulit ditelusuri,
meskipun kajian yang dilakukan sudah berdasarkan pada analisis data sekunder
maupun primer yang dilakukan secara kuantitatif, kualitatif, dan deskriptif. Sampai
saat ini isu perdagangan di tingkat domestik dan internasional terus
berkembang, misalnya dengan semakin banyaknya pencapaian kesepakatan
perdagangan di ranah internasional. Dengan demikian, tampaknya ke depan objek
ini akan terus mendapat perhatian dan sangat menantang.
3.1.
Perdagangan Domestik
Mengingat komoditas tembakau mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi dan menjadi sumber pendapatan petani, menyerap banyak
tenaga kerja dari usahatani sampai dengan industrinya; maka dipandang penting
mempelajari pola perdagangan tembakau antarwilayah untuk meningkatkan keragaan
komoditas melalui pemahaman pembentukan harga. Disamping itu, karena sifatnya
yang strategis, pola perdagangan kedelai antarwilayah juga telah dipelajari.
Struktur produksi, konsumsi, dan pasar kedelai yang erat kaitannya dengan arus
globalisasi juga telah dikaji, karena kedelai ketersediaannya lebih banyak
didatangkan dari impor. Oleh karena itu, pada tahun 1993, Santoso et al. dan Zulham et al. masing-masing mengkaji pola perdagangan wilayah untuk
tembakau dan kedelai.
Santoso et
al. (1993) menyimpulkan bahwa pembentukan harga tembakau terjadi melalui
transaksi implisit kontrak dan transaksi bebas. Kedua transaksi tersebut dilakukan melalui tata niaga yang
panjang dimulai dari petani sampai dengan industri. Kontrak implisit dillakukan
antara pemberi modal dengan proses tawar-menawar dengan pedagang besar,
pedagang pengumpul, pengolah sampai dengan petani setelah dikurangi
ongkos-ongkos pemasaran oleh setiap pelaku tata niaga. Transaksi bebas dilakukan oleh seluruh pelaku tata niaga dalam transaksi
implisit tanpa disertai dokumen kontrak. Petani merupakan pihak dengan posisi
tawar paling lemah diantara pelaku ekonomi lain. Guna membenahi
permasalahan tersebut, direkomendasikan untuk mengatur luas areal tanam dan
membatasi perdagangan daun tembakau segar (hijau). Pengaturan luas areal tanam
bertujuan untuk menjaga stabilitas harga tembakau di pasar terutama tujuan
ekspor. Disamping itu juga dibutuhkan perbaikan dan standarisasi mutu tembakau
yang dihasilkan petani.
Sementara, penelitian
kedelai oleh Zulham et al. (1993) menyimpulkan bahwa dalam dua dasawarsa
terjadi kecenderungan yang berbeda. Selama 1970-1980 luas areal dan produksi
cenderung meningkat karena faktor peningkatan produktivitas. Namun dalam
periode 1980-1990 impor kedelai justru meningkat tajam. Hal ini mengindikasikan bahwa produksi domestik tidak mampu
mencukupi permintaan di dalam negeri. Peningkatan
produksi yang bertumpu pada perluasan areal tanam dinilai berdampak positif
pada kuantitas penjualan kedelai antarwilayah, terutama dari Luar Jawa
(surplus) ke Jawa (defisit). Guna mengantisipasi fluktuasi harga, pemerintah
menyerahkan pengaturan distribusi kepada Bulog. Hal ini dilakukan karena petani
masih enggan meningkatkan produktivitas meskipun harga yang diterima di atas
biaya produksi.
Disarankan pula agar pada bulan November-Januari di setiap tahun direkomendasikan untuk mengantisipasi defisit yang
besar. Khusus untuk bulan Mei-Juli perlu pengaturan surplus dengan
memanfaatkan Jaringan Usaha Koperasi (JUK). Jaringan ini dapat dijadikan sumber
informasi bagi pedagang kedelai antarwilayah dan meningkatkan intensitas
ekonomi petani kedelai dan pedagang.
Perdagangan domestik antarwilayah memasuki babak
baru semenjak era otonomi daerah yang efektif dilaksanakan per 1 Januari 2000.
Mulai di saat itu bermunculan kebijakan perdagangan daerah sebagai respon
pemberian keleluasaan pemerintah daerah mengurus potensi dan menyelesaikan
permasalahan di daerah. Mayrowani et al.
(2003) memberi fokus kajian pada
kebijakan daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari berbagai
sumber yang memungkinkan, termasuk dari aktivitas perdagangan komoditas
pertanian yang mengalir melintasi antardaerah dengan peraturan yang beragam. Temuan
lapangan mendapatkan bahwa efisiensi perdagangan dan dampak bagi produsen
maupun konsumen tidak dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dalam menyusun
berbagai kebijakan yang bertujuan terbatas untuk menghimpun PAD.
Hasil penelitian pada empat komoditas (kopi, ubi kayu,
tembakau dan sapi potong) di dua provinsi (Lampung dan Jawa Timur) menunjukkan
bahwa peraturan daerah yang mengatur perdagangan komoditas pertanian dalam era
otonomi daerah banyak berdampak pada pedagang dan pengusaha skala besar.
Peraturan saling tumpang tindih terutama dalam hal pungutan selama pengangkutan
komoditas antarwilayah. Hal ini mengakibatkan biaya tinggi dan menekan daya
saing komoditas dalam perdagangan antardaerah.
Lebih lanjut Mayrowani et al. (2003) menyebutkan
bahwa ada hambatan dasar dalam perdagangan komoditas antardaerah, yaitu (1) keseimbangan
penawaran dan permintaan akibat skala usaha yang tidak efisien, (2)
restrukturisasi kelembagaan pascaotonomi daerah menurunkan pembinaan kualitas
komoditas pertanian, (3) kebijakan ekonomi global, dan (4) iklim usaha yang
tidak kondusif untuk investasi pascaimplementasi otonomi daerah. Pembenahan
kebijakan otonomi daerah perlu dilakukan secara sistematis dan dikoordinasikan
antarwilayah, sehingga dicapai perbaikan substansi peraturan terutama formula
kebijakan. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari kesalahan dan perbedaan
penafsiran peraturan, sehingga menimbulkan inefisiensi ekonomi di lapangan.
3.2. Dampak Kebijakan Perdagangan Internasional
Penelitian tentang perdagangan internasional
condong pada analisis dampak atas kesepakatan perdagangan bilateral, regional,
maupun internasional. Hadi et al.
(2002) mengkaji perdagangan internasional komoditas pertanian pascakrisis
ekonomi 1997 dan kesepakatan perdagangan dunia terhadap permintaan komoditas
pertanian Indonesia yang mengalami penurunan daya saing karena diekspor secara
tradisional dan bersifat substitusi impor. Dari studi ini ditemukan bahwa
komoditas kelapa sawit merespon kenaikan harga ekspor akibat depresiasi rupiah
terhadap dolar AS dan pascakrisis ekonomi dengan peningkatan luas areal tanam
dan produksi minyak sawit. Volume dan nilai ekspor melonjak drastis sehingga
pangsa ekspor Indonesia naik. Komoditas karet juga merespon kenaikan harga di
pasar dunia dengan peningkatan luas areal, produksi serta volume dan nilai
ekspor. Produk utama komoditas karet adalah SIR-20 yang dihasilkan dari crumb rubber.
Komoditas kopi pun menunjukkan kinerja yang sama
sebagaimana minyak sawit dan karet. Kopi Indonesia mempunyai keunggulan
komparatif dan kompetitif namun mengalami kendala pada sisi produksi karena
peningkatan harga input. Komoditas lada menunjukkan daya saing komparatif dan
kompetitif pascakrisis ekonomi. Produksi lada tumbuh baik meskipun dengan dukungan
pemerintah yang rendah, namun ke depan perlu dukungan dan bantuan dana untuk pengembangannya.
Tidak berbeda dengan lada, tiga komoditas lain pun perlu didukung pemerintah
dengan pemberian bantuan kredit dengan subsidi bunga bagi para petani. Dari
sisi pascapanen petani perlu didampingi teknologi yang lebih baik untuk
menghasilkan produk yang standar.
Tahun berikutnya, Hutabarat et al. (2003)
mempelajari dampak liberalisasi perdagangan terhadap daya saing komoditas
perkebunan dengan sampling di Lampung dan Jawa Tengah. Luasan tanam kopi yang ditanam petani lebih responsif
dibandingkan perkebunan swasta maupun nasional. Namun dari sisi produksi, perkebunan swasta jauh lebih responsif
dibandingkan perkebunan negara dan rakyat. Penguatan rupiah terhadap dolar AS
berimbas pada peningkatan harga jual komoditas ekspor, sehingga mendorong pekebun
memperluas tanamannya.
Khusus untuk komoditas tembakau, yang mempunyai
rantai pemasaran yang panjang, petani tidak menikmati kenaikan harga dari
kenaikan harga ekspor tembakau dan produk tembakau di pasar dunia. Karena respon
produksi yang rendah ini, maka direkomendasikan penggunaan varietas komoditas
unggul untuk meningkatkan produksi dan mendorong peningkatan pendapatan pekebun
ketika terjadi kenaikan harga di pasar.
Tim penelitian Saliem et al. (2003) pada saat yang sama mendalami dampak liberalisasi
perdagangan pada kinerja ketahanan nasional, berdasarkan tiga indikator
kemandirian pangan. Berdasarkan ketersediaan pangan dalam bentuk energi
disimpulkan bahwa pascaliberalisasi perdagangan kemandirian pangan nasional
masih dalam kondisi aman. Kriteria aman diukur dari
rasio ketergantungan impor pangan. Namun, rasio ketergantungan impor pangan
cenderung akan naik dari waktu ke waktu. Hal ini ditunjukkan oleh kenaikan
volume impor pangan yang meningkat setiap tahunnya selama peride analisis,
sehingga perlu tindakan antisipatif untuk menangani ancaman ketergantungan
impor pangan ini. Berdasarkan tingkat kerentanan, keragaman, dan stabilitas
dalam jangka panjang; diketahui bahwa secara
agregat keberlanjutan ketahanan pangan nasional stabil dan cukup terjamin
dengan mengandalkan produksi dan ketersediaan pangan nasional.
Di lain pihak, apabila
persentase penurunan harga beras, jagung dan kedelai di pasar dunia lebih besar
daripada persentase kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, maka akan
berdampak negatif pada derajat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan
individu. Dampak
negatif ini akan lebih besar
apabila indeks keterkaitan
antara pasar beras, jagung, dan kedelai domestik dengan dunia kuat. Hal ini menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan
berdampak pada penurunan harga komoditas di pasar dunia, sehingga konsumen
mengalami penambahan kesejahteraan karena harga lebih murah namun menurunkan
kesejahteraan produsen. Sebaliknya, penguatan rupiah terhadap dolar AS dan
pengendalian pasar yang kuat oleh pemerintah dalam era liberalisasi perdagangan
akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan produsen.
Dalam cakupan kawasan perdagangan yang lebih
sempit, implementasi kesepakatan ASEAN Free
Trade Agreement (AFTA) dikaji oleh Hadi
et al. (2003). Hasilnya menunjukkan
bahwa nilai perdagangan baik ekspor maupun impor di internal kawasan ASEAN
hanya mencapai 25 persen dari total perdagangan ASEAN dengan seluruh negara di
dunia. Artinya, sebagian besar nilai
perdagangan diperoleh dari ekspor dan impor antara negara anggota ASEAN dengan
negara lain di dunia. Diantara 24 kelompok komoditas yang diperdagangkan, hanya
enam kelompok komoditas dominan diperdagangkan dalam kerangka AFTA, yaitu
minyak nabati dan hewani (terutama CPO); serealia (terutama
beras);
tembakau dan produk turunannya; produk
perikanan; gula; serta kopi, teh dan
rempah.
Pasca-AFTA, Indonesia merupakan satu-satunya negara
yang mempunyai daya saing positif setelah menurun dalam periode 1999-2001. Thailand
dan Filipina berhasil memperbaiki daya saing produk pertaniannya dan berpotensi
menjadi pesaing Indonesia disamping Vietnam dan Malaysia, sedangkan Vietnam justru
sebaliknya menurun daya saingnya. Meskipun positif, namun Indonesia masih
menghadapi permasalahan di tingkat usahatani, pengolahan, dan pemasaran yang
berdampak pada inefisiensi.
Setelah mengkaji dampak
liberalisasi pada dua komoditas ekspor, pada tahun 2005 tim penelitian
Hutabarat et al. kembali mengkaji
dampak kesepakatan perdagangan bebas regional dan multilateral serta modalitas
perjanjian-perjanjian perdagangan tersebut. Dalam perdagangan bebas,
skema yang selalu muncul adalah penurunan tarif. Oleh karena itu, Hutabarat et
al. (2004) memberi perhatian lebih
pada dampak pemberlakuan tarif nol persen dalam kerangka AFTA terhadap
kesejahteraan produsen dan konsumen komoditas pertanian di dalam negeri.
Hutabarat et al. (2004) menunjukkan bahwa produsen komoditas ekspor utama
kehilangan surplus pascaimplementasi AFTA, terutama produsen kelapa, minyak
kelapa, cerutu, kakao dan jagung. Liberalisasi perdagangan
antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN hanya memberi keuntungan kepada
konsumen di dalam negeri dan tidak efektif
bagi peningkatan perekonomian Indonesia secara agregat. Hal ini memperkuat
temuan Hadi et al. (2003) bahwa pasca-AFTA
Indonesia menghadapi inefisiensi di tingkat usahatani, pengolahan, dan
pemasaran. Negara yang meraih
keuntungan dari liberalisasi perdagangan di kawasan ASEAN adalah Malaysia,
Brunei Darussalam, Jepang, dan Korea Selatan. Sementara, AFTA tidak berarti
sama sekali bagi Laos, Thailand, dan Myanmar.
Lebih lanjut Hutabarat et al.
(2004) menegaskan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan menyebabkan peningkatan harga dunia dengan
tingkat perubahan harga yang cenderung sama, mengakibatkan kenaikan harga
di negara pengimpor, termasuk Indonesia, dan hanya menguntungkan produsen yang
berasal dari negara pengekspor. Oleh karena itu, tim studi
ini merekomendasikan perbaikan kinerja
perdagangan melalui peningkatan mutu dan jumlah produksi di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan impor pangan dan
komoditas pertanian lain.
Lalu,
tiga tahun berikutnya, Hutabarat et
al. (2007) mengkaji dampak kesepakatan perdagangan Indonesia-China dan
AFTA. Melalui analisis simulasinya tim ini menunjukkan bahwa implikasi AFTA
adalah tarif nol persen untuk sebagian besar produk ekspor pertanian dari
negara mitra. Apabila China dan semua negara ASEAN menerapkan pemotongan tarif
secara bersamaan dengan besaran yang sama, maka akan berdampak positif terhadap
produksi, ekspor bersih, PDB, dan kesejahteraan Indonesia. Namun, perdagangan
bebas bilateral Indonesia-China memberi peningkatan jauh lebih besar daripada
perdagangan bebas regional AFTA yang ditunjukkan oleh ekspor, tingkat
kesejahteraan, PDB, dan bahkan impor. AFTA
memberi peningkatan produksi yang lebih besar dibandingkan bilateral
Indonesia-China. Secara agregat Indonesia memperoleh tambahan devisa dari
ekspor komoditas pertanian unggulan. Disamping itu, Indonesia perlu
memperhatikan pemenuhan kebutuhannya di dalam negeri. Gejolak harga dunia
harus dijadikan patokan dalam memprakirakan komposisi ekspor dan konsumsi dalam
negeri terhadap suatu produk, untuk menghindari gejolak pasar dalam negeri yang
mengakibatkan peningkatan harga yang sangat tajam untuk kebutuhan-kebutuhan
pokok.
Azas hati-hati perlu diterapkan dalam memberi
rekomendasi komoditas yang diusulkan dalam skema penurunan atau penghapusan
tarif, dan harus berdasar analisis pesaing lingkup ASEAN maupun kawasan lain;
agar tidak membatasi ruang pengembangan ekspor komoditas dan pengembangan
agroindustri di dalam negeri. Informasi berkelanjutan tentang keragaan
perdagangan bebas bilateral antara Indonesia dengan mitra sangat diperlukan
dalam pengambilan saran kebijakan dan keputusan posisi perundingan perdagangan
bebas yang konsisten dan menguntungkan pihak Indonesia.
Menjawab
lebih detail dampak perdagangan terhadap produsen utama komoditas pertanian di
Indonesia yang umumnya petani dengan skala kecil, Hutabarat et al. (2008) mempelajari
tentang respon usahatani skala kecil terhadap liberalisasi perdagangan. Dalam kajian ini Hutabarat et al. (2008) menemukan bahwa perubahan rezim perdagangan tidak berdampak langsung pada
rantai pasok dan nilai jagung maupun sistem agribisnis
jagung, karena bea masuk impor telah rendah dan sebagian
besar produsen jagung adalah petani kecil.
Di lain pihak, pasar kakao dalam negeri merespon
liberalisasi perdagangan dengan peningkatan volume sekaligus nilai ekspor,
terutama dengan tujuan ke China dan negara-negara ASEAN, seperti Malaysia dan Singapura. Kebijakan insentif tidak dapat direspons secara maksimal karena petani
kakao yang berskala kecil menghadapi kendala modal dan teknis, yaitu serangan hama penyakit. Demikian juga petani pisang Mas Kirana yang
kesulitan menghadapi permintaan pasar domestik maupun ekspor. Mereka tidak
menguasasi teknologi penghambat kematangan buah. Potensi pasar yang ada
dipenuhi secara terbatas dengan produksi kakao maupun pisang yang dihasilkan
dari teknologi yang ada. Di lain pihak, liberalisasi perdagangan yang berlangsung
telah mampu mendekatkan produsen dengan konsumen dan mendorong petani untuk
menghasilkan produk healthy food dari
usahatani yang ada karena tuntutan standarisasi dan kualitas di pasar dunia.
3.3. Penelitian untuk Penyusunan Strategi Ekonomi
Nasional untuk Menghadapi Perdagangan Global
Sejak Indonesia bergabung dengan Organisasi
Perdagangan Dunia atau World Trade
Organization (WTO), banyak konsekuensi ekonomi dan sosial bagi sektor
pertanian Indonesia secara keseluruhan, yaitu usahatani, pendapatan petani,
serta terhadap pasar dan kesejahteraan konsumen. Sebagai anggota, Indonesia
berkewajiban melakukan notifikasi dan usulan modalitas dalam Putaran
Perundingan WTO yang telah memasuki masa kedua, yaitu Putaran Doha setelah
Putaran Uruguay berakhir. Implikasi dari hasil-hasil penelitian ini menekankan
betapa pentingnya penguatan dan peningkatan produksi dalam negeri, konsumsi
produk domestik, maupun diversifikasi pangan.
Tim studi Hadi et al. (2004)
mempelajari strategi dan kebijakan perdagangan pertanian pascakesepakatan
pertanian dalam WTO terhadap beras dan tebu. Tim ini menyimpulkan bahwa
penghapusan salah satu atau kedua kebijakan proteksi yang telah ditempuh
pemerintah Indonesia untuk kedua komoditas ini berdampak negatif, yaitu menurunkan
harga produsen, jumlah produksi, surplus produsen dan pendapatan petani, serta
meningkatkan jumlah impor kedua komoditas tersebut secara signifikan.
Penghapusan salah satu kebijakan, apalagi keduanya, akan menyebabkan usahatani
padi dan tebu dan pabrik gula hancur, sehingga tingkat ketergantungan Indonesia
pada pasar dunia yang tipis akan makin besar. Dampak pada komoditas gula akan lebih serius
dibanding pada beras.
Khusus untuk kakao, kebijakan tarif saja atau
kebijakan nontarif saja tampaknya tidak cukup untuk melindungi pertanian padi
dan gula nasional. Ekspor kakao cenderung meningkat tetapi tetap didominasi
oleh produk kakao biji, bukan kakao olahan. Ada kecenderungan pangsa volume
ekspor kakao olahan meningkat tetapi belum siginifikan, sehingga perkembangan
industri pengolahan (grinding) nasional juga lambat berkembang. Faktor
penyebabnya adalah adanya eskalasi tarif impor di negara-negara tujuan ekspor
dan adanya PPN 10 persen yang dikenakan terhadap kakao biji sebagai bahan baku
industri pengolahan. Ini menyebabkan harganya menjadi mahal.
Strategi defensif dan strategi ofensif masih tetap
perlu ditempuh oleh pemerintah Indonesia di masa depan. Strategi defensif
diperlukan untuk melindungi pertanian dalam negeri yang masih lemah terhadap
ancaman dari luar sekaligus memperkuat daya saing di pasar dalam negeri,
sedangkan strategi ofensif diperlukan untuk memperkuat daya saing guna
mendorong ekspor komoditas pertanian yang mempunyai keunggulan komparatif dan
peluang pasar yang besar. Kebijakan yang diperlukan untuk pengembangan
pertanian komoditas beras dan gula adalah dengan mempertahankan kebijakan
proteksi yang selama ini ditempuh, yaitu pengenaan tarif impor sebesar Rp
430/kg untuk beras, Rp 550/kg untuk gula mentah, dan Rp 700/kg untuk gula putih.
Ini perlu dikombinasikan
dengan kebijakan non-tarif berupa pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor.
Khusus untuk tebu dan gula, pemberian bantuan kredit kepada petani perlu
dilanjutkan. Peningkatan efisiensi yang signifikan pada agribisnis beras dan
gula akan dapat memperkuat daya saing kedua komoditas tersebut di pasar
domestik guna menangkal serbuan produk impor. Kebijakan proteksi tidak mungkin
dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang karena tuntutan
globalisasi.
Pada tahun yang sama, Hutabarat et al. (2004) menyiapkan bahan advokasi
yang lebih spesifik untuk perundingan perdagangan multilateral. Tujuannya agar
pemerintah Indonesia menjadi tegas dalam berunding karena didasarkan atas hasil
kajian dan analisis akademis yang kuat. Tim ini menyarankan mekanisme
perlindungan dari serbuan impor. Apabila volume impor berada di atas nilai
trennya atau harga berada di bawah nilai trennya, maka salah satu opsi dapat
dipilih, yaitu: (1) bea masuk tambahan (surcharge)
diberlakukan pada impor komoditas yang bersangkutan dan besarnya bea masuk
tambahan ditetapkan paling tinggi sebesar 50 persen dari tarif yang berlaku;
atau (2) besarnya volume yang dapat diimpor paling tinggi sebesar 50 persen
dari rata-rata volume impor selama tiga periode di atas nilai tren volume
impor. Sementara, apabila volume impor berada di bawah nilai trennya atau harga
berada di atas nilai trennya, maka bea masuk tambahan atau pembatasan impor
tidak perlu diberlakukan.
Selain itu, tim juga mengusulkan beberapa komoditas
hasil penyaringan dengan menggunakan indeks Daya Penyebaran dan Derajat
Kepekaan yang terkait dengan tenaga kerja di tiap sektor produk pangan.
Hasilnya direkomendasikan ke dalam 10 kelompok produk yaitu daging, susu, beras, gula, jagung, buah-buahan dan
sayur-sayuran, kedelai, makanan lainnya, unggas dan hasil-hasilnya, dan tepung lainnya. Kesepuluh produk ini perlu
dilindungi dan diusulkan untuk mendapatkan perlakuan khusus dalam skema
penurunan tarif. Indonesia disarankan agar tidak hanya memasukkan beras,
gula, kedelai, dan jagung sebagai produk khusus yang perlu dilindungi.
Selain itu, kebijakan
kuota tarif untuk beras dan gula direkomendasikan pula untuk memperbaiki neraca
perdagangan. Sedangkan kuota tarif untuk susu kurang efektif karena cenderung
merugikan konsumen selama impor susu masih tinggi. Indonesia disarankan tetap
memakai Rumus Putaran Uruguay dalam menghitung besaran penurunan tarif di
masing-masing kelompok tarif dam mengelompokan penurunan tarif berturut-turut
30 persen, 25 persen, 20 persen, dan 15 persen dan memilih alternatif dengan
koefisien yang moderat, masing-masing sebesar 80; 65; 50; dan 35. Untuk produk
khusus, koefisien cukup ditetapkan sebesar 95 atau paling rendah adalah 85.
Selanjutnya Malian et al. (2005) mendalami prospek pengembangan agroindustri di
Provinsi Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Disimpulkan
bahwa dalam sistem pemasaran lada putih, sistem informasi harga berlangsung
satu arah dan petani hanya berperan sebagai penerima harga. Menghadapi pesaing
Brazil dan India, kinerja ekspor lada Indonesia menunjukkan elastisitas harga
positif dengan negara tujuan Singapura dan Belanda.
Sementara, untuk komoditas kelapa, produk agroindustri berbasis kelapa
menunjukkan angka negatif untuk elastisitas harga, substitusi, dan pendapatan.
Namun untuk tujuan ekspor Uni Emirat Arab,
diperoleh angka positif untuk elastisitas harga dan substitusi. Produk
agroindustri berbasis teh hanya berelastisitas positif untuk harga dan
pendapatan dengan negara tujuan Pakistan, sedangkan untuk tujuan ekspor lainnya
bertanda negatif. Rekomendasi untuk pengembangan prospek ekspor agroindustri
perkebunan ini adalah berupa pemberian insentif ekspor dalam bentuk keringanan
dan pembebasan pajak (tax incentive).
Berbagai tantangan liberalisasi melatarbelakangi
studi Hutabarat et al. (2006)
yang melakukan analisis notifikasi dalam
kerangka modalitas perjanjian pertanian Indonesia dalam WTO. Berdasarkan hasil
simulasi, diperoleh bahwa penurunan subsidi domestik negara maju sesuai dengan
usulan yang diajukan kelompok negara 20, AS dan UE serta hasil Hongkong.
Ditunjukkan pula bahwa harga-harga komoditas pertanian akan mengalami
peningkatan, khususnya yang berasal dari negara maju, sehingga impor akan turun
dan konsumen cenderung memilih komoditas domestik. Permintaan komoditas di
tingkat rumah tangga juga akan turun terutama pada komoditas jenis biji-bijian
yang mengandung minyak. Pemotongan tarif impor tidak serta-merta menunjukkan
arah yang sama dampaknya terhadap produksi komoditas pertanian di Indonesia dan
negara berkembang kelompok negara 33. Hampir semua produksi komoditas pertanian
Indonesia akan turun. Akibat
penurunan produksi ini, semua skenario penurunan tarif menunjukkan bahwa
permintaan atau penggunaan masukan, terutama lahan, tenaga kerja tidak terdidik,
dan modal akan menurun pula bagi komoditas-komoditas ini. Penurunan produksi
beberapa komoditas pertanian di Indonesia menyebabkan defisit neraca
perdagangan.
Tim ini merekomendasikan agar negara berkembang
mendesak negara maju untuk memberi data yang sebenarnya, dan agar juga
mendisiplinkan bantuan domestik agar tidak dengan mudah memindahkan subsidi
dari satu kotak ke kotak yang lain. Penurunan
bantuan domestik dan subsidi ekspor memiliki perbedaan dari berbagai
macam akibat yang mencerminkan bahwa negara maju mudah melakukan
tekanan-tekanan di berbagai sektor, sehingga pemerintah Indonesia harus waspada
terhadap perubahan-perubahan usulan yang diinginkan kelompok negara maju.
Seluruh skenario yang diusulkan mereka bermuara pada peningkatan produksi dalam
negeri yang tidak berbasis pada kelayakan lahan, seperti gandum. Menghadapi
ini, pemerintah dapat mensosialisasikan diversifikasi pangan lokal agar tidak
tergantung dengan produk pangan impor. Hal ini tidak terletak pada tanggung
jawab Kementerian Pertanian saja tetapi pada lintas kementerian yang dipimpin
oleh Menteri Koordinator.
Lebih khusus, Sawit et al. (2006) merumuskan fleksibilitas penerapan mekanisme
perlindungan khusus komoditas pertanian Indonesia apabila terjadi serbuan
banjir impor, dan juga mengkaji ulang kebijakan bantuan domestik serta usulan
produk khusus dalam kerangka WTO. Tim ini mengedepankan perlunya melindungi
produk khusus di negara berkembang terutama karena skema penurunan tarif
komoditas pangan dan masa penurunan tarif tidak mempertimbangkan bahwa produk
khusus tersebut merupakan komoditas pangan yang kegiatan budidaya sampai dengan
pascapanennya kuat kaitannya dengan pembangunan perdesaan, ketahanan pangan,
dan ketahanan rumah tangga perdesaan.
Fleksibilitas bagi negara berkembang untuk
menerapkan mekanisme perlindungan khusus dari sebuan impor adalah dua metode
pendeteksi tekanan harga di pasar domestik sebagai akibat dari serbuan impor
dan harga jatuh, yaitu pemicu volume (volume
trigger) dan pemicu harga (price
trigger). Usulan ini merupakan usulan Indonesia yang didasarkan pada kajian
yang menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami serbuan impor dan kejatuhan
harga dalam periode 1996-2005 untuk semua komoditas pangan terpilih tersebut.
Lonjakan impor yang besar terjadi pada komoditas
beras (84%), jagung (72%), gula (50%), daging sapi (85%), pisang (161%), dan
daging unggas (121%). Mekanisme perlindungan yang seharusnya diterapkan adalah
menaikkan tingkat tarif sesuai dengan pengelompokan kejatuhan harga. Namun,
tindakan atas lonjakan impor baru bisa dilakukan setelah terbukti terjadi
serbuan impor tahun sebelumnya. Ini merupakan aksi yang sudah terlambat untuk
mengatasi serbuan impor, sehingga harga pasti akan tertekan. Tindakan atas
kejatuhan harga sebenarnya dapat lebih segera dilakukan, karena yang dilihat
data bulanan. Pemakaian data harga lebih realistis, dan dapat terhindar dari
data yang underestimate.
Perhitungan pengeluaran
untuk Kotak Hijau (Green Box) sebagai
bagian penting dari bantuan domestik Indonesia ternyata telah mengabaikan peran
Pelayanan Umum (General Services/(GS).
Padahal GS mampu membuat petani sempit dan miskin dapat meningkatkan
produktivitas dan efisiensi, sehingga membuat daya saing menjadi kuat.
Pengeluaran GS jumlahnya terkonsentrasi pada bimbingan dan penyuluhan, dan
hanya sedikit pengeluaran untuk infrastruktur, penelitian dan pengawasan serta
promosi dan pemasaran. Pola yang sama juga dilakukan oleh Pemda. Data
menunjukkan hanya 29 persen dana APBD yang dipakai untuk keperluan GS, dimana
yang terbanyak dialokasikan untuk infrastruktur, bimbingan dan penyuluhan,
serta promosi dan pemasaran.
Kebuntuan perundingan multilateral mendorong
kesepakatan perdagangan kawasan yang lebih sempit secara regional atau
bilateral. Hutabarat et al. (2009) melihat prospek kerja sama perdagangan
pertanian Indonesia dengan Australia dan Selandia Baru. Disebutkan oleh tim ini
bahwa produk pertanian yang dominan diekspor ke Australia dan Selandia Baru
hampir sama, yaitu kopi, minyak kelapa sawit, kakao, dan karet. Pesaing utama
Indonesia di kedua pasar tersebut juga sama, yaitu Malaysia dan Thailand.
Indonesia menunjukkan kecenderungan untuk mengkonsentrasikan ekspor di
Australia untuk industri pertanian, industri plastik dan karet, serta tekstil dan
produk tekstil. Indonesia belum tampak mengonsentrasikan pada industri khusus
di pasar Selandia Baru, tetapi kecenderungan yang terjadi mirip dengan
konsentrasi industri di pasar Australia. Australia dan Selandia Baru merupakan
sumber impor ternak dan produknya serta susu dan produk susu bagi Indonesia.
Kesepakatan perdagangan bebas
ASEAN-Australia-Selandia Baru dan Indonesia-Australia-Selandia Baru memberi
kesadaran baru bagi Indonesia bahwa ada potensi pasar domestik yang sangat
besar dan prospektif bagi produsen susu segar domestik untuk digali lebih
lanjut. Produksi domestik memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dari
segi kesegaran dan jarak produksi-konsumsi yang menjadi faktor penting dalam
mutu susu dan produk susu, dibandingkan dengan produksi yang berasal dari
Australia dan Selandia Baru. Perdagangan dengan Australia dan Selandia Baru
diperkirakan akan berdampak merugikan petani serta peternak domestik bila tidak
dilakukan upaya pembatasan impor dan perlindungan. Ketergantung Indonesia terhadap
impor produk pertanian dari Australia dan Selandia Baru tidak terlalu besar,
masing-masing hanya 5 persen dan 0,6 persen dari impor total Indonesia dalam
masa 1996-2007. Namun kedua negara tersebut semakin mendominasi sumber impor
pangan Indonesia. Kedua negara tetangga ini tidak hanya paling dekat dengan
Indonesia, tetapi juga mampu menghasilkan produk pangan yang bermutu dengan
harga bersaing, didukung industri hilir yang kuat. Diperkirakan impor pangan
dari kedua negara tersebut akan terus meningkat bila kesepakatan perdagangan
bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru dan Indonesia-Australia-Selandia Baru
dijalankan.
3.4. Penentuan Komoditas Unggulan
Komoditas unggulan merupakan salah satu konsep
strategi pengembangan agribisnis di Kementerian Pertanian. Komoditas
dikembangkan berdasarkan prospek ekonomi dan dukungan agroekosistem dan unsur
teknis komoditas. Penentuan komoditas unggulan
di beberapa provinsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Siregar et al. (2003) melakukannya dengan sistem
peringkat produksi dan volume perdagangan di pasar domestik. Sedangkan Syafa’at
et al. (2005) dan Kustiari et al. (2009) melakukannya
dengan teknik proyeksi permintaan dan penawaran komoditas. Hasil kajian ini berupa
sekelompok komoditas yang mempunyai pangsa pasar domestik dan ekspor yang
tinggi dan tidak mengalami defisit perdagangan luar negeri. Komoditas unggulan
banyak didominasi oleh komoditas tanaman hortikultura, yaitu sayur-sayuran dan
buah-buahan.
Siregar et
al. (2003) yang mengkaji komoditas unggulan menyebutkan bahwa lima
peringkat tertinggi komoditas hortikultura unggulan nasional secara
berturut-turut adalah bawang merah, kubis dan sejenisnya, kacang-kacangan, cabe
merah, dan kentang. Kelima komoditas unggulan tersebut mempunyai wilayah sentra
yang berbeda-beda. Komoditas bawang merah adalah Jawa Timur. Jawa Barat
mempunyai beberapa sentra tanaman hortikultura unggulan, yaitu bawang merah,
kubis, dan kentang di Kabupaten Bandung, serta kacang-kacangan dan cabe di
Kabupaten Garut. Untuk Sumatera Utara adalah bawang merah dan kacang-kacangan
di Kabupaten Simalungun, sedangkan untuk komoditas kubis dan sejenisnya, cabe,
dan kentang adalah Kabupaten Karo.
Pengembangan komoditas sayuran di Jawa Barat
menghadapi hambatan dalam aspek sumber daya manusia. Sedangkan di Sumatera
Utara lima aspek bersifat mendukung pengembangan agribisnis, yaitu sumber daya
manusia, teknologi, pemasaran, pelayanan pemerintah, dan koordinasi integrasi;
sedangkan permodalan, kebijakan dan peraturan regional, serta pengadaan input bersifat
membatasi.
Syafa’at et
al. (2005) yang menggunakan model permintaan dan penawaran menemukan bahwa produksi
padi (setara beras) diproyeksikan akan meningkat lebih tinggi dibandingkan
konsumsi beras, sehingga memberi optimisme bahwa Indonesia akan mengalami
surplus beras sepanjang tahun. Produksi jagung dan ubi kayu diproyeksikan akan
tumbuh naik lebih cepat daripada tingkat konsumsi, sehingga akan dicapai
surplus. Namun produksi kedelai diproyeksikan tumbuh 20 kali lebih rendah
dibandingkan konsumsinya, sehingga defisit akan terus meningkat.
Komoditas bawang merah, kentang, dan pisang
diproyeksikan meningkat lebih cepat daripada konsumsinya, sehingga diproyeksikan
akan terjadi surplus dan tercapai swasembada. Namun cabai dan jeruk akan
mengalami penurunan surplus. Produksi minyak kelapa sawit, kakao, kakao, kopi,
dan teh pun diproyeksikan lebih tinggi dibandingkan konsumsinya, sehingga
komoditas tersebut akan mengalami surplus. Namun, pertumbuhan produksi gula
diproyeksikan lebih rendah daripada konsumsinya, sehingga terjadi peningkatan
defisit dan perlu dilakukan penggunaan bibit unggul baru dengan produktivias
tinggi, pemupukan, bongkar ratoon dan rehabilitasi pabrik-pabrik gula yang
sudah tua.
Produksi daging sapi, daging ayam, dan daging
kerbau diproyeksikan meningkat dengan laju lebih rendah daripada laju
pertumbuhan konsumsi, sehingga ketiganya akan mengalami penurunan surplus.
Namun, produksi daging babi dan telur ayam diproyeksikan akan meningkat lebih
cepat daripada konsumsi, sehingga akan terjadi peningkatan surplus produksi.
Secara
umum, komoditas pertanian utama mengalami surplus kecuali kedelai, gula, cabai,
dan jeruk. Namun demikian hasil proyeksi tersebut masih di bawah angka target
dalam Renstra Departemen Pertanian.
Kustiari et
al. (2009) menggunakan proyeksi jangka pendek dan panjang model permintaan
dan penawaran untuk komoditas yang telah dikaji Syafa’at et al. (2005) dan hasilnya masih konsisten dan sejalan dengan
temuan sebelumnya. Kustiari et al.
(2009) lebih menekankan bahwa dalam rangka ketahanan pangan, maka perlu
swasembada berkelanjutan untuk bahan pangan utama. Khusus untuk kedelai
diperkirakan mengalami kenaikan harga menjelang tahun 2014, sehingga cara
mengatasinya adalah pengembangan areal dan produksi.
3.5.
Penelitian Rantai Pasok
Mempelajari suatu komoditas
tidak cukup hanya dari sisi keunggulan dan pasarnya, namun juga siapa saja yang
terlibat dalam setiap mata rantai pemasaran dimulai dari petani sampai dengan
konsumen akhir. Kuantitas dan bentuk barang yang diperdagangkan pun telah
dikaji secara mendalam untuk komoditas unggulan daerah. Kelembagaan pemasaran,
permodalan serta masalah dan faktor pendukung pengembangan komoditas lengkap
disajikan dalam tiap temuan penelitian rantai pasok komoditas pertanian. Hasil
kajian menunjukkan bahwa pola usaha kecil yang didominasi oleh rakyat menjadi
pola umum dalam kelembagaan usaha tani dan ternak serta pemasarannya.
Saptana et
al. (2006) mendalami rantai pasok hortikultura di Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Bali yakni pola kemitraan perdagangan umum dan pola kontrak dalam pemasaran
kentang. Tim ini menemukan struktur pasar kentang adalah monopsoni berhadapan
dengan monopoli. Hal ini menimbulkan ketidakberdayaan petani kecil. Dalam
rantai pasok semangka dan melon, harga dibentuk berdasarkan harga pasar tujuan
utama pemasaran (induk). Pola kemitraan dengan pasar modern hanya menawarkan
jenis transaksi penjualan kolektif, dimana posisi kelompok tani adalah sebagai
“himpunan petani penjual”.
Rusastra et al. (2006) yang
mempelajari rantai pasok komoditas peternakan menyimpulkan bahwa kelembagaan
usaha ternak sapi potong ada dua jenis, yaitu rakyat dan perusahaan. Sedangkan
untuk industri pengolahan berbahan baku daging sapi, ada tiga skala yaitu skala
besar, sedang, dan skala rumahtangga. Semakin besar skala usahanya maka akan
muncul dokumen kontrak tentang volume, ketepatan waktu, mutu, harga, dan
persyaratan kesehatan. Keterkaitan fungsional maupun institusional kelembagaan
terkait dengan industri pengolahan bersifat positif dan memberi keuntungan
proporsional, sehingga tidak memerlukan kelembagaan baru. Peternakan unggas
berpeluang dikembangkan melalui peningkatan produksi ayam ras pedaging. Namun,
pembatasan lalulintas broiler untuk
mencegah wabah flu burung telah mempersulit pengembangan usaha ternak broiler.
Sementara, adanya surplus dan defisit tidak dapat dimanfaatkan untuk menjaga
stabilitas harga antara daerah produsen dan konsumen.
Fluktuasi harga dalam perdagangan broiler
hidup bersifat bulanan, mingguan, bahkan harian. Struktur pasar telur di pasar
konvensional adalah persaingan sempurna antara para pelaku agribisnis. Pola
usaha ternak ayam ras petelur sama seperti sapi potong, yaitu pola rakyat dan
perusahaan.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar