BAB
IV. PENELITIAN
PANGAN DAN KETAHANAN PANGAN
Pangan adalah kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumber daya
manusia bangsa dan stabilitas sosial politik suatu negara. Di negara dimana
pangsa pengeluaran pangan penduduknya tergolong besar, selalu dijumpai potensi
masalah kekurangan pangan. Pengalaman
sejarah menunjukkan bahwa ketahanan pangan memiliki kaitan erat dengan
ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau
ketahanan nasional.
Dengan peranan yang sangat strategis
tersebut, topik “ketahanan pangan” selalu menjadi isu yang menarik untuk
dikaji. Kajian tentang ketahanan pangan nasional dalam sudut pandang makro di PSE-KP dimulai pada
tahun 1992 di bawah judul “Penelitian tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan
Rendah”. Pada tahun-tahun sebelumnya, kajian terkait ketahanan pangan lebih
bersifat parsial terutama pada kinerja konsumsi di daerah perdesaan (1985),
permintaan pangan dan pola konsumsi (1987) dan juga pola konsumsi dan profil
rumah tangga dengan konsumsi energi di
bawah standar (1988, 1989, 1990) bekerja sama dengan Direktorat Bina Gizi
Masyarakat, Departemen Kesehatan. Seiring dengan dinamika lingkungan strategis
baik di tataran domestik maupun internasional, kajian tentang ketahanan pangan pada
tahun-tahun berikutnya (terutama tahun 2000-an) lebih banyak dikaitkan dengan
antisipasi maupun adaptasi terhadap sejumlah isu strategis seperti perdagangan
global, otonomi daerah, krisis pangan, ekonomi, dan finansial dan isu lainnya.
Pada
hakekatnya, penelitian tentang pangan di PSE-KP berkait erat dengan beberapa
topik khusus di antaranya adalah ragam dan nilai konsumsi pangan, ketahanan pangan, dan kerawanan pangan.
Persoalan pangan juga dikaitkan dengan kemiskinan, perdagangan, dan bagaimana
kebijakan pemerintah dalam penanganannya. Dalam konteks yang terakhir ini,
dinamika peran Bulog begitu penting sebagai salah satu pelaku dan instrumen
pemerintah dalam mengendalikan harga dan stok pangan pokok nasional.
Peranan
Bulog diawali tahun 1969 saat Bulog
diberi tugas pokok melakukan stabilisasi harga beras, serta sebagai pengelola
cadangan pangan (buffer stock) dalam
rangka mendukung upaya nasional untuk meningkatkan produksi pangan. Dua tahun berikutnya, tugas Bulog diperluas
dan ditunjuk menjadi importir tunggal gula pasir dan gandum dan distributor
gula pasir serta tepung terigu. Tahun-tahun berikutnya tanggung jawab Bulog
diperluas lagi dengan tambahan untuk mengelola beberapa komoditas pangan yaitu untuk
daging, mengawasi impor kedelai, menerapkan kebijaksanaan harga dasar untuk
jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Berikutnya, tahun 1978, tugas pokok Bulog adalah
membantu persediaan dalam rangka mengendalikan harga gabah, beras, gula pasir,
tepung terigu, dan bahan pangan lainnya. Bahkan tahun 1993, tanggung jawab Bulog
diperluas mencakup koordinasi pembangunan pangan dan meningkatkan mutu gizi
pangan. Perubahan penting terjadi tahun
2003, dimana berdasarkan PP No. 7 tahun 2003 Bulog yang semula Lembaga
Pemerintah Non-Departemen (LPND) berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum). Dalam
status sebagai BUMN, Bulog diharapkan menjadi andalan ketahanan pangan dan
tetap menyelenggarakan tugas pelayanan publik sesuai kebijakan pangan nasional,
disamping kegiatan usaha yang dilaksanakannya. Terakhir, tahun 2012 peran Bulog kembali
diwacanakan untuk diperluas untuk berbagai komoditas pangan penting sekaligus,
yakni setidaknya untuk beras, gula, jagung, kedelai, dan minyak goreng.
4.1. Membangun Data Dasar Konsumsi Pangan
Penelitian awal tentang pangan dijalankan oleh Hermanto et al. (1985) dengan judul “Pola
Konsumsi di Daerah Perdesaan Jawa Timur” yang merupakan bagian dari penelitian
Patanas. Tujuan penelitian adalah: (1) melihat pola konsumsi masyarakat perdesaan,
kaitannya dengan perilaku rumah tangga petani dalam mengalokasikan sumber
pendapatan yang terbatas seoptimal mungkin, (2) menghitung elastisitas konsumsi
bahan makanan terhadap harga dan pendapatan, dan (3) menghitung elastistias
konsumsi komoditas penting, subtitusi, dan komplemen serta tingkat pendapatan
rumah tangga. Selanjutnya Hadi et al.
(1987) melakukan kajian dengan judul “Prospek Permintaan Pangan dan Pola
Konsumsi Rumah Tangga di Perdesaan Jawa Barat”. Walaupun tujuan penelitian ini
masih seputar pola konsumsi dan menghitung
elastistas beberapa komoditas pangan utama, namun sudah berusaha
mengidentifikasi faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap konsumsi tersebut.
Lebih lanjut, tiga tahun
berturut-turut , yaitu tahun 1988, 1989, dan 1990; dilakukan kerja sama
penelitian dengan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Pembinaan Kesehatan
Masyarakat, Departemen Kesehatan. Judul
Profil Rumah Tangga dengan Konsumsi Kalori dan Protein di Bawah Kecukupan dijalankan
tahun 1988, lalu dilanjutkan Pola Konsumsi Pangan, Proporsi dan Ciri Rumah
Tangga dengan Konsumsi Energi di Bawah Standar Kebutuhan (1989), dan Studi
Pengkajian Pola Konsumsi Rumah Tangga Defisit Energi dan Protein (1990). Kajian pada tahun 1988 dan 1989 memiliki
tujuan yang sama yaitu: (1) memperkirakan proporsi rumah tangga yang
mengkonsumsi energi dan protein kurang dari 80 dan 60 persen dari waktu ke
waktu, (2) mempelajari karakteristik sosial ekonomi dan demografis rumah tangga
dari kelompok tersebut, dan (3) mencari alternatif garis kemiskinan. Sementara
kajian tahun 1990, masih berkaitan dengan identifikasi ciri-ciri rumah tangga
defisit energi dan protein dan perubahan pola konsumsi tetapi berdasarkan
klasifikasi fungsional. Disamping itu, juga
dikaji tentang batas pengeluaran berbagai jenis kebutuhan dasar dan konsumsi
jenis pangan tertentu untuk tingkat konsumsi energi pada batas kecukupan
minimal.
Penelitian lebih makro
dilakukan Pakpahan et al. (1992) yang
mengkaji tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah di Jawa
Tengah (Sragen dan Cilacap) dan NTB (Lombok Tengah). Kajian ini dimaksudkan
untuk memperoleh pengetahuan, data dan informasi tentang ketahanan masyarakat
berpendapatan rendah dan berbagai lembaga yang berperan dalam pemenuhan pangan.
Dilihat dari sumber perolehannya, konsumsi pangan rumah tangga contoh sebagian
besar diperoleh dari dibeli (60-80%). Hal ini karena pada kelompok masyarakat
berpendapatan rendah, pemilikan aset produktifnya (lahan) terbatas, sehingga
untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak dapat dipenuhi dari hasil pertanian
rumah tangga. Masyarakat berpendapatan
rendah yang diamati ternyata tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan pangan
sepanjang tahun. Usaha yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan meningkatkan
penggunaan tenaga kerja, meminjam, menjual, menggadaikan harta kekayaan, dan
mencari barang di alam bebas.
Dalam mengatasi masalah
kekurangan pangan, pemerintah telah berupaya untuk menangani masalah konsumsi
ini dengan mengembangkan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Sistem ini
diharapkan memberikan isyarat dini terhadap pemerintah untuk mengetahui
daerah-daerah yang diduga akan mengalami kasus rawan pangan. Penanganan lain
yaitu melalui Departemen Transmigrasi, Bulog, Depnaker, Departemen Sosial,
Departemen Kesehatan, dan LSM.
4.2.
Gambaran Makro Konsumsi Pangan
Peran beras yang sangat dominan
dalam pola konsumsi penduduk Indonesia, mendorong Erwidodo et al. (1996) secara khusus mengkaji tentang Telaahan Trend
Konsumsi Beras di Indonesia dengan menggunakan data Susenas tahun 1990 dan
1993. Temuan yang cukup menarik adalah bahwa di provinsi dimana beras secara
tradisional telah merupakan sumber utama karbohidrat, khusus untuk tahun 1993,
tingkat konsumsi per kapita di daerah perdesaan lebih tinggi daripada di
perkotaan. Sebaliknya, di provinsi dimana beras secara tradisional bukan sumber
utama karbohidrat, tingkat konsumsi beras per kapita di perkotaan lebih tinggi
daripada di perdesaan. Hasil kajian juga memperkirakan bahwa secara nasional
tingkat konsumsi beras per kapita di
masa mendatang akan semakin menurun. Namun diperkirakan juga bahwa produk mi
merupakan sumber karbohidrat penting setelah beras dalam diet masyarakat
Indonesia.
Perkiraan ini semakin kuat
terbukti dari waktu ke waktu. Pada tahun 2012 ini, konsumsi mi instan
masyarakat Indonesia menduduki posisi kedua di dunia setelah negara Korea,
dimana diperkirakan total konsumsi Indonesia 15 milyar bungkus, sementara tahun
2011 mencapai 12 milyar bungkus. Artinya, rata-rata setiap orang mengkonsumsi
60 bungkus mi instan per tahun, belum termasuk produk mi yang lain.
Masih dengan menggunakan data Susenas,
kajian konsumsi yang lebih spesifik terkait sumber protein hewani juga menjadi
fokus penelitian Erwidodo et al
(1998) yang melihat Perubahan Pola Konsumsi Sumber Protein Hewani di Indonesia. Selama 1987-1993 perubahan pangsa
pengeluaran pangan hewani terhadap pengeluaran pangan relatif kecil. Ini
merupakan kemajuan, karena secara agregat pangan hewani menduduki prioritas
kedua setelah makanan pokok (karbohidrat).
Pangsa konsumsi sumber protein
hewani sangat jelas dipengaruhi oleh wilayah serta kelompok pendapatan. Pada
kelompok berpendapatan rendah dan wilayah desa, ikan merupakan jenis pangan
hewani yang pangsanya meningkat paling cepat. Sementara pada masyarakat kota
dan penduduk berpendapatan sedang dan tinggi, jenis pangan hewani yang dominan
adalah telur dan susu. Secara umum
terlihat bahwa tingkat konsumsi pangan hewani meningkat seiring dengan semakin
tingginya pendapatan. Perbedaan musin (panen/paceklik) juga sangat berpengaruh
terhadap konsumsi pangan hewani, dimana pada musin panen konsumsi pangan hewani
meningkat, dan sebaliknya di musim paceklik.
Kajian dengan penggunaan data Susenas
dilanjutkan kembali pada tahun 1999 oleh Erwidodo et al. dengan judul “Pengkajian Diversifikasi Konsumsi Pangan
Utama di Indonesia. Dari hasil kajian diungkapkan bahwa tingkat diversifikasi
konsumsi rata-rata rumah tangga kota lebih tinggi daripada di desa. Selain itu,
semakin tinggi pendapatan akan semakin beragam pola konsumsinya. Pencapaian skor PPH di perkotaan mencapai
79,5 persen (dari skor ideal 93), sementara di perdesaan mencapai 74,6 persen.
Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap diversifikasi konsumsi pangan adalah tingkat pendapatan rumah
tangga, jumlah anggota rumah tangga dan karakteristik wilayah (desa-kota).
Pendapatan RT berpengaruh positif terhadap diversifikasi konsumsi, jumlah
anggota RT berpengaruh negatif, sementara
tingkat diversifikasi konsumsi RT perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan.
Pada tahun 2000, Ariani et al. melakukan kajian tentang
“Analisis Kebijaksanaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan Rendah di Perdesaan”.
Kajian ini dilatarbelakangi oleh kejadian krisis moneter tahun 1997/98, yang
mengakibatkan harga pangan dan nonpangan menjadi mahal, tingkat pengangguran
meninggi, dan jumlah penduduk miskin dan rawan pangan meningkat. Walaupun
dampak krisis dialami oleh berbagai segmen rumah tangga, namun diduga dampak
terberat dialami oleh rumah tangga berpendapatan rendah dan menengah.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
krisis ekonomi telah menurunkan ketahanan pangan rumah tangga berpendapatan
rendah. Indikasi penurunan terlihat minimal dari 2 hal yaitu: (1) menurunnya
konsumsi pangan dan pangan (baik kuantitas maupun kualitas), dan (2) penurunan
pendapatan rumah tangga sehingga daya beli melemah. Jumlah rumah tangga yang
tahan pangan menurun baik di kota maupun di desa yang berarti terjadi
peningkatan kerawanan pangan. Sebagai gambaran, di Jawa Tengah dari 86,7
menjadi 63,3 persen (di kota) dan dari 85 menjadi 70 persen (di desa).
Namun demikian, kategori apa
yang disebut dengan “Tahan Pangan” lebih fokus pada pemenuhan pangan pokok
beras. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa kuatnya peran beras sebagai pangan
pokok, sehingga menjadi indikator ketahanan pangan.
4.3.
Kinerja dan Permasalahan Ketahanan Pangan
Selanjutnya Saliem et al. (2001) melakukan kajian dengan
judul “Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional”. Kajian ini berangkat dari
hipotesis bahwa persediaan pangan yang cukup secara nasional tidak menjamin
adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah tangga atau
individu. Hasil kajian menunjukkan bahwa
walaupun di tingkat regional status ketahanan pangan wilayah (provinsi)
tergolong tahan pangan, namun di masing-masing provinsi yang dianalisis
(Kalbar, Lampung, D.I.Y, dan Sulut) masih ditemukan rumah tangga tergolong
rawan pangan yang cukup besar yaitu 21-33 persen dari total rumah tangga. Aspek
distribusi dan akses (ekonomi) rumah tangga terhadap pangan menjadi faktor
kunci di tingkat rumah tangga. Pendapatan rumah tangga untuk bisa akses secara
ekonomi terhadap pangan merupakan faktor dominan penentu ketahanan pangan rumah
tangga.
Aspek manajemen ketahanan
pangan dianggap cukup penting terutama dengan terjadinya perubahan status tata
kelola pemerintahan yang sudah dilimpahkan ke daerah melalui Otda dan berubahnya status Bulog menjadi Perum.
Untuk melihat dinamika terebut, Saliem et
al. (2004) melakukan kajian dengan judul “Manajemen Ketahanan Pangan Era
Otonomi Daerah dan Perum Bulog”. Secara umum tujuan penelitian ini adalah
menganalisis kebijakan pengelolaan ketahanan pangan (khususnya beras) dikaitkan
dengan era otonomi daerah dan perubahan lembaga penyangga pangan nasional dari
Bulog menjadi Perum Bulog. Sementara aspek kajian meliputi instrumen kebijakan
stabilisasi harga, kinerja pengelolaan cadangan pangan, alternatif program
untuk kondisi darurat pangan, serta sejauh mana koordinasi antarinstansi
pusat-daerah dalam pengelolaan cadangan pangan dan kajian model peranan pemerintah pusat dan daerah
dalam pengelolaan stok beras.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP)
sebagai instrumen pokok kebijakan stabilisasi harga masih efektif dalam menopang
stabilisasi harga jual gabah produsen, walaupun efektifitasnya menurun dengan
melemahnya kontrol pemerintah terhadap pasar beras. Namun denikian, dalam
perspektif peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, kebijakan HDPP
tersebut tidak efektif dengan argumen: (1) ada tekanan faktor eksternal
penurunan harga beras dunia, (2) depresiasi rupiah, dan (3) infrastruktur
produksi dan pemasaran yang kurang memadai yang mengakibatkan disparitas harga
sehingga margin yang diterima petani relatif rendah.
Tradisi masyarakat petani
melakukan cadangan pangan secara kolektif dalam bentuk lumbung pangan cenderung
melemah. Sementara koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam
pengelolaan cadangan pangan masih sangat terbatas, karena hanya berupa
penyaluran stok beras untuk keadaan darurat. Belum ada pembagian tugas antara
pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan cadangan pangan, baik ditinjau
dari jenis bahan pangan maupun jenis stok berasnya. Untuk itu, disarankan
pemerintah pusat tetap mengelola cadangan beras, sedangkan pemerintah daerah
mengelola cadangan pangan nonberas yang disesuaikan dengan makanan pokok
masyarakat setempat. Program Raskin dengan beberapa penyempurnaan masih valid
untuk dijadikan salah satu instrumen penting dalam mewujudkan ketahanan pangan
di tingkat rumah tangga, utamanya dalam penanganan kelompok rawan pangan kronis
maupun akut.
Kajian ketahanan pangan dari
aspek yang agak berbeda dilakukan Saliem
et al. (2005), melakukan penelitian
tentang “Analisis Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dalam Mendukung Ketahanan Pangan
dan Penanggulangan Kemiskinan”. Kajian ini melihat pada tingkat makro terkait
perubahan diversifikasi usaha dan struktur perekonomian wilayah. Pada ranah
mikro, studi ini bertujuan (1) menganalsis struktur, distribusi, dan ragam
sumber pendapatan rumah tangga, (2) menganalisis keterkaitan antara
diversifikasi usaha rumah tangga, ketahanan pangan, pendapatan, dan kemiskinan,
serta (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat diversifikasi
pertanian dan usaha rumah tangga. Hasil kajian secara makro menunjukkan bahwa
perkembangan diversifikasi kegiatan ekonomi pada sektor pertanian lebih rendah
dibandingkan dengan sektor nonpertanian. Hal ini disebabkan secara umum karena
sektor pertanian memiliki kaitan ke depan dan ke belakang (backward and forward lingkage) yang lebih rendah dibanding
nonpertanian. Walaupun demikian, sektor pertanian masih merupakan penyedia
lapangan kerja terbesar, meskipun kemampuan penyediaan lapangan kerja cenderung
menurun sejak tahun 1991.
Telah terjadi perubahan struktur
pendapatan rumah tangga yang cukup bervariasi tidak hanya menurut lokasi
(desa-kota), tetapi juga menurut kelas pendapatan, sumber mata pencaharian
utama KK maupun agrosistem wilayah. Di semua kelompok pendapatan terlihat bahwa
indeks diversifikasi pendapatan di desa lebih tinggi dibandingkan kota.
Disamping itu, rumah tangga dengan mata pencaharian utama kepala keluarganya di
sektor pertanian, juga cenderung memiliki ragam sumber pendapatan yang lebih
tinggi dibanding kelompok lainnya. Karena rendahnya tingkat pendapatan RT dari
pertanian, mendorong petani melakukan diversifikasi usaha. Sementara itu,
selain tingkat pendapatan, peubah penting yang mempengaruhi peluang
diversifikasi usaha adalah pekerjaan utama KK, tingkat pendidikan KK, umur KK,
serta jumlah anggota RT. Tingkat diversifikasi lebih tinggi terjadi pada RT
yang pekerjaan utama kepala keluarganya adalah petani, dengan tingkat
pendidikan relatif tinggi, berumur muda, dan anggota RT yang semakin sedikit.
Dengan adanya krisis finansial di beberapa negara
tahun 2008, Rusastra et al. (2009), melakukan kajian tentang
“Kebijakan Mengantisipasi Dampak Krisis Pangan-Energi-Finansial (PEF) terhadap
Ketahanan Pangan dan Kemiskinan”. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara makro
dampak negatif krisis PEF terhadap ketahanan pangan nasional ternyata mampu
ditanggulangi yang diindikasikan oleh positifnya arah laju peningkatan
produksi, ketersediaan,
dan konsumsi pangan rumah tangga. Tingkat ketergantungan pangan terhadap impor
untuk jenis-jenis pangan strategis secara proporsi mengarah ke perbaikan.
Khusus untuk konsumsi terigu, perlu mendapat perhatian ekstra mengingat
ketidakseimbangan laju peningkatan konsumsi dengan kapasitas domestik untuk
menghasilkan bahan pangan tersebut.
Walaupun dari sisi ketersediaan mampu dilakukan namun dalam jangka
panjang hal ini akan makin menguras devisa negara.
Pada tataran wilayah provinsi dan di empat kabupaten penelitian, dampak negatif krisis PEF terhadap produksi pangan strategis juga dapat diredam yang ditunjukkan oleh laju peningkatan produksi beberapa komoditas pangan utama yang positif. Bahkan untuk komoditas tertentu seperti padi gogo, jagung, dan kedelai; meningkat cukup signifikan terutama didukung oleh peningkatan luas areal panen. Perkembangan harga komoditas pangan pada selang waktu 2007-2009 relatif stabil, namun demikian terjadi ketidaksempurnaan dalam transmisi harga di tingkat pedagang besar dengan harga di tingkat petani. Hal ini ditunjukkan oleh laju trend perubahan harga komoditas di tingkat petani yang relatif kecil dibanding laju perubahan harga di tingkat pedagang besar.
Antisipasi kebijakan global yang ditawarkan dalam merespon dampak krisis tersebut adalah pengembangan pertanian skala kecil dalam perspektif pertumbuhan dan pemerataan yang mencakup tiga aspek kebijakan sebagai berikut: (a) pemantapan stabilitas makro ekonomi dan anggaran pembangunan sektor pertanian dan pengembangan infrastruktur perdesaan; (b) pengembangan produksi berbasis potensi pasar yang dipadukan dengan perbaikan sistem dan efisiensi pemasaran produk pertanian; dan (c) pengembangan inovasi kelembagaan dan sistem insentif dalam mendukung ketersediaan dan akses sarana produksi utama dan jasa pelayanan pengembangan usahatani skala kecil.
Dukungan
inovasi teknologi terhadap ketahanan pangan menjadi salah satu kajian Kustiari et al. (2010) dengan judul ”Akselerasi
Sistem Inovasi Teknologi Pengolahan Hasil dan Alsintan dalam Mendukung
Ketahanan Pangan”. Dari kajian ini ada
beberapa temuan yang perlu mendapat perhatian seluruh stakeholder, diantaranya: (1) Selain introduksi teknologi inovasi
pengolahan hasil dan Alsintan masih rendah, bantuan yang diberikan pemerintah
sering tidak digunakan. Kendalanya bersifat teknis, yakni belum terampil
mengoperasikan dan tidak sesuai dengan kondisi setempat, serta bantuan yang
bersifat parsial. (2) Kendala dalam proses akselerasi inovasi teknologi
pengolahan hasil dan Alsintan adalah keterbatasan bahan baku, keterbatasan
teknologi dan alsintan, ketersediaan modal,
dan pemasaran. Akibatnya, keuntungan dari kegiatan pengolahan hasil
rendah. (3) Untuk
mengakselerasi inovasi teknologi pengolahan hasil disarankan kepada pemerintah
melalui instansi terkait untuk memperkuat struktur permodalan dan akses
industri pengolah hasil pertanian di perdesaan terhadap sumber modal,
meningkatkan penguasaan teknologi di tingkat rumah tangga atau industri kecil,
dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam industri
pengolah hasil pertanian agar dapat menjadi pengrajin produk pertanian yang tangguh.
4.4.
Kerawanan Pangan
Penelitian Ariani et al. (2006)
tentang “Analisis Wilayah Rawan Pangan dan Gizi serta Alternatif
Penanggulangannya”, melakukan pengelompokkan 100 Kabupaten Rawan Pangan dan
Gizi Kronis. Temuan penelitian ini cukup
penting, dimana disebutkan bahwa pengelompokan kabupaten rawan pangan dan gizi
kronis dalam kuintil berdasarkan 10 indikator tidak menunjukkan pola sebaran
nilai yang unik (khas). Indikator yang digunakan untuk memetakan rawan pangan
dan rawan gizi kronis yang dilakukan oleh Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Program masih mengandung
kelemahan yang perlu disempurnakan.
Catatan penting dari studi ini adalah
mengingatkan kalangan birokrasi untuk memperhatikan dua hal, yaitu: (1) penggunaan
istilah “rawan pangan” tampaknya kurang tepat karena indikator yang digunakan
lebih luas kearah konsep kemiskinan; (2)
ketersediaan pangan hanya menghitung produksi padi, jagung, ubi kayu dan
ubi jalar, namun belum memasukkan sagu atau keladi yang banyak dikonsumsi oleh
rumah tangga Kawasan Timur Indonesia; (3) indikator yang digunakan seharusnya
mencerminkan potensi wilayah secara komprehensif; (4) perlu fleksibilitas
pengukuran indikator disesuaikan dengan potensi wilayahnya; dan (5) diperlukan
peningkatan keakuratan data dan perhitungannya. Khusus untuk mengukur
ketersediaan pangan, selain menerapkan perhitungan rasio normatif,
seharusnya penjumlahan serealia tidak
dalam kuantitas kilogram tetapi dalam bentuk zat gizi (energi) dan dibagi
dengan energi dari beras.
Disarankan agar indikator yang
digunakan untuk pemetaan rawan pangan dan gizi kronis tingkat kecamatan
disesuaikan dengan ketersediaan data dan potensi wilayahnya, sehingga akan
berbeda untuk masing-masing wilayah. Penggunaan indikator tersebut lebih mampu
mendeteksi kecamatan rawan pangan dan gizi secara baik.
Diingatkan juga bahwa pemecahan
masalah ketahanan pangan dan kemiskinan tidak dapat hanya ditangani oleh sektor
pertanian, walaupun jumlah penduduk miskin dan rawan pangan umumnya berada di perdesaan.
Upaya pemantapan ketahanan pangan atau mengatasi kerawanan pangan dan
penanggulangan kemiskinan memerlukan kerja sama, koordinasi, dan sinergitas
dari berbagai dinas dan instansi terkait, lembaga swadaya masyarakat, swasta
dan partisipasi aktif masyarakat setempat.
Dari dana penelitian Kementerian Ristek, PSE-KP melakukan
kajian terkait pangan,
baik yang menyangkut sistem kelembagaan cadangan pangan maupun aspek
diversifikasi konsumsi. Rachmat
et al. (2010) melakukan kajian dengan judul “Sistem
Kelembagaan Cadangan Pangan Masyarakat Perdesaan untuk Mengurangi 25 Persen
Risiko Kerawanan Pangan”. Lokasi studi di 6 kabupaten di provinsi Banten, Kalbar,
dan NTT. Dari kajian ini ditemukan
sejumlah informasi menarik, di antaranya bahwa secara umum, terkikisnya
eksistensi lumbung pangan di tingkat masyarakat merupakan akibat dari ekspansi
ekonomi pasar serta kebijakan pemerintah yang melemahkan daya hidup kolektif
hidup berkomunitas masyarakat. Pada saat penelitian ditemukan bahwa keberadaan
lumbung kolektif dan lumbung desa masih pada tingkatan sederhana dan
berorientasi sosial, dan hanya lumbung modern yang sudah berorientasi bisnis
Selain itu, keberadaan lumbung terbukti
mampu berperan mengatasi kerawanan pangan khususnya di wilayah dengan
aksesibilitas terbatas dan sumber daya kurang. Dengan demikian, melihat
kemampuan dan dukungan potensinya lebih jauh,
lumbung desa harus dikembangkan menjadi lumbung modern yang mampu
memainkan peran sebagai lembaga ekonomi perdesaan.
4.5. Perdagangan Pangan
Dengan semakin intensifnya arus
liberalisasi perdagangan dunia, yang juga memasuki ranah pangan, maka tim penelitian Saliem et al.
(2003) mempelajari dampak liberalisasi perdagangan terhadap ketahanan
pangan nasional. Tujuan studi adalah
mengkaji kinerja ketersediaan dan kemandirian pangan nasional, menganalisis
dampak liberalisasi perdagangan terhadap kinerja ketahanan pangan nasional, dan
merumuskan alternatif kebijakan dalam upaya pemantapan ketahanan pangan
nasional. Hasil kajian mengungkapkan bahwa kinerja ketersediaan pangan nasional
(secara agregat) yang diukur dalam satuan energi (Kkal/kap/hari) selama tiga
dekade (1969-2001), menunjukkan peningkatan dengan laju pertumbuhan sebesar 4,3
persen per tahun. Demikian juga kinerja
ketersediaan pangan dari masing-masing kelompok komoditas (tanaman pangan,
hortikultura, peternakan, dan perikanan) yang juga menunjukkan pertumbuhan
positif. Disimpulkan juga bahwa tingkat kemandirian pangan nasional masih
tergolong aman. Namun yang perlu dicatat bahwa walaupun secara persentase rasio
ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap pangan impor secara umum
relatif rendah, tetapi ada kecenderungan adanya peningkatan dari waktu ke
waktu. Dengan jumlah penduduk Indonesia
yang besar, berarti ketergantungan impor bangan secara kuantitas cukup besar
sehingga perlu diantisipasi penanganannya.
Dampak negatif penurunan maupun
kenaikan harga beras, jagung maupun kedelai
di pasar dunia terhadap derajat ketahanan pangan khususnya di
tingkat rumah tangga dan individu akan
terasa dampaknya jika: Pertama,
persentase penurunan harga beras, jagung, maupun kedelai di pasar dunia jauh
lebih tinggi dibandingkan persentase kenaikan nilai tukar (persentase
depresiasi nilai tukar) atau persentase kenaikan beras, jagung, maupun kedelai
di pasar dunia jauh lebih tinggi dibandingkan persentase penurunan nilai tukar (persentase apresiasi nilai tukar).
Kedua, indeks keterkaitan antara
pasar beras, jagung dan kedelai dunia dengan pasar domestik masuk ke dalam
kategori agak kuat atau kuat. Sementara itu, peningkatan tarif impor beras
mampu meningkatkan kemandirian pangan beras. Ini merupakan hal yang
menguntungkan dilihat dari aspek ketahanan pangan nasional. Sementara itu, liberalisasi perdagangan
berdampak pada penurunan kemandirian pangan beras. Dengan demikian, dilihat
dari aspek ketahanan pangan, kondisi ini tidak menguntungkan.
Kajian
pangan yang dihubungkan dengan aspek perdagangan pangan dilakukan lagi oleh Saliem
et al. (2010) dengan judul ”Kajian Keterkaitan
Produksi,
Perdagangan
dan Konsumsi
Ubi
Jalar
untuk Meningkatkan
30 Persen
Partisipasi
Konsumsi
Mendukung
Program
Keanekaragaman
Pangan
dan Gizi”.
Studi dilakukan di provinsi Jawa Barat dan Papua. Dari kegiatan penelitian ini
diperoleh informasi sebagai berikut: Pertama, Hasil analisis data produksi
menunjukkan, rata-rata nilai LQ ubi jalar pada periode tahun 1999-2009 jauh
lebih tinggi di provinsi Papua (19,98 – 55,94)
dibandingkan dengan Jawa Barat (1,35 – 1,57). Wilayah yang memiliki
nilai LQ besar di Papua adalah Kabupaten
Jayawijaya dan Yahukimo, sedangkan di Jabar adalah Kabupaten
Kuningan dan Banding.
Kedua, tingkat partisipasi konsumsi ubi jalar umumnya lebih
rendah pada masyarakat kota dan berpendapatan tinggi. Namun, tingkat
partisipasi di Kabupaten Jayawijaya mencapai 100 persen dan di Kuningan 63,3
persen. Ketiga,
faktor kunci untuk mendorong peningkatan konsumsi ubi jalar ke depan adalah
peningkatan produksi serta pendapatan riil per kapita, yang disinergikan dengan
peningkatan promosi dan edukasi, serta advokasi tentang keunggulan-keunggulan
yang dikandung ubi jalar.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar