BAB V. PENELITIAN AGROINDUSTRI
Pengertian agroindustri dekat dengan pengertian
agribisnis, bahkan dalam GBHN 1993 kata agroindustri digabungkan dengan
agribisnis. Pengertian agroindustri dapat dikategorikan menjadi dua, yakni
agroindustri hulu dan hilir. Agroindustri hulu berkaitan erat dengan industri
yang menghasilkan produk-produk berupa alat dan mesin pertanian, sarana
produksi pertanian, dan bahan-bahan yang diperlukan oleh sektor pertanian.
Sedangkan agroindustri hilir merupakan industri yang mengolah komoditas
pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk akhir (finish
product) maupun produk antara (intermediate product). Menteri
Pertanian dalam Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-32 bulan Oktober 2012 di
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menyatakan bahwa agroindustri penting diangkat ke permukaan
karena kondisi pertanian kita kini masih terpusat di kegiatan hulu dengan daya
saing komoditas primer yang relatif lemah. Tantangan ke depan adalah
meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan ekspor komoditas pertanian di sektor
hilir.
Selanjutnya berkembang konsep “agroindustri
berkelanjutan” yang muncul bersamaan dengan banyaknya fenomena dimana usaha
agroindustri yang baru didirikan sering tidak berumur panjang, terjadi baik
pada skala usaha besar, menengah, maupun kecil. Pembangunan agroindustri
berkelanjutan merupakan pembangunan agroindustri yang mendasarkan pada konsep
berkelanjutan, serta dibangun dan dikembangkan dengan mempertimbangkan
aspek-aspek manajemen dan konservasi sumber daya alam. Teknologi yang digunakan
serta kelembagaan yang terlibat dalam proses pembangunan diarahkan untuk
memenuhi kepentingan manusia masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Pengembangan agroindustri terpadu dan berkelanjutan diperlukan untuk
meningkatkan produksi, nilai tambah, dan daya saing komoditas pertanian untuk
mewujudkan kemandirian pangan. Lebih lanjut, agroindustri mempunyai kontribusi
penting dalam proses industrialisasi dan peningkatan pendapatan petani,
terutama di wilayah perdesaan. Pengembangan agroindustri tidak saja ditujukan
untuk peningkatan jumlah pangan dan jenis produk pangan di pasar, namun
sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat dan ekonomi daerah.
Kajian-kajian tentang agroindustri pada umumnya
dilakukan dengan dua pendekatan, yakni pendekatan makro dan mikro. Pendekatan
mikro lebih menekankan pada pencapaian efisiensi, optimasi alokasi dan
penggunaan sumber daya, serta memaksimalkan keuntungan atau kesejahteraan
pelaku usaha. Di sisi lain, pendekatan makro lebih mendasarkan kajiannya pada hubungannya
dengan ekonomi nasional, yakni hubungannya dengan produk domestik bruto,
peningkatan pendapatan nasional, peningkatan kesempatan berusaha, pemerataan
distribusi pendapatan, dan peningkatan ekspor serta hubungannya dengan
komponen-komponen ekonomi makro lainnya.
Penelitian dengan topik agroindustri telah dilakukan
oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP) sejak kurun waktu
1980-an, baik kajian yang bersifat agroindustri hulu hingga hilir, namun dengan
frekuensi yang semakin menurun dan jarang dilakukan. Terakhir kegiatan
penelitian tentang agroindustri dilakukan oleh Supriyati et al. (2006) yang difokuskan pada pengembangan agroindustri untuk
peningkatan nilai tambah.
Peran peneliti PSE-KP dalam kegiatan penelitian
maupun kajian tentang agroindustri tidak hanya sebatas internal kegiatan
penelitian di lingkup PSE-KP saja, namun juga berkontribusi dalam kegiatan
penelitian yang dilakukan oleh instansi/lembaga lainnya. Pada tahun 2008
misalnya, peneliti PSE-KP diminta sebagai narasumber oleh Bappenas dalam Kajian Penyusunan Strategi Pengembangan Industri
Pertanian Melalui Peningkatan Sistem Pelayanan Agribisnis. Narasi
berikut memaparkan hasil-hasil studi PSE-KP tentang agroindustri pada kurun
waktu mulai tahun 1980-an hingga 2006.
5.1.
Prospek dan Pengembangan Agroindustri
Penelitian awal tentang agroindustri oleh PSE-KP
dimulai oleh Colter et al. (1985)
yang menguraikan tentang prospek dan pengembangan industri pertanian. Studi ini
mendapatkan bahwa perkembangan beberapa komoditas pertanian saat itu telah
diikuti dengan pembangunan pabrik-pabrik pengolahan khususnya pada komoditas
yang menunjang ekspor, sedangkan industri pengolahan hortikultura belum
berkembang dan berproduksi di bawah kapasitas. Permasalahan yang dihadapi
menyangkut manajemen perusahaan, kualitas bahan baku, dan terbatasnya pemasaran
hasil, serta panjangnya rantai pemasaran.
Lokasi pengusahaan produksi buah-buahan dan sayuran
masih menyebar sehingga sulit untuk memilih jenis dan lokasi pabrik pengolahan.
Penanganan lepas panen tidak dilakukan oleh petani, dimana sebagian dilakukan
oleh pelaku pemasaran sehingga keuntungan yang diperoleh petani sangat kecil.
Masalah yang dihadapi petani adalah biaya pemasaran tidak efisien sehingga
sebagian masih mengandalkan sistem penjualan ”tebasan”.
Dari studi ini disarankan bahwa produksi hortikultura
masih perlu ditingkatkan terutama untuk kebutuhan bahan baku dan konsumsi
masyarakat dalam bentuk segar. Hal tersebut perlu didukung dengan peningkatan
penyebaran bibit unggul. Untuk pengembangan industri pengolahan diperlukan kerja
sama antara pemerintah dengan swasta. Untuk pemasaran produk seharusnya lebih berorientasi
pasar dengan pengawasan mutu sesuai permintaan luar negeri.
Objek studi yang relatif serupa dilakukan tahun
berikutnya, sebagaimana terlihat dari penelitian Sugiarto et al. (1986) untuk komoditas hortikultura dan penelitian Waluyo et al. (1986) untuk tanaman palawija. Komoditas
hortikultura yang dikaji oleh Sugiarto et
al. (1986) difokuskan pada asparagus dan nenas. Komoditas asparagus belum
banyak dikenal baik oleh petani maupun oleh konsumen karena memerlukan syarat
tumbuh yang khusus dan relatif tidak dapat bertahan lama serta konsumsinya
masih terbatas pada kalangan tertentu. Pengusahaan asparagus cukup menguntungkan
dengan nilai B/C adalah 1,82. Permasalahan yang dihadapi oleh industri
pengolahan asparagus adalah pemasaran dan modal usaha, sehingga produksinya
masih kecil. Disamping itu asparagus impor masih menjadi saingan berat dalam
negeri.
Sementara pengusahaan nenas juga cukup
menguntungkan dengan B/C sebesar 1,62 dan 2,31, berturut-turut untuk di Jawa
Barat dan Jawa Timur. Pemasaran dalam negeri lebih banyak berupa nenas segar, sedangkan
nenas kalengan untuk kebutuhan ekspor. Industri pengolahan nenas perlu
ditingkatkan dengan mengusahaan nenas oleh pabrik pengolahan maupun dengan pola
PIR dengan mengikutsertakan petani. Selain itu, pembinaan diperlukan bagi
industri kecil dan rumah tangga karena masih berprospek tinggi.
Studi ini menyarankan agar dilakukan integrasi yang
menyeluruh dari berbagai pihak yang telibat dalam sistem agroindustri tanaman
holtikultura. Perlu pula dipertegas kebijakan ekpor dan impor, meningkatkan
kualitas dan kuantitas produksi, serta pembinaan dan bimbingan terutama bagi
industri kecil dan meningkatkan pelayanan informasi. Industri pengolahan asparagus
perlu pengembangan pasar, baik dalam dan luar negeri. Sedangkan industri nenas
masih perlu pembinaan terutama bagi industri rumah tangga. Untuk pengadaan
bahan baku industri kedua komoditas tersebut, dapat ditempuh penanaman pada lahan
HGU atau pengembangan pola PIR.
Di sisi lain, penelitian Waluyo et al. (1986) dipusatkan pada pada
integrasi antara usahatani di tingkat petani (bahan baku), pemasaran bahan
baku, dan industri pengolahan bahan baku yang difokuskan pada komoditas jagung
sebagai bahan baku industri makanan ternak. Provinsi Jawa Timur dipilih sebagai
lokasi penelitian karena merupakan sentra industri jagung, Jawa Barat sebagai
sentra pabrik pengolahan dan sentra ternak unggas, sedangkan Provinsi Lampung
dipilih karena lebih banyak berperanan sebagai pensuplai jagung ke Pulau Jawa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum terlihat hubungan yang sehat antara
petani jagung sebagai produsen bahan baku, dan industri pengolah jagung menjadi
makanan ternak. Hal ini ditandai oleh besarnya peran pedagang jagung yang
begitu berkuasa mengatur harga di tingkat petani. Penguasaan petani terhadap
pasar masih rendah, dan petani tidak secara sadar memproduksi jagung untuk
diarahkan bagi keperluan industri makanan ternak. Dengan kata lain, integrasi
antara petani (“pertanian”) dan industri pengolahan (“industri”) belum
menampakkan keserasian.
Penggunaan jagung sebagai bahan makanan pokok sudah
jauh berkurang, tapi sebagai bahan baku industri makanan ternak, roti (kue),
dan kopi justru meningkat. Telah diduga dari studi ini bahwa penggunaan jagung
untuk industri-industri tersebut akan semakin pesat, terutama untuk makanan
ternak. Namun hal ini belum diimbangi oleh usaha peningkatan produksi dan mutu
mengingat jagung masih dianggap sebagai tanaman sekunder, setelah padi. Masalah
efisien, alih teknologi, permodalan, dan manajemen masih merupakan kelemahan
primer di tingkat usahatani jagung dan industri makanan ternak skala
kecil/rumah tangga. Untuk itu, dalam rangka meletakkan usahatani jagung dalam
sistem agroindustri, maka masalah peningkatan teknik budidaya, pengadaan benih
unggul, sekaligus perbaikan pascapanen perlu mendapat perhatian yang seimbang.
Hal ini berkaitan dengan besarnya potensi industri berbahan baku jagung untuk
mendukung pengembangan komoditas nonmigas dan gizi masyarakat. Selain itu juga
diperlukan pembinaan di bidang manajemen pemasaran. Hal ini dikaitkan dengan
usaha mengintegrasikan peran petani dalam sistem agroindustri pengolahan
jagung. Peran pemerintah dalam membina organisasi petani serta pihak lainnya
seperti KUD, PUSKUD, Dolog, dan lainnya; perlu ditingkatkan kualitasnya untuk
mendukung hubungan yang sehat antara petani dan industri pengolah berbahan baku
palawija.
5.2.
Kebijakan Agroindustri dan Mekanisasi Pertanian
Selanjutnya penelitian PSE-KP yang berkaitan dengan
kebijakan industri pengolahan dan mekanisasi pertanian juga telah dilakukan,
antara lain oleh Simatupang et al.
(1988), Irawan et al. (1989) dan Hutabarat et
al. (1990). Penelitian Simatupang et
al. (1988) tentang kebijakan industri pengolahan tanaman pangan cukup
menarik. Dari segi pembagian nilai tambah antara pekerja dan pemilik modal
ternyata subsektor agroindustri lebih buruk dari subsektor lainnya pada sektor
industri pengolahan. Hal ini disebabkan oleh karena sebagian besar produksi
agroindustri dikuasai oleh perusahaan berukuran besar dan sedang, sedangkan
penyerapan tenaga kerja justru paling banyak pada industri kecil. Oleh karena
itu menjadi relevan untuk membatasi ukuran perusahaan agro industri.
Permintaan ubi kayu, jagung dan kacang kedelai oleh
industri pengolahan diperkirakan akan terus meningkat. Namun, industri
pengolahan belum terikat secara baik dengan petani penghasil bahan bakunya,
baik dari segi harga maupun dari segi komoditas. Hal tersebut dapat menyebabkan
pengembangan industri pengolahan tidak banyak manfaatnya bagi peningkatan
produksi pertanian dan pendapatan petani penghasil bahan baku. Disamping itu,
produksinya masih bersifat musiman karena ketergantungan terhadap iklim yang
cukup tinggi dan kenyataan bahwa tanaman tersebut hanyalah tanaman prioritas
kedua setelah padi.
Investasi pada industri pengolahan gaplek dan
tapioka sangat dipengaruhi oleh ketersediaan kredit perbankan. Sedangkan
kebijaksanaan harga yang paling efektif untuk mendorong investasi adalah dengan
meningkatkan harga produk hasil olahan dan penurunan harga kapital. Namun, hal tersebut
bertentangan dengan tujuan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Oleh
karena itu, untuk mendorong penggunaan tenaga kerja dapat dilakukan dengan
menurunkan harga bahan baku. Meskipun perlu dicermati bahwa kebijakan ini tentu
bertentangan dengan usaha peningkatan pendapatan petani. Permintaan terhadap
bahan baku lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding dengan penawaran
hasil barang olahan, sehingga dampak penyesuaian investasi dari setiap perubahan
harga ternyata cukup besar.
Kebijakan untuk meningkatkan harga produk hendaknya
disertai dengan kebijakan kemudahan kredit dan penurunan tingkat bunga. Untuk
meningkatkan stabilitas dan kontinuitas produksi dapat diusahakan dengan
mengembangkan Pola Inti Rakyat (PIR) dan mendorong terjadinya spesialisasi
produksi berdasarkan keuntungan komparatif menurut petani. Selain itu, mutu
produksi palawija perlu ditingkatkan agar dapat dipakai secara langsung dalam
industri pengolahan. Ukuran pabrik skala besar perlu dibatasi, sedangkan
industri skala kecil perlu diarahkan dan ditata sedemikian rupa.
Penelitian Irawan
et al. (1989) tentang agroindustri
dan mekanisasi pertanian difokuskan pada komoditas palawija. Pada industri
pengolahan ubi kayu, hasil penelitian menemukan bahwa pertumbuhan produksi ubi
kayu di Provinsi Lampung dan Jawa Barat cenderung lambat, namun jumlah
perusahaan tepung tapioka di Kabupaten Lampung Tengah, Ciamis, dan Bogor justru
menunjukkan kenaikan. Pada umunya, profitabilitas usaha tersebut cukup rawan
dan memiliki skala usaha ekonomi yang bersifat konstan. Selain itu, elastisitas
permintaan masukan pada usaha tersebut pada umumnya bersifat elastis. Pada penawaran
tepung tapioka, perubahan harga hasil produksi memiliki pengaruh lebih besar
dibandingkan pengaruh perubahan harga masukan. Umumnya perusahaan tepung
tapioka belum berproduksi sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, yang
terkendala oleh belum terpenuhinya volume, kontinyuitas, dan kualitas ubi kayu
yang dihasilkan petani.
Industri pengolahan gaplek di Provinsi Lampung
ternyata memiliki profitabilitas yang lebih baik dibandingkan industri tepung
tapioka. Salah satu faktor pendorong berkembangnya gaplek pada kurun ini disebabkan
oleh berkembangnya permintaan ekspor. Rantai pemasaran ubi kayu dari petani ke
perusahaan tepung tapioka di Ciamis dan Bogor lebih pendek dibandingkan di
Lampung Tengah. Demikian pula dengan jangkauan fasilitas kredit melalui bank
yang lebih meluas di Kabupaten Ciamis dan Bogor dibanding Lampung Tengah.
Berdasarkan hasil studi tersebut untuk meningkatkan
harga hasil produksi dapat dilakukan melalui pembinaan teknis yang dapat
meningkatkan mutu produk yang dihasilkan. Kebijaksanaan untuk mengembangkan
industri pengolahan gaplek perlu lebih digalakkan guna meningkatkan permintaan
bahan baku ubi kayu. Untuk mempertahankan kontinuitas pengadaan ubi kayu bagi
industri pengolahan, kemungkinan pengembangan tanaman ubi kayu dengan pola PIR
perlu dikaji lebih mendalam. Melalui pendekatan tersebut mungkin dapat merubah
perilaku petani yang memperlakukan ubi kayu sebagai tanaman sekunder. Perkembangan
perusahaan tepung tapioka skala besar perlu lebih dikendalikan dan diarahkan
pada perusahaan-perusahaan yang tidak terlampau besar namun berlokasi lebih
menyebar.
Untuk industri pengolahan kedelai, khususnya
industri tahu dan tempe, dari waktu ke waktu cenderung meningkat dengan laju
yang relatif tinggi, sehingga keuntungan industri tahu dan tempe masih berada
pada kondisi yang mampu merangsang peningkatan produksi. Wadah pemasaran
bersama dimaksudkan untuk memperluas jangkauan pemasaran produk, baik dari segi
jarak maupun golongan pembeli. Industri ini menghadapi pentingnya alternatif
kebijakan yang mampu mendorong peningkatan produksi sekaligus jumlah kedelai
yang diolah perhari. Dalam jangka panjang pengurangan kedelai impor mutlak
diperlukan tetapi harus disesuaikan dengan laju produksi kedelai dalam negeri
dengan memperhatikan sisi penawaran dan kualitasnya. KOPTI harus mampu berperan
sebagai ujung tombak dengan cara membiasakan anggotanya untuk lebih menggunakan
kedelai lokal sebagai bahan baku. Apabila fluktuasi harga kedelai lokal
diasumsikan mencerminkan naik turunnya suplai di pasaran, maka temuan dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa sisi penawaran kedelai lokal tidak stabil.
Di sisi lain, penelitian Hutabarat et al. (1990) yang dilakukan di Provinsi
Jawa Barat, Lampung, dan Sumatera Utara fokus pada perkembangan mekanisasi
pertanian di lokasi kajian, pola pemilikan alat mekanis, pengoperasian alat
mekanis dan dampak mekanisasi. Alat mekanis yang berkembang pada ketiga
provinsi tersebut umumnya adalah alat pengolahan tanah (traktor), terutama traktor
tangan. Khusus di Provinsi Sumatera Utara, selain traktor juga berkembang alat
mekanis pascapanen, yakni alat perontok. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat, alat
mekanis pascapanen kurang berkembang. Di Provinsi Lampung, berkembangnya
mekanisasi pertanian adalah karena kelangkaan tenaga kerja, berkembangnya
irigasi berikut sistem pengelolaannya serta penerapan pola tanam serempak yang
terkait dengan program Supra Insus.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa penggunaan
traktor telah membantu mengatasi kelangkaan tenaga kerja, baik pengolahan tanah
maupun pascapanen. Pendayagunaan alat mekanis, seperti traktor dirasakan cukup
ekonomis dan hal ini dimungkinkan oleh keterbukaan antarwilayah dalam menerima
kedatangan traktor dari luar wilayah dan didukung oleh perbedaan waktu
pengolahan tanah antardaerah. Di sisi lain, berkembangnya mekanisasi telah pula
memberikan kesempatan kerja di sektor pertanian. Dengan berkembangnya alat
mekanis, terbuka pula kesempatan berdirinya perbengkelan dan usaha las di perdesaan.
Berkaitan dengan kelembagaan perdesaan, tidak dijumpai dampak penggunaan
traktor yang serius baik dari pola penguasaan lahan dan sistem gotong royong.
Dengan masuknya alat mekanis di perdesaan,
terbentuk suatu lembaga baru, yakni perantara atau agen penyewaan traktor.
Perantara ini bertanggung jawab terhadap pencarian lahan garapan traktor di
lokasi di luar wilayah tempat tinggal pemilik traktor.
Pada program pengembangan alat mekanis, diperlukan
strategi pengembangan yang dianggap tepat, diantaranya: (1) pengembangan alat
mekanis harus dilakukan secara selektif menurut daerah yang memerlukan,
mengingat beragamnya kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja antar daerah; dan
(2) rancang bangun alat harus dibuat sederhana dan praktis.
5.3. Pengembangan Agroindustri untuk Peningkatan
Daya Saing dan Ekspor
Pengembangan agroindustri untuk peningkatan daya
saing dan ekspor telah cukup banyak dikaji, antara lain oleh Drajat et al. (1995), Supriyati et al. (2006), Agustian et al. (2003), dan Malian et
al. (2005). Penelitian Drajat et al.
(1995) tentang agroindustri perkebunan menunjukkan bahwa pada tahun 1990-an ekspor
kelapa sawit mampu menggeser ekspor minyak kedelai hingga tinggal 16 persen
dari keseluruhan ekspor minyak nabati. Pertumbuhan pasar minyak kelapa sawit tersebut
ditandai dengan lebih cepatnya pertumbuhan produksi dibandingkan konsumsi dan
ekspor dibandingkan impor. Namun, pangsa pasar minyak kelapa sawit Indonesia
masih belum mampu mengungguli minyak kelapa sawit Malaysia. Implikasi dari
situasi persaingan di pasar impor tersebut adalah perlunya penyusunan strategi
yang tepat dalam mengembangkan pasar ekspor minyak kelapa sawit Indonesia.
Selain itu juga diperlukan strategi peningkatan daya saing pada kegiatan pemasaran.
Berkaitan dengan peranan agroindustri terhadap
ekspor, Supriyati et al. (2006)
menyatakan bahwa walaupun nilai ekspor sektor
agroindustri lebih kecil dibandingkan dengan non agroindustri namun pangsanya
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian. Disamping itu, sektor agroindustri mempunyai keterkaitan ke belakang
(ke sektor pertanian) yang lebih besar dibandingkan non-agroindustri.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor
agroindustri masih mempunyai peluang untuk lebih dikembangkan pada waktu yang
akan datang.
Dalam Drajat et
al. (1995) disarankan agar strategi peningkatan daya saing dan pengembangan
pasar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak hanya mengacu pada peluang pasar yang
dapat dimanfaatkan di pasar Internasional, tetapi harus juga memperhatikan
situasi pasar domestik dan peranan pemerintah dalam mengendalikan pasar minyak
kelapa sawit. Strategi peningkatan daya saing ditekankan pada upaya efisiensi
biaya pemasaran dan peningkatan mutu produk dari minyak kelapa sawit kasar
(CPO) menjadi minyak kelapa sawit olahan (PPO). Strategi pengembangan pasar
perlu diikuti dengan melakukan riset pemasaran dengan tujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi pasar dan pemasaran kelapa sawit.
Masih pada subsektor perkebunan, penelitian
Agustian et al. (2003) tentang
agroindustri perkebunan menyatakan bahwa sektor pertanian yang didukung
subsektor agroindustri telah menunjukkan ketangguhan yang cukup baik di saat
terjadinya krisis ekonomi. Peranan beberapa produk agroindustri perkebunan
semakin menonjol terutama pada saat terjadinya krisis ekonomi. Pengembangan
komoditas kopi di Lampung dapat ditempuh dari dua sisi, yaitu: (1) manajemen
usahatani dengan perbaikan sistem usahatani, penggunaan pupuk yang berimbang
dan penerapan teknologi pembibitan, dan (2) manajemen pascaproduksi yaitu peningkatan
mutu di tingkat petani dan pengolahan kopi bubuk pada skala industri rumah
tangga.
Permasalahan yang dihadapi petani dari sisi
produksi adalah rendahnya harga biji kopi. Sedangkan pada sisi pascaproduksi
adalah terkendala oleh pemasaran hasil produksi. Hasil analisis menunjukkan
bahwa kopi masih memiliki daya saing yang relatif lebih tinggi berdasarkan
harga sosialnya. Ekspor produk olahan kopi menjadi salah satu jawaban untuk
lebih meningkatkan volume sekaligus nilai ekspor dari komoditas kopi.
Kelapa merupakan salah satu komoditas perkebunan
yang memiliki peran penting dalam menyumbang perolehan devisa ekspor nasional.
Salah satu permasalahan penting yang dialami pada usahatani adalah sulitnya mendapatkan
tenaga kerja untuk panen. Sementara itu, industri pengolahan kelapa yang
potensial untuk dikembangkan antara lain industri pengolahan kopra, industri
kelapa parut kering (DESCO), industri minyak kelapa (CCO), industri arang
aktif, dan industri kecil nata de coco.
Kebijakan yang diperlukan untuk pengembangan
agroindustri kopi, antara lain dengan dukungan kebijakan pemerintah dalam
pengembangan baik pada level usaha tani maupun level pengolahan dan melaukan
pembinaan perbaikan mutu produk. Upaya pengembangan produk industri pengolahan
kelapa dilakukan dengan penganekaragaman melalui pengembangan teknologi, bantuan
modal dan peralatan. Peningkatan daya saing komoditas tersebut merupakan bagian
penting dalam peningkatan daya saing komoditas pertanian secara umum.
Sementara penelitian
Malian et al. (2005) tentang prospek
agroindustri menemukan bahwa untuk peningkatan produktivitas dan kualitas bahan
baku produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh, diperlukan program
peremajaan yang diarahkan pada peningkatan produktivitas dan kualitas bahan baku
untuk industri. Untuk menggairahkan pengusaha dalam meningkatkan produksi dan
ekspor produk agroindustri ketiga komoditas ini, maka pemerintah perlu
memberikan insentif ekspor dalam bentuk keringanan dan pembebasan pajak (tax insantive). Salah satu cara untuk
meningkatkan ekspor produk agroindustri berbasis lada, kelapa, dan teh di
Indonesia adalah dengan melakukan promosi ekspor dalam bentuk diversifikasi
negara ekspor. Selain itu, untuk meningkatkan ekspor produk agroindustri
berbasis lada, kelapa dan teh, pemerintah perlu mendorong peningkatan ekspor
produk agroindustri yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi serta
mengembangkan produk berdasarkan pohon industri.
5.4. Agroindustri untuk Peningkatan Nilai Tambah
dan Pengembangan Ekonomi Perdesaan
Pengembangan agroindustri untuk meningkatkan nilai
tambah, menciptakan devisa dan pengembangan ekonomi perdesaan juga telah
dilakukan oleh Sayaka et al. (2005)
dan Supriyati et al. (2006). Sayaka et al. (2005) mengungkapkan bahwa bahan
baku agroindustri berbasis pangan lokal tersedia dalam jumlah yang cukup di
tiap wilayah penelitian (Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Papua) walaupun
ada fluktuasi suplai antarmusim setiap tahun. Usahatani ubi kayu dan jagung
masih menguntungkan walaupun nilainya agak kecil. Sedangkan penebangan sagu
selain memberikan persediaan makanan pokok bagi rumah tangga, juga merupakan
sumber penghasilan untuk membeli keperluan rumah tangga lain. Suplai bahan baku
untuk agroindustri sagu dalam jangka panjang bisa berkurang jika jumlah usaha
agroindustri meningkat atau skala usaha yang ada diperbesar. Penyebabnya adalah
karena sagu hanya dipanen dari hutan, upaya budidaya sagu masih relatif
sedikit, sedangkan permintaan untuk konsumsi penduduk sebagai makanan pokok
masih tetap tinggi.
Sebagian besar rumah tangga mengkonsumsi ubi kayu
dan jagung sebagai makanan pokok pencampur beras. Sementara itu, sagu
dikonsumsi dalam bentuk tunggal. Jenis makanan olahan yang menggunakan bahan
baku ubi kayu, jagung, dan sagu yang
dimasak oleh rumah tangga sebagai
makanan selingan relatif banyak, namun
cara masaknya masih bersifat tradisional (dikukus, direbus, digoreng)
dan tidak ada jenis makanan baru yang diolah. Rumah tangga juga jarang membeli
makanan olahan yang menggunakan bahan baku ketiga komoditas tersebut. Pada
rumah tangga perkotaan telah terjadi perubahan preferensi konsumsi pangan pokok
dari pangan lokal (ubi kayu, jagung dan sagu) ke beras yang didorong melalui
mekanisme Raskin dan tunjangan beras PNS.
Secara nasional ragam produk olahan dari ubi kayu,
jagung dan sagu cukup banyak, bahkan juga digunakan untuk industri nonpangan.
Walaupun demikian bentuk olahan pangan lokal di wilayah penelitian relatif
lebih sedikit dibanding potensi yang ada secara nasional. Hal ini terutama
terkait dengan selera penduduk setempat. Produk agroindustri yang bisa
digunakan sebagai makanan pokok adalah tiwul instan dari Trenggalek dan tepung
sagu untuk membuat papeda dari
Jayapura. Produk agroindustri lainnya dikonsumsi sebagai makanan tambahan.
Agroindustri berbasis pangan lokal sesungguhnya
cukup menguntungkan tetapi sulit untuk ekspansi karena keterbatasan permintaan
pasar. Persaingan antarprodusen dari kabupaten lain untuk agroindustri di
Trenggalek, serta mahalnya biaya transportasi untuk produk agroindustri dari
NTT dan Papua, membuat agroindustri berbasis pangan lokal sulit berkembang.
Teknologi pengolahan bahan pangan di tingkat rumah
tangga merupakan teknologi yang bersifat tradisional. Demikian pula teknologi
untuk pengolahan agroindustri masih banyak yang bersifat manual, dan hanya
sedikit yang menggunakan peralatan mekanis. Skala produksi yang relatif kecil
belum mendorong para pengusaha agroindustri untuk menggunakan teknologi moderen
walaupun teknologi tersebut mudah diperoleh baik dari pemerintah maupun swasta.
Dari segi fluktuasi harga, fluktuasi harga ubi kayu,
jagung dan sagu lebih besar daripada beras. Harga bahan pangan lokal, kecuali
beras, sangat dipengaruhi mekanisme pasar sehingga jumlah suplai sangat
mempengaruhi harga jual karena permintaannya relatif tetap. Agroindustri
berbasis ubi kayu berada dalam posisi putar haluan, yaitu bagaimana caranya
mengatasi kelemahan yang ada untuk memanfaatkan peluang yang tersedia.
Sedangkan agroindustri jagung dan sagu berada dalam posisi defensif, yaitu
bagaimana cara mengatasi kelemahan dan ancaman untuk bisa bertahan.
Penelitian Supriyati et al. (2006) menyatakan bahwa peranan
sektor agroindustri dalam penciptaan nilai tambah dan devisa masih lebih rendah dibandingkan dengan
sektor non-agroindustri. Ada indikasi bahwa pertumbuhan output atau nilai
tambah pada sektor agroindustri tidak
diikuti oleh pertumbuhan penyerapan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa
misi agroindustri sebagai salah satu peluang kesempatan kerja yang diharapkan
mampu mengurangi beban penyerapan tenaga kerja sektor pertanian yang masih
terlalu besar belum tercapai. Hal ini disebabkan karena agroindustri belum
dianggap menjadi satu kesatuan sistem,
sehingga belum ada kebijakan yang komprehensif dari penyediaan bahan
baku sampai dengan pemasaran. Kebijakan juga masih terkotak-kotak menurut
subsistem, dan kebijakan Departemen Perindustrian masih bias ke non-agroindustri.
Peranan menurut skala usaha pada
usaha agroindustri menunjukkan bahwa industri skala besar yang jumlahnya kurang
dari 1 persen, dengan tingkat penyerapan
tenaga kerja sekitar 19 persen, menguasai nilai tambah sekitar 84 persen. Hal
ini menunjukkan bahwa industri skala besar bersifat padat modal. Sementara itu,
industri skala sedang, kecil, dan rumah tangga yang penyerapan tenaga kerja
mencapai 81 persen hanya mampu menciptakan nilai tambah sebesar 14 persen. Hal
ini menunjukkan bahwa industri skala sedang, kecil, dan rumah tangga bersifat
padat tenaga kerja.
Sektor agroindustri yang mempunyai
perspektif untuk dikembangkan berdasarkan indikator penyerapan tenaga kerja
disertai peranannya dalam penciptaan devisa, dan kemampuan menghela dan
mendorong industri hilirnya adalah agroindustri kapuk bersih, benang
dan tekstil; agroindustri daging, jeroan
dan sejenisnya; agroindustri beras; agroindustri tembakau olahan dan rokok; agroindustri minyak hewani dan minyak nabati; agroindustri hasil pengolahan kedelai; agroindustri gula; agroindustri kopi giling dan kupasan; agroindustri pakan ternak; agroindustri
roti, biskuit dan sejenisnya; agroindustri
makanan lainnya; agroindustri minuman tak
beralkohol; agroindustri mie, macaroni,
dan sejenisnya. Namun, ada kompentensi usaha
yang sama antara industri skala besar dengan industri sedang, kecil dan rumah tangga,
terutama pada industri makanan dan industri makanan lainnya. Dalam konteks ini,
industri skala sedang, kecil dan rumah tangga tentunya tidak mampu bersaing
dengan industri skala besar.
Analisis
kasus agroindustri kopi, pisang dan ITTARA menunjukkan bahwa nilai tambah ditemui
pada semua mata rantai nilai, dari bahan baku sampai dengan pemasaran dengan
banyak instansi yang terlibat. Namun, nilai tambah pada ketiga kasus tersebut
belum optimal dan peranan instansi juga masih terbatas pada mata rantai nilai
yang sesuai dengan mandatnya (tupoksinya). Belum terlihat koordinasi yang kuat
antarlembaga dalam pengembangan agroindustri. Kecuali pada agroindustri kopi,
dimana sudah berlangsung koordinasi antara kegiatan penelitian dan
pengembangan, pemerintah daerah dan eksportir.
Simpul kritis agroindustri perdesaan
berada pada aspek pemasaran. Akses petani rendah untuk mencarikan pasar bagi
produknya, kecuali untuk agroindustri kopi dimana pasar produk sudah jelas. Namun demikian,
pelaku agroindustri kurang akses ke pasar tersebut. Ke depan, peningkatan nilai
tambah agroindustri di perdesaan dapat dilakukan pada aspek: (1) permintaan
pasar; (2) faktor produksi; (3) strategi, struktur dan persaingan usaha; (4) institusi
dan industri pendukung; serta (5) kelembagaan pemerintah. Hal ini memerlukan
keberpihakan yang kuat dari pemerintah, untuk menjadikan agroindustri sebagai kesatuan sistem yang perlu
dikembangkan secara bersama-sama.
Untuk itu, apabila pemerintah
menganggap agroindustri merupakan sektor yang akan dikembangkan untuk mengatasi
masalah ketenagakerjaan dan kemiskinan, harus ada keberpihakan yang kuat dari
pemerintah, dengan menempatkan agroindustri sebagai satu kesatuan sistem. Implikasi
dari hal ini adalah pengembangan agroindustri memerlukan keterkaitan
erat antarsentra produksi pertanian sebagai penyedia bahan baku, pusat-pusat
yang ditetapkan sebagai pusat promosi dan pemasaran serta layanan bisnis
sebagai kawasan inti, dan wilayah-wilayah sumber bahan baku dan penolong dari
produk-produk hasil industri seperti pupuk, bibit, kemasan, BBM, dan alat dan
mesin pertanian dan pengolahan hasil pertanian serta layanan bisnis lainnya.
Disamping itu, selain harus memperhatikan hubungan pusat dan daerah, upaya
peningkatan nilai tambah juga perlu dilakukan dalam kerangka kerja sama antarkawasan
inti dalam upaya menjaga keseimbangan pembangunan antarwilayah dan upaya untuk
mengembangkan jaringan pasar hingga internasional.
Upaya peningkatan nilai tambah sesuai kerangka
model yang telah disusun memerlukan rangkaian satu kesatuan sistem selain
pentingnya kerja sama antarkawasan inti, kapasitas dan kemampuan lembaga yang berperan sebagai fasilitator, mediator
dan advokasi serta bimbingan teknis dan teknologis secara kontinyu, ciri khas
produk dan citarasa yang dapat ditingkatkan melalui inovasi teknologi,
konsistensi mutu dan kontinuitas produksi, perbaikan mutu olahan, cita rasa,
kemasan dan merk serta jaringan kemitraan usaha antarpengusaha. Semua ini
merupakan faktor kunci keberhasilan peningkatan nilai tambah komoditas
pertanian.
Adanya kompentensi usaha yang sama
antara industri skala besar dengan industri skala lainnya serta penciptaan
nilai tambah yang sangat timpang yang bias pada industri skala besar, membutuhkan pengembangan kemitraan yang
sinergis antara industri besar dan industri skala sedang, kecil, dan rumah
tangga. Kemitraan ini ditujukan agar terjadi redistribusi nilai tambah yang
proporsional antara industri skala besar
dengan industri skala lainnya. Pemerintah harus mampu merumuskan dengan
tegas, pada tahap mana industri skala besar boleh beroperasi. Sebaiknya
industri skala besar tidak boleh bergerak dalam pengolahan langsung dari bahan
baku primer, namun mulai dari pengolahan bahan baku setengah jadi, yang dipasok
oleh industri skala sedang, kecil dan rumah tangga. Pengembangan agroindustri
perlu diprioritaskan pada industri makanan dan industri makanan lainnya yang
menggunakan produk sektor pertanian lokal dan berlokasi di sentra produksi (perdesaan),
pada skala sedang, kecil dan rumah tangga. Pengembangan agroindustri di perdesaan
ini harus menjadi komitmen pemerintah, dalam bentuk dukungan penuh dari
pemerintah pusat sampai pemerintah daerah.
Pemerintah dapat
membantu para pengusaha mempercepat keberhasilan usaha sejumlah agroindustri di
berbagai daerah. Usulan ini merupakan konsekuensi logis dari model pengembangan
usaha dalam format klaster agroindustri. Klaster agroindustri yang berpijak
pada pengelompokan sejumlah industri yang mempunyai misi dan tujuan yang sama
ini saling bekerja sama dan berkolaborasi untuk mencapai keberhasilan yang
lebih tinggi. Untuk keperluan tersebut, suatu organisasi antarinstansi perlu
dibentuk dengan satu tujuan, yaitu mengawal berbagai instrumen kebijakan
pengembangan agroindustri.
Dalam usaha agroindustri terdapat sejumlah kalangan
yang berkaitan dan berkepentingan (stakeholders) yang kontribusinya
sangat penting dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan. Oleh karena itu,
organisasi yang diusulkan ini sebutlah namanya sebagai “forum klaster
agroindustri”, menjadi gudang pemikir
dan pelaksana kebijakan di lapangan serta bertanggung jawab terhadap
keberhasilan maupun kegagalan pelaksanaan kebijakan dimaksud. Dengan demikian,
berhasil tidaknya pengembangan usaha agroindustri ini sangat erat kaitannya
dengan kuat lemahnya keputusan dan kebijakan yang ditempuh. Direktorat Jenderal
P2HP bekerja sama dengan Badan Litbang Pertanian dinilai sangat layak untuk
menjadi pemrakarsa sekaligus pelaksana kebijakan pengembangan klaster
agroindustri di Indonesia.
5.5.
Agroindustri dalam Perspektif Kelembagaan
Pada level makro untuk aspek kelembagaan, dalam
rangka peningkatan nilai tambah, Supriyati et
al. (2006) mengusulkan model pengembangan usaha dalam format klaster
agroindustri. Sedangkan aspek kelembagaan di level mikro diungkapkan dalam
penelitian Taryoto et al. (1994)
tentang kelembagaan penunjang agroindustri di Provinsi Jawa Timur. Hasil
penelitian ini mendapatkan bahwa untuk menghubungkan sektor pertanian dan
sektor industri, harus ada bentuk-bentuk kelembagaan yang mampu memacu
tumbuhnya agroindustri. Peluang pengembangan mangga di Jawa Timur (Kabupaten
Pasuruan dan Probolinggo) dari sisi permintaan untuk pasar mangga segar masih
cukup menjanjikan. Dalam hal ini ada tiga pola pengusahaan dalam usahatani
mangga, yaitu pola pekarangan, pola kebun perorangan, dan pola perkebunan.
Penanganan panen dan pascapanen mangga tidak lagi
menjadi tanggung jawab petani pemilik mangga, karena pada umumnya mereka menjual
dengan sistem tebasan. Di Jawa Timur belum ada pabrik pengolahan mangga karena
harga mangga yang terlalu tinggi, sementara teknik pengolahan mangga juga belum dikuasai
untuk dapat menghasilkan produk dengan penampilan yang menarik. Demikian pula
dengan nenas, agroindustri yang mengolah atau memanfaatkan nenas rakyat sebagai
bahan baku utama belum ada. Selama ini nenas rakyat dipasarkan dalam bentuk
segar semata. Agroindustri nenas yang selama ini ada hanya melakukan integrasi
vertikal, dimana mulai dari usahatani, pengolahan, dan pemasarannya dilakukan
oleh pihak perusahaan sendiri.
KUD sebagai titik simpul yang dapat berperan sebagai
mata rantai tata niaga nenas mulai dari petani sampai ke pengolah, belum
berfungsi secara baik. Dilain pihak, peran pedagang nenas terhadap ekonomi
nenas Lampung sangat penting mengingat pedagang pengumpul ataupun pembeli di
pasar lokal merupakan satu-satunya tujuan pemasaran nenas rakyat. Pada kasus
mangga di Jawa Timur dan nenas di Lampung, peran Pemda masih terbatas karena
belum dianggap sebagai komoditas yang diprioritaskan dan diunggulkan.
Secara keseluruhan, hasil-hasil kajian PSE-KP
tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan agroindustri di atas menunjukkan
bahwa pengembangan agroindustri mempunyai arti strategis bagi perekonomian
rakyat karena diharapkan dapat memberikan peningkatan nilai tambah hasil pertanian
melalui pemanfaatan teknologi pengolahan hasil dan mekanisasi pertanian,
peningkatan daya saing dan ekspor, serta pengembangan ekonomi perdesaan. Namun
demikian, kajian tentang pengembangan agroindustri yang terpadu dan
berkelanjutan masih sangat jarang dilakukan oleh peneliti PSE-KP. Ke depan, hal
ini perlu mendapat perhatian dengan porsi yang lebih besar.
*****
1 komentar:
Saya ingin berbagi di sini tentang bagaimana Tuan Pedro memberi saya pinjaman sebesar £820.000,00 untuk memperluas bisnis saya dengan tingkat pengembalian tahunan 2%. Saya sangat bersyukur dan saya pikir saya harus membagikannya di sini. Berikut alamat emailnya: pedroloanss@gmail.com / WhatsApp +393510140339 jika ada di sini yang mencari suku bunga pinjaman yang terjangkau.
Posting Komentar